Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan modern ini telah kita rasakan dan kita lihatkan tentang arus
globalisasi dan moderinsasi yang telah melahirkan berbagai dampak yang luar biasa
dalam kehidupan manusia. Khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam hal ini manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt, yang diciptakan secara
sempurna yang dikarunia akal pikiran untuk berfikir mampu memecahkan permasalahan
yang dihadapinya.
Kesehatan mental selalu mempersoalkan mental yang dimilki seseorang apakah
bermasalah ataukah memiliki kehidupan rohani yang sehat. Hal ini sangat penting dalam
kehidupan sehari hari yang selalu bersinggungan dengan masyarakat. Berbagai tingkah
laku masyarakat yang beraneka ragam mendorong para ahli ilmu jiwa untuk menyelidiki
apa penyebab perbedaan tingkah laku orang-orang dalam kehidupan bermasyarakat
sekalipun dalam kondisi yang sama.
Kematangan dan kesehatan mental berhubungan erat antara satu sama lainnya dan
saling tergantung. Apabila kita bicara tentang keduanya secara terpisah maka hanya
sekadar untuk memudahkan penganalisaannya. Karena sangat sulit untuk membanyangkan
seseorang yang matang dari segi sosial dan tidak matang dari segi kejiwaan.
Dalam makalah yang sederhan ini, penulis nanti akan membahas tentang Wawasan
Tentang Teori, Konsep, dan Prinsip Kesehatan Mental.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Paradigma Kesehatan Mental Secara Ilmiah


1. Pengertian Kesehatan Mental
Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, manusia menyadari adanya problem
yang mengganggu kejiwaannya, oleh karena itu sejarah manusia juga mencatat adanya
upaya mengatasi problema tersebut. Upaya- upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang
irasional, ada juga yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah.1 Pada masyarakat
Barat modern atau masyarakat yang mengikuti peradaban Barat yang sekular, solusi yang
ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan
pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan mental. Sedangkan pada masyarakat Islam,
karena mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya telah mengalami problem
psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih
bersifat religius spiritual, yakni tasawuf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa
manusia itu akan memperoleh kebahagiaan pada zaman apa pun, jika hidupnya bermakna.2
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal,
jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan
kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan
kesehatan.3 Namun demikian para ahli belum ada kesepakatan terhadap batasan atau
definisi kesehatan mental (mental healt). Hal itu disebabkan antara lain karena adanya
berbagai sudut pandang dan sistem pendekatan yang berbeda. Dengan tiadanya kesatuan
pendapat dan pandangan tersebut, maka menimbulkan adanya perbedaan konsep kesehatan
mental. Lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya perbedaan implementasi dalam
mencapai dan mengusahakan mental yang sehat. Perbedaan itu wajar dan tidak perlu
merisaukan, karena sisi lain adanya perbedaan itu justru memperkaya khasanah dan

1 Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Quran,
(Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 13
2 Ibid, hlm. 14
3 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhui Atas Berbagai Persoalan
Umat, (Bandung; PT. Mizan Pustaka anggota IKAPI, 2003), hlm. 181.

2
memperluas pandangan orang mengenai apa dan bagaimana kesehatan mental.4 Sejalan
dengan keterangan di atas maka di bawah ini dikemukakan beberapa rumusan kesehatan
jiwa, antara lain:
Pertama, Musthafa Fahmi, sesungguhnya kesehatan jiwa mempunyai pengertian dan
batasan yang banyak. Di sini dikemukakan dua pengertian saja; sekedar untuk mendapat
batasan yang dapat digunakan dengan cara memungkinkan memanfaatkan batasan tersebut
dalam mengarahkan orang kepada pemahaman hidup mereka dan dapat mengatasi
kesukarannya, sehingga mereka dapat hidup bahagia dan melaksanakan misinya sebagai
anggota masyarakat yang aktif dan serasi dalam masyarakat sekarang. Pengertian pertama
mengatakan kesehatan jiwa adalah bebas dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan
kejiwaan. Pengertian ini banyak dipakai dalam lapangan kedokteran jiwa (psikiatri).
Pengertian kedua dari kesehatan jiwa adalah dengan cara aktif, luas, lengkap tidak
terbatas; ia berhubungan dengan kemampuan orang untuk menyesuaikan diri dengan
dirinya sendiri dan dengan masyarakat lingkungannya, hal itu membawanya kepada
kehidupan yang sunyi dari kegoncangan, penuh vitalitas. Dia dapat menerima dirinya dan
tidak terdapat padanya tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian sosial, dia juga
tidak melakukan hal-hal yang tidak wajar, akan tetapi ia berkelakuan wajar yang
menunjukkan kestabilan jiwa, emosi dan pikiran dalam berbagai lapangan dan di bawah
pengaruh semua keadaan.5
Kedua, pakar lainnya, Zakiah Daradjat, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru
besar untuk Kesehatan Jiwa di IAIN "Syarif Hidayatullah Jakarta" (1984) mengemukakan
lima buah rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli. Kelima rumusan itu
disusun mulai dari rumusan- rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih umum,
sehingga dari urutan itu tergambar bahwa rumusan yang terakhir seakan-akan mencakup
rumusan- rumusan sebelumnya.
a. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan
dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini banyak dianut di kalangan
psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari sudut sehat atau sakitnya.

