PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Perdarahan pasca persalinan didefinisikan sebagai kehilangan darah 500
ml atau lebih setelah kala III persalinan selesai (Cunningham, 2014).
Perdarahan pasca persalinan (PPP) adalah perdarahan yang melebihi 500
ml setelah bayi lahir. Efek perdarahan pada ibu hamil bergantung pada volume
darah saat ibu hamil, seberapa tingkat hipervolemia yang sudah dicapai dan kadar
hemoglobin sebelumnya. Perdarahan pasca persalinan bukanlah suatu diagnosis
akan tetapi suatu kejadian yang harus dicari kausalnya. Sebagai patokan, setelah
persalinan selesai maka keadaan disebut aman bila kesadaran dan tanda vital
ibu baik, kontraksi uterus baik, dan tidak ada perdarahan aktif/merembes dari
vagina (Prawirohardjo, 2011).
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum,
faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah 4T (Tonus.
Tissue, Trauma, dan Trombin) dimana tonus paling banyak disebabkan oleh atonia
uteri, sedangkan tissue disebabkan oleh retensio plasenta, serta sisa plasenta;
trauma disebabkan salah satunya oleh perlukaan jalan lahir, serta trombin
biasanya akibat kelainan pembekuan darah (Prawirohardjo, 2011).
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian:
a. Perdarahan post partum primer (early postpartum hemorrhage) yang
terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan post partum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang
terjadi antara 24 jam sampai 6 minggu post partum (masa nifas)
(Cunningham, 2014).
2
kematian ibu yang paling umum di Indonesia adalah penyebab obsetri langsung
yaitu perdarahan 28 %, preeklamsia/eklampsia 24 %, infeksi 11 %, sedangkan
penyebab tidak langsung adalah trauma obsetri 5 % dan lain-lain 11 %
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Perdarahan pasca persalinan telah didefinisikan sebagai kehilangan darah
> 500 ml atau lebih setelah penyelesaian kala III persalinan. Hal ini menjadi
masalah karena hampir separuh wanita yang menjalani persalinan pervaginam
mengeluarkan sejumlah darah tersebut atau lebih saat diukur secara kuantitatif.
Hasil ini terlihat pada gambar dibawah ini yang menunjukkan hampir 5% wanita
dengan persalinan pervaginam kehilangan darah >1000 ml. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa perkiraan kehilangan darah adalah seringkali hanya
mendekati setengah dari kehilangan darah yang sebenarnya. Oleh karena itu,
perkiraan kehilangan darah lebih dari biasanya atau 500 ml harus diwaspadai oleh
dokter kebidanan untuk kemungkinan perdarahan hebat (Cunningham, 2014)
2.3.1 Tonus
2.3.1.1 Atonia Uteri
1. Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Cunningham,
2014).
Kegagalan uterus untuk berkontraksi dengan baik setelah melahirkan
merupakan penyebab tersering perdarahan selama kehamilan. Pada banyak
wanita, atoni uterus dapat diantisipasi dengan baik. Meskipun faktor resiko
telah diketahui dengan baik, kemampuan untuk mengedidentifikasi masih
terbatas. Rouses dkk, melakukan penelitian dari 23.900 wanita yang
melahirkan secara Sectio Caesarea, didapatkan hasil setengah dari wanita
tersebut mengalami atoni uteri tanpa didapatkan factor resiko sebelumnya
(Cunningham, 2014).
4
Uterus yang terlalu teregang dapat menyebabkan atoni uteri. Wanita
dengan bayi besar, bayi kembar, serta polihidramnion merupakan faktor
resiko terjadinya atoni uteri. Para wanita dengan kontraksi yang berlebihan
dan mengejan berlebihan pada awal persalinan (kala I) juga merupakan
faktor resiko terjadinya atoni uteri. Kehamilan yang diinduksi oleh
oksitosin juga biasanya dapat menjadi atonia uteri (Cunningham, 2014).
Paritas tinggi juga merupakan faktor resiko terjadinya atoni uterus.
Fuch dkk (1985) melakukan penelitan dengan sampel 5800 ibu dengan
para 7 atau lebih. Mereka melaporkan bahwa 2,7 persen kejadian
perdarahan postpartum meningkat 4 kali lipat. Babinzki dkk (1999)
melaporkan bahwa angka kejadian perdarahan postpartum menjadi 0,3
persen pada paritas rendah, akan tetapi 1,9 persen pada para 4 atau lebih.
