Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.A. Usia Lanjut

II.A.1.Definisi
Menurut World Health Organisation (WHO), usia lanjut adalah

seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun atau lebih. Kelompok yang

dikategorikan usia lanjut ini akan mengalami suatu proses yang disebut

Aging Process atau proses penuaan.22) Ada dua pandangan tentang definisi

usia lanjut, yaitu pandangan orang barat yang tergolong usia lanjut adalah

yang sudah berusia 65 tahun keatas, dimana usia ini akan membedakan

seseorang masih dewasa atau sudah lanjut. Sedangkan pandangan orang

Indonesia, usia lanjut adalah yang berusia lebih dari 60 tahun karena dipakai

sebagai usia maksimal kerja dan mulai tampak ciri-ciri penuaan.23)

II.A.2.Demografi Populasi Usia Lanjut


Menurut UN - Population Division, jumlah populasi usia lanjut 60

tahun mencapai 841 juta orang dan diproyeksikan menjadi 2 milyar pada

tahun 2050.2) Menurut WHO pertambahan penduduk usia lanjut di Indonesia

dan Brazil diproyeksikan naik masing-masing melebihi 20 juta orang.

Indonesia diramalkan beranjak dari urutan ke-10 pada tahun 1980 menjadi

urutan ke-5 atau 6 pada tahun 2020 sebagai negara yang banyak jumlah

populasi usia lanjutnya.24)

7
8

Gambar II.1. Presentase Populasi Usia Lanjut (60+) Indonesia 25)

II.A.3.Batasan Umur Usia Lanjut26)


Menurut WHO dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia

(DEPKES RI) yang mencakup batasan usia lanjut adalah sebagai berikut :

a. Menurut WHO, usia lanjut dibagi menjadi tiga kategori yaitu :


- usia lanjut (elderly) 60 - 74 tahun,
- usia tua (old) 75 - 89 tahun,
- usia sangat lanjut (very old) ialah > 89 tahun.
b. DEPKES RI membagi usia lanjut menjadi sebagai berikut :
- Kelompok menjelang usia lanjut (45 - 54 tahun), keadaan ini

dikatakan sebagai masa virilitas.


- Kelompok usia lanjut (55 - 64 tahun) sebagai masa presenium.
- Kelompok usia lanjut ( 65 tahun) yang dikatakan sebagai

masa senium.

II.A.4.Karakteristik Usia Lanjut28)


Usia lanjut memiliki karakteristik sebagai berikut :
9

a. Berusia lebih dari 60 tahun.

b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,

dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif

hingga kondisi maladaptif.

c. Lingkungan tempat tinggal bervariasi.

II.B. Proses Penuaan

Proses penuaan merupakan suatu proses biologis yang tidak dapat dihindari

dan akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu proses menghilangnya

secara perlahan-lahan (gradual) kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri

serta mempertahankan struktur dan fungsi secara normal, ketahanan terhadap

cedera, termasuk adanya infeksi. Proses penuaan sudah mulai berlangsung sejak

seseorang mencapai dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada

otot, susunan saraf dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit.29)

Terdapat dua jenis penuaan, antara lain penuaan primer merupakan proses

kemunduran tubuh secara bertahap, mulai pada masa awal kehidupan dan terus

berlangsung selama bertahun-tahun. Sedangkan penuaan sekunder merupakan

hasil penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan yang sebenarnya dapat dihindari

dan berada dalam kontrol seseorang.30)

II.B.1.Perubahan Fisiologi Usia Lanjut28)


a. Sel
10

Penurunan jumlah sel, cairan tubuh, dan cairan


intraselular. Protein dalam otak, ginjal, otot, hati, dan
darah akan berkurang, mekanisme perbaikan sel
menjadi terganggu, terjadi atrofi pada otak, berat
otak berkurang 5 10 %.
b. Persarafan

Saraf panca indra mengecil sehingga


fungsinya menurun serta lambat dalam merespon.
Berkurang atau hilangnya lapisan myelin
akson,menyebabkan kurangnya respon motorik dan
reflek.
c.Respirasi

Otot pernafasan kekuatannya menurun dan kaku,


elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat
sehingga menarik napas lebih berat, alveoli melebar
dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk
menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus.
d. Gastrointestinal

Esophagus melebar, asam lambung menurun, dan


peristaltik menurun sehingga daya absorbsi ikut
menurun. Ukuran lambung mengecil, fungsi organ
aksesori menurun sehingga menyebabkan
berkurangnya produksi hormon dan enzim
pencernaan.
e.Pendengaran

Membrane timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran.

Tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan.

f. Penglihatan

Terjadi klerosis pupil dan hilang respon sinar


menyebabkan penglihatan menjadi berkurang.
Respon terhadap sinar, adaptasi terhadap gelap,
akomodasi, lapang pandang menurun, dan katarak.
g. Kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan


memompa darah dan elastisitas pembuluh darah
menurun, meningkatnya resistensi pembuluh darah
perifer sehingga tekanan darah meningkat.
h. Muskuluskeletal
11

Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh,


bungkuk, persendian membesar, dan menjadi kaku,
kram, tremor, dan tendon mengerut dan mengalami
sklerosis.
i. Kulit

Keriput serta kulit kepala dan rambut menipis.


Rambut dalam hidung dan telinga menebal.
Elastisitas, vaskularisasi, dan kelenjar keringat
menurun. Rambut memutih, kuku keras dan rapuh,
serta kuku kaki tumbuh berlebihan seperti tanduk.
j. Temperatur tubuh

Tubuh sudah tidak bisa memproduksi panas yang


maksimal. Ha ini menyebabkan aktifitas otot menjadi
berkurang.
k. Alat reproduksi

Sekresi lendir vagina dan produksi testis menurun pada usia lanjut

perempuan dan laki-laki, serta produksi hormon akan menurun.


II.B.2.Perubahan Biologi Usia Lanjut28)

a. Teori genetik dan mutasi

Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia


yang diprogram oleh molekul-molekul Deoxyribose
Nucleic Acid (DNA) dan setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi.
b. Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak


stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi
oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan
protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat
melakukan regenerasi.
c. Immunology slow theory

Sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan

masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat menyebabkan

kerusakan organ tubuh.

d. Teori stres
12

Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa


digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal,
kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan sel-
sel tubuh lelah terpakai.
e. Teori rantai silang

Reaksi kimia sel-sel yang tua menyebabkan ikatan yang kuat,

khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya

elastisitas kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.

II.B.3.Perubahan Psikologi Usia Lanjut28)


II.B.3.Perubahan
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan

keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan

dan intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori,

dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan

berinteraksi. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan.

Dengan adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula

penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespons

stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi yang berbeda dari

stimulus yang ada.

