Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HUKUM DAN PERATURAN PERIKANAN


Hukum Sasi Laut: Hak Ulayat di Kepulauan Maluku

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum dan Peraturan
Perikanan
Dosen Dr. Ir. Ismadi, MS

Disusun Oleh:

Mohammad Aufa Marom 135080301111099


Ryanti Widya Putri 135080301111103
Muhammad Khusa Nur L 135080301111107

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2016

1
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat-Nya sehingga penyusun mampu menyelesaikan makalah Hukum
dan Peraturan Perikanan dengan judul Hukum Sasi Laut: Hak Ulayat di
Kepulauan Maluku. Makalah ini penting bagi kelancaran kegiatan belajar dan
mengajar. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang baik pada penulis
maupun pembaca. Penyusunan makalah ini berpedoman pada berbagai literatur
mengenai Hukum dan peraturan perikanan. Penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada para dosen yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan pada
saat kuliah, kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa proses pembuatan makalah ini tidak selalu
lancar tanpa hambatan, sehingga memungkinkan adanya kekurangan maupun
kesalahan baik dalam hal teknik penulisan, tata bahasa maupun isinya. Oleh
karena itu, guna penyempurnaan makalah ini, penulis sangat mengharapkan kritik,
saran, maupun masukan dari pembaca. Semoga bermanfaat bagi siapa saja yang
membaca makalah ini, baik untuk menambah wawasan di kalangan umum
maupun bagi kalangan pelajar yang membutuhkan referensi dalam rangka
memperdalam materi tentang Hukum dan peraturan perikanan. Sekian pengantar
dari penulis, saya ucapkan banyak terima kasih.

Malang, 23 Juni 2016

Penulis

2
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 3

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hak Ulayat ............................................................................................ 5

2.2 Hak Penguasaan Negara .......................................................................... 5

2.3 Hak Ulayat Masyarakat Adat Pesisir dan Laut ........................................ 7

3. PEMBAHASAN

3.1 Eksistensi Hukum Sasi Laut dalam Mengatur Pengelolaan Sumberdaya

Alam di Wilayah Maluku Tengah ........................................................... 9

3.2 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Maluku oleh

Masyarakat Adat .................................................................................... 10

3.3 Sanksi Bagi Pelanggaran Hukum Sasi oleh Nelayan Lokal .................. 11

4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan ............................................................................................ 13

4.2 Saran ...................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

2
1. PENDAHULUAN
2.
3. 1.1 Latar Belakang
4. Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,6 juta km 2
dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya,
terutama perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun
diversitasnya. Selain itu Indonesia tetap berhak untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam di laut lepas di luar batas 200
mil laut ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dasar laut
perairan internasional di luar batas landas kontinen.Nampak bahwa
kepentingan pembangunan ekonomi di Indonesia lebih memanfaatkan
potensi sumberdaya daratan daripada potensi sumberdaya perairan laut.
5. Hukum yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini
masih banyak hukum warisan Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum
Belanda. Dalam penerapannya oleh para penegak hukum ternyata tidak
sebagaimana di negeri asalnya, yang lebih mengutamakan penghargaan
dan penghormatan terhadap hak-hak individu (ini tidak sama artinya
dengan mementingkan diri sendiri) serta lebih berpikir rasional. Namun
sebenarnya, selain hukum peninggalan Belanda, seperti Kitab Undang-
undang Hukum Pidana yang merupakan terjemahan dari Wetboek van
Strafirecht, Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merupakan
terjemahan dari Burgerlijk Wetboek, Indonesia telah memiliki hukum
sendiri, yaitu Hukum Adat (Arianto dan Talaohu, 2009).
6. Potensi sumberdaya laut Indonesia tergolong sangat
melimpah. Namum demikian potensi tersebut belum mampu memberikan
kesejahteraan yang memadai bagi seluruh masyarakat nelayan sebagai
pelaku utama dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut (Sudirman,
2006).
7. Secara konstitusional masyarakat memiliki hak atas
sumberdaya alam di wilayah laut dan pesisir sebagaimana tertuang dalam
Pasal 18B UUD 1945. Tetapi dalam pelaksanaan hak tersebut masyarakat
adat diperhadapkan dengan berbagai aturan perundang-undangan yang
melemahkan masyarakat adat. Lemahnya hak konstitusional masyarakat
adat disebabkan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang

3
seolah-olah tidak mengakui eksistensi masyarakat adat. Hal ini tentu
tidaklah tepat karena bertentangan dengan konstitusi sehingga berbagai
kebijakan pemerintah tersebut perlu di tinjau ulang untuk di rubah,
sehingga kedepannya peraturan perundang-undangan yang dibuat dapat
mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat termasuk di dalamnya
masyarakat hukum adat (Tjiptabudy, 2012).
8.
9. 1.2 Rumusan Masalah
10. 1. Apa saja hukum yang berlaku di Indonesia?
11. 2. Apa yang dimaksud hukum sasi laut?
12. 3. Apa saja pelanggaran yang dilakukan masyarakat adat terhadap hukum sasi laut
di wilayah Maluku?
13.

4
14. 2. TINJAUAN PUSTAKA
15. 2.1 Hak Ulayat
16. Menurut van Vollenhoven dalam Nirahua (2012), ciri-ciri atau tanda-tanda
hak ulayat sebagai berikut:
17. 1. Persekutuan hukum dan anggota-anggotanya berhak dengan bebas
menggunakan, mengeyam kenikmatan menggarap tanah dalam wilayah
persekutuan hukum tersebut;
18. 2. Orang-orang yang bukan anggota persekutuan hukum harus
mendapat izin terlebih dahulu dari Kepala Persekutuan dengan membayar
ganti kerugian;
19. 3. Dalam menggunakan tanah, anggota persekutuan hukum tidak
membayar, tetapi bagi orang luar (asing) harus membayar uang pemasukan
(recognitie/contributie);
20. 4. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas kejahatan (pembunuhan)
dalam wilayah persekutuan hukumnya apabila si pelaku tidak bisa digugat
atau tidak dikenal;
21. 5. Persekutuan tidak boleh memindahtangankan (menjual, memberi)
untuk selama-lamanya kepada siapapun juga kecuali dalam hal-hal tertentu
dan sangat khusus;
22. 6. Persekutuan hukum tetap mempunyai hak campur tangan atas hak
individu.
23. Dengan demikian hak ulayat menunjukkan adanya
hubungan hukum antara masyarakat hukum adat (subjek hak) dan sumber
daya alam serta wilayah tertentu (objek hak). Hak ulayat berisi wewenang-
wewenang yang menyatakan hubungan hukum antara masyarakat hukum
adat dengan sumber-sumber alam/wilayahnya adalah hubungan
penguasaan, bukan hubungan pemilikan.
24.
25. 2.2 Hak Penguasaan Negara
26. Dalam kehidupan masa Orde Baru sampai sekarang, salah
satu yang dianggap sebagai halangan potensial adalah hak ulayat. Oleh
karena itu UUPA menganut konsep yang bertujuan melemahkan hak ulayat
yaitu pengaturan atau konsep mengenai hak milik Negara; dan materi atau
konsep mengenai pengakuan hak ulayat secara bersyarat. Secara tidak
langsung, selain kedua konsep di atas, ada konsep ketiga yang juga
mempermulus pelemahan hak ulayat. Konsep ketiga tersebut adalah

5
kesatuan atau unifikasi hukum nasional. Seperti nalar yang dikembangkan
oleh UUPA, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan,
Undang-Undang Pengairan dan Undang-Undang Perikanan juga
menganggap bahwa kehadiran hak menguasai negara berkonsekuensi
pada pengaturan mengenai hak ulayat. Sekalipun formulasi kalimat
eksplanatifnya tidak serupa dengan UUPA, namun redaksi keempat
undang-undang tersebut bermuatan serupa dengan muatan UUPA.
Dikatakan bahwa kekayaan alam di wilayah Indonesia merupakan
kepunyaan atau milik seluruh bangsa Indonesia yang telah
menggabungkan diri ke dalam sebuah organisasi kekuasaan bernama
Negara. Oleh sebab itu pemanfaatan terhadap kekayaan alam tersebut
haruslah mensejahterakan atau memakmurkan sebanyak-banyaknya rakyat
Indonesia (Nirahua, 2012).
27. Padahal masyarakat ulayat itu sendiri telah memiliki hak
tersebut dan telah melekat lama, itu berarti terjadi pengabaian terhadap
hukum adat. Dari hal tersebut diharapkan pengambilan kebijakan
kedepan dapat bersama-sama untuk membuat suatu format yang lebih
mengarah kepada masyarakat ulayat khususnya daerah pesisir mengingat
lingkup pesisir dalam pengembangan kewilayahan dari berbagai aspek
memberikan dampak yang baik seperti wilayah pertahanan juga basis
pertumbuhan sumber daya perikanan laut dalam hal ini eksistensi hak
ulayat perlu mendapat pemikiran yang proporsional.
28. Namun demikian, meskipun aturan adat ini sudah berlaku
di masyarakat, tetapi sampai saat ini keberadaan hukum adat
tersebut belum diakui oleh hukum formal yang ada di Indonesia. Sehingga
tak jarang apabila masyarakat adat akan melakukan hukuman terhadap
para pelanggar hukum adat tersebut. Mereka sering dihadapkan
pada hukum formal yang berlaku. Padahal, seperti kita ketahui,
keberadaan hak ulayat laut tersebut sangat efektif dalam pengelolaan
sumberdaya laut dan perikanan yang ada di wilayahnya. Dalam prinsisip-
prinsip penerapan hak ulayat di masyarakat dapat memberikan dampak
positif bagi pemerintah maupun lingkungan, karena didukung oleh
model perencanaan yang bersifat partisipasif dan bottom-up, selain itu

