Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkara gugatan merupakan perkara yang diajukan ke pengadilan yang didalamnya
terdapat konflik atau sengketa yang meminta hakim untuk mengadili dan memutus siapa
diantara pihak-pihak yang bersengketa atau berkonflik tersebut yang benar. Perkara
gugatan disini termasuk dalam lingkup perkara perdata yang diatur tersendiri oleh hukum
acara perdata. Seringkali pengertian gugatan disama artikan dengan permohonan oleh
sebagian orang yang belum memahami secara menyeluruh mengenai hukum acara
perdata. Pada dasarnya memang gugatan dan permohonan sama-sama perkara yang
diajukan ke pengadilan dalam lingkup perdata, akan tetapi letak perbedaanya pada
gugatan didalamnya terdapat sengeketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh
pengadilan sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa. Dalam makalah ini akan
lebih lanjut dijelaskan mengenai perbedaan gugatan dan permohonan, akan tetapi yang
menjadi pembahasan utama pada makalah ini adalah mengenai Surat Gugatan dan
persyaratanya beserta persoal-persoalan yang mungkin timbul di dalam surat gugatan.

1.2. Rumusan masalah


1. Apa definisi atau pengertian daripada surat gugatan ?
2. Apa saja yang menjadi syarat dalam formulasi surat gugatan ?,Dan bagaimana
mekanisme dalam perubahan gugatan ?
3. Apa yang dimaksud dengan penggabungan gugatan ?
4. Bagaimana proses pencabutan gugatan perkara di depan Pengadilan ?

BAB II

PEMBAHASAN

1
A. Pengertian Gugatan/Permohonan

Surat gugatan adalah suatu surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua
Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung
suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan
pembuktian kebenaran suatu hak.1

Adapun pengertian daripada surat permohonan adalah suatu permohonan yang di


dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu
hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat
dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.

Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada
suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan.2

Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan (yaitu penggugat
dan tergugat), sedangkan dalam perkara permohonan hanya ada satu pihak saja (yaitu
pemohon). Namun demikian di Pengadilan Agama ada permohonan yang perkaranya
mengandung sengketa sehingga di dalamnya ada dua pihak yang disebut pemohon dan
termohon, yaitu dalam perkara permohonan ijin ikrar talak dan permohonan ijin beristeri
dari seorang.

B. Syarat-syarat Surat Gugatan

Yang dimaksud dengan formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation) surat
gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, dalam uraian ini akan
dikemukakan berbagai ketentuan formil dan materil yang wajib terdapat dan tercantum
dalam surat gugatan. Syarat-syarat tersebut, akan ditampilkan secara berurutan sesuai
dengan sistematika yang lazim dan standar dalam praktik peradilan.

Adapun syarat-syarat dan ketentuan surat gugatan antara lain sebagai berikut:

1. H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta


: Pustaka Pelajar, 2008).,hlm 39

2 . Retno Wulan Sutanto dan Iskandar Oerip Karta Winata, (Bandung: Mandar
Maju, 2005).,hlm10

2
a. Syarat Formil
Pada umumnya syarat formal yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan
adalah:
1. Ditujukan (Dialamatkan ) kepada PN Sesuai dengan Kompetensi Relatif
Surat gugatan, secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada PN sesuai
dengan kompetensi relatif. Harus tegas dan jelas tertulis PN yang dituju sesuai
dengan patokan kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR. Apabila
surat gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif :
- Mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil, karena gugatan disampaikan
dan dialamtkan kepada PN yang berada di luar wilayah hukum yang berwenang
untuk memeriksa dan mengadilinya;
- Dengan demikian, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet
onvankelijkeverklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.
2. Diberi Tanggal
Ketentuan undang-undang tidak menyebut surat gugatan harus mencantumkan
tanggal. Begitu juga halnya jika surat gugatan dikaitkan dengan pengertian akta
sebagai alat bukti, Pasal 1868 maupun Pasal 1874 KUH Perdata, tidak
menyebutka pencantuman tanggal di dalamnya. Karena itu, jika bertitik tolak dari
ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR dihubungkan dengan pengertian akta sebagai
alat bukti, pada dasarnya tidak mewajibkan pencantuman tanggal sebagai syarat
formil.
3. Ditandatangani Penggugat atau Penguasa
Mengenai tanda tangan dengan tegas disebut sebagai syarat formil surat gugatan.
Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan :
- Gugatan perdata harus dimasukkan ke PN sesuai dengan kompetensi relatif,
dan;
- Dibuat dalam bentuk surat permohonan (surat permintaan) yang ditanda
tangani oleh penggugat atau oleh wakilnya (kuasanya).

