Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pneumonia adalah peradangan akut yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. 6
Pada saat ini, pneumonia dikenal menjadi 2 kelompok utama yaitu pneumonia
komunitas yang merujuk kepada sumber kuman yang berasal dari lingkungan dan
pneumonia nosokomial yaitu sumber kuman yang berasal dari rumah sakit. 3 Pneumonia
nosokomial didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi 48 jam atau lebih setelah
dirawat di rumah sakit, baik di ruang rawat umum ataupun ICU tetapi tidak sedang
3,4,11
memakai ventilator. American Thoracic Society (ATS) membagi pneumonia
nosokomial menjadi dua, yaitu onset awal (biasanya kurang dari empat hari pertama
sejak masuk rumah sakit) dan onset lambat (biasanya muncul setelah 5 hari di rumah
sakit). Pneumonia nosokomial onset awal memiliki prognosis yang lebih baik dari pada
pneumonia nosokomial onset lambat. 11
Untuk pneumonia pada pasien yang dirawat di ICU dengan memakai
ventilator setalah 48-72 jam atau intubasi tracheal, dikenal dengan istilah pneumonia
3,4,11
berhubungan ventilator (PVB). Healthcare-Associated Pneumonia adalah pasien
yang dirawat lebih dari 2 hari atau 90 hari terakhir, tinggal di perawatan jangka panjang,
mendapatkan antibiotik intravena, kemoterapi, perawatan luka 30 hari, dan menjalani
hemodialisa. 11

B. Epidemiologi
Penyakit saluran nafas menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan yang
tinggi di seluruh dunia. Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah akut
di parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%. 3 Hasil penelitian Centers for
Diseases Control and Prevention sekitar 1,1 juta orang di Amerika Serikat masuk rumah
sakit dengan pneumonia dan lebih dari 50.000 orang mati karena pneumonia pada tahun
2009.4 Kejadian pneumonia di Inggris diperkirakan sekitar 6 kasus untuk setiap 1000
orang untuk usia 18-39 tahun. Pada orang-orang dengan usia > 75 tahun angka
kejadiannya menjadi 75 kasus untuk setiap 1000 orang. Penelitian prospektif pada
pasien dewasa di Malaysia tahun 2004, menunjukkan 13 pasien (12%) meninggal di
rumah sakit dan 95 (88%) pasien sembuh. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, pneumonia
komuniti menduduki peringkat ke-empat dari sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat
pertahun. Angka kematian pneumonia komuniti yang dirawat inap berkisar antara 20-
35%.1
Pneumonia nosokomial merupakan salah satu infeksi nosokomial yang paling
sering ditemukan, dengan dampak yang signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas
pasien, serta pada biaya perawatan kesehatan. Pneumonia nosokomial merupakan
5
penyakit nosokomial kedua yang paling sering terjadi di Amerika Serikat. Angka
kematian kasar untuk PN sekitar 30-70%.4 Secara keseluruhan risiko PBV diperkirakan
sebesar 3% per hari selama 5 hari pertama penggunaan ventilasi mekanis, 2% per hari
selama 6-10 hari, dan 1% per hari selama lebih dari 10 hari penggunaan ventilasi
mekanis, dengan setiap hari ventilasi mekanis menambahkan risiko infeksi. 5

C. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita
oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan
pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan
pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan
dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari
pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif.3

a. Etiologi Pneumonia Komunitas


Pada pneumonia komunitas (PK) etiologi penyebab sering berbeda-beda seperti: 4
1. Usia Lanjut
Streptococcus pneumoniae merupakan mikroorganisme yang paling umum
ditemukan pada pasien usia lanjut yang dirawat dengan pneumonika
komunitas, sekitar 19-58% kasus. H. influenzae jarang ditemukan.
2. PPOK
PPOK merupakan kondisi komorbid yang paling sering pada pasien dengan
pneumonia komunitas. Insidens Pseudomonas aerginosa dan basil gram
negatif lainnya meningkat pada PPOK.
3. Alkoholisme
Mengkonsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadi pneumonia komunitas.
Str. pneumoniae sering ditemukan pada pasien dengan penyalahgunaan
alkohol. Pneumonia komunitas pada orang alkoholisme lebih berat daripada
yang lain, tetapi angka kematiannya tidak berbeda.
4. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus berhubungan erat dengan angka kematian yang tinggi pada
pneumonia komunitas. Diabetes mellitus lebih sering ditemukan pada pasien
dengan bakteriemi pneumococcal pneumonia dibandingkan dengan non-
bakteriemi pneumococcal pneumonia atau pneumonia komunitas dengan
penyebab lain.