4 Thohari Musnamar, et al, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam,


(Yogyakarta; UII Press, 1992), hlm. XIII.
5 Musthafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, Jilid 1, alih
bahasa, Zakiah Daradjat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 20-22.

3
b. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri,
dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup. Definisi ini
tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang pertama, karena
dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan
diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
c. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh- sungguh antara
fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-
problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin
(konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan,
sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga
menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat ragu- ragu dan
bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.
d. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk
mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada
semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta
terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.6 Definisi keempat ini lebih menekankan
pada pengembangan dan pemanfaatan segala day a dan pembawaan yang dibawa sejak
lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan bagi orang lain dan dirinya
sendiri.
e.Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh- sungguh antara fungsi-
fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan
lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai
hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Definisi ini
memasukkan unsur agama yang sangat penting dan harus diupayakan penerapannya
dalam kehidupan, sejalan dengan penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan
pengembangan hubungan baik dengan sesama manusia.7
Dalam buku lainnya yang beijudul Islam dan Kesehatan Mental, Zakiah Daradjat
mengemukakan, kesehatan mental adalah terhindar seseorang dari gangguan dan penyakit
kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan
kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik)

6 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm. 11-13
7 Ibid.

4
dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan
potensi yang ada padanya seoptimal mungkin.8
Ketiga, menurut M.Buchori, kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang
meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk
mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam
ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan
mengutip H.C. Witherington menambahkan, permasalahan kesehatan mental menyangkut
pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri,
biologi, sosiologi, dan agama.9
Keempat, Kartini Kartono, Jenny Andari mengetengahkan rumusan bahwa mental
hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan
mental/jiwa, bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan
emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan
kesehatan jiwa rakyat. Dengan demikian mental hygiene mempunyai tema sentral yaitu
bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang ditimbulkan
oleh macam-macam kesulitan hidup, serta berusaha mendapatkan kebersihan jiwa, dalam
pengertian tidak terganggu oleh macam-macam ketegangan, kekalutan dan konflik terbuka
serta konflik batin.10
Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan menyesuaikan diri
dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan
di antara mereka ada yang berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang
memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil menggapainya
meskipun telah bekerja keras dan bersabar untuk menggapainya.

2. Ciri-Ciri Kesehatan Mental


Ilmu kesehatan mental (mental hygiene) merupakan salah satu cabang termuda dari
ilmu jiwa yang tumbuh pada akhir abad ke-19 M dan sudah ada di Jerman sejak tahun
1875 M. Namun demikian, sebenarnya para Nabi sejak Nabi Adam as. sampai Nabi

8 Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm. 9.
9 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 154
10 Kartini Kartono, Hygine Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, (Bandung: CV.
Mandar Maju, 1989), hlm. 4.

