Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

Otitis Eksterna Aurikula Dextra dan Rhinitis Alergi Intermitten Ringan

Pembimbing:
Dr. Stivina Azrial, Sp.THT-KL

Oleh:
Hendrikus Hendra Suseno
NIM: 11.2015.079

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSUD Tarakan Jakarta Pusat
Periode 13 Februari 18 Maret 2017

1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Otitis eksterna adalah radang pada liang telinga akut maupun kronis yang
disebabkan infeksi bakteri, virus dan jamur. Faktor yang mempermudah radang telinga luar
adalah pH di liang telinga, yang biasanya normal atau asam. Bila pH menjadi basa, maka
proteksi pada liang telinga akan menurun. Pada keadaan udara yang hangat dan lembab,
kuman dan jamur mudah tumbuh. Predisposisi otitis eksterna lain adalah trauma ringan ketika
mengorek telinga.
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.Menurut WHO
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.1

Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau allergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetic dari
individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh pejamu.2

Tujuan Penulis
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menetahui dan memperluas
wawasan mengenai Otitis Eksterna dan Rhinitis Alergi dengan harapan pembaca dapat mengerti
dan memahami lebih dalam bagaimana perjalanan penyakit ini serta untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) di RSUD Tarakan

2
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Telinga

Anatomi Telinga Luar


Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan dipisahkan dari
telinga tengah oleh membrana timpani.Aurikula berfungsi untuk membantu pengumpulan
gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui
kanalis auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus terdapat sendi temporal
mandibular.2
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua pertiga medial
tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis.Kanalis auditorius eksternus berakhir pada
membrana timpani.Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang
mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen.2

Anatomi Telinga Tengah


Bagian atas membrana timpani disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah pars tensa.
Pars flaksida mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga
dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa
mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit
serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.2
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke
dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes.Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling
berhubungan.Prosesus longus maleus melekat pada membrana timpani, maleus melekat pada
inkus, dan inkus melekat pada stapes.Stapes terletak pada tingkap oval yang berhubungan
dengan koklea.Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba
eustachius termasuk dalam telinga tengah menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga
tengah.2

3
Anatomi Telinga Dalam
Koklea bagian tulang dibagi menjadi dua lapisan oleh suatu sekat. Bagian dalam sekat ini
adalah lamina spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina spiralis membranasea.Ruang yang
mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu skala vestibuli dan skala timpani.Kedua skala ini
bertemu pada ujung koklea yang disebut helikotrema.2
Skala vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala timpani berakhir pada foramen
rotundum.Pertemuan antara lamina spiralis ossea dan membranasea kearah perifer membentuk
suatu membrana yang tipis yang disebut membrana Reissner yang memisahkan skala vestibuli
dengan skala media (duktus koklearis). Duktus koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan
dengan labirin tulang oleh jaringan ikat penyambung periosteal dan mengandung end organ dari
nervus koklearis dan organ Corti. Duktus koklearis berhubungan dengan sakulus dengan
perantaraan duktus Reuniens.2,3
Organ Corti terletak di atas membrana basilaris yang mengandung organel-organel yang
penting untuk mekanisma saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel
rambut dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan tiga baris sel rambut luar yang berisi kira-kira
12.000 sel. Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horizontal dari suatu jungkat-
jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada
ujung bawah sel rambut.Pada permukaan sel rambut terdapat strereosilia yang melekat pada
suatu selubung yang cenderung datar yang dikenal sebagai membrana tektoria.Membrana
tektoria disekresi dan disokong oleh limbus.2,3

Gambar 1: Anatomi Telinga2

4
Fisiologi Pendengaran Normal
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai
membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang
pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya, stapes menggerakkan foramen ovale
yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli.Getaran diteruskan melalui membrana
Reissner yang mendorong endolimfe dan membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam
skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar.Pada waktu
istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan terdorongnya membrana basal, ujung sel
rambut itu menjadi lurus.Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya
perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang nervus vestibulokoklearis.
Kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat
yang ada di lobus temporalis.2,3

Otitis Eksterna
Otitis eksterna adalah radang pada liang telinga akut maupun kronisyang
disebabkan infeksi bakteri, virus dan jamur. Radang non infeksi termasuk pula dermatosis,
beberapa diantaranya merupakan kondisi primer yang menyerang liang telinga. Perbedaan
dari otitis eksterna yang bersal dari dermatosis dengan otitis eksterna akibat infeksi tidak selalu
jelas. Suatu dermatosis dapat menjadi terinfeksi setelah beberapa waktu, sementara infeksi kulit
dapat terjadi reaksi ekzematosa terhadap organisme penyebab. Terdapat 2 kemungkinan otitis
eksterna yaitu otitis eksterna sirkumskripta dan otitis eksterna difus.1
a) Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkelosis)
Letak infeksi pada tipe ini adalah di 1/3 liang telinga luar, karena kulit dibagian
itu megandung adneksa kulit, seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar
serumen. Maka, ditempat itu dapat terjadi infeksi pada pilosebaseus, sehingga
membentuk furunkel. Kuman penyebab biasanya Staphylococcus aureus atau
Staphylococcus albus.
Gejala klinisnya adalah rasa nyeri yang hebat tidak sesuai dengan besarnya bisul.
Hal ini disebabkan karena kulit di liang telinga tidak mengandung jaringan longgar
dibawahnya sehingga rasa nyeri timbul pada penekanan perikondrium. Rasa nyeri
juga dapat timbul spontan pada waktu membuka mulut (sendi temporomandibular).