b. Syarat Substansial
Syarat substansial dari surat permohonan gugatan yang diajukan oleh
penggugat, terdapat dalam RV Pasal 8 Nomor 3 yang meliputi:
1. Identitas Para Pihak
Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan
gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak
menyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak
ada. Tentang penyebutan identitas dalam gugatan, sangat sederhana sekali. Tidak
seperti yang disyaratkan dalam surat dakwaan dalam perkara pidana yang diatur
dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP (meliputi nama lengkap, agama, tempat

3
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama
dan pekerjaan tersangka).
Tidak seluas itu syarat identitas yang harus disebut dalam surat gugatan. Bertitik
tolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus dicantumkan
cukup memadai sebagai dasar untuk :
- Menyampaikan panggilan, atau
- Menyampaikan pemberitahuan.
Dengan demikian, oleh karena tujuan pencantuman agar dapat disampaikan
panggilan atau pemberitahuan, identitas wajib disebut, cukup meliputi :
- Nama Lengkap
Nama terang dan lengkap, termasuk gelar atau alias (jika ada), maksud
mencantumkan gelar atau alias, untuk membedakan orang tersebut dengan
orang lain yang kebetulan namanya sama pada lingkungan tempat tinggal.3
- Alamat atau Tempat Tinggal
- Penyebutan identitas lain, tidak imperative
2. Posita (Fundamentum petendi)
Mengacu pada Rv Pasal 8 Nomor 3 menyebutkan pula posita dan petitum sebagai
pokok yang harus dipenuhi dalam surat gugatan. Posita merupakan dalil-dalil
konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-
alasan daripada tuntutan. Uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-
peristiwa harus dijelaskan secara runtut dan sistematis sebab hal tersebut
merupakan penjelas duduknya perkara sehingga adanya hak dan hubungan hukum
yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan.
Secara garis besar dalam posita harus memuat antara lain:
a. Objek perkara yaitu mengenai hal apa gugatan yang akan diajukan.
b. Fakta-fakta hukum yaitu hal-hal yang menimbulkan sengketa.
c. Kualifikasi perbuatan tergugat yaitu suatu perumusan mengenai perbuatan
materiil maupun moral dari tergugat yang dapat berupa perbuatan melawan
hukum.
d. Uraian kerugian yang diderita oleh penggugat.
3. Petitum
Petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat agar diputuskan
oleh hakim dalam persidangan. Petitum ini harus dirumuskan secara jelas, singkat
dan padat sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya atau tidak sempurna dapat
mengakibatkan tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim.
Dalam praktik peradilan petitum dibagi kedalam tiga bagian, yaitu:
1. Tuntutan pokok atau tuntutan primer

3 . Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : Citra


Aditya Bakti, 1992).,hlm 41

4
Merupakan tuntutan sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam posita.
2. Tuntutan tambahan.
Merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntuntan pokok.
3. Tuntutan subsidier atau pengganti.
Merupakan tuntutan yang diajukan penggugat untuk mengantisipasi
kemungkinan tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima oleh
hakim.4

C. Perubahan Gugatan

Permasalahannya selanjutnya mengenai gugatan adalah perubahan gugatan.


Apakah penggugat boleh melakukan perubahan gugatan ? Pertanyaan ini mengandung
-dua sisi kepentingan. Satu segi, dalam kenyataan praktik, dibutuhkan perubahan
gugatan agar tidak mengalami cacat formil (obscuur libel). Pada segi lain,
membolehkan perubahan gugatan, dapat mendatangkan kerugian kepada tergugat.
Bahkan bisa menimbulkan proses pemeriksaan terhambat yang dapat merugikan
kepentingan tergugat.