5
Muhammad saw. telah terlebih dahulu berbicara tentang hakikat jiwa, penyakit jiwa, dan
kesehatan jiwa yang terkandung dalam ajaran agama yang diwahyukan Allah SWT.
Mental mempunyai pengertian yang sama dengan jiwa, nyawa, sukma, roh, dan
semangat. Ilmu kesehatan mental merupakan ilmu kesehatan jiwa yang memasalahkan
kehidupan rohani yang sehat, dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas
psikofisik yang kompleks. Pada abad kedua puluh, ilmu ini berkembang dengan pesatnya
sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern. Kesehatan mental dipandang sebagai
ilmu praktis yang banyak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk
bimbingan dan penyuluhan yang dilaksanakan di rumah tangga, sekolah, kantor dan
lembaga-lembaga maupun dalam kehidupan masyarakat.
Sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, pengertian terhadap kesehatan mental
juga mengalami kemajuan. Sebelumnya, pengertian manusia tentang kesehatan mental
bersifat terbatas dan sempit, terbatas pada pengertian gangguan dan penyakit jiwa. Dengan
pengertian ini, kesehatan mental hanya dianggap perlu bagi orang yang mengalami
gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal kesehatan mental tersebut diperlukan bagi setiap
orang yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan.
Marie Jahoda memberikan batasan yang agak luas tentang kesehatan mental.
Kesehatan mental tidak hanya terbatas pada absennya seseorang dari gangguan kejiwaan
dan penyakitnya. Akan tetapi, orang yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama sebagai
berikut.
a. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat mengenal diri sendiri
dengan baik.
b. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
c. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan tahan
terhadap tekanan- tekanan yang terjadi.
d. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-
kelakuan bebas.
e. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta memiliki empati
dan kepekaan sosial.
f. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya secara baik.11

11 A.F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental, (Jakarta: Penerbit
Amzah, 2000), hlm. 75-77

6
Hanna Djumhana Bastaman merangkum pandangan-pandangan tentang kesehatan
mental menjadi empat pola wawasan dengan masing- masing orientasinya sebagai berikut:
a. Pola wawasan yang berorientasi simtomatis
b. Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri
c. Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi
d. Pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian
Pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap bahwa hadirnya
gejala (symptoms) dan keluhan (compliants) merupakan tanda adanya gangguan atau
penyakit yang diderita seseorang. Sebaliknya hilang atau berkurangnya gejala dan
keluhan-keluhan itu menunjukkan bebasnya seseorang dari gangguan atau penyakit
tertentu. Dan ini dianggap sebagai kondisi sehat. Dengan demikian kondisi jiwa yang sehat
ditandai oleh bebasnya seseorang dari gejala-gejala gangguan kejiwaan tertentu (psikosis)
Kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri. Pola ini berpandangan
bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan unsur utama dari
kondisi jiwa yang sehat. Dalam hal ini penyesuaian diri diartikan secara luas, yakni secara
aktif berupaya memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau memenuhi
kebutuhan- kebutuhan pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Penyesuaian diri yang
pasif dalam bentuk serba menarik diri atau serba menuruti tuntutan lingkungan adalah
penyesuaian diri yang tidak sehat, karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri atau
menjadi mudah terombang-ambing situasi.12
Ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi. Bertolak dari
pandangan bahwa manusia adalah makhluk bermartabat yang memiliki berbagai potensi
dan kualitas yang khas insani (human qualities), seperti kreatifitas, rasa humor, rasa
tanggungjawab, kecerdasan, kebebasan bersikap, dan sebagainya. Menurut pandangan ini
sehat mental terjadi bila potensi-potensi tersebut dikembangkan secara optimal sehingga
mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Dalam mengembangkan
kualitas-kualitas insani ini perlu diperhitungkan norma- norma yang berlaku dan nilai-nilai
etis yang dianut, karena potensi dan kualitas-kualitas insani ada yang baik dan ada yang
buruk.

12 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi


Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 133-135.

