Anda di halaman 1dari 14

LKTI LOMBA PENELITIAN TEMBAKAU JEMBER

Bacillus thuringiensis SEBAGAI AGEN BIOKONTROL


HAYATI PADA TEMBAKAU AKIBAT SERANGGA
PREDATOR YANG BERSARANG DI DAUN

Tema
Pengembangan Inovasi Pada Industri Berbasis Tembakau

Disusun oleh:

1. Umarudin

2. Aisyah Hadi Ramadani

JEMBER
2017

i
ABSTRAK

Bacillus Thuringiensis Sebagai Agen Biokontrol Hayati Pada Tembakau


Akibat Serangga Predator Yang Bersarang Di Daun

Umarudin*, Aisyah Hadi Ramadani


E-mail : umayudin47@yahoo.com

Potensi produksi tembakau Indonesia sangat tinggi di kancah


dunia, namun dibalik itu pertanian tembakau terancam oleh hadirnya
organisme pengganggu tanaman dari golongan insekta yang banyak
merusak bagian daun. Daun merupakan bagian terpenting dalam industri
tembakau. Telur serangga predator banyak dijumpai pada daun sehingga
menurunkan kualitas daun yang dihasilkan. Untuk itu perlu adanya
solusi pemberantasan dan penurunan populasi hama yang tepat sasaran,
mudah diimplementasikan, tidak ada efek samping dan hemat biaya.
Biokontrol yang dipakai hingga saat ini menggunakan insektisida kimiawi
sintetik. Penggunaan insektisida telah banyak menimbulkan masalah
pencemaran lingkungan, dan gangguan keseimbangan ekologi. Ide
inovasi alternatif pengendalian hayati ramah lingkungan untuk daun
tembakau yaitu dengan agensia hayati bakteri Bacillus thuringiensis.
Bacillus thuringiensis menghasilkan -endotoksin yang diakumulasikan
pada badan inklusi parasporal. Toksin tersebut dapat membunuh
serangga secara antagonisme dengan merusak saluran pencernaan
serangga. Struktur endospora yang tahan terhadap temperature tinggi
dan kondisi ekstrim menjadi keunggulan dibanding dengan bakteri jenis
lain. Tahapan implementasi agen hayati meliputi inventarisasi,
identifikasi hama, isolasi bakteri Bacillus thuringiensis dan pemurnian
isolate, serta pengaplikasian di lapangan. Bacillus thuringiensis
diaplikasikan dalam formula bahan aktif berbentuk wettable powder, dust,
atau granular. Aplikasi pada benih untuk mencegah infeksi pathogen tular
tanah. B. thuringiensis juga dapat menghasilkan antibiotic tirotrisin,
basitrasin, dan polimiksin. Keunggulan B. thuringiensis menjadi peluang
besar untuk solusi pemberantasan hama di sektor pertembakauan.
Dampak inovasi yang diharapkan adanya perubahan perilaku masyarakat
petani tembakau beralih ke pemakaian biokontrol hayati B. thuringiensis.
Keberhasilan pemanfaatan agen hayati perlu memperhatikan faktor
keadaan agroekosistem setempat, fisikokimia lingkungan lahan,
karakteristik biologi hama serangga, serta luas tanaman yang terdampak.

Kata kunci : agen pengendali hayati (APH), -endotoksin, endospore.

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


ABSTRAK ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
LATAR BELAKANG ......................................................................................... 1
DESKRIPSI IDE YANG DIAJUKAN .............................................................. 3
DAMPAK INOVASI ......................................................................................... 5
PELUANG APLIKATIF ................................................................................... 8
KESIMPULAN ................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 9

3
1) Latar Belakang

Tembakau merupakan salah satu komoditas pertanian

utama di Indonesia. Produksi yang tinggi ini didukung oleh iklim

tropis dimana tembakau dapat tumbuh dengan baik. Di balik

tingginya jumlah produk, tanaman tembakau terancam oleh hadirnya

hama sehingga di sisi lain tanaman tembakau perlu diproteksi dari

jenis organisme pengganggu tanaman (OPT). Jenis OPT yang sering

menyerang tembakau dari golongan serangga predator.