Faktor resiko lain adalah riwayat perdarahan post partum sebelumnya dan
pada persalinan dengan percepatan kala III (Cunningham, 2014).
2. Etiologi
Over distensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor
resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan
oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau
abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau
kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah
di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir (Manuaba, 2007).
Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan
karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila
mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari
inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi
terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium
sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta
letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis,
septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi pada abruptio plasenta dan
hipotermia akibat resusitasi masif (Manuaba, 2007).
6
berkurang dari 12% menjadi 6%, dan perdarahan yang berat dari 1,2
% menjadi 0,2 % (Cunningham, 2014).
b. Perdarahan yang Tidak Berespon dengan Agen Uterotonika
Perdarahan terus berlangsung setelah pemberian oksitosin
beberapa kali, bisa disebabkan oleh adanya luka pada traktus genitalis,
termasuk beberapa kasus ruptur uteri. Pada keadaan tersebut,
dilakukan beberapa langkah managemen yang harus dilakukan
secepatnya, antara lain:
- Lakukan kompresi uterus bimanual, prosedur simpel yang dapat
mengontrol perdarahan uterus. Teknik ini meliputi pijatan pada
uterus sisi posterior dengan tangan pada abdomen dan pijatan
melalui vagina menuju dinding anterior uterus dengan tangan
yang satunya membentuk genggaman.
- Panggil bantuan!
- Tambahkan kateter intravena ukuran besar sehingga kristaloid dan
oksitosin dapat diberikan bersamaan dengan darah.
- Lakukan transfusi darah, golongan darah tiap pasien harus
diketahui terlebih dahulu, jika memungkinkan sebelum partus
dilakukan tes Coombs untuk mendeteksi antibodi eritrosit. Jika
hasilnya negative, maka transfuse silang tidak diperlukan.
- Eksplorasi cavum uterus secara manual untuk mengetahui ada
tidaknya sisa plasenta atau laserasi.
- Periksa serviks dan vagina untuk mencari ada tidaknya laserasi
- Masukan foley kateter untuk mengetahui output urin, yang mana
untuk mengetahui fungsi perfusi dari ginjal.
- Lakukan resusitasi cairan (Wiknjosastro, 2006).
c. Tindakan Operatif
Pada atoni uteri yang tidak responsif dengan terapi obat dan
dengan kompresi, tindakan bedah dapat dilakukan. Dari pengalaman
yang didapat tindakan ligasi arteri uterina pada perdarahan pada atoni
uteri kurang memberikan hasil dibandingkan dengan ligasi arteri
uterina pada perdarahan akibat histeretomi luas pada operasi sectio
caesarea (Cunningham, 2014).
Uterine Compression Sutures
Tahun 1997, B-Lynch dkk mengemukakan teknik tindakan
operatif terhadap perdarahan post partum yang berat yaitu dengan
8
2.3.2 Tissue
2.3.2.1 Retensio Plasenta
1. Definisi
Setelah janin lahir, beberapa menit kemudian mulailah proses
pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan (kira-kira 100-200 cc). Bila
plasenta sudah lepas dan turun ke bagian bawah rahim, maka uterus akan
berkontraksi (his pengeluaran plasenta) untuk mengeluarkan plasenta
(Prawirohardjo, 2011).
Kadang-kadang, plasenta tidak segera terlepas. Suatu pertanyaan
yang belum mendapat jawaban yang pasti adalah berapa lama waktu
berlalu pada keadaan tanpa perdarahan sebelum plasenta harus dikeluarkan
secara manual. Bidang obstetri secara tradisional membuat batas-batas
durasi kala tiga sebagai upaya untuk mendefinisikan retensio plasenta
(abnormally retained placenta) sehingga perdarahan akibat terlalu
lambatnya pemisahan plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros (1991)
meneliti 12.275 persalinan pervaginam tunggal dan melaporkan median
durasi kala tiga adalah 6 menit, dan 3,3 persen berlangsung lebih dari 30
menit (Cunningham, 2014). Jadi istilah retensio plasenta dipergunakan jika
plasenta belum lahir jam sesudah anak lahir (Cunningham, 2014).