7
Keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian. Berpandangan bahwa
agama/kerohanian memiliki daya yang dapat menunjang kesehatan jiwa. kesehatan jiwa
diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, serta menerapkan
tuntunan-tuntunan keagamaan dalam hidup. Atas dasar pandangan-pandangan tersebut
dapat diajukan secara operasional tolok ukur kesehatan jiwa atau kondisi jiwa yang sehat,
yakni:
a. Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.
b. Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar pribadi yang
bermanfaat dan menyenangkan.
c. Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap, sifat, dan
sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.
d. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, dan berupaya menerapkan tuntunan agama dalam
kehidupan sehari-hari.13
Berdasarkan tolak ukur di atas kiranya dapat digambarkan secara ideal bahwa orang
yang benar-benar sehat mentalnya adalah orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta berusaha secara sadar merealisasikan nilai-nilai agama, sehingga
kehidupannya itu dijalaninya sesuai dengan tuntunan agamanya. Ia pun secara sadar
berupaya untuk mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti bakat, kemampuan,
sifat, dan kualitas-kualitas pribadi lainnya yang positif. Sejalan dengan itu ia pun berupaya
untuk menghambat dan mengurangi kualitas-kualitas negatif dirinya, karena sadar bahwa
hal itu dapat menjadi sumber berbagai gangguan (dan penyakit) kejiwaan.
Dalam pergaulan ia adalah seorang yang luwes, dalam artian menyesuaikan diri
dengan situasi lingkungan tanpa ia sendiri kehilangan identitas dirinya serta berusaha
secara aktif agar berfungsi dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Ada benarnya juga bila orang dengan kesehatan mental yang baik digambarkan sebagai
seseorang yang sehat jasmani-rohani, otaknya penuh dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat,
rohaninya sarat dengan iman dan taqwa kepada Tuhan, dengan karakter yang dilandasi
oleh nilai-nilai agama dan sosial budaya yang luhur. Pada dirinya seakan-akan telah
tertanam dengan suburnya moralitas dan rasa adil dan makmur memberi manfaat dan
melimpah ruah kepada sekelilingnya.14

13 Ibid.
14 Ibid, hlm. 133

8
Tolok ukur dan gambaran di atas tidak saja berlaku pada diri pribadi, tetapi berlaku pula
dalam keluarga, karena keluarga pun terdiri dari pribadi- pribadi yang terikat oleh norma-
norma kekeluargaan yang masing-masing sudah selayaknya berperan serta menciptakan
suasana kekeluargaan yang harmonis dan menunjang pengembangan kesehatan mental.

3. Prinsip dalam Kesehatan Mental


Menurut Schbeiders dalam Notosoedirdjo & Latipun, ada lima belas prinsip yang
harus diperhatikan dalam memahami kesehatan mental. Prinsip ini berguna dalam upaya
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta pencegahan terhadap gangguan-
gangguan mental. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:15
a.Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia, meliputi:
1. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang tidak terlepas dari
kesehatan fisik dan integritas organisme.
2. Untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku manusai
harus sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi yang bermoral, intelektual,
religius, emosional dan sosial.
3. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan pengendalian diri,
yang meliputi pengendalian pemikiran, imajinasi, hasrat, emosi dan perilaku.
4. Dalam pencapaian khususnya dalam memelihara kesehatan dan penyesuaian
kesehatan mental, memperluas tentang pengetahuan diri sendiri merupakan suatu
keharusan
5. Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat, yang meliputi: peneeimaan
diri dan usaha yang realistik terhadap status atau harga dirinya sendiri.
6. Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan terus menerus
memperjuangkan untuk peningkatan diri dan realisasi diri jika kesehatan dan
penyesuaian mental hendak dicapai.
7. Stabilitas mental dan penyesuaian yang baik memerlukan pengembangan terus
menerus dalam diri seseorang mengenai kebaikan moral yang tertinggi, yaitu:

15 Notosoedirdjo & Latipun, Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan, (Jakarta: EGC,
2005), hlm.

9
hukum, kebijaksanaan, ketabahan, keteguhan hati, penolakan diri, kerendahan hati,
dan moral.
8. Mencapai dan memelihara kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada
penanaman dan perkembangan kebiasaan yang baik.
9. Stabilitas dan penyesuaian mental menuntut kemampuan adaptasi, kapasitas untuk
mengubah meliputi mengubah situasi dan mengubah kepribadian.
10.Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan perjuangan yang terus menerus
untuk kematangan dalam pemikiran, keputusan, emosionalitas dan perilaku.
11.Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan belajar mengatasi secara efektif dan
secara sehat terhadap konflik mental dan kegagalan dan ketegangan yang
ditimbulkannya.
b. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya, meliputi:
1. Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada hubungan interpersonal yang
sehat, khususnya didalam kehidupan keluarga.
2. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada kecukupan dalam
kepuasa kerja. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan sikap yang realistik
yaitu menerima realitas tanpa distorsi dan objektif.
c. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi:
1. Stabilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesadaran atas realitas
terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada setiap tindakan
yang fundamental.
2. Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang konstan antara
manusia dengan Tuhannya.16