II.B.4.Perubahan Sosial Usia Lanjut28)


II.B.4.Perubahan
a. Teori interaksi sosial (social exchange theory) menjelaskan

mengapa usia lanjut bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu

atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada usia lanjut,

kekuasaan dan prestasi berkurang sehingga menyebabkan interaksi

sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan

kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.


13

b. Teori stratifikasi usia (age stratification theory) pendekatan yang

dilakukan bersifat deterministik dan dipergunakan untuk

mempelajari sifat usia lanjut secara kelompok dan bersifat makro.

Setiap kelompok ditinjau dari sudut pandang demografi dan

keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya. Teori ini tidak

dapat dipergunakan untuk menilai usia lanjut secara individu.

c. Teori penarikan diri (disengagement theory) kemiskinan yang

diderita usia lanjut dan menurunnya derajat kesehatan

mengakibatkan seorang usia lanjut secara perlahan-lahan menarik

diri dari pergaulan di sekitarnya.

d. Teori kesinambungan (continuity theory) adanya kesinambungan

dalam siklus kehidupan. Pengalaman hidup seseorang merupakan

gambarannya kelak pada saat usia lanjut.

e. Teori aktivitas (activity theory) penuaan yang sukses bergantung

bagaimana seorang usia lanjut merasakan kepuasan dalam

melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih

penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan.

f. Teori perkembangan (development theory) menjelaskan

bagaimana proses menjadi tua merupakan suatu tantangan dan

bagaimana jawaban usia lanjut terhadap berbagai tantangan

tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi,

teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang

diinginkan atau yang seharusnya diterapkan oleh usia lanjut.


14

II.B.5.Perubahan Spiritual Usia Lanjut28)

Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada hubungan

individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan.

II.C. Geriatri

II.C.1.Definisi
II.C.1.Definisi

Geriatric berasal dari kata geros (usia lanjut) dan eatriea (kesehatan).

Geriatri merupakan salah satu cabang dari gerontologi dan medis yang

mempelajari khusus aspek kesehatan bagi usia lanjut yang menyangkut

aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang mencakup

kesehatan badani, jiwa, sosial, serta penyakit cacat.6)

Pasien Geriatri adalah pasien berusia lanjut dengan beberapa masalah

kesehatan (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, dan

atau kondisi sosial yang bermasalah.31) Geriatri merupakan bagian dari

populasi usia lanjut yang memiliki sejumlah karakteristik yang

membedakannya dengan pasien dewasa lainnya dan memberikan sejumlah

gejala yang khas.6) Hal-hal berikut ini menggambarkan keadaan-keadaan

yang dihadapi pada pasien geriatri dalam hubungan farmakoterapi (29-32):

a. Usia lanjut cenderung memiliki lebih dari 1 macam penyakit

(multipatologi) terjadi pada banyak organ dan bersifat kronik

degeneratif, dicetuskan oleh penyakit akut, sehingga pemberian

obat juga cenderung bersifat polifarmasi.


b. Polifarmasi menyangkut biaya pembelian obat yang besar dan

banyak terjadi interaksi obat, ADEs, dan ADR / ROTD.


15

c. Adanya tampilan klinis yang menyimpang disertai dengan problem

sosial dan psikologi.


d. Proses menua yang fisiologis menyebabkan perubahan

farmakokinetik dan farmakodinamik obat, juga penurunan fungsi

dari berbagai organ (imobilisasi), sehingga tingkat keamanan obat

dan efektifitas obat berubah dibanding usia muda.


e. Gangguan fungsi dan nutrisi, di mana dijumpai kesulitan dan

gangguan asupan makanan yang disebabkan oleh penyakit ataupun

akibat sequelle (gejala sisa) penyakit sebelumnya, dan kepatuhan

berobat yang kurang mendapat perhatian pada usia lanjut.

II.C.2.Sifat Penyakit pada Pasien Geriatri33)


II.C.2.Sifat

Sifat penyakit pada pasien geriatri sangat penting untuk diketahui

dalam penegakan diagnosis sehingga terapi dan tindakan lain dapat dengan

segera dilaksanakan. Sifat penyakit pada pasien geriatri menyangkut 3

aspek, yaitu:

a. Etiologi

Penyakit pada pasien geriatri lebih bersifat endogen daripada

eksogen hal ini disebabkan karena adanya penurunan fungsi

berbagai alat tubuh karena proses penuaan. Etiologi penyakit sering

tersembunyi, sehingga perlu dicari secara aktif. Untuk menegakkan

suatu diagnosis memerlukan waktu lama untuk mengobservasi dan

mengamati dengan cermat tanda dan gejala penyakit yang juga

tidak nyata. Sering kali sebab penyakit bersifat ganda (multiple)


16

dan kumulatif, terlepas satu sama lain ataupun saling

mempengaruhi.

b. Diagnosis

Diagnosis penyakit pada pasien geriatri umumnya lebih sukar

daripada usia remaja dan dewasa, karena sering kali gejala yang

tampak tidak khas. Selain itu keluhan-keluhannya pun tidak khas

dan tidak jelas dan tidak jarang asimtomatik.

c. Perjalanan Penyakit

Pada umumnya perjalanan penyakit pada pasien geriatri adalah

kronik, diselingi dengan eksaserbasi akut. Selain itu, penyakitnya

bersifat progresif (bertahap) dan sering menyebabkan kecacatan

(invalide) sebelum akhirnya penderita meninggal dunia.

II.C.3.Masalah Kesehatan pada Pasien Geriatri

Bertambahnya usia, fungsi fisiologis akan mengalami penurunan

akibat dari proses degeneratif (penuaan).33) Masalah degeneratif juga dapat

menurunkan daya tahan tubuh sehingga rentan terkena infeksi penyakit

menular, diantaranya adalah tuberkulosis, diare, pneumonia dan hepatitis.34)

a. Patofisiologi pada Pasien Geriatri

Terjadi proses fisiologis degeneratif pada organik sel yang

berdampak pada perubahan fungsi sel dan pengendalian berbagai

sistem tubuh. Puncak fungsi fisiologis alat tubuh terjadi pada umur

30 tahun dan setelah itu fungsi fisiologis akan mulai menurun

sekitar 0,75 - 1% per tahun. Kemunduran kapasitas fisik karena


17

proses degeneratif ditandai dengan penurunan konsumsi O2

maksimum, output jantung maksimum, kekuatan dan daya otot,

fungsi saraf, fleksibilitas dan bertambahnya lemak tubuh. Proses

patologis merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul

akibat penyakit terdahulu dan proses degeneratif yang kompleks.34)

b. Penyakit Degeneratif pada Pasien Geriatri

Penyakit degeneratif merupakan penyakit tidak menular kronis

seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes, kegemukan dan

lainnya. Kontributor utama terjadinya penyakit kronis adalah pola

hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok, minum alkohol,

pola makan dan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, stres, dan

pencemaran lingkungan.34) Penyakit degeneratif pada pasien geriatri

meliputi penyakit jantung, stroke, hipertensi, demensia, diabetes

mellitus, gagal ginja dan penyakit pada saluran pernapasan.33)