2. Insidensi
Retensio plasenta adalah penyebab signifikan dari kematian
maternal dan angka kesakitan di seluruh negara berkembang. Kasus ini
merupakan penyulit pada 2% dari semua kelahiran hidup dengan angka
kematian hampir mencapai 10% di daerah pedesaan (Weeks, 2001).
Menurut studi lain, insidensi dari retensio plasenta berkisar antara 1-2 %
dari kelahiran hidup. Pada studi tersebut retensio plasenta lebih sering
muncul pada pasien yang lebih muda dengan multiparitas (Memon, 2016).
Diperkirakan insidensi dari perlengketan abnormalitas sekitar 1
dari 2000 hingga 1 dari 7000 persalinan. Plasenta akreta meliputi 80% dari
keseluruhan perlengketan abnormal, plasenta inkreta 15 %, dan plasenta
perkreta 5 %. Angka ini meningkat tajam dalam dua dekade terakhir,
sejalan dengan angka seksio cesarean (Memon, 2016).
a. Fungsional
10
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme perpisahan
fisiologis.
b. Patologi Anatomi
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan
tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi
plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta.
Plasenta akreta ada yang kompleta, yaitu jika seluruh
permukaannya melekat dengan erat pada dinding rahim. Plasenta
akreta yang parsialis, yaitu jika hanya beberapa bagian dari
permukaannya lebih erat berhubungan dengan dinding rahim. Plasenta
akreta yang kompleta, inkreta, dan perkreta jarang terjadi
(Sastrawinata, 2004)
5. Faktor Predisposisi
6. Patogenesis
12
anekdot yang menunjukkan bahwa invasi trofoblas lebih cenderung pada
daerah jaringan desidua yang sedikit (tipis), termasuk implantasi pada
bekas luka dan kehamilan ektopik. Peneliti berhipotesis bahwa trofoblas
akan lebih mudah menginvasi ke segmen bawah rahim dengan lapisan
desidua yang abnormal, dan meningkatkan kemungkinan plasenta akreta
untuk berkembang (Cunningham, 2014).
7. Diagnosis
a. Gejala Klinis
Dari anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal,
meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum
sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion.
Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara
spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
Tabel 2. Gejala Klinis Retensio Plasenta
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di
dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel
di dalam uterus. Pada pemeriksaan plasenta yang lahir menunjukkan
bahwa ada bagian tidak ada atau tertinggal dan pada eksplorasi secara
manual terdapat kesulitan dalam pelepasan plasenta atau ditemukan
sisa plasenta.
c. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah
- Ultrasonografi
14
menghilang. Pada plasenta perkreta vena-vena subplasenta terlihat
berada di bagian dinding kandung kemih.
- MRI
-
Histologi
8. Tatalaksana
16
lepas untuk menentukan bidang pelepasan yang tepat. Kemudian
dengan sisi tangan sebelah kelingking plasenta dilepaskan pada
bidang antara bagian plasenta yang sudah terlepas dan dinding
rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding rahim. Setelah
seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan dengan perlahan-
lahan ditarik ke luar.
c. Kuretase
18
hemostasis dapat dicapai melalui jahitan pada miometrium, atau
melalui ligasi arteri uterina maupun arteri iliaka interna. Namun,
histerektomi pun biasanya diperlukan.
f. Terapi konservatif
9. Pencegahan
20
Manajemen aktif kala III yaitu:
a. Menyuntikkan oksitosin
- Pastikan tidak ada bayi lain (undiagnosed twin) di dalam uterus.
- Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik.
- Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir) suntikkan
oksitosin 10 unit IM pada 1/3 bagian atas paha bagian luar
(aspektus lateralis). Jika oksitosin tidak tersedia, minta ibu untuk
melakukan stimulasi puting susu atau menganjurkan ibu untuk
menyusukan dengan segera.
- Jangan memberikan ergometrin karena menyebabkan kontraksi
tonik uterus yang dapat menghambat ekspulsi plasenta.
b. Melakukan peregangan tali pusat terkendali:
- Pindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-20 cm dari vulva.
- Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain)
tepat di atas simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba
kontraksi uterus pada saat melakukan penegangan pada tali pusat.