B.Konsep Kesehatan Mental Dari Berbagai Perspektif


1. Kesehatan mental Perspektif Abraham Maslow
Pandangan Maslow mengenai manusia bahwa manusia dengan optimis, memiliki
kecenderungan alamiah untuk bergerak menuju aktualisasi diri. Manusia memiliki
kebebasan untuk berkehendak, memilki kesadaran untuk memilih serta memiliki harapan.
Maslow percaya bahwa kesempurnaan manusia tidak akan tercapai, tetapi ia menyakini
bahwa manusia mampu untuk terus berkembang dengan luar biasa. Manusia mempunyai

16 Ibid.

10
potensi untuk menjadi aktual, karena kebanyakan manusia akan berjuang hidupnya
untuk memperoleh makan,rasa aman, ataupun cinta.17
Kesehatan mental yang penulis buat mengenai pendekatan Abraham Maslow yang
merupakan pendekatan mental mengenai kebutuhan manusia. Sebelum lebih jauh
membahas kesehatn mental menurut Abraham Maslow. Akan sedikit paparkan tentang
kebutuhan manusia menurut Maslow. Kebutuhan manusia dapat diartikan sesuatu yang
diinginkan atau diperlakukan dalam kehidupan manusia. Ada kebutuhan berti ada
kekurangan kebutuhan tersebut.18
Kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow terdiri dari:
a. Kebutuhan biologis
b. Kebutuhan psikologis
c. Kebutuhan sosiologis
d. Kebutuhan metafisis
Kebutuhan biologis berarti sesuatu yang diperlukan untuk hidup, kebutuhan
fisiologis sesuatu yang diperlukan untuk tumbuhnya organisme terutama diawal
kehidupan sehingga mencapai bentuk yang khas. Untuk mencapai fisik yang sehat
membutuhkan berbagai sarana yang seimbang.
Kebutuhan psikologis berarti yang diushakan individu untuk memenuhi dorongan-
dorongan yang sesuai dengan keingianan, selera, sehingga, memuaskan jiwa/mentalnya.
Kebutuhan sosiologis berarti manusia sebagai makhluk individu sebagai makhluk sosia,
maka terjadi interaksi sosial, saling membutuhkan tolong menolong, bersahabat, bercinta,
mereka saling mengutamkan kerukunan. Bagi Individu yang sehat mentalnya dalam
berinteraksi menerima pengaruh-pengaruh secara selektif, bahkan dapat memberi andil
dalam menegakkan kerukunan yang positif dan inovatif.
Kebutuhan metafisis berarti manusia mempunyai sifat dinamis, otonomi
kemerdekaan. Dengan kemampuan itu manusia membuat kemungkinan masa
mendatang, membuat rencana yang berarti. Empat kebutuahan itu dalam pelaksanakanya
jalin-menjalin yang mempengaruhi pembentukan kepribadian.

17 Dede Rahmat Hidayat, Psikologi Kepribadian Dalam Konseling, (Bogor: Ghalia


Indonesia, 2011), hlm. 165
18 Siti Sundari, Kesehatan Mental Dalam Kehidupan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005), hlm.
28

11
Berkenaan dengan pribadi normal dan sehat, Dr. Kartini kartono mengutip principles
of Abnormal Psychology karangan Maslow dan Mittlema, yaitu sebagai berikut:
a. Memiliki rasa aman (sense of security) yang tepat, mamapu berhubungan orang lain
dalam bidang kerja, pergaulan, dan dalam lingkungan keluarga.
b. Memiliki penilaian (self Evaluation) dan wawasan diri yang rasional dengan harga diri
yang berlebihan, memilki kesehatan secara moral dan tidak dihinggapi rasa bersalah.
c. Mempunyai spontanitas dan emosional yang tepat. Dia mamapu menjalin relasi yang
erat, kuat dan lama seperti persahabatan komunikasi sosial dan menguasai diri sendiri.
Penuh tenggang rasa terhadap orang lain.
d. Mempunyai kontak dengan realtas secara efisien tanpa ada fantasi dan angan-angan
yang berlebihan.
e. Memilki dorongan dan nafsu jasmaniah yang sehat dan mamapu memuaskannya
dengan cara sehat, namun tidak dipermudak nafsu sendiri.
f. Mempunyai pengetahuan diri yang cukup dengan memiliki motif hidup sehat dan
kesadaran yang tinggi.
g. Memilki tujuan hidup yang tepat, wajar, dan realistis sehingga bisa dicapai dengan
kemamapuan sendiri serta memiliki keuletan dalam mengejar tujuan hidupnya agar
bermanfaat bagi dirisendiri maupun bagi masyarakat pada umumunya.
h. Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidup dalam mengolah dan menerima
pengalamnay dengan sikap luwes.
i. Memiliki kesanggupan untuk mengekang tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan
dari kelompoknya sebab dia memeiliki kesamaan kebutuhan dengan orang lain.
j. Memiliki sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompok dan kebudayaan.
k. Memeiliki integritas dalam kepribadianya, yaitu kebulatan jasmaniah dan rohaniahnya.
Sehingga Kesehatan mental menurut Maslow adalah pribadi yang sehat adalah
pribadi yang tingkat kebutuhanya terpenuhi baik kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa
aman, kebutuhan ingin memiliki dan cinta, kebutahan akan penghargaan dan kebutuhan
akan aktualisasi diri
Kebutuhan manusia itu sangat kompleks, namun dapat dicermati dari macamnya.
Hierarki kebutuhan diajukan oleh tokoh psikologi humanistik yaitu Abraham H Maslow.
Pada dasarya Maslow membagi kebutuhan manusia tediri atas: pertama,kebutuahan
timbul karena adanya kekurangan, pemenuhan kebutuhan ini pada umumnya tergantung