Biasanya yang dijumpai dalam kasus gagalnya pasca panen

adalah rusaknya bagian daun tembakau. Daun seringkali menjadi

inang perantara perkembangbiakan serangga. Pada daun ditemukan

banyak telur (imago), setelah menetas larvanya menggerek ke

dalam batang masuk dari pelepah daun, kemudian hidup hingga

menjadi pupa di dalam batang dengan memakan jaringan dalam

batang (Khan et al., 1991).

Selama ini pengendalian serangga predator tembakau yang

dilakukan oleh para petani dengan menggunakan pestisida sintetik

berupa fungisida, karena petani menganggap cara ini yang paling

mudah dan efektif. Padahal dampak yang ditimbulkan akibat

penggunaan bahan kimia tersebut diantaranya timbulnya

organisme pengganggu tanaman yang bersifat resisten terhadap

senyawa sintetik, resurgensi, timbulnya hama sekunder, musnahnya

musuh alami dan agen antagonis, terbunuhnya serangga penyerbuk,

dan bahaya lain pada ternak serta manusia (Mardihusodo, 1992;

Untung 2001). Didukung oleh Wilia et al. (2011) menyatakan bahwa

pengendalian dengan menggunakan fungisida sintetik dapat

memberi dampak yang negatif bagi lingkungan dan dapat

1
menyebabkan penyakit salah satunya adalah kanker, terutama dari

kelompok organochlorisme, karbamat dan organofosfat. Mengingat

dampak negatif tersebut maka, diperlukan pengendalian

menggunakan agen pengendali hayati (APH).

Organisme APH tersebut dapat berfungsi sebagai

pathogen, parasit, dan predator bagi hama tanaman. Ada kaitan

hubungan fungsional antara hama dan musuh alami yang akan

berlangsung dengan baik jika memenuhi beberapa persyaratan

diantaranya: 1) Musuh alami dapat menemukan inang/mangsa, 2)

Jumlah minimal populasi musuh alami mampu membunuh

inang/mangsa, 3) Sinkronisasi dan fenologi antara musuh alami

dengan inang/mangsa, dan 4) Tersedia selalu pakan bagi agens

hayati untuk dapat bertahan hidup (Subagya,2013). Salah satu

pengendalian hayati yang sering dilakukan yaitu memanfaatkan

musuh alami yang aman terhadap lingkungan dan tidak

menimbulkan resistensi serangga yang disebut Insektisida hayati

(bioinsektisida). Bioinsektsida yang belum familiar di masyarakat

yaitu dengan memanfaatkan salah satu mikrobia strain anggota

spesies Bacillus thuringiensis.

Bacillus thuringiensis diharapkan akan memberikan solusi

dalam upaya pengendalian hama dan penyakit pada tanaman

tembakau terutama untuk daun. Hal tersebut akan mendorong para

petani turut berupaya dalam pengembangan pertanian yang

berwawasan konservasi dan berkelanjutan untuk membuka cakrawala

dalam meningkatkan produksi tembakau PTPN X Jember.

2
2) Deskripsi ide yang diajukan

Suatu keberhasilan dengan memanfaatan agens hayati

Bacillus thuringiensis sebagai pengendali hama sangat ditentukan

oleh keadaan agroekosistem setempat, fisikokimia lingkungan

meliputi intensitas penyinaran matahari, serta cuaca yang

menentukan temperature dan kelembaban lokasi (Setiawan, 2008),

karakteristik biologi organisme pangganggu dan agen hayati

(Tampubolon, 2004), serta luas tanaman yang terdampak (Djunaedy,

2009)

Deskripsi proses ini dimulai dari tahapan inventarisasi

dan identifikasi hama dan musuh alami pada tanaman tembakau.

