Bab 3
Bab 3
Rey menyodorkan saputangan polos padaku. Aku mengambilnya dan membasuh keringat di
wajahku.
"Kau bermimpi tentang kejadian tujuh tahun lalu." Dia terlihat seperti sudah tahu.
Aku mengumpat kesal. Aku jarang mengumpat, tapi aku memang tidak suka jika seseorang
memasuki kepalaku tanpa izin resmi dariku. Termasuk Rey. Aku melemparkan saputangan ke
wajahnya dengan keras tapi dia hanya menepisnya singkat seolah menyingkirkan lalat yang
mengganggunya. Dia tersenyum geli.
"Baiklah, aku minta maaf. Tapi tadi kau terlihat gelisah waktu tidur, jadi aku penasaran, dan
akhirnya aku masuk. Dan begitulah," dia menambahkan ketika masih melihat ekspresi marahku,
"oh iya, aku punya sesuatu untukmu. Ikutlah."
Rey setengah terburu-buru menuju keluar. Aku tahu dia mencoba mengalihkan, tapi aku juga
penasaran apa yang akan ditunjukkan padaku. Jadi masih dengan setengah kesal, aku
mengikutinya dari belakang sambil menghentak-hentakkan kaki. Rey terkekeh pelan.
Kami berjalan menuju ruang kerja Rey. Ruangan cukup besar dengan puluhan rak buku berjajar
di sisinya. Jam besar kuno bergantung di salah satu bagian atas rak, menunjuk ke pukul tujuh.
Sinar matahari pagi menembus kaca jendela yang masih tertutup serambi. Rey membuka tirainya
membiarkan cahaya menghangatkan ruangannya.
Aku jarang masuk ke sini, mungkin hanya sekali dua kali untuk membaca buku - atau lebih
tepatnya memegang buku dan mentransfer isinya ke pikiranku. Tidak seperti Rey yang harus
membaca keseluruhan buku untuk menghafalnya, aku hanya perlu menyentuhnya untuk
beberapa waktu, tergantung ketebalan buku. Hampir separuh dari keseluruhan buku di sini sudah
kupegang. Mulai dari buku pengetahuan, sejarah negara di dunia, hingga novel-novel dengan
berbagai bahasa. Jadi jika ada yang bertanya kata pertama dalam novel Da Vinci halaman 113,
aku bisa dengan mudah menjawabnya.
Rey duduk di kursi depan meja persegi panjang, membuka laptopnya yang masih menyala. Aku
menarik kursi di sebelahnya.
"Lihatlah," ucapnya sambil mengklik mouse.
Beberapa kertas keluar dari printer. Rey mengambilnya dan memperlihatkannya padaku. Aku
menerimanya dengan tatapan bingung. Kulihat kertas pertama dan kedua, hanya berisi identitas-
identitas baru kami. Tidak ada yang aneh. Kami memang sering berganti identitas.
Aku memandang Rey penuh tanya. Mencoba mengangkat salah satu alisku tapi justru kedua-
duanya terangkat.
Aku mengerucutkan bibirku dan membalik kertas itu lagi. Akte kelahiran, dan SIM. Tidak ada
yang membuatku terkejut. Aku terus membaliknya. Berkas-berkas rumah, pasport, ijazah.
Ijazah?
"Ijazah?"
Rey mengedikkan kepalanya singkat, menyuruhku membalik lagi. Aku membuka kertas terakhir.
Surat permohonan pindah sekolah.
"Pindah?"
"Pindah," angguknya.
"Untuk apa?"
"Mencari Mike."
"Di sini tempat sekolah kita, dan ini," dia mengarahkan kursor beberapa sentimeter ke arah
tenggara, "ini Black Rose."
"Well, sebenarnya ini hanya cabangnya. Bagian kecil dari Black Rose. Sangat sulit menemukan
pusatnya. Kita bahkan tidak tahu tempat di mana mereka menangkap kita dulu. Aku harus
meretas beberapa server mereka yang hampir mustahil disusupi."
Black Rose adalah nama perusahaan yang dulu menjadikan kami bahan percobaan. Sejak
berhasil kabur dari sana kami mencari informasi tentangnya untuk menghindari orang-orang dari
perusahaan tersebut, tapi sekarang kami mencari informasi agar bisa mendekat. Masuk ke dalam
lagi, tapi dengan jalan yang berbeda.
