Anda di halaman 1dari 6

Pengolahan Limbah Kakao menjadi Pupuk Organik

by Teguh Yuono at 00.11


9 komentar
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) adalah tanaman perkebunan yang umumnya tumbuh di
daerah tropis. Bagian dari buah kakao yang dimanfaatkan berupa biji, yang nantinya diolah
sedemikian rupa sehingga menghasilkan bubuk coklat, biasa digunakan sebagai minuman
penyegar dan makanan ringan. Limbah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari
sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis. (Isroi,
2008).
Banyak terdapat limbah seperti limbah perkotaan, limbah rumah tangga dan limbah pertanian.
Limbah pertanian meliputi semua hasil proses pertanian yang tidak termanfaatkan atau belum
memiliki nilai ekonomis. Salah satu cara untuk memanfaatkan limbah pertanian adalah dengan
dijadikan kompos, seperti halnya dengan kulit buah kakao.
Bahan organik sering disebut segbagai bahan penyangga tanah. Tanah dengan kandungan bahan
organik rendah akan berkurang kemampuannya mengikat pupuk kimia sehingga efisiensinya
menurun akibat sebagian pupuk hilang akibat pencucian, fiksasi atau penguapan. Kandungan
bahan organik dalam tanah semakin lama semakin berkurang, oleh karena itu pemberian pupuk
organik pada tanaman perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui penguruh pupuk organik
terhadap pertumbuhan tanaman (Musnamar, 2004).
Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk organik yang berasal dari pemanfaatan limbah kulit
kakao yang terlebih dahulu dikomposkan dengan menggunakan aktivator EM-4. Menurut
Departemen Pertanian (2004) produksi kakao di Jawa Barat pada tahun 1999 adalah 5.890 ton,
data estimasi tahun 2002 adalah 5.002 ton sedangkan, produksi kakao Indonesia tahun 1999
adalah 367.475 ton dan estimasi tahun 2002 adalah 433.415 ton. Banyaknya produksi ini
mengakibatkan kulit kakao sebagai limbah perkebunan meningkat. Lebih lanjut dikatakan oleh
Darmono dan Tri Panji (1999), limbah kulit buah kakao yang dihasilkan dalam jumlah banyak
akan menjadi masalah jika tidak ditangani dengan baik. Produksi limbah padat ini mencapai
sekitar 60% dari total produksi buah.
Spillane (1995) mengemukakan bahwa kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber
unsur hara tanaman dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin.
Sebagai bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sangat
potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air untuk kakao lindak sekitar 86%, dan kadar
bahan organiknya sekitar 55,7% (Soedarsono. dkk, 1997)
Menurut Didiek danYufnal (2004) kompos kulit buah kakao mempunyai pH 5,4, N total 1,30%,
C-organik 33,71%; P2O5 0,186%; K2O 5,5%;CaO 0,23%; dan MgO 0,59%. Kulit buah kakao
sampai saat ini belum banyak mendapat perhatian masyarakat atau perusahaan untuk dijadikan
pupuk organik, umumnya pupuk organik yang digunakan berasal dari kotoran hewan, seperti
sapi dan domba.

1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan paper tentang Pengolahan Kompos Limbah Kulit
Kakao adalah sebagai berikut:

1. Memberikan imformasi kepada pembaca tentang teknik pembuatan kompos dengan


bahan baku limbah kulit kakao.

2. Memberi informasi pada pembaca bahwa limbah kulit kakao juga bisa dimanfaatkan
sebagai kompos.

1.3 Kerangka Pemikiran

Kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan meningkatkan kesuburan
tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan
meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk
mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman
akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk
menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang
pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman
menghadapi serangan penyakit.
Aplikasi pupuk organik merupakan salah satu alternatif yang biasa diterapkan dan
dikembangkan. Ketersedian bahan buku yang melimpah dan belum dimanfaatkan perlu
diperhatikan untuk meningkatkan produktifitas usaha perkebunan.
Pembuatan dan pemanfaatan kompos limbah kulit kakao ini sangat membantu petani dalam
budidaya tanaman, baik tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan karena dapat
meningkatkan hasil produksi dan dapat juga menekan anggaran biaya pemupukan, apalagi pada
saat sekarang ini subsidi pupuk anroganik dari pemerintah mulai dikurangi dan sering kali terjadi
kelangkaan pupuk di masarakat petani Indonesia.