Sehubungan dengan ini, jika perubahan gugatan dibenarkan, perlu dilindungi


kepentingan para pihak secara seimbang dan proporsional, sehingga terbina suatu
kerangka tata tertib, bahwa kebolehan penggugat melakukan perubahan gugatan pada
satu segi, tidak merugikan kepentingan tergugat membela diri pada segi lain. Keadaan
yang seperti itulah yang dibahas pada bagian ini, berisi penjelasan tentang ruang
lingkup perubahan gugatan yang dibenarkan hukum dengan mempergunakan Pasal
127 Rv dan praktik peradilan sebagai sumber.

a. Syarat Perubahan Gugatan

Pasal 127 Rv, tidak menyebut syarat formil mengajukan perubahan gugatan.
Meskipun demikian ternyata praktik peradilan menentukan syarat formil keabsahan
pengajuan perubahan. MA dalam buku pedoman5 yang diterbitkannya, memuat
persyaratan formil.

4 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan


Agama, (Jakarta: Kencana, 2008)hlm. 29-34.

5 . Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, hlm 123, angka 26

5
a). Pengajuan Perubahan pada Sidang yang Pertama Dihadiri Tergugat

Syarat formil ini, ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang menyatakan :

- Diajukan pada hari sidang pertama, dan

- Para pihak hadir

Memperhatikan ketentuan tersebut, penggugat tidak dibenarkan mengajukan


perubahan gugatan:

- Di luar hari sidang, dan

- Juga pada sidang yang tidak dihadiri tergugat.

Syarat ini beralasan, demi melindungi kepentingan tergugat membela diri. Jika
perubahan dibenarkn di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat ; dianggap sangat
merugikan kepentingan tergugat.

b. Memberi Hak kepada Tergugat Menanggapi

Syarat formil ini pun digariskan oleh MA, yang menyatakan :

- Menanyakan kepada tergugat tentang peubahan itu,

- Serta memberi hak dan kesempatan untuk menanggapi dan membela kepentingannya.

Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Subekti 6, yang menyatakan,
bahwa pemberian kesempatan kepada tergugat membela diri bukan menjadi syarat
formil.

c. Tidak Menghambat Acara Pemeriksaan

Syarat ini dikemukakan Asikin dalam cacatan perkara No. 943 K/Pdt/1984.
Ditegaskan, kebolehan perubahan gugatan tidak menghambat acara pemeriksaan
perkara.

Syarat ini dapat disetujui, meskipun agak sulit mengontruksikannya secara


konkrit. Akan tetapi secara umum dapat dikemukakan, apabila perubahan itu
sedemikian rupa, sehingga hakim memperkirakan, secara objektif perubahan

6 . Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Bina Cipta, 1977)., hlm 67

6
mengakibatkan proses tahap replik-duplik yang sudah berlangsung terpaksa
diperpanjang, perubahan dikategorikan mempersulit dan menghambat jalannya
pemeriksaan. Akan tetapi perlu diingat, syarat ini harus diterapkan secara cermat dan
kasuistik.

D. Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan

Mengenai batas waktu pengajuan perubahan muncul beberapa versi.

a. Sampai Saat Perkara Diputus

Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv
yang menyatakan, penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat
perkara diputus. Berarti, selama persidangan berlangsung, penggugat berhak
melakukan dan mengajukan perubahan gugatan. Sebagaimana yang diungkapkan
Asikin, mendukung penerapan yang demikian.

Pada cacatan yang diberikan pada Putusan MA No 943 K/Sip/1987, 1987, 19


September 1985, terdapat penegasan yang memperbolehkan perubahan gugatan
selama persidangan. Kita kurang setuju dengan ketentuan batas jangka waktu ini.
Pemberian hak melakukan perubahan gugatan sepanjang atau selama proses
pemeriksaan, apalagi sampai putusan dijatuhkan ; dianggap merupakan kesewenanga-
wenangan tergugat. Dari segi lain, kebolehan yang demikian, secara nyata dan
objektif dapat menghambat penyelesaian perkara. Misalnya, pada saat putusan hendak
dijatuhkan, penggugat mendadak mengajukan perubahan gugatan yang memerlukan
pembelaan dari pihak penggugat. Tindakan tersebut jelas menghambat penyelesaian
serta mengandung kesewenang-wenangan dari pihak penggugat. Oleh karena itu,
sangat beralasan memodifikasi ketentuan itu ke arah jangka waktu yang layak dan
realistik.