5
Selain itu terdapat juga gangguan pendengaran, bila furunkel besar dan menyumbat liang
telinga.
Terapi tergantung pada keadaan furunkel bila sudah menjadi abses, diaspirasi
secara steril untuk mengeluarkan nanahnya. Lokal diberikan antibiotika dalam
bentuk salep seperti polymixin B atau bacitracin atau antiseptic asam setat 2-5% dalam
alcohol. Jika dinding furunkel tebal, dilakukan insisi kemudian dipasang drainase untuk
dialirkan nanahnya. Biasanya tidak perlu diberikan antibiotika secara sistemik, hanya
diberikan obat simptomatik seperti analgesic dan obat penenang.
b) Otitis Eksterna Difusa
Biasanya, otitis eksterna difus mengenai 2/3 liang telinga dalam. Infeksi ini
deikenal dengan namaswimmers ear. Biasanya terjadi pada cuaca yang panas dan
lembab, terutama disebabkan oleh kelompok pseudomonas dan kadang-kadang juga
staphylococcus albus, Escherichia coli dan enterobacter aerogens. Danau, laut dan kolam
renang pribadi merupakan sumber potensial untuk infeksi ini. Tampak kulit liang telinga
hiperemis dan edema yang berbatas tidak jelas. Otitis eksterna difus dapat juga terjadi
sekunder pada otitis media supuratif kronis.
Gejalanya adalah:3

nyeri tekan tragus


nyeri tarik liang telinga
Pembengkakan sebagian besar dinding kanalis sehingga liang telinga sempit
Kadang kelenjar getah bening regional sampai membesar dan nyeri tekan
Sekret yang sedikit dan berbau.
Pendengaran normal atau sedikit berkurang
Pengobatan dengan membersihkan liang telinga, memasukkan tampon yang
mengandung antibiotika ke liang telinga supaya terdapat kontak yang baik antara
obat dengan kulit yang meradang. Karena edema dinding kanalis yang sirkumferensial,
maka untuk menenpelkan obat pada dinding kanalis sering kali perlu menggunakan
sumbu. Untuk itu dapat digunakan gulungan kasa yang kecil. Forcep alligator dapat
dipakai untuk memasukkan sumbu telinga yang telah dibasahi terlebih dahulu dengan
solusio telinga yang telah dipilih.
Tetes telinga yang sering digunakan adalah cortisporin (polimiksin B, neomisin,
hidrokortison), Coli-Mycin S (kolistin, neomisin, hidrokortison). Pyocidin (polomiksin B,
hidrokortison), chloromycetin (kloramfenikol). Antibiotika sistemik dipertimbangkan jika

6
bukan kasusyang berat. Antibiotik sistemik khususnya diperlukan jika dicurigai adanya
perikondritis atau kondritis pada tulang rawan telinga.3
c) Otitis Eksterna Maligna
Otitis eksterna maligna adalah infeksi difus di liang telinga luar dan struktur lain
di sekitarnya. Biasanya terjadi pada orang tua dengan penyakit diabetes mellitus. Pada
penderita diabetes, PH serumennya lebih tinggi debandingkan dengan PH serumen non
diabetes. Kondisi ini menyebabkan penderita diabetes lebih mudah terjadi otitis eksterna.
Akibat adanya factor immunocompromize dan mikroangiopati otitis eksterna berlanjut
mnjadi otitis eksterna maligna.1
Pada otitis eksterna meligna peradangan meluas secara progresif ke lapisan
subkutis, tulang rawan dan ke tulang sekitarnya, sehingga timbul kondritis, osteitis, dan
osteomyelitis yang menghancurkan tulang temporal.
Gejala otitis eksterna maligna adalah: rasa gatal di liang telinga yang dengan
cepat diikuti oleh nyeri, secret yang banyakserta pembengkakan liang telinga. Kemudian
rasa nyeri tersebut akan semakin hebat, liang telinga tertutup oleh jaringan granulasi yang
cepat tumbuhnya. Saraf facial dapat terkena, sehingga enimbulpan paralisis atau parisis
fasial.1
Kelainan patologi yang penting adalah osteomyelitis yang progresif, yang
disebabkan oleh kuman Pseudomonas aeroginosa. Penebalan endotel yang mengiringi
diabetes mellitus berat, kadar gula darah yang tinggi yang diakibatkan oleh infeksi yang
sedang aktif, menimbulkan kesulitan pengobatan yang adekuat.1
Pengobatan harus cepat diberikan. Sesuai dengan hasil kultur dan resistensi.
Mengingat kuman penyebab tersering adalah Pseudomonas aeroginosa, diberikan
antibiotika dosis tinggi yang sesusi dengan Pseudomonas aeroginosa. Sementara
menunggu hasil kultur dan resitensi, diberikan golongan fluoroquinolon (ciprofloksasin)
dosis tinggi peroral. Pada keadaan yang lebih berat diberikan antibiotika parenteral
kombinasi dengan antibiotic golongan aminoglikosida yang diberikan selama 6-8
minggu.
Antibiotika yang paling sering digunakan adalah ciprofloxasin, ticarcilin-
clavulanat, piperacilin (dikombinasi dengan aminoglikosida), ceftriaxone, ceftasidin,
cefepime (maxipime), tobramicin (kombinasi dengan aminoglikosida), gentamicin
(kombinasi dengan golongan penicilin).