Selanjutnya dilakukan proses identifikasi hama dan musuh alami

yaitu Bacillus thuringiensis yang diidentifikasi benar-benar bakteri non

pathogen. Dilanjutkan dengan besarnya populasi Bacillus thuringiensis

tersebut selanjutnya dianalisis tentang keragamannya sehingga

diketahui struktur populasi hama dalam suatu ekosistem.

Bakteri Bacillus thuringiensis bersifat patogenik terhadap

serangga. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu agensia hayati

yang paling menonjol dan potensial. Organisme ini menghasilkan

toksin selama sporulasi. Toksin yang dihasilkan berupa -endotoksin

yang diakumulasikan pada badan inklusi parasporal. Badan inklusi

parasporal dibentuk sewaktu bersporulasi. Bila termakan oleh larva

serangga yang peka, -endotoksin yang berupa protoksin ini dalam

saluran pencernaan insekta yang berlingkungan basa sehingga diubah

menjadi toksin aktif. Saluran pencernaan larva serangga juga

mengandung protease yang berperan dalam pengubahan toksin

3
menjadi toksin aktif. Selain itu juga, protease mengubah daya ikat

reseptor dalam saluran pencernaan sehingga toksin dapat berikatan

dengan reseptor untuk memulai daya toksisitasnya.

-endotoksin yaitu suatu protein yang terkandung dalam

inklusi parasporal pada H-14 dan struktur-struktur sel termasuk

spora dan dinding sel pada B. sphaericus (Agaisse & Lereclus, 1995;

Baum & Malvar, 1995; WHO, 1991). Kelebihan dari -endotoksin ini

adalah memiliki daya toksik dengan kisaran sedikit terhadap

serangga tertentu dari ordo Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera

(Feitelson et al., 1992; Baum et al., 1999; Johnson et al., 1998; Knight et

al., 1994; Miyasono et al., 1994; Zhong et al., 2000; Salaki, 1995 & 1996;

Salaki & Manengkey, 1994; 1996). Selain itu juga -endotoksin

sejatinya memiliki kelebihan yaitu tidak akan menimbulkan

pencemaran, tidak membahayakan manusia, vertebrata lainnya dan

tanaman serta tidak bersifat toksik terhadap serangga berguna

sehingga bakteri Bacillus thuringiensis berpotensi sebagai musuh alami

serangga untuk mendukung hasil produksi tanaman tembakau di

Indonesia. Selain itu juga daya kerja -endotoksin terletak pada

bagian kristal protein. Ada faktor penentu terkait dengan keampuhan

-endotoksin adalah strain B. thuringiensis, daya larut kristal protein

dalam saluran makanan, serta kepekaan insekta terhadap toksin

(Knowles, 1994; Lee et al., 1999).

Pengaplikasian bioinsektisida di lapangan dibuat dalam

bentuk bahan aktif. Bahan aktif Bacillus thuringiensis dapat

diformulasikan sebagai wettable powder, dust, atau granular. Pembuatan

formula perlu memperhatikan pemberian bahan additive yang

mendukung efektifitas dan daya kerja bahan (Bahagiawati, 2002) .

4
Bentuk formula yang mudah diaplikasikan ke tanaman tembakau

diharapkan akan menarik petani untuk memanfaatkan Bacillus

thuringiensis.

3) Dampak Inovasi

Pada penulisan karya tulis ini dipilih B. thuringiensis

sebagai bioinsektisida didasarkan pada berbagai pertimbangan yaitu

keuntungan dan kelemahannya. Hal ini sejatinya tidak ada sesuatu

yang sempurna begitu juga bioinsektisa dengan peran dari bakteri

Bacillus thuringiensis memiliki keuntungan diantaranya:

1. Bahan aktif pada bakteri Bacillus thuringiensis yaitu -endotoksin

tidak bersifat toksik terhadap manusia, vertebrata, tanaman dan

tidak mengganggu predator serta serangga berguna. Keamanan

tersebut dapat menyebabkan insektisida mikrobial digunakan

sampai waktu panen, hal ini sangat menguntungkan bagi PTPN X

untuk mendukung para petani dalam mengatasi hama yang

menurunkan hasil produksi tembakau.

