Anda di halaman 1dari 5

MK SOSIOLOGI UMUM Tanggal : 19

Februari 2014

Nama : Nuzula Ramadian (B04130131) Ruang :


CCR 2.05

Praktikum I Analisis Realita Sosial

Pascabanjir Jakarta, Mulailah Perbaiki Jalan dan


Saluran
Oleh : Neli Triana

Nama Asisten :
Fitri Hilmi Hikmayanti (I34110010)

Ikhtisar
Hujan lebat terus-menerus menyebabkan banjir di
beberapa tempat, terutama di Jakarta yang sering mengalami
kebanjiran. Yang menjadi masalah adalah harus darimana
mengatasinya. Salah satu cara untuk mengatasi banjir adalah
merelokasi penduduk di bantaran kali. Namun hal itu tentu
memakan waktu lama. Lebih baik hal tersebut dimulai dari
perbaikan jalan dan saluran air. Sepasang infrastruktur tersebut
relatif mudah diperbaiki dan diyakini dapat memberikan
dampak positif yang besar. Contohnya adalah Jalan Fatmawati
yang sudah mulai mengalami perbaikan, sehingga jalan yang
sebelumnya hanya ada dua ruas jalur sekarang sudah menjadi
tiga ruas jalur.

Tetapi pemerintah tidak menerapkan perbaikan seperti di


Jalan Fatmawati dalam perbaikan ruas jalan Jakarta. Selama ini
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu mengeluhkan minimnya
pertumbuhan jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan
penduduk dan kendaraan bermotor. Selain itu, pemerintah
hanya fokus membangun jembatan layang atau jalan tol baru.
Sementara jalan raya yang membutuhkan perbaikan maupun
saluran air tidak diperhatikan. Padahal dengan adanya jalan dan
saluran air yang diperbaiki dapat memberikan dua keuntungan,
yakni orang dapat mengakses jalan dengan mudah serta
tersedia jalan air yang memadai.

Perbaikan jalan dan saluran air akan membuat Jakarta


tertata dengan rapi. Dengan memulai hal tersebut akan mudah
membenahi yang lain. Dengan adanya jaringan jalan yang baik,
menata angkutan umum pun juga lebih mudah. Tersedianya
akses jalan yang memadai akan membuat masyarakat di
pemukiman liar maupun di bantaran kali akan mudah direlokasi.
Mereka bisa pindah ke tempat lain yang memadai tanpa ada
masalah mobilitas sehari-hari.

Sumber: Kompas (11 Februari 2014)

Artikel

KOMPAS.com - Hujan lebat terus-menerus selama lebih


kurang satu bulan terakhir kembali membuka aib kota Jakarta
dan sekitarnya. Kota ini salah urus. Itu fakta yang sudah dari
dulu diketahui publik. Masalahnya, harus dari mana mulai
memperbaiki kesalahan turun-temurun itu?

Merelokasi ratusan ribu jiwa dari permukiman padat di


bantaran kali ke tempat lain sepertinya bakal membutuhkan
waktu bertahun-tahun. Padahal, baru setelah relokasi warga
bantaran selesai, upaya normalisasi yaitu membuat sungai
kembali ke bentuk alaminya dulu, bisa dilakukan. Revitalisasi
situ dan waduk sebagai wadah tandon air pun dipastikan
berjalan lambat karena turut terjegal masalah pembebasan
lahan.

Jadi, mengapa perbaikan kota tidak dimulai dari sesuatu yang


tampak di depan mata, yaitu jaringan jalan dan saluran air.
Keduanya sudah ada wujud fisiknya. Setiap tahun selalu ada
anggaran untuk perbaikan, pembangunan, serta perawatan
jalan dan saluran. Baik jalan yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat, provinsi, maupun kelurahan sudah ada
pembagian kewenangan serta anggarannya dengan jelas.

Sepasang infrastruktur itu relatif mudah diperbaiki, dibangun,


dan diyakini bisa memberi dampak positif besar pada tatanan
kota. Seperti dikatakan pengamat transportasi dan perkotaan
Iskandar Abubakar, infrastruktur jalan adalah tulang punggung
kota. Menata kembali jalan, menjadi alat ampuh untuk
merestrukturisasi kota.

Sebagai contoh, kawasan Jalan Fatmawati di Jakarta Selatan


dalam satu tahun ke depan akan segera berubah total. Untuk
keperluan pembangunan mass rapid transit (MRT), jalan di
kawasan bisnis yang selama berpuluh tahun tak pernah
dilebarkan, kini diperluas. Deretan toko dan tempat usaha milik
warga yang selama ini bebas mengokupasi jalan harus rela
dipangkas lahan parkir dan halaman depannya.