Setelah terjadi kontraksi yang kuat, tegangkan tali pusat dengan
satu tangan yang lain menekan uterus ke arah dorso-kranial.
Lakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya inversio uteri.
- Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi
kembali (sekitar 2 atau 3 menit berselang) untuk mengulangi
penegangan tali pusat terkendali.
- Saat mulai kontraksi, tegangkan tali pusat ke arah bawah, lakukan
tekanan dorso-kranial hingga tali pusat makin menjulur dan korpus
uteri bergerak ke atas yang menandakan plasenta telah lepas dan
dapat dilahirkan.
- Setelah plasenta terpisah, anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta
terdorong keluar melalui introitus vagina.
- Saat terlihat di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan
mengangkat tali pusat ke atas dan menopang plasenta dengan
tangan lainnya untuk diletakkan dalam wadah secara lembut, lalu
lahirkan selaput ketuban secara perlahan.
Jika plasenta belum lahir dalam 15 menit, berikan 10 IU oksitosin
IM dosis kedua. Kosongkan kandung kemih jika teraba penuh.
c. Masase fundus uteri segera setelah lahir
2.3.3 Trauma
2.3.3.1 Robekan Jalan Lahir
1. Definisi
- Robekan adalah terputusnya kontinuitas jaringan.
- Jalan lahir terdiri atas jalan lahir bagian keras dan jalan lahir bagian
lunak yang harus di lewati oleh janin dalam proses persalinan
pervaginam.
- Robekan jalan lahir adalah robekan yang selalu memberikan perdarahan
dalam jumlah yang bervariasi banyaknya yang berasal dari perineum,
vagina serviks, dan uterus (Prawirohadrjo, 2011).
2. Robekan Perineum
a. Etiologi
- Secara umum
Kepala janin terlalu cepat lahir
Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
Pada persalinan dengan distosia bahu
- Faktor maternal
Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak di tolong
Pasien tidak mampu berhenti mengejan
Partus di selesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan
fundus yang berlebihan
Edema dan kerapuhan pada perineum
Perluasan perineum (Prawirohadrjo, 2011).
- Faktor janin
Bayi yang besar
22
Posisi kepala bayi yang normal
Kelahiran bokong
Ekstraksi forsep yang sukar
Distosia bahu
b. Tingkat robekan perineum
- Tingkat I: Robekan hanya terjadi pada mukosa vagina dengan
atau tanpa mengenai kulit perineum sedikit.
- Tingkat II: Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai
mukosa vagina dan muskulus perinea transvesalis tapi tidak
mengenai sfingter ani
- Tingkat III: Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum
sampai mengenai otot-otot sfingter ani
- Tingkat IV: Robekan meluas keseluruh kulit perineum membran
mukosa vagina, senrum tendineum perinei, sfingter ani dan
mukosa rektum (Cunningham, 2014).
c. Patofisiologi
24
Kolporeksi adalah suatu keadaan di mana terjadi robekan di pada
vagina bagian atas sehingga sebagian serviks uteri dan vagina
terlepas yang dapat memanjang atau melintang.
- Etiologi
Pada persalinan yang terjadi regangan segmen bawah uterus
dengan serviks uteri tidak terjepit antara kepala janin dan
tulang panggul.
Trauma sewaktu mengeluarkan plasenta manual
Pada saat koitus yang kasar di sertai kekerasan
Kesalahan dalam memasukkan tangan oleh penolong ke dalam
uterus.
- Komplikasi
Perdarahan terjadi jika robekan lebar, dalam, dan lebih
mengenai pembuluh darah
Infeksi, jika robekan tidak ditangani dengan semestinya
bahkan dapat timbul septikemi (Prawirohadrjo, 2011).
b. Robekan dinding vagina
- Pengertian
Robekan dinding vagina adalah robekan pada dinding vagina
yang mengenai pembuluh darah.
- Etiologi
Melahirkan janin dengan cunam
Ekstraksi bokong
Ekstraksi vakum
Reposisi presentasi kepala janin misal letak oksipito posterior
Akibat lepasnya tulang simfisis pubis (Simfisiolisis)
- Komplikasi
Sama dengan kolporeksi
- Penanganan
Robekan kecil superfisial tidak perlu penanganan khusus.
c. Perlukaan vagina
- Etiologi
Akibat persalinan karena luka pada vulva
Robekan pembuluh darah vena di bawah kulit alat kelamin
luar dan selaput mukosa vagina.