b. Batas Waktu Pengajuan pada Hari Sidang Pertama

Penggarisan batas jangka waktu pengajuan hanya boleh dilakukan pada hari
sidang pertama, ditegaskan dalam Buku Pedoman yang diterbitkan MA. 7 Selain harus
diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir. Ditinjau dari
segi hukum, perubahan gugatan bermaksud untuk memperbaiki dan menyempurnakan

7 . Ibid.,hlm. 123

7
gugatan. Oleh karena itu, dianggap tidak realistis membatasinya hanya pada sidang
pertama. Terkadang perbaikan atau perubahan itu, baru disadari setelah tergugat
menyampaikan jawaban. Oleh karena itu, pedoman batas waktu yang digariskan MA
tersebut, dianggap terlampau restriktif. Sangat menghambat hak penggugat
melakukan perubahan gugatan.

c. Sampai pada Tahap Replik-Duplik

Kalibarang batas jangka waktu pengajuan perubahan yang dianggap layak dan
memadai menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak adalah sampai tahap
replik-duplik berlangsung. Praktik peradilan cenderung menerapkannya. Misalnya,
dalam Putusan MA No. 546 K/Sep/1970, menggariskan perubahan gugatan tidak
dapat dibenarkan apabila tahap pemeriksaan sudah selesai, konklusinya sudah
dikemukakan dan kedua belah pihak telah memohon putusan.

Memperhatikan variabel batas jangka yang dikemukakan, terdapat dua


pembatasan yang saling bertolak belakang secara ekstrim :

- Batas jangka waktu yang ditentukan pada Pasal Rv, dianggap terlampau leluasa
memberi hak kepada penggugat melakukan perubahan, mulai dari proses persidangan
sampai putusan belum dijatuhkan;

- Sebaliknya, pada batas waktu yang digariskan MA dalam Buku Pedoman, dianggap
terlampau resriktif atau sempit, hanya memberi hak pada hari sidang pertama.

Sehubungan dengan sifat ekstrimitas yang melekat pada kedua penggarisan


tersebut, dihubungkan dengan segala kelemahan yang terkandung di dalamnya,
kurang tepat untuk menerapkannya. Lebih baik menerapkan tenggang waktu yang
bersifat moderat. Membolehkan mengajukan perubahan tidak hanya terbatas pada
sidang pertama, tidak juga dibenarkan selama proses pemeriksaan berlangsung, tetapi
dibolehkan sampai proses pemeriksaan memasuki tahap replik dan duplik.

E. Penggabungan Gugatan

Secara teknis mengandung pengertian penggabungan beberapa gugatan dalam


satu gugatan. Disebut juga kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering, yaitu

8
penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan. 8 Pada
prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri sendiri. Masing-masing gugatan diajukan
dalam surat gugatan yang terpisah secara tersendiri, dan diperiksa dan diputus dalam
proses pemeriksaan dan putusan yang terpisah dan berdiri sendiri. Akan tetapi dalam
hal dan batas-batas tertentu, dibolehkan melakukan penggabungan gugatan dalam satu
surat gugatan, apabila antara satu gugatan dengan gugatan yang lain terdapat
hubungan erat atau koneksitas.9

Hukum positif tidak mengatur penggabungan gugatan. Baik HIR maupun


RBG, tidak mengaturnya. Begitu juga Rv, tidak mengatur secara tegas, dan tidak pula
melarang. Yang dilarang Pasal 103 Rv, hanya terbatas pada penggabungan atau
kumulasi gugatan antara tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik.

Meskipun HIR dan RBG maupun Rv tidak mengatur, peradilan sudah lama
menerapkannya. Supomo menunjukkan salah satu putusan Road Justisie Jakarta pada
tanggal 20 juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan, dengan
pertimbangan antara gugatan-gugatan itu, terdapat hubungan erat (innerlijke
samenhang).