18

Gambar II.2. Faktor Risiko dan Penyakit Degeneratif 33)

II.D. Perubahan dalam Hubungan dengan Obat pada Pasien Geriatri

Perubahan fisiologik pada organ dan sistem tubuh akan mempengaruhi

tanggapan tubuh terhadap obat pada pasien geriatri. Berbagai perubahan tersebut

dalam istilah farmakologi dikenal sebagai perubahan dalam hal farmakokinetik

dan farmakodinamik yang mengubah perilaku obat di dalam tubuh.35)

II.D.1.Perubahan Farmakokinetik

Obat harus berada pada tempat kerjanya dengan konsentrasi yang

tepat untuk mencapai efek terapetik. Perubahan farmakokinetik pada pasien

geriatri memiliki peranan penting dalam bioavailabilitas obat. Sebagian dari

perubahan farmakokinetik sukar untuk diramalkan, petugas kesehatan harus

memulai terapi dengan dosis efektif yang rendah. Pemberian dosis yang

hati-hati, dengan sedikit peningkatan jumlah dalam dosis obat mungkin

diperlukan untuk mencapai tujuan pengobatan. Dosis yang konservatif dapat


19

membantu mencegah keracunan dan membantu pasien menghemat biaya

tambahan untuk obat yang tidak perlu. Proses-proses farmakokinetik obat

pada pasien geriatri dijelaskan pada uraian di bawah ini.(32-36)

a. Absorpsi

Absorpsi menentukan bioavailabilitas atau availabilitas sistemik

(F). Bila obat diberikan secara intravena maka F = 1, bila diberikan

secara oral maka F biasanya kurang dari 1.32) Absorpsi obat terjadi

dengan cara difusi sederhana melalui usus halus dan lambung,

suatu proses yang bergantung pada konsentrasi, tidak memerlukan

energi dan tidak dipengaruhi usia.36) Peningkatan pH lambung

mempengaruhi proses ionisasi dan daya kelarutan beberara jenis

obat. Penurunan aliran darah usus mengurangi kecepatan absorbsi

aktif obat-obat seperti Fe, Ca, tiamin, levodopa dan obat-obat

antineoplastik. Absorpsi melalui otot dengan pemberian obat

intramuskular cenderung sedikit melambat dikarenakan turunnya

aliran darah otot, seperti pada obat lidokain dan klordiazepoksid.32)

b. Distribusi(32-36)

Parameter distribusi atau volume distribusi (Vd) menunjukkan

volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau

serum. Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh,

fungsi kardiovaskular, kemampuan obat memasuki kompartemen

dan derajat ikatan protein plasma. Obat yang tertimbun dalam

jaringan kadar plasmanya rendah memiliki Vd yang besar, seperti


20

digoksin. Obat yang terikat kuat pada protein plasma mempunyai

Vd yang kecil seperti warfarin. Vd dirumuskan sebagai berikut 32):

X Keterangan :
Vd =
C X : Jumlah obat dalam tubuh
C : Kadar obat dalam plasma

Faktor-faktor yang menentukan distribusi obat termasuk komposisi

tubuh, ikatan plasma-protein dan aliran darah pada organ dan lebih

spesifik lagi menuju jaringan, semua akan mengalami perubahan

dengan bertambah usia, akibatnya konsentrasi obat akan berbeda

pada pasien geriatri jika dibandingkan dengan pasien lebih muda

pada pemberian dosis yang sama.36)

Tabel II.1. Perubahan yang Berkaitan dengan Penuaan yang Mempengaruhi


Farmakokinetik Obat.32)
Dewasa Muda Usia Lanjut
Variabel
(20 30 tahun) (60 80 tahun)
Cairan tubuh (% berat badan) 61 53
Lean body mass(% berat badan) 19 12
Lemak tubuh (% berat badan) 26 33 (perempuan) 38-45
18-20 (laki-laki) 36-38
Serum albumin (g/dL) 4,7 3,8
Berat ginjal (% dewasa muda) 100 80
Aliran darah hati (% dewasa muda) 100 55-60
1) Komposisi Tubuh36)

Pertambahan usia menyebabkan penurunan total air yang

menyebabkan terjadinya penurunan Vd obat yang larut air sehingga

konsentrasi obat dalam plasma meningkat, juga meningkatkan

massa lemak tubuh yang menyebabkan Vd obat larut lemak

meningkat dan konsentrasi obat dalam plasma turun namun terjadi

peningkatan durasi obat (benzodiazepin) dari durasi normalnya.

2) Ikatan Plasma Protein36)


21

Hal terpenting dalam distribusi obat berhubungan dengan

penyebaran obat dalam cairan tubuh dan ikatannya dengan protein

plasma, dengan sel darah merah dan jaringan tubuh, termasuk

dengan organ target. Obat-obatan dengan sifat asam lemah

(fenitoin, digitoxin, warfarin, klorpropamid, klofibrat, dan

furosemid) akan berikatan dengan protein albumin sehingga

menyebabkan obat bentuk bebas akan meningkat pada pasien

geriatri. Saat obat bebas berada dalam jumlah yang banyak maka

akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat dalam plasma.

Hal ini menyebabkan kadar obat dapat melampaui konsentrasi

toksis minimum.

3) Aliran Darah Pada Organ36)

Penurunan aliran darah pada usia lanjut akan mengakibatkan

penurunan perfusi darah sampai dengan 45%. Hal ini akan

menyebabkan penurunan distribusi obat ke jaringan sehingga efek

obat menurun.

c. Metabolisme hati(32-36)