II. ISI

2.1 Pengertian Pupuk Organik

Menurut Heru (2002), pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari pelapukan sisa-sisa
makhluk hidup, tanaman, hewan, manusia, dan kotoran hewan. Pupuk ini merupakan pupuk
lengkap, artinya mengandung unsur makro dan mikro. Keunggulan pupuk organik antara lain:
a. Pupuk organik berfungsi sebagai granulator sehingga dapat memperbaiki struktur tanah.
Adanya bahan organik dapat mengikat butiran tanah yang lebih besar dan remah sehingga tanah
menjadi lebih gembur.
b. Daya serap tanah terhadap air dapat meningkat dengan pemberian pupuk organik karena
mengikat air lebih banyak dan lebih lama.
c. Pupuk organik dapat meningkatkan kehidupan mikroorganisme dalam tanah. Jasad renik
dalam tanah berperan dalam perubahan bahan organik (BO).
d. Unsur hara di dalam pupuk organik merupakan sumber makanan bagi tanaman. Walaupun
dalam jumlah sedikit, pupuk organik mengandung unsur lengkap.
e. Pupuk organik merupakan sumber unsur hara N, P, S.
2.2 Pengomposan

Menurut Heru (2002), kompos merupakan hasil pelapukan dari berbagai bahan yang berasal
makhluk hidup seperti dedaunan, tanaman, kotoran hewan dan sampah. Proses pembuata kompos
dapat dipercepat dengan bantuan manusia. Pupuk dengan C/N ratio yang tinggi kurang baik
diberikan, karena proses peruraian selanjutnya akan terjadi di dalam tanah dan CO2 yang
dihasilkan akan berpengaruh kurang baik terhadap pertumbuhan.

2.3 Faktor-faktor Keberhasilan dalam Pengomposan

Menurut Isroi (2007) ada beberapa hal yang mempengaruhi pengomposan antara lain :
1. Nisbah C/N
Nisbah C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1. Mikroba
memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada
nisbah C/N di antara 30-40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis
protein. Apabila nisbah C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein
sehingga dekomposisi berjalan lambat.
2. Tekstur bahan baku
Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas
akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan
lebih cepat. Ukuran bahan baku juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk
meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan
tersebut, dengan ukuran bahan baku yang ideal 2x2cm.
3. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara
alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar
dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas
dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses
anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan
melakukan pembalikan atau mengalirkan udara dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan
mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan
udara. Udara akan menambah oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh
air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
Kelembaban (Moisture content) memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolismemikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen.
5. Mikrooranisme
Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut dalam
air. Kelembaban 40-60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila
kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah
lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume
udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi
anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
6. Temperatur
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungannya langsung antara peningkatan suhu
dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen
dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat
pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30-60o C menunjukkan aktivitas
pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60o C akan membunuh sebagian mikroba
dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan
membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.
7. Reaksi kemasaman (pH)
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses
pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,8
hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan
pH bahan itu sendiri, sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan
menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa
yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH
kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
8. Kandungan hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam
kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses
pengomposan.
9. Kandungan bahan berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan
mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, Cr adalah beberapa bahan yang
termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses
pengomposan.

2.4 Prosedur Kerja Pembuatan Kompos Limbah Kulit Kakao

2.4.1 Alat dan bahan


Alat yang digunakan antara lain: cangkul, golok, timbangan, ember, gembor, dan kantong plastik
untuk pengomposan, sedangkan bahan yang digunakan, yaitu limbah kulit kakao, air, fungisida,
dan aktivator.

2.4.2 Metode pelaksanaan


Cara pembuatan kompos limbah kulit kakao hampir sama dengan cara pengomposan
nenggunakan bahan lain, berikut ini prosedur kerja dalam pembuatan kompos limbah kulit
kakao:
1. Mengumpulkan bahan baku yang masih berserakan di tempat pengumpulan buah kakao saat
panen
2. Menjemur bahan baku limbah kulit kakao, dengan tujuan untuk mengurangi kadar air yang
tersimpan dalam kulit kakao
3. Memperkecil ukuran bahan (limbah kulit kakao). Untuk memperkecil ukuran bahan dapat
dilakukan dengan parang atau mesin pencacah, tujuan dari memperkecil ukuran bahan baku
adalah untuk memperluas permukaan, sehingga proses dekomposisi bisa berjalan lebih cepat
4. Menyiapkan aktivator pengomposan. Jenis aktivator yang digunakan adalah (EM-4 atau
Promi), kemudian larutkan ke dalam air dengan campuran 125ml EM-4 dilarutkan dengan 10
liter air.
5. Pemasangan kotak/plastik wadah pengomposan, kotak dapat terbuat dari papan dengan ukuran
panjang 2m dan lebar 2m.
6. Memasukkan bahan ke dalam cetakan selapis demi selapis. Tinggi setiap lapisan 20 cm,
kemudian siram tiap lapisan dengan larutan aktivator dan air sebanyak 250 ml. lalu bahan
tersebut diinjak-injak agar memadat sambil disiram dengan aktivator pengomposan.
7. Setelah kotak penuh, buka kotak dan tutup tumpukan kulit buah kakao dengan plastik.
8. Lalu ikat tumpukan tersebut dengan tali, usahakan jangan ada celah tempat udara masuk.
9. Masa Inkubasi pengomposan terjadi selam selama 1,5 sampai 2 bulan, setiap 10 hari sekali
dilakukan kegiatan pengamatan.