b. Etiologi Pneumonia Nosokomial


Orang-orang yang dirawat di rumah sakit menempatkan mereka risiko
terjadinya infeksi nosokomial. Perubahan dalam fungsi kekebalan tubuh
memungkinakan patogen menyebabkan infeksi invasif yang tidak akan terjadi pada
orang sehat. Banyak pasien rawat inap mengalami gizi buruk, hal ini meningkatkan
risiko terjadinya infeksi. Penyakit yang parah dan gangguan hemodinamik juga
dikaitkan dengan peningkatan angka kejadian pneumonia nosokomial. 5
Aspirasi sekresi orofaringeal memiliki peran penting dalam perkembangan
pneumonia nosokomial. Sebanyak 45% dari semua orang yang sehat mungkin
mengalami aspirasi selama tidur. Namun, fungsi kekebalan tubuh yang menurun,
gangguan mukosilier saluran pernapasan, dan adanya organisme patogen membuat
aspirasi berkontribusi terjadinya pneumonia nosokomial.11 Posisi telentang
memberikan kontribusi besar terhadap risiko aspirasi dan menunjukkan peningkatan
angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang dirawat inap. 5
Orofaring dari pasien yang dirawat inap sering terdapat kolonisasi patogen
gram negatif. Faktor risiko patogen ini meliputi perawatan di rumah sakit yang lama,
merokok, bertambahnya usia, uremia, pemberian antibiotik sebelumnya, konsumsi
alkohol, intubasi endotrakeal, koma, operasi besar, malnutrisi, kegagalan multiorgan,
dan neutropenia. Selain itu, penggunaan profilaksis ulkus peptikum, seperti histamin
blocker dan pompa proton inhibitor, yang kini sering digunakan untuk pasien di unit
perawatan intensif (ICU). Sementara histamin blocker dan pompa proton inhibitor
yang efektif dalam mencegah perdarahan gastrointestinal, penggunaannya juga
dikaitkan dengan peningkatan kolonisasi gram negatif dari saluran pernafasan dan
pencernaan, meningkatkan risiko terjadinya pneumonia nosokomial. Pada akhirnya,
benda asing, seperti endotrakeal tube dan nasogastrik tube, menyediakan sumber
untuk kolonisasi dan bertindak sebagai saluran langsung untuk migrasi patogen pada
saluran pernapasan bawah. 5

Tabel 1. Faktor Risiko Utama Untuk Patogen Tertentu Pada pneumonia


nosokomial 3
Patogen Faktor Risiko
Staphylococcus aureus Koma, cedera kepala, influenza, pemakaian
Methicillin resisten S. aureus obat IV, DM, gagal ginjal
Pernah dapat antibiotik, ventilator > 2 hari
Lama dirawat di ICU, terapi
Ps. Aeruginosa steroid/antibiotik
Kelainan struktur paru (bronkiektasis, kistik
fibrosis), malnutrisi
Anaerob Aspirasi, selesai operasi abdomen
Antibiotik sebelum onset pneumonia dan
Acinobachter spp.
ventilasi mekanik