Kapasitas fungsi hati sebagai tempat metabolisme utama obat-

obatan menurun oleh karena faktor-faktor penurunan aktivitas

intrinsik enzim mikrosomal hati, berkurangnya massa hati dan

penurunan aliran darah hati. Aktivitas enzim dapat dirangsang

misalnya rifampisin, luminal, dan diazepam, maupun dihambat

(inhibited) misalnya oleh simetidin, eritromisin, allopurinol,


22

siprofloksasin, dan antagonis kalsium. Obat-obat yang mengalami

metabolisme di hati misalnya parasetamol, salisilat, diazepam,

prokain, propanolol, dan warfarin, eliminasinya menurun sejalan

dengan kemunduran kapasitas fungsional hati. Penurunan massa

hati konstan sesuai dengan berat badan (massa hati 2,5% dari berat

badan). Mulai usia pertengahan, massa hati mengalami penurunan

sebesar 0,2% per tahun.31) Aliran darah menurun sebanyak 47%

pada usia 65 tahun, terjadi akibat penurunan curah jantung secara

bersamaan. Aliran darah hati yang merupakan suatu faktor utama

dalam klirens obat, mungkin mempengaruhi lebih lanjut oleh gagal

jantung dan sirkulasi, demam dan dehidrasi. Hal ini menyebabkan

kecepatan metabolisme hati menjadi bekurang, sehingga waktu

1
paruh eliminasi obat (t ) dalam plasma juga meningkatdan
2

dapat terjadi akumulasi. Toksisitas obat terjadi jika waktu paruh

diperpanjang. Contoh obat yang mengalami penurunan

metabolisme pada pasien geriatri karena penurunan aliran darah

hati : amitriptilin, imipramin, isoniazid, lidokain, morfin,

propanolol, dan verapamil.36)

Substansi yang larut lemak akan dimetabolisme secara ekstensif di

hati, sehingga mengakibatkan adanya penurunan bioavaibilitas

sistemik. Oleh karena itu adanya penurunan metabolisme akan


23

meningkatkan bioavaibilitas obat. Pada pasien geriatri adanya

gangguan first past metabolism akan meningkatkan biovaibilitas.36)

d. Ekskresi Ginjal32)

Pada usia lanjut terdapat penurunan massa ginjal, penurunan aliran

darah ginjal, dan penurunan laju filtrasi glomerulus sebanyak 30%

pada usia 65 tahun dan tinggal 35% pada usia 90 tahun, dan

penurunan fungsi sekretorik. Pemberian dosis obat pada pasien

geriatri memerlukan acuan nilai bersihan / klirens kreatinin

(creatinine clearance). Nilai ini bisa diperoleh dengan rumus

Cockroft-Gault, yaitu:

( 140umur (tahun ) ) berat badan(kg)


Kl kreatinin
mg
72 kreatinin serum( )
dL

* Untuk wanita, nilai ini dikalikan lagi dengan 85% (0,85).

Selain dengan rumus Cockroft-Gault, perkiraan klirens kreatinin

bisa didapatkan dengan normogram Sierbaek-Nielsen. Formula ini

sebenarnya dipakai pada pasien gagal ginjal, namun karena pada

pasien geriatri juga terjadi penurunan fungsi ginjal maka formula

ini dapat dipakai.

1f

G=

Keterangan :

G : Faktor penyesuaian dosis.

fR : Fraksi obat yang diekskresi oleh urin dari dosis bioavailabel.


24

Beberapa obat yang mengalami ekskresi utama di ginjal

adalah simetidin, digoxin, obat antidiabetik oral, dan NSAID

oral.

Tabel II.2. Perubahan Farmakokinetik Obat Akibat Proses Penuaan (6-32)


VARIABEL PERUBAHAN EFEK DAN
PENYAKIT TERKAIT
Absorbsi Sirkulasi darah intestinal Laju absorbsi
pH lambung Akloridia, diare, gastrektomi
Aktivitas absorbsi Sindrom malabsorpsi,
Laju pengosongan lambung (Gastro pankreatitis
Esophageal Reflux/GER)
Distribusi Curah jantung (cardiac output) Vd obat larut dalam air
Lemak badan(lean mass body)
Konsentrasi serum albumin Vd obat larut dalam lemak
Cairan dalam tubuh Ikatan protein dengan obat
Gagal jantung kongestif,
dehidrasi, edem atau asites, gagal
hati, malnutrisi, gagal ginjal.
Metabolisme Aliran darah hati t ekskresi obat melalui hati
Masa hati Gagal jantung kongestif,
Aktivitas enzim demam, insufisiensi hati,
Metabolisme fase 1 keganasan, malnutrisi
Disfungsi hati Penyakit tiroid, infeksi virus
-1 glikoprotein atau imunisasi.
Lemak tubuh
Eliminasi Aliran darah ginjal t ekskresi obat melalui ginjal
Laju filtrasi glomerular (Glomerular Hipovolemia
Filtration Rate/GFR) Insufisiensi ginjal
Sekresi tubuler ginjal
Nefron tidak berfungsi
II.D.2.Perubahan Farmakodinamik36)

Perubahan farmakodinamik pada pasien geriatri berpengaruh pada

kemampuan tubuh menjaga sistem homeostatik, perubahan pada reseptor-

reseptor spesifik dan tempat sasaran akan sangat mempengaruhi konsentrasi

obat yang berefek.

a. Pengaturan Temperatur

Hipotermia tidak diharapkan terjadi pada pasien geriatri yang

mendapat beberapa macam obat. Obat-obatan yang menyebabakan

terjadinya hipotermia diantaranya, benzodiazepin, opioid, dan anti


25

depresan trisiklik dapat menyebabkan sedasi gangguan kepekaan

subjektif terhadap temperatur dan penurunan mobilitas.

b. Fungsi Usus dan Kandung Kemih

Konstipasi sering muncul pada pasien geriatri akibat penuruan

motilitas saluran gastrointestinal. Obat-obat antikolinergik dapat

menyebabkan retensi urin pada pasien geriatri laki-laki, terutama

pasien dengan hipertropi prostat sedangkan pada perempuan sering

terjadi disfungsi uretra.

c. Pengaturan Tekanan Darah

Pada pasien geriatri terjadi penumpulan reflex takikardia sehingga

hipotensi postural merupakan masalah yang sering terjadi pada

pasien geriatri. Hal ini mengakibatkan obat-obat dengan efek

antihipertensi cenderung menyebabkan masalah pada pasien

geriatri.

d. Keseimbangan Cairan atau Elektrolit

Paien geriatri mengalami penuruan kemampuan ekskresi retensi air

obat-obat yang mengakibatkan retensi cairan ini diantaranya,

kortikosteroid dan antiinflamasi non-steroid.

e. Fungsi Kognitif

Pertambahan usia akan menurunkan fungsi sistem saraf pusat yang

terjadi akibat perubahan struktur dan kimiawi. Aktifitas enzim

kolinesterase menurun pada usia lanjut dan berakibat menurunnya

transmisi kolinergik. Transmisi kolinergik sangat berperan dalam


26

fungsi kognitif normal sehingga obat-obatan antikolinergik dan

hipnotik dapat memperburuk efek tersebut. Pasien geriatri yang

mengkonsumsi obat-obat tersebut mengalami kebingungan.