- Jenis perlukaaan vagina
1. Robekan vulva
Sering dijumpai pada waktu persalinan yang terlihat pada
robekan kecil pada labium minus, vestibulum atau bagian
belakang vulva, luka robekan dijahit dengan catgut secara
terputus adalah jelujur.
2. Hematoma vulva
Karena robeknya pembuluh vena yang ada di bawah
pembuluh kulit alat kelamin luar dan selaput mukosa vagina,
terjadi pada kala pengeluaran. Diagnosa tidak terlalu sulit
karena hematoma, terlihat di bagian yang lembek dan disertai
nyeri tekan (Prawirohadrjo, 2011).
- Penanganan
Hematoma kecil tidak perlu tindakan operatif cukup
dilakukan pengompresan daerah tersebut
Jika ada tanda-tanda anemia, syok lakukan pengosongan
Jahitan di buka kembali atau lakukan sayatan sepanjang
bagian hematoma dan keluarkan jika ada bekuan
Jika ada sumber perdarahan, ikat pembuluh darah vena atau
arteri yang terputus
Rongga diisi dengan kasa steril sampai padat
26
Luka sayatan dijahit secara terputus-putus atau jelujur
Pakailah drain
Tampon dapat dibiarkan selama 24 jam
Pasien diberi koagulasi + antibiotik sebagai profilaksis
d. Fistula Vesikovaginal
- Pengertian
Fistula adalah hubungan abnormal antara dua organ atau lebih
(bagian depan)
- Etiologi
Trauma, menggunakan alat-alat (perforator, kait dekapitasi,
cunam)
Persalinan lama
Robekan serviks yang menjalar ke vagina bagian atas
Pada SC (vesika urinaria dan ureter dapat terpotong atau
robek)
- Penanganan
Yang disebabkan oleh trauma
Pasang kateter tetap dalam vesika urinaria
Jika ditemukan air kencing menetes kedalam vagina segera
lakukan penjahitan luka yang terjadi lapis demi lapis
(mukosa otot-otot dinding vesika urinaria dinding
depan vagina)
Kateter dapat dibiarkan selama beberapa waktu
Yang disebabkan oleh lepasnya jaringan nekrosis
Gejala kelihatan setelah 3-10 hari post partum
dan sering pada fistula yang kecil
Pasang kateter tetap (untuk drainase vesika
urinaria) selama beberapa minggu sehingga dapat menutup
sendiri
28
- Pada robekan yang dalam, jahitan harus di lakukan lapis demi
lapis. Ini dilanjutkan untuk menghindari terjadinya hematoma.
2.3.3.2 Hematoma Puerpuralis
1. Hematoma Puerpuralis
Dalam suatu ulasan, terhadap 7 serial penelitian, insiden hematoma
pada masa nifas ditemukan bervariasi antara 1 dalam 300 hingga 1 dalam
1000 pelahiran (Cuningham, 2014). Nuliparitas, episiotomi dan pelahiran
dengan forceps merupakan faktor-faktor risiko yang paling sering
dikaitkan. Pada kasus-kasus lain, hematom dapat timbul pada pelahiran
spontan atau dengan bantuan alat dan perdarahan dapat timbul tertunda.
Hematoma pada masa nifas dapat digolongkan sebagai vulvar,
vulvovaginal, paravaginal, atau retroperitoneal. Hematoma vulvar sering
mengenai cabang arteri pudenda, termasuk arteria rektalis inferior, arteria
perinealis transversa atau rami labiales posterior. Hematoma paravaginal
dapat mengenai ramus desenden arteri uterina. Terkadang, pembuluh
darah yang robek terletak di atas fasia pelvis. Pada kondisi tersebut,
hematoma terbentuk di atas fasia ini. Pada tahap dini, hematoma
membentuk benjolan bulat yang menonjol ke dalam bagian atas vagina
dan dapat hamper menyumbat lumen vagina. Jika perdarahan berlanjut,
darah menjalar ke arah retroperitoneal sehingga dapat membentuk tumor
yang teraba di atas ligamentum inguinale. Selain itu, darah dapat
menjalar ke atas, akhirnya mencapai tepi bwah diaphragma
(Cunningham, 2014).