7
Disamping obat-obatan, sering kali diperlukan juga tindakan membersihkan luka
(debridement) secara radikal. Tindakan membersihkan luka (debridemen) yang kurang
bersih akan dapat menyebabkan makin cepatnya penjalaran penyakit.1

Diagnosis Banding
Otomikosis

Otomikosis adalah suatu proses peradangan pada liang telinga yang disebabkan oleh
infeksi jamur. Faktor lingkungan terdiri dari suhu dan kelembaban. Faktor lokal termasuk infeksi
kronik pada telinga, penggunaan tetes telinga, penggunaan steroid, berenang, adanya infeksi
jamur pada bagian tubuh lainnya seperti dermatomikosis atau vaginitis, gangguan fungsi
imunitas, malnutrisi dan perubahan hormonal tubuh yang dapat memicu timbulnya infeksi seperti
pada keadaan menstruasi ataupun pada wanita hamil.4

Penyebabnya adalah oleh beberapa spesies dari jamur yang bersifat saprofit. Aspergillus
dan Candida adalah kelompok jamur yang sering ditemukan pada kasus-kasus otomikosis.Selain
itu jamur Pityrosporum juga sering ditemukan sebagai penyebab dari otomikosis.Pityrosporum
dapat menyebabkan terbentuknya sisik yang menyerupai ketombe.4

Gejala yang sering dirasakan adalah rasa penuh pada telinga, gatal, gangguan pendengaran
dan tinnitus. Gejala gangguan pendengaran pada kasus otomikosis biasanya disebabkan oleh
adanya akumulasi dari debris mikotik dalam liang telinga.4

Anatomi Hidung dan Fisiologi Hidung


Anatomi Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar seperti
piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang
hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung
(nares anterior). 1Hidung terhubug dengan os frontale dan maksila melalui pangkal hidung
yang dibentuk ossa nasalia. Kulit pembungkus hidung tertambat erat pada dasar hidung dan
memiliki kelenjar sebasea, yang dapat mengalami hipertrofi pada keadaan rhinophyma.2

8
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis
os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.1

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung.2

Anatomi Hidung Dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi
yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise.4

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior.Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila
dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela.1
9
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral
hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung.1

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter.1

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.Di
antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus
inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung.1

Gambar 3. Dinding lateral kavum nasi.2

Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris
merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila
dan sinus etmoid anterior.Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior

10
atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung.1

Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:1

1. fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal

2.
fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu

3.
fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang

4.
fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma
dan pelindung panas

5.
refleks nasal.

Rhinits Aleregi
Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.Menurut WHO
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.1
Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau allergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetic dari
individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh pejamu.5

11
Rhinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah mengalami
sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung: reseptor histamin H1,
adrenoseptor-alfa, adrenoseptor-beta2, kolinoseptor, reseptor histamin H2 dan reseptor iritan.
Dari semua ini yang terpenting adalah reseptor histamin H1, dimana bila terangsang oleh
histamine akan meningkatkan tahanan jalan napas hidung, meneybabkan bersin, gatal, dan
rinore.5

Etiologi Rhinitis Alergi

Etiologi rinitis alergi Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi.Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoidesfarinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan
seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya
karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa
berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi
udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.6

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau,
serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,
ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan
lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik atau perhiasan.

12
Patofisiologi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.1
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua
sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed
Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC).1
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini

13
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan
udara yang tinggi.1
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang
tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi
jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan
Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis

14
(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks
imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis
kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis
alergi.