II.E. Masalah Terkait Obat pada Pasien Geriatri

Farmakoterapi dapat secara efektif meningkatkan kualitas hidup,

menyembuhkan, dan mencegah atau meringankan gejala pada banyak kondisi

kritis. Ketepatan penggunaan obat sangat penting karena ADEs dan masalah

terkait obat lainnya (Drug Related Problem/DRP). DRP didefinisikan sebagai

peristiwa atau keadaan yang melibatkan terapi obat yang benar-benar atau

berpotensi menyebabkan pasien mendapatkan hasil yang kurang atau tidak

optimal dari perawatan medis. DRP meliputi penggunaan obat tanpa indikasi,

interaksi obat, dosis subterapeutik, overdosis, ketidakpatuhan dan ADR.

Kegagalan terapi juga disebabkan karena PIMs.10) Penelitian menunjukkan bahwa

15 - 25% dari pasien geriatri mengalami perawatan medis karena kejadian DRP.36)

Polifarmasi dan bertambahnya usia diidentifikasi merupakan dua faktor risiko

utama yang menyebabkan DRP.38)

Semua obat-obatan dapat menghasilkan ADEs. Pasien geriatri memiliki

risiko lebih besar mengalami ADR. Hal ini terjadi karena peningkatan frekuensi

penggunaan obat, dimana diketahui bahwa pasien geriatri sering menderita

berbagai jenis penyakit sehingga mengharuskan mengkonsumsi berbagai jenis

obat. Pasien geriatri juga mengalami peningkatan sensitivitas terhadap efek obat

serta adanya komorbid yang dapat meningkatkan frekuensi dan keparahan

kejadian DRP terutama ADR. Risiko terjadinya DRP dapat meningkat seiring
27

dengan perubahan fisiologis pada pasien geriatri yang akan mempengaruhi

kondisi farmakokinetik dan farmakodinamik dari pasien tersebut.39)

II.F. Polifarmasi

II.F.1.Polifarmasi pada Pasien Geriatri(40-41)


II.F.1.Polifarmasi
Ada beberapa definisi untuk istilah polifarmasi, diantaranya

meresepkan obat melebihi indikasi klinis, pengobatan yang mencakup

paling tidak satu obat yang tidak perlu dan penggunaan empirik lima obat

atau lebih. Polifarmasi pada pasien geriatri sukar dihindari dengan beberapa

alasan, diantaranya :

a. Banyaknya penyakit yang diderita pada pasien geriatri dan

biasanya merupakan penyakit kronis.


b. Obat yang dikonsumsi diresepkan oleh beberapa dokter.
c. Gejala yang dirasakan pasien geriatri tidak jelas.
d. Penambahan obat baru untuk menghilangkan ADEs.

Risiko terjadinya interaksi obat meningkat sejalan dengan jumlah obat

yang diresepkan. Pasien dengan penyakit kritis dan pasien geriatri berisiko

tinggi untuk mengalami interaksi obat bukan karena mengkonsumsi obat

yang lebih banyak, tetapi juga karena adanya gangguan mekanisme

homeostatik yang tidak memungkinkan untuk menetralkan beberapa ADEs.

II.F.2.Dampak Polifarmasi pada Pasien Geriatri

Penggunaan berbagai macam obat meningkatkan potensi untuk

terjadinya ketidakpatuhan dan turut berperan dalam terjadinya ADR,

interaksi obat dan biaya pelayanan kesehatan. Penambahan suatu obat baru

pada program pengobatan mungkin memerlukan suatu perubahan gaya

hidup (misalnya : harus ingat untuk memakan satu tablet pada pagi hari)
28

atau perubahan yang lebih penting (misalnya : harus ingat untuk memakan

enam atau delapan kapsul setiap hari, melakukan penyesuaian untuk diet,

atau menggunakan obat tambahan untuk mengantisipasi ADEs).42)

Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara

jumlah obat yang diminum dengan kejadian ADEs. Artinya, makin banyak

jenis obat yang diresepkan, maka makin tinggi pula kemungkinan terjadi

ADEs. Secara epidemiologi 1 dari 10 orang (10%) akan mengalami ADEs

setelah pemberian 1 jenis obat. Risiko ini meningkat mencapai 100% jika

jumlah obat yang diberikan mencapai 10 jenis atau lebih. Secara umum

kejadian ADEs pada pasien geriatri mencapai 2 kali lipat kelompok usia

dewasa. Obat-obat yang sering menimbulkan ADEs pada pasien geriatri

antara lain analgetika, antihipertensi, antiparkinson, antipsikotik, sedatif,

dan obat-obat gastrointestinal. Sedangkan ADEs yang paling banyak dialami

antara lain hipotensi postural, ataksia, kebingungan, retensi urin dan

konstipasi. Tingginya kejadian ADEs berkaitan erat dengan kesalahan

peresepan oleh dokter maupun kesalahan penggunaan obat oleh pasien.43)

a. Kesalahan peresepan43)

Sebagai contoh simetidin yang sering diberikan pada pasien

geriatri, ternyata memberikan dampak ADEs yang cukup sering

(halusinasi dan reaksi psikotik), jika diberikan sebagai obat

tunggal. Obat ini juga menghambat metabolisme berbagai obat

seperti warfarin, fenitoin dan -blocker. Sehingga pada pemberian

bersama simetidin tanpa lebih dulu melakukan penetapan dosis


29

sesuai, akan menimbulkan efek toksik yang fatal karena

meningkatnya kadar obat dalam darah secara mendadak.

b. Kesalahan pasien43)

Secara konsisten, pasien geriatri banyak mengkonsumsi obat-obat

yang dijual bebas / tanpa resep dokter (Over The Counter / OTC).

Kandungan zat-zat aktif dalam satu obat OTC kadang belum jelas

efek farmakologinya atau malah bersifat membahayakan. Beberapa

antihistamin mempunyai efek sedasi, yang jika diberikan pada

pasien dengan gangguan fungsi kognitif akan memberikan efek

yang serius. Demikian pula obat-obat dengan kandungan zat yang

mempunyai antimuskarinik akan menyebabkan retensi urin atau

glaukoma, yang penanganannya akan jauh lebih sulit dibanding

penyakitnya semula.

c. Ketidak-jelasan informasi pengobatan43)

Keadaain ini banyak dialami oleh penderita-penderita penyakit

yang bersifat hilang timbul (sering kambuh). Kesalahan umumnya

berupa salah minum obat (karena banyaknya jenis obat yang

diresepkan), atau berupa ketidaksesuaian dosis dan cara pemakaian

seperti yang dianjurkan. Kelompok usia ini tidak jarang pula

memanfaatkan obat-obat yang kadaluwarsa secara tidak sengaja,

karena ketidaktahuan ataupun ketidakjelasan informasi. Namun

demikian, hal-hal yang perlu dicatat dalam segi ketaatan pasien

antara lain :
30

1) Meskipun secara umum populasi usia lanjut kurang dari 15%

tetapi peresepan pada usia ini relatif tinggi, yaitu mencapai 25%

- 30% dari keseluruhan peresepan.