6
dalam melakukan pengawasan dan pengendalian, hak ulayat laut sangat
efektif karena masyarakat adat atau lokal merasa memiliki dan
bertanggung jawab terhadap masa depan sumberdayanya.
29.
30.
31. 2.3 Hak Ulayat Masyarakat Adat Pesisir dan Laut
32. Jika dicermati ternyata masyarakat adat di wilayah-wilayah
pesisir, pengelolaan potensi kelautan secara umum dilakukan secara
tradisional yang dikenal dengan hak adat kelautan. Dibandingkan dengan
hak ulayat atas tanah, maka tampak bahwa hak ulayat atas laut sebagai
tradisi adat yang sudah berlangsung secara turun temurun dan dihormati
oleh masyarakat adat.
33. Penguasaan riil atas wilayah laut dan pesisir, oleh
masyarakat adat sangat berkaitan dengan hubungan-hubungan atau relasi
yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhannya di atas wilayah
tersebut, secara merupakan sesuatu yang bersifat turun-temurun dari para
leluhurnya. Di dalam wilayah ini sebenarnya secara de yure, terdapat
wewenang dari komunitas masyarakat adat. Wewenang yang dimaksudkan
disini terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam,
menurut prinsip-prinsip hukum adat dengan kekhasan masing-masing.
34. Dengan demikian maka secara teoritis dapat dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan hak adat kelautan (hak ulayat laut) adalah
seperangkat aturan atau praktek pengelolaan atau manajemen wilayah laut
dan sumber daya di dalamnya berdasarkan adat-istiadat yang dilakukan
oleh masyarakat pesisir pada desa. Perangkat aturan atau hak adat kelautan
(hak ulayat laut) ini menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu
wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan teknik
mengeksploitasi sumberdaya yang diperbolehkan yang ada dalam suatu
wilayah laut.
35. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sub Komisi Hak
Ekonomi, Sosial dan budaya (dalam Kertas Posisi Hak masyarakat hukum
Adat, 2006) disebutkan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat terdiri
dari:

7
1. Hak Perseorangan sebagai warga Negara, yakni sebagai warga negara,
warga masyarakat hukum adat mempunyai hak asasi yang sama dengan
warga negara lainnya;
2. Hak Kolektif sebagai masyarakat hukum adat yakni suatu komunitas,
masyarakat hukum mempunyai kolektif, yang diperlukannya baik untuk
memelihara eksistensi dan identitas kulturnya naupun untuk membangun
dan mengembangkan potensi kemanusiaan warganya.
3. Hak atas Pembangunan, yang terdiri dari berbagai macam hak.
36.