Klasifikasi Rhinitis Alergi


Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : 2
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora
jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena
gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai
lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi
musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen
inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah
alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan
sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi
yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan
perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musimantetapi karena lebih
persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.2
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.1
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.1

15
Gejala Klinik Rinitis Alergi
Gejala klinik rinitis alergi, yaitu: Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi
hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik,
bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut
juga sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata
keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung
termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat
sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan
edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan
sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva,
lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran
timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal
termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal
termasuk suara serak dan edema pita suara.
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah
dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.1

Diagnosis Klinis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 1
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses

16
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada
RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena
itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-
kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul
tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala
spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang
terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic
shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal,
dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok
hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi
bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan
gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti
gambaran peta (geographic tongue).1
3. Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna
untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan
RAST (Radio Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap

17
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan
alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi
bakteri.1
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET),
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.1
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas
dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).1
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu
pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang
selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap
kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.1

Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja
secara inhibitorkomppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan
agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi

18
dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh
untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat
dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik
permukaan sel efektor.
b. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.
c.Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi
membentuk IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Keduanya untuk alergi
inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum
memuaskan.1

Komplikasi rinitis alergi

1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi
sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),
hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa,
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan
ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus

Diagnosis Banding
Rhintis Vasomotor

Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa hidung yang
disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini termasuk dalam penyakit rinitis
kronis selain rinitis alergika. 7
19
Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh
terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis menjadi lebih
dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembangkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang
timbul berupa hidung tersumbat, bersin dan ingus yang encer. 8Rinitis vasomotor dikatakan juga
sebagai kondisi dimana pembuluh darah yang terdapat di hidung menjadi membengkak sehingga
menyebabkan hidung tersumbat dan kelenjar mukus menjadi hipersekresi.7

Epidemiologi
Sebanyak 30 60 % dari kasus rhinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis
vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. Walaupun
demikian insidens pastinya tidak diketahui.Biasanya timbul pada dekade ke 3 4. Secara umum
prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 21%.7
Dalam suatu penelitian dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan hidung non alergi
dan hanya 5%dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi
darikelompok non alergi dijumpai pada dekade ke 3.7

Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa faktor yang
mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 7
Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi
dan bau yang merangsang.
Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.

Patofisiologi
Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang menyebabkan terjadinya
rhinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan. Sistem saraf otonom mengontrol suplai
darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf
simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat

20
kekentalannya, serta menekan efek dari pembuluh darah (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf
simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh darah tersebut
yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan akhirnya terjadi kongesti yang
bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga
meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif. 1
Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang dikeluarkan sel-sel
seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien, prostaglandin, dan kinin. Peningkatan
peptida vasoaktif ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan
kongesti, hidung tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf
parasimpatis pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida
ini bukan diperantarai oleh IgE seperti pada rhinitis alergik. Pada beberapa kasus rhinitis
vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa hidung.
Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rhinitis vasomotor. Banyak
kasus rhinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau kondisi tertentu. Contoh beberapa
agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi tersebut adalah perubahan temperatur, kelembaban
udara, parfum, aroma masakan yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara, dan stres (fisik
dan psikis). 1
Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara langsung
melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan merangsang sel-sel olfaktorius
terdapat pada mukosa olfaktori. Kemudian berjalan melalui traktus olfaktorius dan berakhir
secara primer maupun sesudah merelay neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah
olfaktoris medial dan olfaktoris lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior
hipotalamus. Jika bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta
emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi fungsi
syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan manifestasi klinis
berupa rhinitis vasomotor. 1
Dari penelitian telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi sistem adrenergik
maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang mengontrol vaskularisasi pada umumnya
dan sinusoid vena pada khususnya, memungkinan kita memahami mekanisme bendungan koana.
Stimulasi kolinergik menimbulkan vasodilatasi sehingga koana membengkak atau terbendung,
hasilnya terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menimbulkan
vasokonstriksi hidung. 1

21
Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya atas mekanisme
hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rhinitis alergika. Rinopati vasomotor disebabkan
oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi vasomotor
ini terutama akibat stimulasi parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular disertai edema dan peningkatan sekresi
kelenjar.Bila dibandingkan mekanisme kerja pada rhinitis alergik dengan rhinitis vasomotor,
maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan mediator yang
menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas yang menimbulkan
gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan rasa gatal. 1
Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas kelenjar dan meningkatkan sekresi,
sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi
sistem saraf autonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja
simpatis) yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai
peningkatan permeabilitas yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal ini
menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan gatal.
Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan menimbulkan
peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada reaksi alergi dan disfungsi
vasomotor menghasilkan gejala yang sama melalui mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi,
disebabkan interaksi antigen-antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor disebabkan oleh
disfungsi sistem saraf autonom.1

Gejala Klinis
Gejala penderita rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan
karena gejala-gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan bersin. Biasanya penderita
rhinitis alergik lebih merasakan gatal dan bersin berulang seperti staccato. Biasanya ia tidak
ditemukan atau tidak jelas pada rinitis vasomotor. Reaksi bisa disebabkan oleh disfungsi sistem
saraf autonom, tetapi disamping itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh
faktor iritasi, fisik, endokrin dan faktor lain. Hidung mungkin sensitif terhadap pengaruh
hormon, oleh karena itu reaksi rhinitis vasomotor mungkin berhubungan dengan kehamilan atau
kontrasepsi per oral, tetapi rhinitis vasomotor pada kehamilan segera menyembuh setelah
melahirkan dan mungkin berhubungan dengan keseimbangan hormon.