Pendapat yang sama, ditegaskan dalam Putusan MA No. 575 K/Pdt/1983 10


yang menjelaskan antara lain :

Meskipun Pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukun acara yang diperhatikan
hanya HIR, namun untuk mewujudkan tercapai process doelmatigheid, dimungkinkan
menerapkan lembaga dan ketentuan acara di luar yang diatur dalam HIR, asal dalam
penerapannya berpedoman kepada ukuran:

1. Benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan.

2. Menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan.

8 Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta : Pradnya


Paramita, 1993).,hlm 27.

9. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.,hlm 125

10 . Tgl 20-6-1984, jo. PT Tanjung Karang No. 36/1982 tgl. 31-8-1983, jo. PN
Tanjung Karang No. 35/1981, tgl. 24-3-1982.

9
Berdasarkan alasan tersebut, boleh dilakukan penggabungan (samenvoging)
atau kumulasi objektif maupun subjektif, dengan syarat terdapat innerlijke
samenhangen atau koneksitas erat diantaranya.

Kumulasi ialah gabungan beberapa gugatan hak atau gabungan beberapa pihak
yang mempunyai akibat hukum yang sama, dalam satu proses perkara. Ada beberapa
macam kumulasi11 :

1. Kumulasi subjektif, ialah jika dalam satu surat gugatan terdapat beberapa orang
penggugat atau beberapa orang tergugat.

2. Kumulasi objektif, ialah jika penggugat mengajukan beberapa gugatan kepada


seorang tergugat.

3. Intervensi, ialah ikut sertanya pihak ke tiga ke dalam suatu proses perkara. Ada
tiga macam intervensi:

a. Voeging, masuknya pihak ke tiga ke dalam suatu untuk membantu salah satu
pihak menghadapi pihak lawan. Dalam hal ini pihak ke tiga berkedudukan
sebagai penggugat dan tergugat.

b. Vrijwaring, ialah pihak ke tiga ditarik oleh tergugat dengan maksud agar ia
menjadi penanggung bagi tergugat.

c. Tussencomst, ialah pihak ke tiga masuk dalam satu proses perkara yang sedang
berjalan untuk membela kepentingannya sendiri. Dengan demikian intervensi
di sini berhadapan dengan penggugat dan tergugat secara langsung, tetapi
dibolehkan sampai proses pemeriksaan memasuki tahap replik dan duplik.

F. Pencabutan Gugatan

Salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses


berperkara di depan pengadilan adalah pencabutan gugutan. Pihak penggugat
mencabut gugatan sewaktu atau selama proses pemeriksaan berlangsung. Alasan
pencabutan sangat bervariasi. Diantaranya disebabkan gugatan yang diajukan

11 . H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta :


Pustaka Pelajar, 2008).,hlm 44

10
tidak sempurna. Atau dasar dalil gugatan tidak kuat atau dalil gugatan
bertentangan dengan hukum dan sebagainya.12

Pencabutan merupakan hak penggugat, sama halnya dengan pengajuan


gugatan merupakan hak melekat pada diri penggugat. Satu sisi hukum memberi
hak kepadanya mengajukan gugatan, apabila hak dan kepentingannya dirugikan
oleh pihak lain. Pada sisi lain wajar dan layak pula memberi hak kepadanya untuk
mencabut gugatan apabila dianggapnya hak dan kepentingannya tidak dirugikan.

Cara Pencabutan

Cara pencabutan, berpedoman pada ketentuan Pasal 272 Rv sebagai


rujukan. Ajakan mempergunakan Pasal 272 Rv sebagai rujukan, bertujuan untuk
memiliki landasan penerapan yang sama antara pencari keadilan dengan peradilan.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 272 Rv, terdapat beberapa hal yang perlu
dijelaskan dalam pelaksanaan pencabutan gugatan.13

a. Yang Berhak Melakukan Pencabutan

Agar pencabutan sah menurut hukum, harus dilakukan oleh orang yang
berhak. Menurut Pasal 272 Rv yang berhak melakukan pencabutan adalah
sebagai berikut:

1) Penggugat sendiri secara Pribadi

Menurut hukum, penggugat sendiri yang paling berhak melakukan


pencabutan, karena dia sendiri yang paling mengetahui hak dan kepentingannya
dalam kasus yang bersangkutan.