2. Bakteri B. thuringiensis dapat menghasilkan strain dengan-

endotoksin yang lebih ampuh dan kisaran serangga sasaran yang

berbeda dapat mati dengan melawan bakteri tersebut.

3. Proses pertumbuhan dan pembentukan kristal protein dapat

diatur. Hal ini berarti bahwa untuk produksi kristal protein

pengendalian biakan mikroba sampai terbentuknya kristal protein

relatif mudah dilakukan.

4. Persistensi yang rendah di alam. Aplikasi pada B. thuringiensis

biasanya dilakukan berulang kali dengan tujuan agar maksial

dalam menghambat serangga. Germinasi yang lambat dari B.

5
thuringiensis menjadi salah satu sebab lemahnya persistensi

mikroba ini didalam tanah. Tidak adanya larva serangga yang

mampu mempercepat hilangnya mikroba ini dari lingkungan

tanah. Salah satu faktor penyebab lainnya adalah kehilangan

plasmid, terutama plasmid yang mengandung gen protoksin.

5. Mampu mengendalikan hama serangga di daun dan juga lebih

ramah lingkungan, karena agen bioinsektisida yang digunakan

ini merupakan jasad hidup yang berasal dari tanah. Saat

diaplikasikan, agen bioinsektisida dikembalikan ke dalam

habitatnya yaitu tanah, sehingga tidak menimbulkan dampak

negatif pada lingkungan. Oleh karena itu biaya lingkungan bisa

dikatakan tidak ada, berbeda dengan fungisida kimiawi yang

memberikan efek residu yang membahayakan lingkungan dan

mahluk hidup lainnya. Jika dibandingkan dengan penggunaan

bioinsektisida kimia sintetik, aplikasi bioinsektisida menggunakan

B. thuringiensis dipandang jauh lebih murah dan menguntungkan

terutama dalam upaya untuk pemeliharaan tanaman tembakau.

Sedangkan kelemahan dari penggunaan agen hayati Bacillus thuringiensis

adalah:

1. Jumlah serangga sasaran yang sempit dapat menyebabkan

insektisida kimiawi menjadi pilihan untuk menanggulangi masalah

serangga hama.

2. Pengaplikasian B. thuringiensis harus dilakukan dengan tepat, akan

tetapi insektisida kimiawi dapat diberikan sebagai pencegahan

terhadap serangga hama. Meskipun daya kerja -endotoksin lebih

cepat, larva serangga tidak segera mati. Oleh karena itu para petani

6
terbiasa melihat kematian cepat dengan menggunakan insektisida

kimiawi.

3. B. thuringiensis harus dimakan oleh serangga sasaran. Bila toksin

yang diberikan tidak cukup, larva serangga tidak mati berarti

cukup resisten, oleh karena itu perlu ditingkatkan lagi jumlah

bakteri yang akan diberikan.

4. B. thuringiensis harganya lebih mahal dibandingkan insektisida

kimiawi. Karena proses peremajaan/pembiakan bakteri ini

membutuhkan biaya yang tinggi.

5. Adanya upaya untuk mencari serangga sasaran yang tepat yang

diperlukan bioessei terhadap berbagai serangga.

6. Penyemprotan bioinsektisida pada daun mudah tercuci oleh hujan

dan diinaktivasikan oleh sinar matahari sehingga perlindungan

jangka pendek saja yang diperoleh pada aplikasi tunggal

bioinsektisida.