Di Jalan Fatmawati, 40 tahun silam hanya diperuntukkan


kawasan perumahan. Namun, seiring tumbuh besarnya bisnis
warga, kawasan ini justru menjadi pusat bisnis. Jalan Fatmawati
merupakan salah satu penghubung utama antara kawasan di
selatan Jakarta dan pusat kota seperti Blok M dan Sudirman-
Thamrin.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010-


2030, Jalan Fatmawati menjadi pusat bisnis dan terus
dikembangkan di masa depan. Salah satu indikasi
pengembangan kawasan adalah dibangunnya MRT di jalur
tersebut.

Meskipun penolakan dari warga datang bertubi-tubi hingga kini,


atas dasar aturan yang berlaku, kawasan Fatmawati sejak akhir
2013 dibenahi. Walaupun belum final, hasilnya mulai terlihat.
Jalan Raya Fatmawati yang awalnya terdiri dari masing-masing
dua lajur, kini sebagian sudah menjadi tiga lajur.

Satu per satu warga yang memiliki bangunan menyalahi aturan


dibuat salah tingkah. Toko elektronik dekat Pasar Blok A,
misalnya, kini tidak lagi memiliki trotoar dan tempat parkir.
Pintu depannya pas berbatasan dengan jalan aspal. Mau tidak
mau pemilik toko harus segera berbenah atau pelanggan tidak
akan datang karena susah parkir.

Mengapa tidak sekalian memakai pendekatan seperti di


Fatmawati untuk setiap ruas jalan di Jakarta, termasuk
menghidupkan kembali hak jalan inspeksi di sepanjang tepian
sungai?

Selama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu mengeluhkan


minimnya pertumbuhan jalan yang tidak sebanding dengan
pertumbuhan penduduk dan kendaraan bermotor di kota ini.
Pertumbuhan jalan kurang dari 0,6 persen per tahun, sementara
jumlah penduduk Jakartasesuai data Badan Pusat Statistik
tahun 2012sudah mencapai 10,1 juta jiwa.

Pertumbuhan kendaraan bermotor lebih dahsyat lagi. Jumlah


kendaraan bermotor, baik sepeda motor, mobil pribadi, maupun
kendaraan umum, sudah di atas 10 juta unit. Tahun lalu, Polda
Metro Jaya mencatat setiap hari 200 unit mobil baru dibeli.
Tidak heran jika Jakarta dikepung kemacetan minim solusi.

Penduduk yang banyak berdesakan di setiap ruang yang ada,


termasuk di tepi kali, tak jarang merangsek menduduki badan
sungai, atau membangun di atas saluran. Jangan heran jika
melihat deretan mobil dan sepeda motor diparkir di pinggir
jalan di dekat suatu kawasan yang dilanda banjir. Karena selain
dihuni oleh orang tak mampu, sebagian penghuni bantaran kali
pun kini sudah bisa membeli kendaraan roda dua ataupun roda
empat.

Ironisnya, pemerintah kini sibuk membangun jalan layang dan


jalan tol baru, tetapi seakan melupakan jalan-jalan reguler yang
ada dan jalan-jalan yang seharusnya ada, seperti jalan inspeksi
sungai. Ketika jalan tidak terurus, apalagi nasib saluran air.
Padahal, jalan dan saluran adalah pasangan sejati yang selama
ini jelas sering dipisahkan secara paksa baik oleh pemerintah
maupun warga. Lihat saja di jalan- jalan sekeliling kita.
Sudahkah ada saluran air yang memadai di kanan-kirinya?

"Ada jalan dan ada saluran adalah sebuah konsep sederhana. Itu
diajarkan di tahun pertama saya kuliah dan siapa saja yang
menekuni bidang ini. Konsep itu jauh sebelumnya sudah
disadari oleh orang-orang tua kita dulu karena memahami sifat
air. Bangun jalan itu tidak bisa terlalu datar, tetapi sedikit
melengkung kemudian dilengkapi saluran di kanan-kirinya,"
kata Harun al-Rasyid Lubis dari Kelompok Kepakaran Rekayasa
Transportasi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut
Teknologi Bandung.

Saat jaringan jalan dan saluran direvitalisasi setidaknya dua hal


bisa dipenuhi, yaitu orang bermobilitas lebih mudah dan jalan
air tersedia lebih memadai. Wujud fisik kota Jakarta yang
semrawut akan menjadi lebih tertata rapi. Dari titik tersebut,
pembenahan hal-hal lain bisa mudah dilakukan.

Dengan adanya jaringan jalan yang baik, menata angkutan


umum reguler ataupun angkutan umum massal pasti lebih
mudah. Ketersediaan akses jalan memadai dan angkutan umum
menjadi daya tawar tinggi bagi pemerintah untuk membuat
masyarakat di permukiman liar mau direlokasi. Mereka bisa
pindah ke tempat yang memadai, meskipun di pinggiran kota,
tanpa direpotkan masalah mobilitas sehari-hari. (Neli Triana)

Sumber: www.kompas.com

Anda mungkin juga menyukai