12
apada orang lain. Pemenuhan kebutuhan ini dimulai dari tingkat terbawah, bila berhasil
akan dilanjutkan keperingkat yang makin atas. Untuk memenuhi tahap demi tahap
memerlukan keshatan mental yang sehat, ulet, dan gigih. Jadi tidak semua individu meraih
tujuh tahapan melainkan pencapaian pemenuhan kebutuhan itu dipenagaruhi segala
kemamapuan yang dimiliki. Kemamapuan mental, ketrampilan, keuletan dan lain-lain.
Hierarki kebutuhan Maslow

2. Kesehatan Mental dalam perspektif Agama Islam


Mental mempunyai pengertian yang sama dengan jiwa, nyawa, sukma, roh dan
semangat. Prof.Dr. Hj Zakiyah Darajat, mengartikan kesehatan mental adalah terhindarnya
orang dari gejala-gejala pcnyakit jiwa. Dengan demikian dapat diartikan bahwa orang yang
sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari segala gangguan dan penyakit jiwa.
Banyak teori yang dikemukan oleh ahli jiwa tentang kesehatan mental, misalnya
teori humamisme. Sungguhpun demikian teori tersebut memiliki batasan-batasan dan tidak
menyentuh seluruh dimensi (aspek) dan aktivitas kehidupan manusia sebagai makhluk
multidimensional dan multipotensial. Manusia sebagai makhluk multidimensional setidak-
tidaknya memiliki dimensi jasmani, rohani, agama, akhlak, sosial, akal, dan seni (estetika).
Sedangkan sebagai makhluk multi potensial manusia memiliki potensi yang amat banyak
yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya yang dalam Islam terkandung dalam asma
ulhusna. Salah satunya adalah agama.
Islam memiliki konsep tersendiri dan khas tentang kesehatan mental. Pandangan
Islam tentang kesehatan jiwa berdasarkan atas prinsip keagamaan dan pemikiran falsafat
yang terdapat dalam ajaran-ajaran Islam.
Menurut pandangan Islam orang sehat mentalnya ialah orang yang berperilaku,
berfikir dan persaanya mencerminkan sesuai dengan ajaran Islam.
Adapun al-Ghazali mengistilahkan kesehatan jiwa itu dengan tazkiyat al nafs yang artinya
identik dengan iman dan takwa sebagai yang telah dijelaskan. Ia mengartikan tazkiyat al
nafs itu dengan ilmu penyakit jiwa dan sebab musababnya, serta ilmu tentang pembinaan
dan pengembangan hidup kejiwaan manusia, suatu pengertian yang identik dengan
kesehatan jiwa.