Sejatinya setelah mengetahui keungguan dan kelemahan

dari dari peran B. thuringiensis sebagai agens biokontrol banyak

keunggulannya salah satunya memiliki kemampuan untuk

menghasilkan endospora sehingga mudah ditumbuhkan dan

mampu bertahan dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. Hal ini

didukung oleh beberapa penelitian mengemukakan bahwa potensi

bakteri kelompok B. thuringiensis mampu mengatasi penyakit pada

suatu tanaman (Aspiras & Crus, 1985). Oleh karena itu untuk

mendapatkan agens biokontrol yang berpotensi dan diaplikasikan di

lapangan perlu dilakukan penelitian tentang kemampuan agens

biokontrol tersebut terhadap factor adaptasi dalam lingkungan yang

7
berbeda dan jenis tanah yang berbeda untuk menguji daya hambat

serangga yang menganggu suatu tanaman.

Keuntungan dan kelemahan B. thuringensis menjadi

pertimbangan untuk menggunakan agen hayati ini dengan bijak.

Dampak inovasi yang diharapkan yaitu adanya perubahan perilaku

masyarakat petani tembakau beralih ke pemakaian biokontrol hayati

B. thuringiensis untuk mengatasi hama serangga daun tembakau.

4) Peluang Aplikatif

Ide yang ditawarkan ini menjadi peluang besar untuk

dapat diaplikasikan di sektor pertanian pertembakauan. Hal ini

dikarenakan B. thuringiensis memiliki keunggulan dibandingkan

kelompok bakteri lain, karena bakteri tersebut menghasilkan

endospora yang dapat bertahan pada temperatur tinggi (tahan panas)

(Kim et al. 1997). Di sisi lain bakteri ini juga dapat diaplikasi pada

benih untuk mencegah infeksi patogen tular tanah. B. thuringiensis

ini dapat menghasilkan berbagai senyawa penghambat dan

antibiotik seperti tirotrisin, basitrasi dan polimiksin (Dwijoseputro

1985; Claus dalam Ernawati, 2003).

5) Kesimpulan

Salah satu cara aman untuk mengendalikannya adalah

dengan menggunakan agen pengendali hayati B. thuringiensis. Cara

kerja agen pengendali hayati ini adalah melalui mekanisme

antagonisme. B. thuringiensis ini dapat menghasilkan berbagai

senyawa penghambat dan antibiotik seperti tirotrisin, basitrasi dan

polimiksin.

8
DAFTAR PUSTAKA

Agaisse, H. & Lereclus, D. 1995. How does Bacillus thuringiensis produce


so much insecticidal crystal protein? Journal of Bacteriology
17,6027-6032.

Bahagiawati. 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai


Bioinsektisida. Buletin AgroBio 5 (1): 21-28

Baum, J.A. & Malvar, T. 1995. Regulation of insecticidal crystal protein


production in Bacillus thuringiensis.Molecular Microbiology 18,1-
12.

Baum, J.A., Johnson, T.B. & Carlton, B.C. 1999. Bacillus thuringiensis:
natural and recombinant product. In: Biopesticides Use and
Delivery (eds F.R. Hall & J.J. Menn), pp.189-210. Humana Press,
Totowa, NJ.

Djunaedy, Achmad. 2009. Biopestisida Sebagai Pengendali Organisme


Pengganggu Tanaman (OPT) yang Ramah Lingkungan. EMBRYO
6(1) : 88-95

Ernawati. 2003. Potensi Mikroorganisme Tanah Sebagai Agent


Biokontrol. Program Penelitian Pasca Sarjana/S3 IPB. Bogor.

Feitelson, J.S., Payne, J. & Kim, L. 1992. Bacillus thuringiensis: insect and
beyond. Bio/Tecnology.10,271-275.

Khan, Z.R., J.A. Barrion, F.F.D. Villaneuva, N.J. Fernandez, & L.D.
Taylo. 1991. World bibliography of rice stem borers 1794-
1990. IRRI & ICIPE.

Khan, Z; Kim, YH, Kim, SG & Kim, HW 2007,Observations on the


suppression of root-knot nematode (Meloidogyne arenaria) on
tomato by incorporation of cyanobacterial powder (Oscillatoria
chlorina) into potting field soil,Bioresource Technol. 98(1):6973

Knight, P.J.K., Crickmore, N. & Ellar, D.J. 1994. The receptor for Bacillus
thuringiensis Cry1A(c) delta-endotoxin in brush border membrane
of the Lepodopteran Manduca sextais aminopeptidase N.
Molecular Microbiology.11,429-436.