2.4.3 Pengamatan proses pengomposan


Agar proses pengomposan dapat berjalan dengan baik, perlu dilakukan pengamatan secara
teratur. Pengamatan dapat dilakukan seminggu sekali hingga kompos siap digunakan
.Pengamatan dilakukan secara fisik dan kimia dengan menggunakan peralatan yang sederhana.
Pengamatan secara fisik meliputi:
a. Suhu kompos
Buka plastik penutup kompos dan raba tumpukan kompos hingga bagian dalam. Seharusnya
dalam waktu satu dua hari setelah pembuatan kompos, suhu akan meningkat dengan cepat.
peningkatan suhu dapat mencapai 70o C dan dapat berlangsung beberapa minggu, pengukuran
suhu kompos dapat menggunakan alat termometer.
b. Kelembaban
Periksa juga kadar air/kelembaban kompos hingga bagian dalam kompos. Kompos yang baik
akan terasa lembab namun tidak terlalu basah, kelembaban yang idel pada waktu proses
dakomposisi adalah 60%.
c. Penyusutan
Sejalan dengan proses penguraian bahan organik menjadi kompos akan terjadi penyusutan
volume kompos. Penyusutan volume ini dapat mencapi setengah (50%) dari volume semula.
Apabila selama proses pengomposan tidak terjadi penyusutan volume, kemungkinan proses
pengomposan tidak berjalan dengan baik.
d. Perubahan warna bahan baku
Amati pula perubahan warna yang terjadi pada bahan baku kompos. Biasanya warna berubah
menjadi coklat kehitam-hitaman. Seringkali jamur juga ditemukan tumbuh subur di atas
tumpukan kompos.

Sedangkan pengamatan secara kimia meliputi dua kegiatan pengamatan yaitu:


a. Pengukuran pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses
pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5, pengamatan ini dapat menggunakan kertas lakmus.
b. Pengukuran nisbah C/N
Salah satu kriteria kematangan kompos adalah nisbah C/N. Analisa ini hanya bisa dilakukan di
laboratorium. Kompos yang telah cukup matang memiliki nisbah C/N<20. Apabila nisbah C/N
lebih tinggi, maka kompos belum cukup matang dan perlu waktu dekomposisi yang lebih lama
lagi.
2.4.4 Menentukan kematangan kompos
Menurut Isroi (2007), untuk mengetahui tingkat kematangan kompos dapat dilakukan dengan uji
di laboratorium ataupun pengamatan sederhana di lapangan. Berikut ini disampaikan beberapa
cara sederhana untuk mengetahui tingkat kematangan kompos :
1. Penyusutan bahan baku
Terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan kompos.Besarnya
penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat kematangan kompos.
Penyusutan berkisar antara 2040%. Apabila penyusutannya masih kecil/sedikit, kemungkinan
proses pengomposan belum selesai dan kompos belum matang.
2. Warna kompos
Warna kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam-hitaman. Apabila kompos masih
berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos tersebut belum
matang. Selama proses pengomposan pada permukaan kompos seringkali juga terlihat miselium
jamur yang berwarna putih.
3. Struktur bahan baku
Kompos yang telah matang akan terasa lunak ketika dihancurkan. Bentuk kompos mungkin
masih menyerupai bahan asalnya, tetapi ketika diremas akan mudah hancur.
4. Bau
Kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan bau bahan bakunya sudah berubah,
meskipun kompos dari sampah kota. Apabila kompos tercium bau yang tidak sedap, berarti
terjadi fermentasi anaerob dan menghasilkan senyawa-senyawa berbau yang mungkin berbahaya
bagi tanaman. Dan apabila kompos masih berbau seperti bahan mentahnya berarti kompos masih
belum matang.
5. Suhu
Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan. Suhu kompos
yang masih tinggi, atau di atas 50 C, berarti proses pengomposan masih berlangsung aktif dan
kompos belum cukup matang.

2.4.5 Pengemasan kompos


Kompos yang sudah matang segera dikemas, kompos tersebut dikemas dengan karung dengan
berat 25 kg tiap karung, setelah pengemasan selesai kompos siap untuk dijual atau langsung
diaplikasikan pada tanaman.

Anda mungkin juga menyukai