Wildan Pramudya
Akan tetapi, di era modern, keberadaan self-interest berada dalam situasi yang
sangat berbeda daripada era-era sebelumnya. Di sini, self-interest seolah betul-
bentul menemukan kediriannya (the self). Sebut saja Bentham yang melihat self-
interest sebagai perkara psikologis individual. Meski – kata Bentham – selain self-
interest terhubung dengan kepentingan masyarakat, namun self-interest dianggap
lebih prioritas. Selanjutnya Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi
diri dari kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn Rand, yang melihat self-
interest sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas.
Tulisan ini pada dasarnya hendak (1) menjabarkan bagaimana konsep interest
menjadi suatu doktrin yang begitu kuat dalam ilmu ekonomi, (2) menunjukkan
bahwa self-interest tidak cukup memadai untuk menjelaskan tindakan manusia.
Untuk menjelaskan semua itu, penulis akan mengacu pada kritik ekonom Amartya
K. Sen terhadap dasar-dasar asumsi dari teori ekonomi.
Dalam tulisannya, Sen hendak melakukan kritik terhadap dasar-dasar asumsi teori
ekonomi. Dan konsep sentral yang diproblematisasi oleh Sen adalah self-interest,
yang menjadi penyangga bagi aplikasi dari teori ekonomi. Dalam melakukan kritik
ini, sengaja Sen mengangkat pemikiran F.Y. Edgeworth di dalam bukunya
Mathematical Psychics: An Essay on the Application of Mathematics to Moral
Sciences, karena di dalamnya secara eksplisit menerangkan prinsip dasar dari ilmu
ekonomi.
Menurut Sen, ilmu ekonomi pada dasarnya sangat egois. Dikatakan egois karena
dalam ekonomi diasumsikan bahwa tindakan manusia diungkapkan hanya karena
adanya self-interest. Pendapat Sen ini bertolak dari pendapat Edgeword yang
mengatakan begini: the first principle of Economics is that every agent is actuated
only by self-interest. Dikatakan Sen, dalam kenyataannya pendapat ini memang
tidak realistik, karena dalam banyak hal tindakan manusia tidak murni egois,
melainkan kombinasi dengan utilitarian. Artinya pada derajat tertentu manusia akan
selalu memikirkan kepentingan orang banyak.
Di luar interpretasi seperti itu, tidak ada lagi konsep yang bisa diterima secara
rasional dan karenanya tidak memadai untuk memahami tindakan manusia. Konsep
yang bisa diterima adalah konsep yang mampu memahami tindakan manusia tidak
saja dalam konteks hari ini, melainkan juga dalam konteks kemungkinannya di
masa depan. Dengan kata lain, konsep yang digunakan haruslah konsep yang
memiliki kemampuan prediktif mengenai perilaku manusia. Dan kemampuan
prediktif itu hanya ada pada konsep kalkulasi yang terpola (perilaku).
Bagaimana mungkin ekonomi yang egoistik ini dapat mencapai kebaikan bersama?
Kalau ekonomi masih diandaikan berpegang pada konsep tindakan manusia rasional
yang bertolak dari self-interest, maka menurut Sen, ekonomi tidak cukup memadai
untuk menjawab pertanyaan di atas. Sekaligus juga, ekonomi tidak cukup kuat
untuk menjelaskan bagiamana suatu tata masyarakat itu terbentuk. Mengapa?
Karena konsep self-interest -- dalam konteks perilaku rasional -- diletakkan sebagai
tindakan manusia yang terisolasi, suatu tindakan yang hanya relevan dengan upaya
pemenuhan kebutuhan privat, sementara di dalam realitasnya ekonomi tidak hanya
berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan pribadi, melainkan juga kebutuhan
bersama atau pulik.
Oleh kerana itu, menurut Sen, dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mencapai
kebaikan bersama serta membangun tata sosial tertentu, semestinya ada sesuatu
yang melampaui self-interest di dalam ilmu ekonomi. Sesuatu yang melampaui itu
tentu saja adalah sesuatu yang memungkinkan sebuah persentuhan antara diri
individual dengan yang sosial . Sen menyebutkan sesuatu yang memungkinkan
persentuhan self dengan the others, dalam hal ini, adalah simpati dan komitmen.
Meski simpati dan komitmen adalah element yang menghubungkan diri dengan
orang lain, namun di mata Sen keduanya memiliki perbedaan pengertian dan
implikasi fundamental. Diilustrasikan Sen, jika kita mengetahui orang lain disiksa,
lalu kita ikut merasakan sakitnya siksaan itu, inilah yang disebut simpati. Jika
penyiksaan terhadap orang lain, secara personal tidak memberikan dampak buruk
bagi kita, namun kita sadari bahwa penyiksaan itu salah, lalu kita siap untuk
menghentikan tindakan penyiksaan tersebut, maka ini yang disebut komitmen.
Dengan kata lain, simpati merupakan suatu upaya menempatkan perasaan dan
perhatian (diri) kita kepada situasi apa dan bagaimana yang dirasakan orang lain.
Sedangkan komitmen adalah suatu kehendak yang muncul – didorong oleh
pengetahuan kita mengenai situasi orang – untuk melibatkan diri guna melakukan
perubahan positif terhadap situasi orang lain. Dari perbedaan pengertian di atas,
nampak bahwa simpati adalah suatu bentuk tindakan yang “minimalis”, pasif dan
masih membawa nuansa egoistiknya. Sedangkan komitmen merupakan tindakan
aktif, antisipatif dan ada keterlibatan dengan yang lain.