22
Biasanya penderita rhinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi pada keluarganya.
Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia dewasa. Jarang terjadi bersin dan rasa
gatal.Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Terdapat
rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin dan tidak disertai
gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.1

Tabel 1. Perbedaan rhintis alergi dengan rhinitis vasomotor.2

Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya
rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesa dicari faktor yang
mempengaruhi timbunya gejala. Rhinitis vasomotor dibuat dengan menyingkirkan kemungkinan
lainnya dengan anamnesa, pemeriksaan fisik pada hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan
konka nasalis berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, edema mukosa
hidung dan permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung
terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang
ditemukan serosa yang banyak jumlahnya. 1
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan rhinitis alergik karena
dapat ditemukan eosinofil di dalam sekresi hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit
kulit biasanya negative, kadar IgE spesifik tidak meningkat. Perubahan foto rontgen, penebalan

23
membrana mukosa sinus tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis. Rhinitis vasomotor
bisa terjadi bersama-sama dengan rhinitis alergik.1
Penatalakasanaan
Non Farmakologik
Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah dengan
pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan mukosa nasal secara
periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan menggunakan semprotan
larutan saline atau alat irigator seperti Grossan irigator.1
Farmakologik
Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien dengan
gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik juga efektif pada
pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini adalah antagonis muskarinik. Obat yang
disarankan seperti Ipratropium bromida, juga terdapat formula topikal dan atrovent, yang
mempunyai efek sistemik lebih sedikit. Penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien
dengan takikardi dan glaukoma sudut sempit. 1
Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti, rinorea dan
bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh vasoaktif mediator
yang dapat menghambat Phospolipase A2, mengurangi aktivitas reseptor asetilkolin,
menurunkan basofil, sel mast dan eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak bisa segera,
tapi dengan penggunaan jangka panjang, minimal sampai 2 gr sebelum hasil yang
diinginkan tercapai. Steroid topikal yang dianjurkan seperti Beclomethason, Flunisolide
dan Fluticasone. Efek samping dengan steroid yaitu edema mukosa dan eritema ringan. 1
Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama hidung
tersumbat. Untuk gejala yang multipel, penggunan dekongestan yang diformulasikan
dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan seperti Pseudoefedrin,
Phenilprophanolamin dan Phenilephrin serta Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini
merupakan agonis reseptor dan baik untuk meringankan serangan akut. Pada
penggunaan topikal yang terlalu lama (> 5 hari) dapat terjadi rhinitis medikamentosa
yaitu rebound kongesti yang terjadi setelah penggunaan obat topikal > 5 hari.
Kontraindikasi pemakaian dekongestan adalah penderita dengan hipertensi yang berat
serta tekanan darah yang labil. 1
Bedah

24
Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur
pembedahan dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo yang
berpengaruh pada mukosa dan submukosa. Operasi ini merupakan tindakan yang cukup
sukses untuk mengatasi kongesti, tetapi ada kemungkinan untuk terjadinya hidung
tersumbat post operasi yang berlangsung lama dan kerusakan dari septum nasi.
Neurectomi n.vidianus merusak baik hantaran simpatis and parasimpatis ke mukosa
sehingga dapat menghilangkan gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO3 atau elektrik
cauter dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih
dipertimbangkan daripada kauterisasi karena dapat mencapai lapisan submukosa. Reseksi
total atau parsial pada konka inferior berhasil baik.1

Komplikasi
Biasanya komplikasi yang sering terjadi dari rinitis vasomotor ini adalah polip hidung
dan terjadinya sinusitis.1

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jalan Biak Roxy, Jakarta Barat
Status pernikahan : Sudah menikah

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 27 Februari 2017. 11.30 WIB.
Keluhan Utama:

25
Nyeri pada telinga kanan sejak 2 hari yang lalu.
Keluhan Tambahan:
Telinga kanan terasa penuh dan gatal, keluar cairan bening, berdenging, serta pendengaran
berkurang pada telinga kanan.
Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri pada telinga kanan sejak 2 hari SMRS.
Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk namun tidak menjalar dan tidak mempengaruhi aktivitas
pasien. Pasien mengatakan bahwa awalnya telinga terasa penuh dan gatal sehingga pasien
mengorek-ngorek telinganya menggunakan cotton bud. Pasien juga mengatakan pada telinga
kanan sempat keluar cairan bening, pendengaran berkurang dan telinga berdenging juga
dikeluhkan pasien di telinga kanannya. Pasien tidak memiliki riwayat trauma dan operasi pada
telinga sebelumnya. Selain itu pasien juga mengeluh sudah 1 minggu ini pilek yaitu dengan
gejala bersin-bersin, hidung terasa tersumbat, sekret encer dan banyak, sudah berobat dan terasa
sudah berkurang. Pasien mengatakan bersin-bersin dan hidung tersumbat ini hilang timbul
sekitar 1-2 kali dalam seminggu. Keluhan muncul bila terpapar debu saat membersihkan rumah.
Keluhan tidak dipengaruhi posisi tubuh dan tidak mengganggu kegiatan sehari-hari. Gejala
tersebut dirasakan sudah sejak lama. Keluhan lain, seperti demam, sakit kepala, batuk, nyeri di
daerah wajah di sangkal. Pasien belum pernah berobat ke dokter sebelumnya untuk keluhan
telinganya.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien sering mengalami keluhan pilek dan hidung tersumbat apabila terpapar debu saat
membersihkan rumah. Pasien mengatakan ada alergi yaitu alergi debu. Riwayat penyakit asama
tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Di keluarga tidak ada riwayat alergi. Riwayat penyakit asma juga tidak ada.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS LOKALIS
Telinga

26
Dextra Sinistra

Bentuk daun telinga Normotia Normotia


Kelainan Kongenital Mikrotia (-), anotia (-), atresia Mikrotia (-), anotia (-), atresia
(-), fistula (-), bat ear (-) (-), fistula (-), bat ear (-)
Radang, Tumor Preaurikuler: tidak ada Preaurikuler: tidak ada
Retroaurikuler: tidak ada Retroaurikuler: tidak ada
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (+) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri (+) Nyeri (-)
Kelainan pre-, infra-, Massa (-), hiperemis (-), Massa (-), hiperemis (-),
retroaurikuler odem (-), nyeri (-), fistula (-) odem (-), nyeri (-), fistula (-)
Region Mastoid Massa (-), hiperemis (-), Massa (-), hiperemis (-),
odem (-), nyeri (-), abses (-) odem (-), nyeri (-), abses (-)
liang telinga Sempit, furunkel (-), jar. Lapang, furunkel (-), jar.
granulasi (-), serumen granulasi (-), serumen
(-),edem (+), sekret (-), darah (-),edem (-),sekret (-), darah
(-), hiperemis (+), (-), hiperemis (-),kolesteatom
kolesteatom (-), laserasi (+), (-), laserasi (+), hifa (-)
hifa (-), clotting (+)
Membran Timpani Utuh, suram (+), reflex Utuh, reflex cahaya (+),
cahaya (+), bulging (-), bulging (-), perforasi (-),
perforasi (-), sekret (-), sekret (-), retraksi (-)
retraksi (-)

Tes Penala
Kanan Kiri
Rinne Positif Positif
Weber Lateralisasi ke kanan
Swabach Memanjang Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesan : Tuli konduktif pada telinga kanan

Hidung
Dextra Sinistra
Bentuk Normal, tidak deformitas Normal, tidak deformitas
Tanda peradangan Hiperemis (-), Odem (-), nyeri Hiperemis (-), Odem (-), nyeri
(-) (-)

27
Daerah sinus frontalis dan Hiperemis (-), Odem (-), nyeri Hiperemis (-), Odem (-), nyeri
maxillaris (-) (-)
Vestibulum Laserasi (-), massa (-), Laserasi (-), massa (-),
furunkel (-), sekret (-) furunkel (-), sekret (-)
Cavum Nasi Lapang, massa (-), sekret (+) Lapang,massa (-), sekret (+)
encer, bening, hiperemis (-) encer, bening, hiperemis (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), hiperemis (-), Hipertrofi (-), hiperemis (-),
livide (+) livide (+)
Meatus nasi inferior Terbuka, sekret (-),massa (-), Terbuka, sekret (-),massa (-),
edema (-) edema (-)
Konka Medius Edema (-), hipertrofi (-), Edema (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-), livide (-), hiperemis (-), livide (-)
Meatus nasi medius sekret (-), massa (-), edema sekret (-), massa (-), edema
(-) (-)
Septum nasi Deviasi (-), hematoma (-), Deviasi (-), hematoma (-),
abses (-), perforasi (-) abses (-), perforasi (-)

Rhinopharhinx
Koana : Tidak dapat dilakukan
Septum nasi posterior : Tidak dapat dilakukan
Muara tuba eustachius : Tidak dapat dilakukan
Tuba eustachius : Tidak dapat dilakukan
Torus tubarius : Tidak dapat dilakukan
Post nasal drip : Tidak ada (-)

Pemeriksaan Transluminasi
Sinus Frontas kanan, Kiri : tidak dilakukan
Sinus Maxilla kanan, Kiri : tidak dilakukan