2) Kuasa yang Ditunjuk Penggugat

12 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : Citra


Aditya Bakti, 1992).,hlm 72

13 . M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008).,hlm


84

11
Pencabutan juga dapat dilakukan Kuasa yang ditunjuk penggugat
berdasarkan surat kuasa khusus yang digariskan Pasal 123 HIR, dan SEMA No. 1
Tahun 1971, dan di dalamnya dengan tegas diberi penguasaan untuk mencabut.
Atau dapat juga dituangkan dalam surat kuasa tersendiri yang secara khusus
memberi penegasan untuk melakukan pencabutan gugatan.

Pencabutan yang dilakukan Kuasa yang tidak diberi wewenang untuk itu
oleh penggugat tidak sah (ilegal), dan tindakan Kuasa tersebut dapat dianggap
menyalagunakan wewenang (abuse of authority) atau pelampauan batas
wewenang (exceeding its power). Tindakan Kuasa yang demikian dapat
dikualifikasi perbuatan melawan hukum (onrechemtige dead) berdasarkan Pasal
1365 KUH Perdata.

b. Pencabutan Gugatan yang belum Diperiksa Dilakukan dengan Surat

c. Pencabutan Gugatan yang Sudah Diperiksa dilakukan dalam Sidang

Akibat Hukum Pencabutan

Pasal 272 Rv mengatur akibat hukum pencabutan gugatan. Ketentuan pasal


ini dapat dijadikan pedoman dengan cara memodifikasi dengan kebutuhan
perkembangan. Akibat hukum pencabutan gugatan yang dianggap penting
diperhatikan, dapat dijelaskan hal-hal berikut :

- Pencabutan mengakhiri perkara


- Tertutup segala upaya hukum bagi para pihak
- Para pihak kembali kepada keadaan semula
- Biaya perkara dibebankan kepada penggugat

BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan

Dari uraian dalam pembahasan, dapat disimpulkan beberapa sub pokok


pembahasan yang sesuai dengan rumusan masalah dalam makalah ini.

12
Surat gugatan adalah yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan
yang berwenang, yang berisi tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu
sengketa, dan merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian
kebenaran suatu hak.

Adapun surat gugatan, harus memenuhi syarat formil, yakni menurut


ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya
surat gugatan tersebut diajukan (dialamatkan) kepada PN sesuai dengan
kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR.

Perubahan gugatan dapat dilakukan, dan dapat dibenarkan jika perubahan


tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang terakomadasi dalam Pasal 127 Rv,
sehingga terwujud perlindungan hukum terhadap kepentingan para pihak secara
seimbang dan proporsional.

Penggabungan gugatan juga disebut akumulasi gugatan, yakni penggabungan


beberapa gugatan dalam satu gugatan. Penggabungan gugatan bisa dilakukan,
walaupun secara yuridis teks undang-undang tidak ada yang mengatur, namun
dalam praktik penerapan di peradilan dilegalkan penggabungan gugatan dengan
pertimbangan ada hubungan erat atau koneksitas diantara gugatan tersebut,
sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo yang berdasar salah satu putusan Road
Justisie Jakarta, 20 juni 1939, yang dikuatkan dengan putusan MA No. 575
K/Pdt/1983.

Pada dasarnya pencabutan gugatan adalah hak penggugat, sama halnya dengan
pengajuan gugatan yang merupakan hak yang melekata pada diri penggugat.
Adapun regulasinya beroerentasi pada ketentuan Pasal 272 (tentang cara
pencabutan gugatan), sebagai rujukan, yang bertujuan untuk memiliki landasan
penerapan yang sama antara pencari keadilan dan peradilan.

DAFTAR PUSTAKA

Arto, H. A Mukti. 2008. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harahap, M. Yahya.2008. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

13
Manan, Abdul. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana.

Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.

Soepomo. 1993. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta:Pradnya


Paramita.

Sutanto, Retno Wulan dan Iskandar Oriep Karta Winata. 2005. Hukum Acara Perdata.
Bandung: Mandar Maju.

Subekti. 1977. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Bina Cipta.

14

Anda mungkin juga menyukai