"Caranya?"
"Pertama kita harus menjadi bagian dari mereka," ucap Rey sedikit bergetar. Wajahnya menjadi
kelam.
Aku meneguk ludah, membasahi kerongkonganku. Aku bisa merasakan kekhawatiran Rey
seperti mengalir ke kulitku.
"Lalu?"
"Tapi bagaimana jika mereka tahu? Tentang kita? Bagaimana jika mereka punya alat untuk
mendeteksi kekuatan kita?"
"Waktu di laboratorium tujuh tahun yang lalu, sebelum kita kabur, aku sempat memasuki pikiran
mereka. Beberapa orang. Mereka pikir mereka hanya bermimpi. Dan aku menanyakan tentang
itu salah satunya, 'Bagaimana jika kita kabur', lalu mereka menjawab bahwa mereka telah
memasang chip pelacak di kepala kita."
"Alat pelacak?" ucapku setengah berteriak. Dan aku tidak tahu bahkan tidak merasakan apapun.
Jadi, selama ini mereka tahu di mana kita?
"Ya." Aku mengangguk cepat. Aku mengingatnya, saat kami di tabung kaca dahulu. Ketika Rey
membuatku tertidur dan dia memasuki pikiranku.
"Bagaimana bisa? Bukankah kau hanya hadir di kepalaku dalam bentuk pikiran saja?"
"Apa kau bisa memanipulasi pikiran?" tanyaku sambil mencondongkan tubuh ke arahnya.
Aku memutar posisi dudukku seperti semula. Memandang kembali kertas pindah sekolah yang
tadi.
"Pohon?"
"Hutan?"
Kami saling berdiam diri untuk beberapa menit. Berkutat dengan pikiran masing-masing. Aku
tahu sangat berbahaya untuk masuk ke Black Rose. Apalagi kita adalah buronan. Tapi kami harus
ke sana. Demi Mike.
"Kita akan berangkat ke London nanti malam," ujar Rey akhirnya. "Mungkin tiga atau empat
hari kita akan sampai di sana jika naik mobil."
"Dan setelah itu kau pingsan selama lima hari? Tidak. Lebih cepat lebih baik."
"Aku akan menyiapkan dokumen kita. Dan mungkin tabungan kita perlu ditambah."
Aku memelototinya.
"Hanya beberapa sen, mereka tidak akan menyadarinya." Rey tersenyum jahil.
Rey tertawa terbahak. Selama tujuh tahun kami memang hidup dari hasil Rey mengambil satu
sen dari rekening orang-orang di seluruh dunia setiap bulannya. Aku tidak tahu bagaimana dia
melakukannya. Dia juga tidak tahu, dia mengatakan itu bakat alaminya untuk bisa menjadi
hacker dan mencuri database dari perusahaan-perusahaan. Aku tidak mempermasalahkan
perbuatannya selama itu untuk kebaikan. Kebaikan kita maksudnya.
"Kurasa aku harus mempersiapkan diri." Aku berdiri dan berjalan keluar pintu.
"Bawa barang yang kau perlukan saja," teriak Rey melambaikan tangannya.
***
Tiga hari tiga malam kami mengemudi secara bergilir. Kadang kami singgah sebentar di daerah
perbukitan atau di sepanjang lautan untuk makan atau membersihkan badan. Seperti perintah
Rey, aku hanya membawa barang-barang yang aku perlukan seperti beberapa pakaian ganti,
ponsel dan laptop. Untuk makanan, aku membawa beberapa makanan instan yang kupikir cukup
untuk persedian kami selama lima hari. Kami meninggalkan semua yang lain di rumah lama
kami, termasuk buku-buku Rey- karena Rey pasti sudah menghafal semuanya. Sebelum pergi,
aku sempat membaca- membaca di sini menurut definisiku, seperti yang kau tahu- buku tentang
kota yang akan kami tuju. London.
London dikenal sebagai kota hujan, tapi curah hujannya dalam setahun lebih sedikit
dibandingkan Roma. Kami pernah tinggal di Roma selama dua bulan. Sekarang bulan Agustus
dan seperti yang tertulis di buku seharusnya saat ini London sedang mengalami musim panas.