D. Patogenesis & Patofisiologi


Paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah kuman masuk ke
dalam paru. Daya pertahanan paru ini terdiri dari beberapa mekanisme sebagai berikut: 1
a. Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi:
Reepitelisasi saluran napas
Aliran lendir pada pemukaan epitel
Bakteri alamiah atau epithelial cell binding site analog
Faktor humoral lokal (Ig G dan Ig A)
Kompetisi mikroba setempat
6. Sistem transport mukosilier
Refleks bersin dan batuk
Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan mekanisme
pertahanan melalui barrier anatomi dan mekanis terhadap masuknya mikroorganisme
yang patogen. Silia dan mucus mendorong keluarnya mikroorganisme dengan cara
dibatukkan atau ditelan.
Bila terjadi disfungsi dari silia seperti pada Sindroma Kartageners, pemakaian
pipa nosogastrik dan pipa nasotrakeal yang lama dapat menganggu aliran dari secret
yang telah terkontaminasi dengan kuman patogen. Dalam keadaan ini dapat terjadi
infeksi nosokomial (pneumonia nosokomial).
b. Mekanisme pembersihan di Respiratory exchange airway, meliputi:
1. Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan
2. Sistem kekebalan humoral lokal (Ig G)
3. Makrofag alveolar dan mediator inflamasi
4. Penarikan Netrofil
Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan paru
(saluran napas atas). Ig A merupakan salah satu bagai dari sekret hidung (10% dari
total protein sekret hidung). Penderita defisiensi Ig A memiliki resiko infeksi saluran
napas atas berulang . Kuman yang sering mengadakan kolonisasi pada saluran napas
atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan merusak Ig A. Kuman gram negative
(P. aeruginosa, E.coli, Serratia spp, Proteus spp, dan K. pneumoniae) mempunyai
kemampuan untuk merusak Ig A. Defisiensi dan kerusakan dari setiap komponen
pertahanan saluran napas atas akan menyebabkan kolonisasi kuman patogen yang
mempermudah terjadinya infeksi saluran napas bawah.
c. Mekanisme Pembersihan di Saluran Udara Subglotik
Mekanisme pertahanan dari saluran napas subglotik terdiri dari anatomic,
mekanik, humoral dan komponen seluler. Mekanisme penutupan dan reflek batuk dari
glotis merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari orofaring. Bila terjadi
gangguan fungsi dari glotis, maka hal ini merupakan bahaya bagi saluran napas
bagian bawah yang dalam keadaan normal bersifat streril. Tindakan pemasangan pipa
nasogastrik, alat trakeostomi memberikan kemudahan bagi masuknya kuman patogen
secara langsung ke saluran napas bawah. Gangguan fungsi dari mukosilier dapat
mempermudah masuknya kuman patogen ke saluran napas bawah, bahkan infeksi
akut oleh kuman-kuman M. pneumoniae, H. influenzae, dan virus, juga dapat merusak
gerakan silia.
d. Mekanisme Pembersihan di Respiratory Gas Exchange Airway
Bronkiolus dan alveoli mempunyai mekanisme pertahanan sebagai berikut:
. Cairan yang melapisi alveoli:
Surfaktan
Suatu Glikoprotein yang kaya lemak. Terdiri dari beberapa komponen SP-A, SP-
B, SP-C dan SP-D yang berfungsi memperkuat daya fagositosis terhadap bakteri
oleh makrofag.
Aktivitas anti bakteri
Berupa FFA, lisozim, dan iron binding protein.
2. Ig G (Ig G1 dan Ig G2 yang berfungsi sebagai opsonin)
3. Makrofag alveolar yang berperan sebagai mekanisme
pertahanan pertama
4. Berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus
e. Mediator Biologi
Dalam keadaan sehat, saluran napas bawah manusia tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini disebabkan adanya mekaniseme pertahanan
paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme,
dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk dan berkembang biak serta
menimbulkan penyakit. 1
Risiko terjadinya infeksi sangat bergantung pada kemampuan mikroorganisme
untuk mencapai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme untuk mencapai permukaan saluran napas: 1
a. Inokulasi langsung
b. Penyebaran melalui pembuluh darah
c. Inhalasi bahan aerosol
d. Kolonisasi pada permukaan mukosa
Inhalasi sering terjadi pada infeksi virus, infeksi mikroorganisme atipikal,
infeksi mikobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5-0,2 mm
melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi
infeksi. Bila terjadi kolonisasi mikroorganisme pada saluran napas atas kemudian
terjadi aspirasi ke saluran pernapasan bagian bawah dan terjadi inokulasi, maka hal
ini merupakan awal dari permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru.
Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur
(50%) juga pada keadaan penurunan kesadaraan, peminum alkohol dan pemakai
obat (drug abuse). 1
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi yaitu 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. 1
Dalam perjalan penyakit pneumonia, penyakit berlangsung dalam 4 stadium klinis,
yaitu: 8
1. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel
imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan
otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
penderita akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu
selama 48 jam.
3. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena
berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak
lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.