Tenggorokan
Pharynx
Dinding pharynx : Hiperemis (-), Ulkus (-), mukosa tidak rata, granul (-)
Arcus : Hiperemis (-), simetris
Tonsil : T1-T1 tenang, hiperemis (-), kripta (-), detritus (-)
Uvula : Di tengah, bifida (-), simetris, tidak memanjang

28
Gigi : gigi berlubang (-), caries (-), gigi palsu (-)

Larynx
Epiglotis : Tidak dilakukan
Plica aryepiglotis : Tidak dilakukan
Arytenoidds : Tidak dilakukan
Ventricular band : Tidak dilakukan
Pita suara : Tidak dilakukan
Rima glotidis : Tidak dilakukan
Cincin trachea : Tidak dilakukan
Sinus Piriformis : Tidak dilakukan
Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan palpasi.

RESUME
Anamnesis
Pasien datang ke poliklinik dengan keluhan otalgia pada auricula dextra sejak 2 hari
SMRS. Pasien mengatakan bahwa awalnya telinga terasa penuh dan gatal sehingga pasien
mengorek-ngorek telinganya menggunakan cotton bud. Pada telinga kanan otorea (+) jernih,
pendengaran berkurang dan tinitus (+). Pasien juga mengeluh sudah 1 minggu ini pilek yaitu
dengan gejala bersin-bersin, hidung terasa tersumbat, rinorea (+) encer dan banyak. Pasien
mengatakan sering bersin-bersin dan hidung terasa tersumbat hilang timbul sekitar 1-2 kali
dalam seminggu. Keluhan muncul bila terpapar debu saat membersihkan rumah. Keluhan tidak
dipengaruhi posisi tubuh dan tidak mengganggu kegiatan sehari-hari. Gejala tersebut dirasakan
sudah sejak lama. Keluhan lain, seperti demam, sakit kepala, batuk, nyeri di daerah wajah,
disangkal. Pasien memiliki riwayat alergi debu dan di keluarga tidak ada riwayat alergi.

Pemeriksaan Fisik

29
Telinga
- Pada telinga kanan: didapatkan nyeri tekan tragus, nyeri penarikan daun telinga. Pada
pemeriksaan dengan otoskop didapatkan liang telinga sempit, udem, hiperemis, laserasi,
dan clotting, membran timpani suram, reflek cahaya (+).
- Pada telinga kiri, didapatkan laserasi (+).
- Pada pemeriksaan penala didapatkan kesan tuli konduktif telinga kanan.

Hidung

Konka inferior kanan dan kiri tampak livid. Terdapat sekret (bening) pada cavum nasi kanan dan
kiri.

Tenggorok

Pada pemeriksaan faring dalam batas normal.

IV. DIAGNOSIS KERJA

Otitis Eksterna Difusa Auricula Dextra

Dasar yang mendukung:

Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan nyeri telinga sejak 2 hari yang lalu. Telinga terasa penuh
dan gatal. Riwayat mengorek telinga (+)

Pemeriksaan fisik:

Terdapat nyeri tekan tragus, nyeri tarik telinga, dan pemeriksaan otoskopi: liang telinga
sempit, edema dan hiperemis.

30
Rhinitis Alergi Intermitten Ringan

Dasar yang mendukung:

Anamnesis
- Riwayat bersin dan tersumbat bila terpapar debu yang hilang timbul 1-2 kali dalam
seminggu.
Pemeriksaan fisik:

- Kavum nasi terdapat sekret dan konka inferior livid

V. DIAGNOSIS BANDING

Otomikosis
Dasar yang mendukung
Telinga terasa penuh dan gatal
Dasar yang tidak mendukung
Belum dilakukan pemeriksaan dengan KOH 10%

Otitis Eksterna Sirkumskripta (furunkelosis)


Dasar yang mendukung:
Anamnesis
Nyeri telinga
Pemeriksaan fisik
nyeri tekan tragus, nyeri tarik telinga, liang telinga sempit
Dasar yang tidak mendukung:
Pada liang 1/3 luar tidak terlihat bisul/ furunkel pada pemeriksaan otoskopi

Rhinitis Vasomotor
Dasar yang mendukung:
Anamnesis:

Bersin-bersin, hidung tersumbat, sekret encer.

Pemeriksaan fisik:

31
Terdapat sekret

Dasar yang tidak mendukung:


Tidak dipengaruhi perubahan posisi yang menyebabkan hidung tersumbat bergantian.