2) Pasien geriatri sering lupa instruksi yang berkenaan dengan cara,

frekuensi dan berapa lama obat harus diminum untuk

memperoleh efek terapetik yang optimal. Untuk antibiotik,

misalnya pasien sering menganggap bahwa hilangnya simptom

memberi tanda untuk menghentikan pemakaian obat.


3) Pada penderita yang tremor, mengalami gangguan visual atau

menderita artritis, jarang diberikan obat cairan yang harus

ditakar dengan sendok.


4) Untuk pasien dengan katarak atau gangguan visual karena

degenerasi makular, sebaiknya etiket dibuat lebih besar agar

mudah dibaca.

II.G. Masalah dalam Peresepan dan Penggunaan Obat pada Pasien Geriatri

II.G.1.Peresepan yang Tidak Tepat pada Pasien Geriatri

Peresepan yang tidak tepat (Incorrect Prescribing/IP) pada pasien

geriatri meliputi penggunaan obat di mana masalah terkait obat lebih banyak

daripada manfaat secara klinis, penggunaan obat-obat yang meningkatkan

kejadian interaksi antar obat, obat - penyakit, kesalahan peresepan

(ketidaktepatan dosis, frekuensi dan durasi) dan penggunaan obat yang tidak

diperlukan secara klinis.44) Dalam meningkatkan mutu pengobatan terhadap

pasien perlu diperhatikan hal-hal yang dapat menimbulkan peresepan obat

yang tidak rasional pada pasien geriatri. Peresepan obat yang tidak rasional

dapat dikategorikan sebagai berikut 45-46) :


31

a. Peresepan kurang (underprescribing)


Pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik

dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak

diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yang diderita

juga termasuk dalam kategori ini.


b. Peresepan salah (incorrect prescribing)
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk

kondisi yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian

obat, memberikan kemungkinan ADEs yang lebih besar, PIO yang

keliru mengenai obat yang diberikan, dan pemberian obat tertentu

yang secara klinis tidak menguntungkan atau tidak diindikasikan

untuk pasien tertentu.


c. Peresepan obat-obatan yang berlebihan (overprescribing)
Memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk

penyakit yang bersangkutan.


d. Peresepan majemuk (multiple prescribing)

Memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang

sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu

obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu

jenis penyakit padahal tersedia obat yang lebih efektif.

Ketidakrasionalan obat yang terjadi karena ketidaksesuaian kombinasi

obat dalam satu resep yang mengakibatkan terjadinya interaksi antar obat

yang dapat mengakibatkan kehilangan kerja obat, berkurangnya efek obat

dan peningkatan toksisitas obat.47) Secara singkat, pemakaian obat,

dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan memberikan manfaat sangat


32

kecil atau tidak ada sama sekali, sehingga tidak sebanding dengan

kemungkinan terjadinya ADEs atau bertambahnya biaya pengobatan.48)

Penggunaan obat pada pasien geriatri memerlukan perhatian khusus

karena adanya perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat terkait

proses penuaan. Risiko terjadinya ADR, ADEs, dan bertambahnya jumlah

obat yang dikonsumsi. Banyaknya jenis obat dan rumitnya tata cara

pengobatan membuat pasien geriatri yang kemampuan kognitif dan fisiknya

sudah mengalami penurunan menjadi tidak patuh terhadap pengobatan yang

telah ditetapkan. Selain itu kondisi psikososial sangat potensial untuk

memperburuk status kesehatannya.49)

II.G.2 Potensi Penggunaan Obat yang Tidak Tepat

PIMs adalah pemberian obat yang memiliki rasio risiko-manfaat yang

tidak menguntungkan. Risiko penggunaan obat tertentu melampaui manfaat

dari obat tersebut, terutama bila tersedia alternatif lain dengan efektifitas

yang sama ataupun lebih serta lebih aman. Istilah potensial penting karena

dalam beberapa kasus dokter mungkin telah mempertimbangkan terapi

alternatif tetapi alasan yang tidak diketahui peneliti sehingga dipilih untuk

melanjutkan terapi pengobatan tersebut.10) PIMs telah menjadi bidang

perhatian utama pada pasien geriatri. Telah banyak didokumentasikan

bahwa obat-obatan tertentu harus digunakan dengan hati-hati pada pasien

geriatri dan biasanya cara terbaik dengan menghindari pemakaiannya jika

alternatif yang lebih aman tersedia.50)


33

PIMs merupakan aspek penting dari DRP yang dapat dicegah pada

peresepan pasien geriatri.51) Sejumlah obat menunjukkan peningkatan

potensi untuk dapat menyebabkan masalah pada pasien geriatri dan obat-

obat ini telah dikategorikan sebagai PIMs. Obat-obatan yang diidentifikasi

mempunyai risiko tinggi atau PIMs pada pasien geriatri tidak menimbulkan

masalah pada semua pasien tetapi memiliki potensi untuk menyebabkan

peningkatan keparahan kondisi klinis.52) Secara umum PIMs pada pasien

geriatri diidentifikasi sebagai15) :

a. Obat yang tidak memiliki dasar bukti indikasi yang jelas.


b. Obat yang memiliki risiko lebih tinggi untuk menyebabkan ADR.
c. Obat yang tidak mempertimbangkan efektifitas biaya.
d. Obat yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien.

PIMs umum di kelompok usia lanjut, obat-obatan ini terkait dengan

peningkatan ADR pada pasien geriatri. Kebanyakan obat akan tepat untuk

pasien geriatri bila digunakan dalam dosis yang memadai, untuk diagnosis

yang benar dan jangka waktu tertentu. Pasien geriatri lebih rentan terhadap

ADEs dan ADR disebabkan ketidaksesuaian beberapa obat.10)

Empat kelompok obat yang sering dikonsumsi oleh pasien geriatri

yang seharusnya dihindari. Kelompok-kelompok ini adalah : benzodiazepin,

obat antipsikotik, obat antikolinergik dan non-steroid anti-inflammatory

drug (NSAID). Benzodiazepin, obat antikolinergik dan obat antipsikotik

dapat menyebabkan delirium, terutama pada pasien geriatri. Kemungkinan

terjadinya ADEs yang parah dari NSAID misalnya perdarahan

gastrointestinal, gagal ginjal dan gagal jantung. Pasien geriatri lebih rentan
34

terhadap ADR dari semua obat-obatan tersebut karena adanya perubahan

farmakokinetik dan farmakodinamik.10)