E. Klasifikasi
A. Berdasarkan klinis dan epidemiologis1
1. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
2. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia)
3. Pneumonia aspirasi
4. Pneumonia pada penderita immunocompromised
B. Berdasarkan kuman penyebab1
1. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa kuman
mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphylococcus pada penderita pasca infeksi influenza
2. Pneumonia atipikal, disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella, dan Chlamydia
3. Pneumonia virus
4. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder.
C. Berdasarkan predileksi infeksi1
1. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus.
2. Bronkopneumonia. Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat pada lapangan
paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang
tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
3. Pneumonia interstisial

F. Diagnosis
Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian
terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit, dan
perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Diagnosis didasarkan pada riwayat penyakit
yang lengkap, pemeriksaan fisis yang teliti dan pemeriksaan penunjang. 3
G. Anamnesis9
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil ( 38oC), batuk
dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri
dada.
H. Pemeriksaan Fisik9
Pada pemeriksaan fisik dada bergantung dari luas lesi di paru. Pasien dengan
pneumonia akan mengalami peningkatan frekuensi pernapasan. Pada inspeksi terlihat
bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi stremfremitus dapat
meningkat, pada perkusi redup, pada auskultasi dapat terdengar suara napas
(bronkovesikuler) sampai bronchial, dapat disertai ronki basah halus, yang kemudian
menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

I. Pemeriksaan Penunjang9
a. Pemeriksaan radiologis: foto toraks PA/lateral, Gambaran radiologis dapat berupa
infiltrat sampai konsolidasi dengan "air bronchogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kavitas. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi
yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
b. Pemeriksaan laboraturium: terdapat peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10.000/ul
kadang-kadang dapat mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED.
c. Kultur darah: Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati dan
paling sering hasilnya berupa Streptococcus pneumonia. 6
d. Analisa gas darah: Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
Berdasarkan epidemiologis diagnosis pneumonia nosokomial berdasarkan kriteria
Centers for Diseases Control and Prevention, yaitu: 4,5
1. Radiologi (dua atau lebih kriteria berikut)
Infiltrat baru atau progresif dan persisten
Konsolidasi
Kavitasi
2. Dan tanda/gejala/laboratorium (sekurang-kurangnya satu dari kriteria berikut)
Demam > 38oC
Leukopenia (< 4.000 WBC/L) atau leukositosis ( 12.000 WBC/L)
Untuk umur > 70 tahun, terdapat perubahan mental status dengan sebab yang
tidak diketahui
3. Dan sekurang-kurangnya dua dari kriteria berikut:
Onset awal sputum purulen, atau perubahan karakter sputum, atau peningkatan
sekresi respirasi, atau peningkatan penggunaan suction
Memburuknya pertukaran gas, peningkatan kebutuhan oksigen, atau
meningkatnya penggunaan ventilasi
Onset awal atau batuk yang semakin parah, atau dispneu, atau takipneu
Suara nafas bronkial atau ronki
Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komuniti dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) seperti tabel 2 berikut.1

Tabel 2. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT


Karakteristik Penderita Jumlah Poin
Faktor demografi
Usia: laki-laki Umur (tahun)
Perempuan Umur (tahun)-10
Perawatan dirumah + 10
Penyakit penyerta
Keganasan +30