2. Hematoma Vulvar
Hematoma vulvar dapat terbentuk dengan cepat, dapat
menyebabkan nyeri hebat. Nyeri hebat ini sering merupakan gejala
pertama yang disadari. Hematoma berukuran sedang dapat diserap secara
spontan. Jaringan yang menutup hematom dapat ruptur akibat nekrosis
tekanan, dan dapat menyebabkan perdarahan hebat. Pada kasus-kasus
lain, isi hematoma dapat dikeluarkan dalam bentuk bekuan-bekuan besar.
Pada tipe subperitoneal, ekstravasasi darah di bawah peritoneum dapat
masif dan sesekali fatal (Cunningham, 2014).
30
Embolisasi angiografik dapat dilakukan untuk penanganan
hematom masa nifas yang tidak berespons terhadap terapi lain.
Embolisasi dapat digunakan terutama atau paling sering jika hemostasis
tidak dapat dicapai dengan prosedur bedah (Cunningham, 2014).
32
operasi atau manipulasi seperti kuret, perforasi, atau myomektomi.
Stimulasi uterus yang berlebihan dan tidak sesuai dengan oksitosin, dahulu
merupakan hal yang sering terjadi, akan tetapi sekarang sudah jarang
(Cunningham, 2014).
Tabel 4. Klasifikasi Penyebab Ruptur Uteri (Cunningham, 2014)
5. Ruptur Spontan
Studi dari Miller dan Paul (1996), menyatakan kejadian ruptur uteri
spontan hanya sekitar 1 dari 15.000 kelahiran. Investigasi menyatakan
ruptur uteri spontan lebih sering terjadi pada wanita dengan paritas tinggi.
Stimulasi oksitosin juga berasosiasi dengan ruptur uteri, khususnya pada
paritas tinggi. Obat uterotonik lain juga dapat menyebabkan ruptur uteri.
Ruptur uteri merupakan hasil dari partus yang diinduksi dengan
prostaglandin E2 gel atau E1 tablet vagina. Oleh karena itu, semua obat
uterotonika perlu diberikan dengan perhatian khusus pada wanita dengan
paritas tinggi. Sama seperti paritas tinggi, pemberian uterotonika pada ibu
dengan CPD (Cephalopelvic Disporpotion), presentasi kepala besar,
presentasi abnormal, juga memerlukan perhatian khusus (Cunningham,
2014).
6. Anatomi Patologi
Ruptur pada uterus yang sebelumnya utuh pada saat melahirkan,
lebih sering melibatkan segmen bawah uterus yang mengalami penipisan.
Terjadi segera pada daerah sekitar servik, sering kali meregang secara
transversal atau miring. Biasanya, robekan membujur ketika terjadi di
porsio dari uterus bersebelahan dengan ligamentum latum. Meskipun
robekan sering kali pada segmen bawah, tidak jarang robekan meluas ke
atas ke korpus uteri atau meluas ke bawah ke vagina. Pada keadaan lain,
vesika urinaria juga dapat mengalami robekan. Setelah ruptur komplit
bagian uterus dapat berpidah ke kavum peritoneal. Pada ruptur uteri yang
mana peritoneum masih utuh, perdarahan sering kali meluas menuju
34
ligamentum latum. Keadaan ini dapat menyebabkan hematom
retroperitonial dan kehilangan sejumlah darah (Cunningham, 2014).
7. Tatalaksana
- Berikan segera cairan isotonik (ringer laktat atau garam fisiologis)
500ml dalam 15-20 menit dan siapkan laparotomi.
- Lakukan laparotomi untuk melahirkan anak dan plasenta. Fasilitas
pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit
rujukan.
- Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan
memungkinkan, lakukan reparasi uterus.
- Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien
mengkhawatirkan, lakukan histerektomi.
- Lakukan bilasan peritoneal dan pasang drain dari kavum abdomen.