Penyediaan kebutuhan publik, misalnya, bukan lagi merupakan hasil getok tular
antara kepentingan orang per orang, melainkan semacam tugas yang harus
diemban untuk diwujudkan. Dalam konteks tugas, tindakan seorang dokter di suatu
institusi rumah sakit dalam mengobati seorang pasien, komitmen untuk
menyembuhkan pasien lebih utama daripada pertimbangan besaran biaya yang
harus dikeluarkan untuk pengobatannya. Dengan komitmen, keputusan dokter
untuk menyembuhkan melampaui pertimbangan apakah si pasien sebaiknya
dirawat di kelas I atau II, misalnya. Sehingga dengan komitmen ini, kasus penolakan
rumah sakit terhadap seorang pasien karena alasan keterbatasan atau ketiadaan
biaya, misalnya, tidak perlu terjadi.
Pada tingkat ini Sen lebih menetapkan kommitmen – daripada simpati -- sebagai
elemen penting untuk dijadikan salah satu dasar asumsi dalam mengonsepsikan
tindakan manusia. Akan tetapi, lanjut Sen, dalam pendekatan rasional-
behavioralistik, elemen ini tidak dimasukkan sebagai pertimbangan.
Kendati demikian, bagi Sen, hal ini tidak bisa dijadikan pembenar bahwa komitmen
yang mengandaikan moralitas tertentu dikeluarkan sebagai dasar asumsi dalam
mengonsepsikan manusia di dalam ilmu ekonomi. Dengan mengutip Harsanyi, Sen
berpendirian bahwa komitmen tetaplah penting dimasukkan sebagai pertimbangan
tindakan rasional manusia, yaitu sebagai preferensi etis. Hanya saja, dengan
preferensi etis ini, Sen tidak mengandaikan bahwa ada suatu tingkatan-tingkatan
moral tertentu, bahwa terdapat suatu moral tertentu yang paling layak dijadikan
dasar bagi manusia bertindak, melainkan sebuah meta-ranking. Meta-ranking di sini
– dalam penggambaran Sen – merupakan suatu struktur diskursif-praktis yang
terbuka, yang lebih kaya, yang memungkinkan adanya upaya mendialogkan ragam
moralitas dan tindakan. Klaim moral sebagai preferensi etis yang dihasilkan dari
struktur ini pun bukan suatu klaim moral yang mapan, akan tetapi suatu klaim
moral yang masih terus berproses. Artinya sangat dimungkinkan terjadinya
perubahan demi terbentuknya preferensi etis yang lebih baik dan tinggi. Pada
gilirannya, dengan adanya struktur yang demikian, maka kita dapat malampaui
pandangan yang mendikotomikan perilaku manusia secara dikotomis, yaitu antara
egoistik dan utilitarianistik, antara self-interest dan other interest.
Penutup
Kehadiran Amartya Sen seperti kembali memberikan ruang bagi upaya meninjau
kembali konsep self-interest itu, dengan pernyataannya bahwa konsep self-interest
tidak cukup memadai dalam memahami tindakan manusia dan bagaimana sebuah
masyarakat tertata. Bagi Sen, konsep self-interest hanya bisa memadai untuk
menjelaskan tindakan manusia dalam konteks pemenuhan kebutuhan privat.
Sementara untuk pemenuhan kepentingan atau kebutuhan publik, ada yang lebih
penting dari sekedar self-interest, yaitu komitmen. Tidak berlebihan kiranya jika kita
katakan, pemikiran Amartya Sen mengenai komitmen telah memberi pukulan telak
bagi konsep self-interest yang telah berurat-akar dalam teori ekonomi.
Yang menarik dari Sen, meski konsep komitmen dipromosikan sebagai preferensi
etis dalam tindakan manusia, namun tidak membuat Sen terjebak pada moralisme
yang ujung-ujungnya bisa menyeretnya pada dogmatisme moral. Ini terlihat ketika
Sen sendiri menolak pengandaian adanya hierarki moral tertentu untuk dijadikan
preferensi. Sebaliknya, melainkan manawarkan suatu struktur terbuka yang
memungkinkan adanya dialog antara etika dengan self-interest sebagai tindakan
kalkulatif. Struktur terbuka yang dimaksudkan Sen ini kiranya lebih mendekati tepat
kalau diinterprestasikan sebagai demokrasi politik.***
Kepustakaan:
Force, Pierre, Self-Interest as a first principle, dalam Self-Interest Before Adam
Smith. A Genealogy of Economics Science. (Cambridge: Cambridge University
Press,2003).
Hirschman, Albert O., Passion and Interest. Political Argument for Capitalism before
its Triumph (Princeton: Princeton University Press,(1977) 1977).
Hirschman, Albert O., The Concept of Interest: From Euphemism to Tautology, dalam
Rival Views of Market Society and Other Recent Essays (New York: Elisabeth Sifton
Books, 1986)
Hollis, Martin and Edward J. Nell, Rational Economic Man. A Philosophical critique of
Neo-classical Economics. (London: Cambridge University Press, 1975).