Berdasarkan fakta yang ada terkadang terjadinya PIMS dikarena

adanya kompleksitas dari peresepan, faktor pasien, pemberi resep dan

sistem kesehatan. PIMs dapat meningkatkan morbiditas, beban klinis dan

ekonomi, bahkan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, PIMs

menjadi persoalan yang penting dalam bidang kesehatan usia lanjut.53)

Pencegahan adalah cara yang paling efisien untuk meminimalkan

PIMs pada geriatri. Penelitian ulang daftar obat secara teratur dapat menjadi

salah satu cara untuk mencegah dan bertindak atas terjadinya PIMs.10)

II.G.3. Dampak Potensi Penggunaan Obat yang Tidak Tepat45)

a. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan


Salah satu dampak PIMs adalah peningkatan angka

morbiditas dan mortalitas penyakit.


b. Dampak terhadap biaya pengobatan
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian

obat untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat,

jelas merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien.


c. Dampak terhadap ADR dan ADEs
Dampak lain dari ketidaktepatan penggunaan obat adalah

meningkatnya risiko terjadinya ADEs serta ADR, baik untuk pasien

maupun masyarakat.
d. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat
Ada dua masalah dalam ketersediaan obat yang dikarenakan

ketidaktepatan penggunaan obat, 1) seolah-olah mutu ketersediaan

obat tidak memadai. Padahal yang terjadi obat telah dibagi rata ke

pasien yang sebenarnya tidak memerlukan, 2) mengganti jenis obat


35

karena ketersediaan obat tidak tersedia, berdampak pada tidak

sembuhnya atau menjadi lebih parah dan pasien meninggal.

II.H. Penilaian Potensi Penggunaan Obat yang Tidak Tepat

Alat skrining untuk menilai kelayakan resep berisi kriteria implisit atau

eksplisit atau kombinasi keduannya. Kriteria implisit adalah penelitian berbasis

klinis dan tidak spesifik untuk setiap obat tertentu atau penyakit. Dokter

menggunakan kriteria implisit dengan menggunakan data pasien dan hasil

laboratorium untuk membuat penilaian tentang kelayakan penggunaan obat pada

pasien geriatri.53) Kriteria implisit tidak fokus pada obat tetapi lebih fokus kepada

pasien. Kriteria implisit untuk peresepan yang berpotensi tidak tepat pada pasien

geriatri telah dikembangkan dan yang paling sering dikutip adalah Medication

Appropriateness Index (MAI). MAI adalah kriteria implisit yang mengukur

kesesuaian resep berdasarkan sepuluh kategori, termasuk indikasi, efektifitas,

dosis obat, administrasi, interaksi antar obat dan obat dengan penyakit, serta biaya

pengobatan.15) Sifat dari kriteria implisit memakan waktu dalam penilaian per

pasien hingga 30 menit, oleh karena itu kriteria ini tidak cocok sebagai alat

skrining untuk pasien geriatri dalam praktek klinis.54)

Teknik Delphi digunakan dalam perumusan kriteria eksplisit. Teknik Delphi

adalah metode validasi atau disebut juga dengan metode konsensus,55) teknik

Delphi dikembangkan pada tahun 1950 oleh RAND Corporation sebagai sarana

memperoleh informasi dari hasil konsensus para ahli.14) Teknik Delphi memiliki

beberapa keunggulan dibandingkan teknik penelitian kualitatif. Keuntungan yang

paling sering disebutkan adalah kurangnya dominasi diskusi oleh salah satu
36

anggota panel, yang dapat terjadi selama pertemuan tatap muka konvensional

seperti kelompok fokus atau sesi brain storming.55)

Kriteria eksplisit adalah pernyataan spesifik dari ketidaktepatan, merupakan

kriteria yang berdasarkan dan dikembangkan dari jurnal yang telah terbit, berasal

dari pedoman berbasis bukti, ulasan, pendapat ahli dengan teknik Delphi. Kriteria

eksplisit umumnya berorientasi obat atau penyakit dan mempunyai tingkat

terbatas penilaian klinis. Kriteria tersebut harus dapat digeneralisasi atau

dikembangkan untuk berbagai negara. Pengukuran ini terdiri dari obat yang harus

dihindari oleh pasien geriatri, diagnosis independen, atau konteks diagnosis

tertentu.56) Kriteria eksplisit untuk mengidentifiksai PIMs pada pasien geriatri

pertama kali disusun oleh McLeod et.al., 1997. Kriteria tersebut divalidasi oleh

panel ahli terdiri dari 32 farmakoterapi geriatri dari beragam daerah di Kanada

dan terdiri dari farmasi klinis, geriatricians, dokter dan apoteker. Hasil akhir

kriteria ini mengandung 38 kategori dari PIMs (18 obat kontraindikasi, 16

interaksi obat - penyakit dan 4 interaksi obat - obat yang harus dihindari pada

pasien geriatri). Sebagai contoh, pada sistem kardiovaskular, peresepan calsium-

channel blockers (CCBs) untuk mengobati hipertensi pada pasien dengan riwayat

gagal jantung dianggap tidak tepat karena dapat memperburuk gagal jantung.

Diuretik dan atau Angiotensin Converting Enzym inhibitor (ACEi)

direkomendasikan untuk menggantikan CCBs untuk kriteria ini.53)

Untuk mengidentifikasi PIMs, ada 15 kriteria yang telah dirancang, kriteria-

kriteria tersebut yaitu :1) Beers Criteria, 2) Screening Tool to Alert doctors to

Right Treatments (START) / STOPP, 3) McLeods Criteria, 4) NORGEP, 5)


37

Australian Prescribing Indicators Toll, 6) Zhan, 7) French Consensus Panel List,

8) PRISCUS List, 9) Preventable drug-related morbidity im older adults, 10)

Clinically important drug disease interactions and their prevalence in older

adults, 11) IPET,53) 12) Rancourt, 13) Laroche, 14) Winit-Watjana, 15) ARMOR.51)

Kriteria-kriteria yang sering digunakan untuk mengidentifikasi PIMs adalah IPET,

Beers Criteria, dan START/STOPP.