- Antibiotika dan serum anti tetanus,
Bila terdapat tanda-tanda infeksi (demam, menggigil, darah
bercampur cairan ketuban berbau, hasil apusan atau biakan darah)
segera berikan antibiotika spektrum luas. Bila terdapat tanda-tanda
trauma alat genitalia atau luka yang kotor, tanyakan saat terakhir
mendapatkan tetanus toksoid. Bila hasil anamnesis tidak dapat
memastikan perlindungan terhadap tetanus, berikan serum anti tetanus
500 IU/IM dan TT 0,5 ml IM (Wiknjosastro, 2006).
36
Seringkali faktor yang memicu koagulasi komsumtif pada obstetric
adalah tromboplastin dari solusio plasenta serta endotoksin dan
eksotoksin. Mekanisme lainnya secara langsung mengaktifkan faktor X
oleh proteases, sebagai contoh, musin atau seperti yang dihasilkan oleh
neoplasma. Air ketuban berisi banyak musin dari epitel fetus dan ini sering
menyebabkan defibrinasi yang cepat pada emboli air ketuban.
Koagulopati konsumtif adalah selalu terlihat sebagai komplikasi
dari proses patologikal dasar yang teridentifikasi yang mana terapi harus
difokuskan untuk membalikkan proses defibrinasi. Sehingga, identifikasi
dan eliminasi segera dari sumber koagulopati menjadi prioritas utama
(Cunningham, 2014).
3. Signifikansi
Sebagai tambahan perdarahan dan obstruksi sirkulasi, yang mana
dapat menyebabkan iskemia dari hipoperfusi, koagulopati konsumtif dapat
berhubungan dengan hemolisis mikroangiopatik. Ini disebabkan oleh
gangguan mekanikal dari membran eritrosit dalam pembuluh darah kecil
yang mana terdapat deposit fibrin. Berbagai tingkatan dari hemolisis
dengan anemia, hemoglobinemia, hemoglobinuria, dan perubahan
morfologi eritrosit diproduksi. Ini seringkali menjadi penyebab atau
berkontribusi terhadap hemolisis yang dihadapi yang disebut sindrom
HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low platelets) (Cunningham,
2014).
Dengan perfusi yang adekuat dari organ vital, aktifasi dari faktor
koagulasi, dan produk degradasi fibrin dan fibrin yang bersikulasi dapat
segera dihilangkan oleh sistem retikuloendotelial. Pada waktu yang sama,
sintesis hepatik dan endothelial prokoagulan dilakukan.
Kecenderungan untuk perdarahan yang mengancam nyawa pada
situasi obstetrikal yang merupakan komplikasi dari gangguan koagulasi
tidak hanya bergantung pada perluasan dari gangguan koagulasi tetapi
yang lebih penting pada apakah vaskulernya intak atau tidak. Kekacauan
pembekuan darah dapat menyebakan perdarahan yang parah hanya jika
38
Beberapa terapi untuk koagulasi intravakular telah banyak
diteorikan namun belum menunjukkan keuntungan. Sebagai contoh,
beberapa tahun lalu, beberapa rekomendasi pemberian heparin untuk
memblok komsumsi dari prokoagulan. Rekomendasi lainnya epsilon-
aminocaproic acid untuk menghambat fibrinolisis dengan membloking
konversi plasminogen menjadi plasmin. Bahaya dalam pemberian heparin
pada wanita yang mengalami perdarahan adalah nyata. Inhibisi fibrinolisis
tidak terlalu membahayakan namun keuntungan yang nyata belum terbukti
(Cunningham, 2014).
a. Identifikasi defek hemostasis
Bioassays merupakan metode terbaik untuk mendeteksi
koagulopati. Perdarahan yang massif dari situs trauma
mengkarakteristikkan kecacatan hemostasis. Contohnya meliputi
perdarahan yang persisten dari tempat penusukan vena, goresan pada
pencukuran perineum atau abdomen, trauma dari katerisasi kandung
kencing, dan perdarahan spontan gusi, hidung dan saluran cerna. Area
purpurik pada situs penekanan seperti pada uji torniket
mengindikasikan signifikan trombositopenia (Cunningham, 2014).
