SPEECH DELAY
I. Konsep Penyakit
I.1 Definisi
Keterlambatan (speech delay) bicara dan berbahasa pada anak,
menggambarkan kemampuan (skill) anak yang berkembang, tetapi pada
tingkat yang lebih lambat dari anak-anak sebayanya sesuai dengan tahapan
tumbuh kembang anak. Masalah keterlambatan bicara dan berbahasa ini, bisa
ringan, sedang, atau berat.
I.2 Etiologi
1. Faktor Genetik
Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang
normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa. Seperti
sindrom Down, sindrom Turner yang disebabkan oleh kelainan
kromosom.
2. Faktor Lingkungan
o Sosial Ekonomi Kurang
Anak dengan keluarga sosial ekonomi kurang akan mengalami
keterlambatan dalam berbahasa karena fasilitas berbahasa dan
pendidikan yang rendah pulan dari orang tua.
o Faktor Psikososial, antara lain: stimulasi, motivasi belajar, hukuman
yang wajar, kelompok sebaya, stres, sekolah, cinta dan kasih sayang,
kualitas interaksi anak-orang tua.
o Faktor Keluarga dan Adat Istiadat, antara lain: pekerjaan/ pendapatan
keluarga, pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam
keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian ayah/ibu, adat-istiadat,
norma-norma, agama, urbanisasi, kehidupan politik dalam masyarakat
yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak, angaran, dll.
(Soetjiningsih, 1998)
Tidak memiliki satu atau 3 kata pada usia 12 bulan dan 15 kata pada usia
18 bulan
Kurang bunyi konsonan di awal atau akhir kata, seperti aya (ayah), uka
(buka)
I.4 Patofisiologi
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk
pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui
fasikulus arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi
pesan tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang
mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini
merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses
enkode dimulai dengan enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode
gramatika dan berakhir pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini
terjadi di otak/pusat pembicara.
I.5 Komplikasi
3. Gangguan phonological
4. Gagap
4. Tes Audiometri
Pemeriksaan audiometri memerlukan : audiometer, ruang kedap suara,
dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang adalah :
a. Audiometri nada murni
b. Audiometri tutur
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan pendengaran. Selama tes, orang yang dites akan mendengar
nada murni yang diberikan pada frekwensi yang berbeda melalui sebuah
headphone atau ear phone. Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi
sampai ambang dengar, titik dimana suara terkecil yang dapat didengar
akan diketahui. Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan
ke bentuk audiogram.
Caranya dengan memberikan nada murni baik melalui earphone (direct to
ear) ataupun speaker (free field test) dan meminta respon balik dari pasien
apakah bunyi terdengar atau tidak. Tesnya tidak menyakitkan namun agak
subyektif dan memerlukan respon aktif dari pasien. Cukup sulit dilakukan
khususnya untuk anak-anak.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien
pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekwensi yang
berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik
berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala desibel. Suara dipresentasikan
dengan earphone (air conduction) dan skull vibrator (bone conduction).
Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya
nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.
Untuk anakanak biasanya dilakukan Play Audiometri yaitu uji
pendengaran dengan bermain dan diperlukan audiologist yang
berpengalaman untuk mendapatkan hasil yang baik. Biasanya untuk
menguji kemajuan/kemunduran fungsi pendengaran terutama pada pasien
gangguan pendengaran.
Sedangkan pada audiometric tutur dites seberapa banyak kemampuan
mengerti percakapan pada intensitas yang berbeda. Tes terdiri dari
sejumlah kata-kata tertentu yang diberikan melalui headphone atau
pengeras suara free field. Kata-kata tersebut harus diulangi oleh orang
yang dites. Setelah selesai, persentase berapa kata yang dapat diulang
dengan benar dapat diketahui.
I.7 Penatalaksanaan
Terapi
1. Terapi wicara
2. Terapi okupasi
Edukasi
3. Konseling
I.8 Pathway
II. Rencana Asuhan Keperawatan
II.1Pengkajian
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa
yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
1) Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien
mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
2) Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan
berupa : sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat
iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat
batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya
tandatanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada
dada, berat badan menurun dan sebagainya.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit seperti TBC
paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini
diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakitpenyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti
Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.
g. Pengkajian Pola Fungsi
Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adanya tindakan medis danperawatan di rumah sakit mempengaruhi
perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan
persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.
Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alcohol dan
penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi timbulnya
penyakit.
h. Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status
nutrisi pasien,
Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama
MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu
makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien
dengan effusi pleura keadaan umumnyalemah.
i. Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai
kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah MRS.
Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak
bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat
pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan
peristaltik otot-otot tractus degestivus.
j. Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi
Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat
adanya nyeri dada.
Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien
dibantu
oleh perawat dan keluarganya.
k. Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat
Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah
yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang
mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
l. Pemeriksaan Fisik
1) Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien
secara
umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan
perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk
mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.
2) Sistem Respirasi
Inspeksi Pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit
mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan
pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax
kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR
cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah
cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya. Bila
cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat
batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke
medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis-
Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas
di punggung.
Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi
duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi
atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda
tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan.
3) Sistem Cardiovasculer
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada
pada ICS 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran
jantung.
Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus
diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu
juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictuscordis.
Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung
terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah
pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau
gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah
jantung serta
adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus
turbulensi darah.
4) Sistem Pencernaan
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau
datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak,
selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau
massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai
normalnya 5-35kali per menit.
Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen,
adakah
massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat
hidrasi pasien, apakah hepar teraba.
Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan
akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor).
5) Sistem Neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga
diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen
atau comma
Pemeriksaan refleks patologis dan refleks fisiologisnya.
Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran,
7) Sistem Integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya
lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan tampak
cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport O2.
Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin,
hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-kasar) serta
turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.
II.3Perencanaan
- Lakukan komunikasi
secara komprehensif baik - Komunikasi yang
verbal maupun non verbal. komprehensif akan
memperbanyak jumlah
stimulasi yang diterima
anak sehingga akan
memperkuat memori
- Berbicara sambil
anak terhadap suatu
bermain dengan alat untuk
kata.
mempercepat persepsi anak
tentang suatu hal.
- Bermain akan
menigkatkan daya tarik
- Berikan lebih banyak
anak sehingga
kata meskipun anak belum
frekwensi dan durasi
mampu mengucapkan
latihan bisa lebih lama.
dengan benar.
- Lakukan sekrening Anak lebih suka
lanjutan dengan mendengarkan kata-
mengggunakan Denver akat dari pada
Speech Test. mengucapkan karena
biasanya kesulitan
dalam mengucapkan.
Whaley and Wong (1997), Pediatric Nursing; Clinical Manual, Mosby Year
Book, Philadelpia.
Whaley and Wong (1996), Nursing Care of Infants and Children, 5 th Edition,
Mosby Year Book, Philadelpia.
Banjarmasin, Maret 2017
Ners Muda,
( ) ( )