Kim DS, Cook RJ, Weller DM. 1997. Bacillus sp. L324-92 for Biological
Control of three root diseases of wheat grown with reduced
tillage. Phytopathology 87 : 551-558.

9
Knowles, B.H. 1994. Mechanism of action of Bacillus thuringiensis
insecticidal -endotoxin. Advances in Insect Physiology.24,275-
308.

Lee, M.K., You, T.H., Gould, F.L. et al.1999. identification of residues in


Domain III of Bacillus thuringiensis CryIAc toxin thar affect binding
and toxicity. Applied and environmental Microbiology.65,4513-
4520

Lee, RST, Lee, CY, Yap, HH and NL, Chong. 1996. Insecticide Resistance
and Synergism in Field Collected German Cockroaches
(Dyctyoptera: Blattellidae) in Peninsular Malaysia. Bull.
Entomological Research (86): 675-681.

Mardihusodo, S.J. 1992. Aktivitas larvisidal H-14 dan Bacillus


sphaericus1593 terhadap tiga spesies nyamuk vektor penyakit di
Jawa. Berkala Ilmu Kedokteran. XXIV (2): 51-56.

Miyasono, M., Inagaki, S., Yamamoto, M. et al. 1994. Enhancement of -


endotoxin activity by toxin-free spore of Bacillus thuringiensis
against the diamondback moth Plutella xylostella. Journal of
Invertebrate Pathology.63,111-112.

Salaki, Ch.L. & Manengkey, G. 1994. Perbanyakan, Studi Efikasi dan


Kemungkinan Aplikasi Bacillus sp. dalam Pengendalian Secara
Biologis Populasi Larva Nyamuk Anopheles sp. (Diptera:
Culicidae). FakultasPertanian Unsrat Manado.

Salaki, Ch.L.1995. Toksisitas Bacillus thuringiensis asal Manado terhadap


Hama Spodoptera litura. Journal Eugenia. 2(3):59-63.

Salaki, Ch.L. & Manengkey, G. 1996. Isolasi Bacillus thuringiensis dari


Beberapa Kawasan Tanah di Kabupaten Minahasa. Fakultas
Pertanian Unsrat Manado.

Salaki, Ch.L. 1996. Prospek Pemanfaatan Isolat Lokal Bacillus thuringiensis


dalam Pengendalian Serangga Hama Perusak Daun
(Cnaphalocrosis medinalis) pada tanaman Padi. Journal Eugenia
2(3):272-284.

Setiawan, Ade. 2008. Uji Efikasi Beberapa Agensia Hayati Terhadap Hama
Perusak Daun Tembakau Deli Di Simpali. Skripsi. Universitas
Sumatera Utara. Medan

10
Subagiya,2013. Kajian Efektifitas Pengendalian Hama Padi Secara Alami
Dengan Semut Predator Yang Bersarang Di Tanah (Solenopsis
Geminata (F)). Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 10 (1):1-8.

Tampubolon, Mangaraja, J. 2004. Prospek Pengandalian Hayati Parasitik


Dengan Agen Hayati. Wartazoa 14 (4) : 173-177

Untung, K. 2001. Pengantar Analisis Ekonomi Pengendalian Hama


Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wilia, Yulia Alia dan Trias Novita. 2011. Eksplorasi cendawan endofit
dari beberapa varietas Kedelai sebagai agens pemacu
pertumbuhan tanaman. World Health Organization, 1983.
Integrated Vector Control Sevent Report. Geneva. WHO Tech Rep.
Ser. No. 688.

Zhong, C., Ellar, D.J., Bishop, A. et al. 2000. Characterization of a Bacillus


thuringiensis -ndotoxin which is toxic to insect in three orders.
Journal of Invertebrate Pathology. 76,131-139

11

Anda mungkin juga menyukai