b. Fibrinogen dan produk degradasi
Pada kehamilan akhir, level plasma fibrinogen meningkat dari
300 mg/dL menjadi 600 mg/dL. Walaupun dengan koagulasi konsumtif
yang berat, level ini cukup tinggi untuk melindungi hipofibrinogenemia
signifikan secara klinis. Sebagai contoh, defibrinasi yang disebabkan
oleh solusio plasenta dapat menurunkan level fibrinogen dari 600
mg/dL menjadi 250 mg/dL. Walaupun ini dapat menindikasikan
komsumsi fibrinogen massif, masih ada level adekuat untuk
mendukung koagulasi secara klinis, seringkali sekitar 150 mg/dL. Jika
hipofibrinogemia berat terjadi (< 50 mg/dL), bentukan bekuan dari
darah pada tabung mungkin melambat, namun belum tentu berkurang
volumenya. Lalu, setelah 30 menit, setelah adanya platelet yang
menginduksi retraksi pembekuan darah, bekuan darah menjadi sedikit
40
akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur
intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan
dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan
kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau
cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan
yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan
kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko
terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan
perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah
banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki
peran pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa
kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian
besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi
pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan
penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari
setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan mudah
mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500
mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus
kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah
yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah
merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 1.500 mL/hari) dapat
menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid
yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko
terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan
kristaloid tetap direkomendasikan.
Tabel 6. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok
Volume
Tekanan Darah
Kehilangan Tanda dan Gejala Derajat Syok
(sistolik)
Darah
500-1.000 mL Normal Palpitasi, takikardia, Terkompensasi
Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus
berlanjut dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis
pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi
cepat.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika
terdapat indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 4 unit PRC
untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk
mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat
menurunkan jumlah tetesan infus. Masalah ini dapat diatasi dengan
menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit.
Tabel 8. Komponen Darah (Cunningham, 2014)
42
Referat_Perdarahan Pasca Persalinan 43
BAB 3
RINGKASAN
44
Atonia uterus sebagian besar kasus dapat dicegah dengan managemen aktif
kala III (MAK III) dan dapat dikelola dengan masase uterus bersamaan dengan
pemberian agen uterotonika, dapat dilakukan kompresi bimanual interna dan
eksterna, pemasangan tampon kondom, jika gagal dapat dipertimbangkan
laparotomi untuk melakukan histrektomi.
Retensio plasenta merupakan penyebab yang jarang dan memerlukan
pemeriksaan plasenta, eksplorasi rongga rahim, dan manual removal dari sisa
plasenta. Terkadang, suatu plasenta invasif menyebabkan perdarahan postpartum
dan akhirnya memerlukan manajemen bedah.
Penyebab trauma termasuk robekan jalan lahir, ruptur uterus, dan inversi
uterus. Robekan jalan lahir terdiri dari robekan servik, vagina dan perineum.
Robekan serviks biasanya disebabkan oleh mengejan sebelum pembukaan serviks
lengkap dan didorong. Diagnosis dengan melakukan pemeriksaan inspekulo, ada
atau tidaknya robekan serviks jika ada kemudian dilakukan penjahitan.
Tatalaksana pada robekan vagina dan perineum umumnya juga sama yaitu
identifikasi sumber perdarahan dan dilakukan penjahitan.
Ruptur uteri ada yang primer yaitu pada uterus yang intak dan tidak ada
skar, dan sekunder yang merupakan hasil dari luka sebelumnya atau anomaly yang
dapat berhubungan dengan trauma. Klasifikasi rupture uteri ada yang komplit jika
mengenai seluruh tebal dinding uterus dan inkomplit jika sebagian.
Tatalaksananya adalah dilakukan reparasi uterus jika memungkinkan, jika luka
luas dan terdapat nekrosis dilakukan histerektomi dengan berbagai pertimbangan
lainnya.
Inversi uteri ada 4 tingkatan dari tingkat 1 yang inversinya masih didalam
kavum uteri sampai akhirnya tingkat 4 sudah terlihat menonjol diluar vagina.
Tatalaksana yang dapat diberikan adalah mereposisi kembali secara manual
dengan mendorong keatas fundus dengan telapak tangan dan jari pada arah sejajar
dengan sumbu vagina, pemberian tokolitik, dan dilanjutkan dengan infus oksitosin
jika sudah selesai dilakukan reposisi.
Koagulopati memerlukan penggantian faktor pembekuan untuk defisiensi
faktor koagulan yang telah teridentifikasi. Evaluasi dengan melakukan
penghitungan platelet dan pengukuran waktu protrombin (PT), waktu
46
DAFTAR PUSTAKA