Jadi ketika akan memasuki wilayah London aku berganti pakaian dengan kaos tipis lengan
pendek dan celana jeans.
Tapi ternyata buku tidak selalu benar. Tiba di london, kami disambut dengan salju dan
bongkahan es di kawasan pinggir kota. Aku menutup kaca mobil ketika angin berhembus
mengalirkan gelombang dingin yang menusuk tulang. Mungkin dinginnya tidak ada apa-apanya
dibanding beberapa kota di Eropa seperti Jerman atau Skandinavia. Tapi tetap saja ini dingin,
mungkin suhunya dibawah 20 derajat Celcius. Rey melemparkan jaket tebal yang tersampir di
sandaran kursinya padaku.
"Kurasa sebentar lagi kita sampai," Rey berkata sambil mengecek arlojinya.
"Syukurlah. Aku tidak suka basah dan lembab." Tiba-tiba aku merindukan pantai dan terik
panasnya.
Rey nyengir dan memelankan laju mobil ketika memasuki kompleks apartemen di daerah Long
West. Bangunannya terlihat antik sekaligus modern, seperti perpaduan antara abad pertengahan
Timur dengan era modern Barat.
"Kau menyukainya?"
Dia benar. London tidak identik dengan salju. Biasanya salju turun hanya beberapa kali dalam
dua sampai empat tahun. Itu yang dikatakan buku, tapi aku mulai meragukannya.
Ketika memasuki lobi apartemen, kami disambut dua resepsionis wanita muda yang kupikir
terlalu kelewat ramah. Mereka hanya bertanya pada Rey dengan nada genit yang dibuat-buat dan
mengacuhkanku, membuatku ingin menyiramkan air dari akuarium di sudut ruangan ke riasan
make up mereka yang ketebalannya mengalahkan tembok China. Dan parahnya, Rey justru
menggoda mereka dengan bermanis-manis kata yang membuat kedua resepsionis itu cekikikan.
Rey memalingkan muka padaku dan mengedipkan satu matanya. Aku meninggalkan Rey ke
ruang tunggu untuk menyelesaikan administrasi setelah menendang sepatunya dengan keras.
Kami mendapatkan apartemen di lantai tiga dengan dua kamar tidur. Dilengkapi ruang tamu,
ruang makan, kamar mandi, dapur dan ruang serbaguna. Peran kami saat ini adalah sebagai
kakak beradik sehingga tidak ada yang mempermasalahkan jika kami tinggal di satu apartemen.
Dan sangat kebetulan kami sama-sama memiliki mata biru dibalut wajah oriental Eropa dengan
kulit putih pucat yang mendukung kemiripan kami.
"Ngomong-ngomong apa nama baruku?" kataku, sambil menghempaskan tubuhku ke sofa ruang
tamu. Aku melepas sepatuku dan mengangkat kakiku ke atas meja, kemudian menyandarkan
kepalaku di bantalan sofa.
Rey duduk di sebelahku, membuka resleting tasnya dan mengeluarkan kertas-kertas dokumen.
Aku menegakkan dudukku dan mengambil kartu identitasku.
"Celine Ainsley?"
"Bilang saja kau suka." Rey tertawa dan mengacak-acak rambutku. Dia mengambil remote
televisi dan menyalakannya.
"Dan kau? Siapa namamu?" tanyaku, sambil menyisir rambutku dengan jari.
Rey memindah-mindah channel dan berhenti pada acara berita. "Aku Nickson Ainsley. Panggil
saja Nick." Rey nyengir dan menyodorkan tangannya padaku.
Aku menjabat tangannya dan seperti dua orang yang baru pertama kali bertemu, kami
berkenalan. "Aku Giselle. Senang bertemu denganmu, Nick."
Rey, maksudku Nick mengacak-acak rambutku lagi dan kami tertawa bersama-sama. Kami
menghabiskan malam itu dengan menonton televisi dan membahas tentang sekolah kami besok
pagi. Besok merupakan pertama kalinya kami berbaur dengan manusia sejak peristiwa tujuh tahu
lalu. Kuharap dunia manusia tak seburuk yang kukira.