Penyakit hati +20

Gagal jantung kongestif +10

Penyakit cerebrovaskular +10

Penyakit ginjal +10


Pemeriksaan fisik
Perubahan status mental +20

Pernapasan 30 kali/menit +20


+20
Tekanan darah sistolik 90 mmHg
+15
Suhu tubuh < 35oC atau 40 oC
+10
Nadi 125 kali/menit
Hasil laboratorium/radiologik
Analisis gas darah arteri: pH 7,35
+30
BUN > 30 mg/dL +20
Natrium < 130 mEq/liter +20
Glukosa > 250 mg/dL +10
Hematokrit < 30% +10

PO2 60 mmHg +10


+10
Efusi pleura

Berdasarkan kesepakatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2003, kriteria


yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah:
a. Skor PORT lebih dari 70
b. Bila skor PORT kurang dari 70 maka penderita tetap perlu di rawat inap bila dijumpai
salah satu dari kriteria dibawah ini:
Frekuensi napas > 30 kali/menit
PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Gambaran rontgen paru menunjukkan kelainan bilateral
Gambaran rontgen paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
c. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Selain skor PORT, untuk mengidentifikasi pasien dengan pneumonia komuniti yang
memerlukan rawat inap atau rawat jalan dapat digunakan kriteria CURB-65. 6,10
Tabel 3. Skor CURB-65
Faktor Klinis Poin
Penurunan kesadaran 1
Ureum darah > 19 mg/dL 1
Frekuensi pernapasan 30 kali/menit 1
Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
1
tekanan darah diastolik 60 mmHg
Usia 65 tahun 1
Interpretasi skor CURB-65:
0-1 : rawat jalan
2 : rawat inap
3 : indikasi pneumonia berat dan rawat inap

J. Tatalaksana
Terapi pneumonia dilandaskan pada diagnosis berupa antibiotik (AB) untuk
mengeradikasi mikroorganisme yang diduga sebagai kausalnya.
Macam-macam antibiotik berdasarkan jenis kuman.1
a. Penisilin sensitif Streptococcus pneumoniae (PSSP)
Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid
b. Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
Makrolid baru dosis tinggi
Fluorokuinolon respirasi
c. Pseudomonas aeruginosa
Aminoglikosid
Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
Tikarsilin, Piperasilin
Karbapenem : Meropenem, Imipenem
Siprofloksasin, Levofloksasin
d. Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
Vankomisin
Teikoplanin
Linezolid
e. Hemophilus influenzae
TMP-SMZ
Azitromisin
Sefalosporin generasi 2 atau 3
Fluorokuinolon respirasi
f. Legionella
Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin
g. Mycoplasma pneumoniae
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon

h. Chlamydia pneumoniae
Doksisikin
Makrolid
Fluorokuinolon

Pneumonia Komunitas
Tatalaksana pneumonia komunitas dewasa berdasarkan derajat keparahan dengan
menggunakan skor CURB-65, yaitu:
Gambar 1. Tatalaksana pneumonia komunitas dewasa berdasarkan derajat keparahan dengan
menggunakan skor CURB-65 (Western Australian Therapeutic Advisory Group (WATAG),2005)
Terapi antibiotik empirik pada pneumonia komunitas berdasarkan kondisi pasien10
a. Pada pasien rawat jalan
1. Sebelumnya sehat dan tidak ada faktor risiko resistensi obat S. pneumoniae:
Makrolida (azithromycin, clarithromycin, atau erythromycin)
Doksisiklin
2. Terdapat komorbiditas, seperti penyakit kronik pada jantung, paru-paru, hati,
atau ginjal; diabetes mellitus; alkoholisme; keganasan; asplenia; menggunakan
obat-obat imunosupresif; sebelumnya (3 bulan) menggunakan antibiotik; atau
risiko lain resistensi obat S. pneumonia:
Respiratory fluroquinolone (moxifloxacin, gemifloxacin, atau levofloxacin 750
mg)
Beta-laktam (ceftriaxone, cefpodoxime, and cefuroxime [500 mg 2xsehari])
ditambah makrolida (dosis tinggi amoxicillin atau doxycycline) atau
amoxicillin-clavulanate (2 g 2x1 hari);
b. Pasien rawat inap non-ICU
Respiratory fluroquinolone
Beta-laktam (cefotaxime, ceftriaxone, and ampicillin) ditambah makrolida
c. Pasien rawat inap ICU
Beta-laktam (cefotaxime, ceftriaxone, atau ampicillin-sulbactam) ditambah
azithromycin atau fluoroquinolone
Pada infeksi Pseudomonas, digunakan antipneumococcal, antipseudomonal -
laktam (pipeacillin-tazobactam, cefepime, imipenem, atau meropenem) ditambah
ciprofloxacin atau levofloxacin (dosis 750 mg) atau beta-laktam ditambah
aminoglikosida dan azitrhromycin atau beta-laktam ditambah aminoglikosida adan
antipneumococcal fluroquinolone
Pada infeksi MRSA, ditambahkan vancomycin atau linezolid