Kriteria IPET Kriteria Australia dibuat pada tahun 2000, yang

menyimpulkan 14 kategori obat yang kontraindikasi atau mungkin memberikan

interaksi obat - penyakit pada pasien geriatri. Menurut sebuah studi observasional

yang dilakukan di Irlandia, IPET adalah alat yang mudah digunakan tetapi tidak

efektif dalam mengidentifikasi PIMs dibandingkan dengan Beers criteria. Hal ini

karena kriteria IPET terdiri dari kelas obat yang lebih sedikit daripada Beers

criteria,57) dan kriteria ini tidak menggunakan teknik Delphi untuk

mengembangkannya.55)

Beers Criteria, merupakan kriteria eksplisit yang pertama pada tahun 1991

dari Amerika Serikat.20) Beers criteria awalnya merupakan kriteria penggunaan

obat yang tidak sesuai di panti jompo. Kriteria ini dikembangkan untuk membantu

menilai kualitas resep pada pasien geriatri.15) Beers Criteria telah digunakan untuk

menganalisis penggunaan obat di sejumlah pelayanan kesehatan untuk

mengevaluasi hubungan antara ADR dan PIMs.9) Namun, Beers Criteria memiliki

sejumlah kekurangan dalam kaitannya dengan pola resep Eropa. Beers Criteria

berisi beberapa obat-obatan yang tidak baik ditentukan atau tidak tersedia di

sebagian besar negara-negara Eropa dan obat tersebut tidak dianggap ke dalam
38

PIMs pada pasien geriatri disebagian negara-negara Eropa, misalnya doxazosin.

Selain itu, Beers Criteria tidak mengidentifikasi Potentially Prescribing

Omissions (PPO), dan rumit untuk digunakan dalam praktek sehari-hari.58)

IP meliputi PIMs dan PPO. Kriteria START / STOPP untuk

mengidentifikasi IP pada pasien geriatri mengenali sifat ganda dari IP dengan

memasukkan daftar PIMs (kriteria STOPP) dan PPO (kriteria START). 18) START /

STOPP dirumuskan dan divalidasi untuk menutupi kekurangan yang dirasakan

dari Beers Criteria. START terdiri dari 22 indikator resep berbasis bukti untuk

penyakit yang biasa ditemui pada usia lanjut.16) START merupakan instrumen

yang membantu dokter dan apoteker dalam mengidentifikasi PPO untuk

mempertimbangkan manfaat dari mulai obat digunakan dalam situasi klinis yang

dipilih.58)

II.I. Kriteria STOPP

STOPP dikembangkan oleh tim multidisiplin dari Irlandia yang terdiri dari

geriatricians, apoteker, farmasis, dokter dan perawat.15) STOPP diperkenalkan dan

dievaluasi di Eropa.57) STOPP merupakan kriteria untuk mendeteksi PIMs pada

pasien geriatri. STOPP berfokus pada obat-obatan yang biasa diresepkan pada

pasien geriatri dan masalah potensial yang terkait dengan resep tersebut.15)

STOPP terdiri dari 65 kategori yang signifikan secara klinis untuk

mendeteksi PIMs pada pasien geriatri dan disusun berdasarkan sistem fisiologis

untuk kemudahan penggunanya. Kriteria STOPP menggunakan interaksi obat

dengan obat, obat dengan penyakit, dosis obat dan durasi sebagai

pertimbangannya,17) serta obat yang mempengaruhi pasien yang berisiko jatuh dan
39

polifarmasi.59) Setiap kategori obat pada STOPP diikuti dengan penjelasan singkat

mengapa obat tersebut potensi penggunaannya tidak pantas dalam praktik

peresepan pasien geriatri.17)

STOPP tidak dimaksudkan untuk menjadi daftar lengkap dari semua

interaksi antar obat yang potensial karena telah tersedia pada formularium standar

seperti British Nasional Formularium (BNF). STOPP merupakan alat skrining

yang berguna dan berlaku untuk praktik klinis sehari-hari. 15) Berdasarkan teori,

aplikasi klinis rutin dari kriteria STOPP ini dapat mewakili metode yang efisien

secara waktu yang cepat untuk mengidentifikasi PIMs dan tidak mahal untuk

mengoptimasi praktik peresepan obat pasien geriatri.59)

Kriteria ketidaksesuaian peresepan harus sensitif, spesifik, mempunyai

tingkat kepercayaan yang baik dan menyantumkan pengobatan yang paling umum

diikuti dengan ADR dan ADEs pada pasien geriatri.59) Hasil penelitian

mendapatkan bahwa kriteria STOPP diidentifikasi signifikan lebih tinggi dari

pasien rawat inap akibat ADEs yang berhubungan dengan PIMs dibanding

Beerscriteria.15) STOPP divalidasi menggunakan teknik konsesus Delphi oleh

delapan anggota panel yang sudah ahli pada farmakoterapi untuk geriatri dari

Inggris dan Irlandia. Didapatkan tingkat kepercayaan yang tinggi pada STOPP.17)

Uji kepercayaan untuk STOPP menunjukkan hasil yang baik dengan koefisien

kepercayaan 0,97. Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hal tersebut adalah

STOPP merupakan alat skrining yang valid / benar, dapat dipercaya dan

komprehensif / menyeluruh dalam peresepan obat pada pasien geriatri.15)


40

Kejadian PIMs yang paling umum diidentifikasi oleh STOPP antara lain

penggunaan benzodiazepin jangka panjang, antidepresan trisiklik dengan kontra

indikasi yang jelas, antihistamin generasi pertama, obat vasodilator (diketahui

menyebabkan hipotensi pada pasien dengen hipotensi postural persisten),

penggunaan yang tidak tepat dari NSAID dan opiat, dan duplikasi resep pada

kelas obat seperti dua inhibitor enzim mengubah angiotensin, duplikasi NSAID

dan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) atau terapi antiplatelet ganda

tanpa indikasi.15) Kinerja STOPP telah dievaluasi untuk mendeteksi PIMs dan

ADR yang berkaitan pada resep 715 geriatri di rumah sakit pendidikan

Universitas Irlandia. Pada geriatri dengan penyakit akut yang membutuhkan

perawatan di rumah sakit ditemukan 35% pasien setidaknya mendapatkan satu

jenis PIMs berdasarkan kriteria STOPP dan 11,5% dari temuan PIMs tersebut

diikuti dengan kejadian ADR. Dilakukan skrining pada populasi yang sama

dengan menggunakan Beers criteria. Prevalensi PIMs yang ditemukan adalah

25% dan hanya 6% dari temuan tersebut yang diikuti dengan kejadian ADR,

sehingga STOPP mendeteksi PIMs lebih banyak daripada Beers criteria.60)


41

II.J. Kerangka Teori

Pasien
geriatri
- Jenis Kelamin
- Usia
- Durasi rawat
Perubahan Penurunan
metabolisme fungsi
obat -Fisiologis
- Farmakokinetik -Biologis
- Farmakodinami -Psikologis
k -Sosial
- Spiritual

Penyakit
kronik
dan

Ya
Skrining Penggunaan
menggunakan obat- PIMs
kriteria STOPP obatan/polifar
Gambar II.3. Kerangka Teori Tidak

Anda mungkin juga menyukai