13
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam Islam sudah ditunjukkan secara jelas
dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas tentang ketenangan dan
kebahagiaan






Artinya : Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka
kerjakan. (QS An Nahl 16:97)

Pengertian tersebut tidak terbatas pada konsepnya pada gangguan dan penyakit
kejiwaan serta perawatan dan pengobatannya, tetapi juga meliputi pembinaan dan
pengembangan jiwa manusia setinggi mungkin menuju kesehatan dan kesempurnaannya
sesuai dengan arti kata tazkiyat itu sendiri dalam pendidikan al-Quran. Dengan demikian
kesehatan jiwa itu juga identik bagi al-Ghazali dengan keimanan dan ketakwaan dalam arti
tazkiyat al nafs. Dari uraian yang telah dikemukakan di atas dapat ditegaskan bahwa iman
dan takwa memiliki relevansi yang sangat erat sekali dengan soal kejiwaan. Iman dan
takwa itulah arti psikologi dan kesehatan mental yang sesungguhnya bagi manusia dalam
Islam.
Dalam pengertian yang amat sederhana mental itu sudah dikenal sejak manusia
pertama (Adam), karena Adam as merasa berdosa yang menyebabkan jiwanya gelisah dan
hatinya sedih. Untuk menghilangkan kegelisahan dan kesedihan tersebut, ia bertaubat
kepada Allah dan taubatnya diterima serta merasa lega kembali. Musthafa Fahmi,
sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud, menemukaan dua pola dalam
kesehatan mental:
Pertama, pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya
seseorang dari gejala neurosis (al-amarah al-ashabiyah) dan psikosis (al-amaradh al-
dzibaniyah).

14
Kedua, pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu
dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya. Pola yang
kedua ini lebih umum dan lebih luas dibandingkan dengan pola pertama19
Indikator Kesehatan Mental Menurut Al-Ghazali didasarkan kepada seluruh aspek
kehidupan manusia baik habl min Allah, habl min al-nas, dan habl min al-alam.
Menurutnya ada tiga indikator yang menantukan kesehatan mental seseorang yaitu:
a. Keseimbangan yang terus menerus antara jesmani dan rohani dalam, kehidupan
manusia.
b. Memiliki kemuliaan akhlak dan kezakiyahan jiwa, atau memiliki kualitas iman dan
takwa yang tinggal
c. Memiliki makrifat tauhid kepada Allah.

19 Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 128

15
BAB III
KESIMPULAN

Kesehatan mental dalam kehidupan manusia merupakan masalah yang amat penting
karena menyangkut soal kualitas dan kebahagian manusia. Tanpa kesehatan yang baik
orang tidak akan mungkin mendapatkan kebahagian dan kualitas sumber daya manusia
yang tinggi.
Hal itu karena yang bisa menjamin kebahagian manusia tersebut adalah kejiwaan,
kesehatan dan keberagamaan yang dimiliki manusia. Tiga faktor tersebut sangat sejalan
sekali dalam mencapai kebahagian hidup manusia didunia dan akhirat, karena kebahagian
yang harus dicapai itu tidak hanya kebahagian didunia melainkan juga kebahagian
diakhirat kelak.
Menurut Pandangan Islam kebahagiaan terbagi kepada dua hal, duniawi dan
ukhrawi. Disini perlu diperhatikan bahwa, menurut pandangan Islam kedua kebahagiaan
itu tidak dapat dipisahkan, sebab kebahagiaan dunia hanyalah jalan kearah kebahagiaan
akhirat, sedangkan kebahagiaan akhirat tidak dapat dicapai tanpa usaha didunia. Namun
memang tumpuan pembicaraan kita disini adalah kebahagiaan di dunia, dan inilah yang
biasanya diberi nama dengan kesehatan mental.

16
DAFTAR PUSTAKA

A.F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental, Jakarta: Penerbit
Amzah, 2000
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Quran,
Jakarta: Paramadina, 2000
Dede Rahmat Hidayat, Psikologi Kepribadian Dalam Konseling, Bogor: Ghalia Indonesia,
2011
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Kartini Kartono, Hygine Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Bandung: CV.
Mandar Maju, 1989
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhui Atas Berbagai Persoalan Umat,
Bandung; PT. Mizan Pustaka anggota IKAPI, 2003
Musthafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, Jilid 1, alih
bahasa, Zakiah Daradjat, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Notosoedirdjo & Latipun, Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan, Jakarta: EGC, 2005
Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 2002
Siti Sundari, Kesehatan Mental Dalam Kehidupan, Jakarta : Rineka Cipta, 2005
Thohari Musnamar, et al, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam,
Yogyakarta; UII Press, 1992
Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1983
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1983

17

Anda mungkin juga menyukai