Pneumonia Nosokomial
Organisme Penyebab dan Terapi Empirik5
Infeksi Organisme Penyebab Terapi Empirik
Pneumonia Nosokomial,
Onset awal; tidak ada H. influenza, S.
risiko patogen resisten penumoniae, MSSA, Ceftriaxone 1 g IV
multidrug basil gram negative (1x1hari)
atau enterobakteriae atau
(Klebsiella, E. coli, Moxifloxacin 400 mg IV PO
Serratia), anaerob, (1x1hari)
Legionella
Onset lambat; ada risiko H. influenza, S. Piperacillin/tazobactam 4,5 g IV
patogen resisten multidrug penumoniae, MSSA, (1x6 hari)
basil gram negative atau
atau enterobakteriae Cefepime 1 g IV
(Klebsiella, E. coli, (1x8 hari)
Serratia), anaerob, atau
Legionella dan P. Ciprofloxacin 400 g IV +
Aeruginosa; MRSA Clindamycin 600 g IV
(1x8 hari)
Berhubungan dengan
ventilator
Onset awal (< 5 hari) S. pneumoniae; H. Ceftriaxone 1 g IV
Influenzae; MSSA; (1x1hari)
Enterobacteraciae atau
Moxifloxacin 400 mg IV/PO
(1x1hari)
Onset lambat ( 5 hari) Bakteri gram negatif; Piperacillin/tazobactam 4,5 g IV
Enterobacteraciae; P. (1x6hari)
Aeruginosa; MRSA; aminoglycoside
Acinetobacter spp atau
ciprofloxacin 400 mg IV
(1x12 hari)
aminoglycoside
atau
cefepime 1 g IV
(1x8 hari)
aminoglycoside
+ vancomycin 15 mg/kgBB IV
(1x12 hari)
atau
linezolid 600 mg IV
(1x12 hari)
Immunocompromised Legionella; jamur Azithromycin 500 mg IV
(1x1 hari)
fluconazole 200 mg IV
(1x1 hari)
K. Pencegahan
Pneumonia Komunitas (community-acquired pneumonia)
Pemberian vaksinasi influenza dan pneumokokus dil luar negeri sangat dianjurkan
terhadap orang dengan resiko tinggi, misalnya pasien dengan gangguan imunologis, penyakit
berat termasuk penyakit paru kronik, hati, ginjal dan jantung. Vaksinasi juga dapat diberikan
untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik, dan usia diatas 65
tahun.3
Pneumonia Nosokomial (hospital-acquired pneumonia)
Pencegahan pneumonia nosokomial berkaitan erat dengan prinsip umum pencegahan
infeksi dengan cara penggunaan peralatan invasif yang tepat. Pada pasien yang gagal organ
miultipel, skor Aphace-II yang tinggi dan penyakit dasar yang dapat berakibat fatal perlu
diberikan terapi pencegahan. Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya pneumonia
nosokomial. Faktor resiko tersebut, ada beberapa faktor penting tidak bisa dikoreksi.
Beberapa dapat dikoreksi untuk mengurangi terjadinya pneumonia nosokomial, yaitu antara
lain dengan pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal atau pemakaian obat
sitoprotektif sebagai pengganti antagonis H2 dan antasid. 3

DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarsono. Pneumonia. Dalam: Wibisono MJ, Winariani, Slamet H (Editor). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr.
Soetomo; 2010. hal.159-149.
2. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2005: Masyarakat Yang
Mandiri Untuk Hidup Sehat. Jakarta; 2008. hal. 29.
3. Dahlan Z. Pneumonia. Dalam: Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A, Marcellus S, Siti S
(Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
2009. hal. 2206-2196.
4. Gupta D, Ritesh A, Ashutosh NA, Navnett S, Narayan M, Khailnani, et al. Guidelines
for Diagnosis And Management of Community And Hospital-Acquired Pneumonia in
Adults: Joint ICS/NCCP (I) Recommendations. Supplement 2; 2012; p. 562-527.
5. Kieninger AN, Pamela AL. Hospital-Acquired Pneumonia: Pathophysiology,
Diagnosis, and Treatment. Elsevier; 2009. p. 461-439.
6. Kandi S. Diagnosis of Community Acquired Pneumonia. India: Supplement to Japi;
2012; 60: 20-17.
7. Cunha BA, Fred AL, Francisco T, Charles VS, Michael SB. Community-Acquired
Pneumonia. Medspace; 2013. p. 88-70.
8. Price SA, Wilson, Lorraine M. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Vol.2 Edisi 7. Jakarta: EGC; 2008. hal. 1136-1145.
9. Toward Optimize Practice. Guideline For The Diagnosis And Management of
Community Acquired Pneumonia: Adult. Alberta Medical Association; 2008. p. 517-499.
10. Mandell LA, Richard GW, Antonio A, John GB, Douglas C, Nathan CD, et al.
Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society Consensus Guidelines
on The Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Supplement 2; 2007;
p. 72-27.
11. The American Thoracic Society and The Infectious Diseases Society of America.
Guidelines for The Management of Adults with Hospital-Acquired, Ventilator-Associated,
and Healthcare-Associated Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med (171); 2005; p. 416-
388.
guyton
https://twitter.com/PenyakitDalam
Pada tahun 2004-2006, dan 2008 proporsi penderita laki-laki (54,9%) lebih tinggi dari
proporsi penderita perempuan (47,6%) sedangkan tahun 2007 proporsi laki-laki(45,1%) lebih
rendah dari proporsi perempuan(54,9%).
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru, dengan beberapa atau seluruh
alveoli terisi cairan dan sel sel darah. Jenis pneumonia yang umum adalah pneumonia
bakterial, yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan
infeksi dalam alveoli; membran paru mengalami peradangan dan berlobang-lobang sehingga
cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam
alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi secara progresif terisi dengan cairan dan
sel-sel, dan infeksi menyebar melalui perluasan bakteri atau virus dari alveolus ke alveolus.
Akhirnya, daerah luas pada paru, menjadi berkonsolidasi yang berarti bahwa paru terisi
cairan dan sisa-sisa sel.
Pada pneumonia, fungsi pertukaran udara paru berubah dalam berbagai stadium penyakit
yang berbeda-beda. Pada stadium awal, proses pneumonia dapat dilokalisasikan dengan baik
hanya pada satu paru, disertai dengan penurunan ventilasi alveolus, sedangkan aliran darah
yang melalui paru tetap normal. Ini mengakibatkan dua kelainan utama paru: (1) penurunan
luas permukaan total membran pernafasan dan (2) menurunnya rasio ventilasi-perfusi. Kedua
efek ini menyebabkan hipoksemia (oksigen darah rendah) dan hiperkapnia (karbon dioksida
darah tinggi).
Efek penurunan rasio ventilasi-perfusi pada pneumonia, memperlihatkan bahwa darah yang
mengalir melalui paru yang teraerasi menjadi 97% tersaturasi dengan oksigen, sedangkan
yang mengalir melalui sisa paru yang tidak teraerasi hanya 60% tersaturasi. Oleh karena itu,
saturasi rata-rata darah dipompakan oleh jantung kiri ke dalam aorta hanya sekitar 78%, yang
jauh dibawah normal.

Anda mungkin juga menyukai