VII. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN


1. Skin test
2. Swab telinga untuk pemeriksaan mikroskopis KOH dan kultur.

VIII. PENATALAKSANAAN
Otitis Eksterna
Medika mentosa
Membersihkan liang telinga
Pemasangan tampon yang mengandung antibiotika ke liang telinga
Tetes telinga seperti Otopain (polimiksin B 10.000 UI, neomisin sulfate 5 mg,
fludocortisone acetate 1 mg) 3 kali 5 tetes (S 3 dd gtt 5) AD.
Non medikamentosa
Jangan mengorek telinga

Rhinitis Alergi
Medika mentosa :
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara
peroral. Ada 2 jenis antihistamin yaitu:
Antihistamin generasi pertama, yang dapat menyebabkan gejala mengantuk pada

kebanyakan orang. Contoh obat antihistamin ini yaitu diphenhydramine dan klorfenamin
Antihistamin generasi kedua, yang biasanya tidak menyebabkan gejala mengantuk dan
contoh obat antihistamin atau merk obat antihistamin ini termasuk loratadin dan
cetirizine.
Pada kasus ini diberikan loratadin 10 mg 1 kali sehari (S 1 dd tab 1) dan pseudoefedrin
60 mg, 3 kali sehari (S 3 dd tab 1).
Non-medikamentosa :
Hindari paparan alergen
Menjaga higienitas hidung

32
Menjaga kesehatan tubuh

PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad sanationam: Dubia ad bonam
Ad fungtionam: Dubia ad bonam

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik THT yang dilakukan pada pasien ini, maka
dapat ditegakan diagnosis kerja yaitu otitis eksterna difus auricula dextra dan rhinitis alergi
intermitten ringan. Hasil anamnesis yang mendukung adanya nyeri telinga, dan telinga terasa
penuh dan gatal. Disebabkan oleh kebiasaan mengorek telinga. Ditemukan juga gejala hidung
tersumbat, terdapat sekret encer, bening dan banyak serta bersin-bersin terutama bila terpapar
debu rumah.
Pada pemeriksaan fisik telinga kanan, ditemukan nyeri tekan tragus, dan nyeri penarikan
daun telinga, liang telinga kanan sempit, hiperemis, udem, laserasi, dan terdapat clotting, serta
membran timpani tampak suram, reflek cahaya (+). Pada telinga kiri, didapatkan laserasi, lain-
lain dalam batas normal. Faktor predisposisi pada pasien ini ialah mengorek telinga.
Dengan gejala yang mendukung tersebut maka penulis mengambil kesimpulan adanya
otitis eksterna difus auricula dextra dan rhinitis alergi intermitten ringan. Penatalaksanaan
medika mentosa yang diberikan pada pasien ini yaitu dengan membersihkan liang telina,
pemasangan tampon antibiotika ke liang telinga dan pemberian obat tetes telinga seperti Otopain
(polimiksin B 10.000 UI, neomisin sulfate 5 mg, fludocortisone acetate 1 mg) 3 kali 5 tetes (S 3
dd gtt 5) AD.
Pemberian pengobatan antihistamin, yang diberikan dalam kasus ini adalah antihistamin
generasi kedua yang tidak menimbulkan efek sedatif yang dikobinasikan dengan dekongestan
yaitu loratadin 10 mg diberikan 1 kali sehari selama 5 hari dan dekongestan oral, seperti
pseudoefedrin 60 mg 3x1 selama 3 hari.

33
Prognosis ad vitam adalah bonam karena tidak mengancam nyawa pasien. Ad sanationam
adalah dubia ad bonam karena bila pengobatan tidak adekuat dan kontak dengan alergen tidak
dihindari maka dapat berlanjut menjadi sinusitis. Ad functionam adalah dubia ad bonam

KESIMPULAN
Otitis eksterna adalah radang pada liang telinga akut maupun kronis yang
disebabkan infeksi bakteri, virus dan jamur dengan gejalanyeri tekan tragus, nyeri penarikan
daun telinga, udem, hiperemis, rasa penuh di telinga dan gatal. Pencegahannya dengan tidak
melakukan pengorekan pada telinga.
Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Pemeriksaan alergi dengan tes kulit terhadap berbagai allergen mungkin
dapat menunjang penegakan diagnosis rinitis alergi. Pengobatan rinitis alergi bergantung pada
tingkat keparahan penyakit. Namun yang terpenting adalah dengan menghindari alergen pemicu.

DAFTAR PUSTAKA

34
1. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Telinga, hidung, teggorok, kepala dan leher.
Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h. 118-310.
2. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h. 34-41.
3. Boies, L. R. Penyakit telinga luar: BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Balai
Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta: 1997.h.76-9.
4. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli) : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-7. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta: 2014.h.10-8.
5. Kridel RWH, Kelly PE, MacGregor AR. The nasal septum. In: Cummings, C.W., et al.
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th Ed. Philadelphia: Mosby; 2005. P.1001.
6. Bailey B.J., Johnson J. T., Newlands S. D., Head & Neck Surgery
Otolaryngology. 4th Edition. Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia:2006.p.78-88.
7. Restuti RD, Bashiruddin J, Damajanti S, Soepardi EA, Iskandar N.Kelainan telinga luar.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.h.50-1.
8. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam: Lalwani
KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery second
edition. New York: Lange McGrawHill Comp, 2007.p. 112-117.

35

Anda mungkin juga menyukai