8
3. PEMBAHASAN
37.
38. 3.1 Eksistensi Hukum Sasi Laut dalam Mengatur Pengelolaan Sumberdaya Alam
di Wilayah Maluku Tengah
39. Maluku, yang dikenal dengan sebutan Seribu Pulau dan
dikategorikan sebagai Provinsi Kepulauan (Archipelagic Province) karena
kondisi geografis Maluku yang terdiri dari 812 pulau yang sebagian
besarnya terdiri dari pulau kecil dengan luas laut 92,4 % dan darat 7,5 %
dari total luas wilayahnya. Dengan kata lain luas laut Maluku sekitar 12
kali luas daratannya ternyata memiliki sistem hukum adat tersendiri dalam
bidang kelautan yang dikenal dengan Hukum Sasi Laut (Nendissa, 2010).
40. Bagi masyarakat adat pesisir di Kepulauan Lease, Maluku
Tengah, sejak dahulu telah dikenal tradisi dan kebiasaan dalam bentuk tata
cara untuk melindungi, mengelola dan memanfaatkan lingkungan laut dan
pesisir pantai sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Tradisi tersebut
dikenal dengan bentuk sasi laut, yang didukung oleh kelembagaan dan
perangkat hukum sasi.
41. Berdasarkan tempat dan jenis, ada dua jenis sasi, yaitu sasi
darat dan sasi laut. Semata-mata pelaksanaan sasi merupakan tindakan
perlindungan agar persediaan bahan makanan untuk desa (negeri) cukup
terjamin, yang didasarkan pada pengertian tertentu tentang proses
berkelanjutan keturunan makhluk yang hidup di laut dan siklus
pertumbuhan di darat. Sedangkan berdasarkan pelaksana sasi tersebut ada
dua jenis yaitu Sasi Kewang (petugas keamanan desa) dan Sasi Gereja.
Tradisi sasi laut difungsikan melalui seperangkat aturan hukum selain
aturan-aturan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemanfaatan fungsi
laut dan pesisir juga terhadap fungsi lingkungan darat.
42. Menurut Judge dan Nurizka (2008), peranan sasi
memungkinkan sumberdaya alam terus menerus tumbuh dan berkembang.
Dengan kata lain, sumberdaya alam hayati dan nabati perlu dilestarikan
dalam suatu periode tertentu untuk memulihkan pertumbuhan dan
perkembangan demi tercapainya hasil yang memuaskan.
43.
44. Hukum adat sasi sangat efektif dalam menjaga lingkungan
terutama laut karena masyarakat tidak berani mengambil sumberdaya alam

9
sebelum waktu buat sasi. Setelah ditetapkan periode pelaksanaan sasi,
zona sasi juga memberlakukan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran sasi.
Zona sasi adalah sepanjang pantai yang merupakan hak desa tersebut dan
ke arah laut, zona ini mulai dari surut terendah sampai kedalaman 25
meter. Dengan demikian, sebuah zona merupakan daerah terbatas bagi
pemanfaatan sumberdaya alam yang sepenuhnya diatur melalui peraturan
adat sasi laut.
45.
46. 3.2 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Maluku oleh
Masyarakat Adat
47. Sasi merupakan hasil titah (keputusan) raja dan mendapat
kesepakatan seluruh warga yang tentunya mengikat seluruh warga, dan ada
sanksi jika warga mencoba untuk melanggar. Selama ini sasi bisa berjalan
baik karena adanya kelompok orang yang menjaga kesepakatan sasi
(kewang) dan ada keyakinan dalam masyarakat jika kesepakatan tersebut
dilanggar, maka akan menimbulkan kualat (dampak buruk) bagi yang
melanggar sasi (Judge dan Nurizka, 2006).
48. Kedudukan hukum adat sasi laut terhadap hukum positif di
Indonesia khususnya terkait dalam masalah lingkungan. Hukum itu ada
kaitannya dengan lingkungan karena secara tidak langsung hukum itu
dapat memberikan perlindungan terhadap sumberdaya alam yang ada guna
menjaga kelestarian di daerah tersebut.
49. Hukum positif adalah hukum yang mengatur tentang
perlindungan terhadap sumberdaya alam. Hukum positif di Indonesia yang
terkait dalam masalah lingkungan seperti UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan hukum
adat sasi laut dan kewang berisi:
a. Larangan menangkap atau mengambil jenis ikan tertentu, teripang, lola,
dan hasil laut lainnya dengan alat tangkap jenis tertentu.
b. Larangan menangkap ikan dengan menggunaka racun atau akar bore atau
bahan kimia lain yang merusak.
c. Larangan merusak terumbu karang dan biota laut lainnya.
d. Larangan menebang atau memotong, mengambil serta merusak hutan
bakau serta tanaman di sekitar wilayah pesisir.

10
e. Larangan mengambil pasir, batu, karang dan kerikil tanpa izin pemerintah
negeri.
f. Larangan mengotori daerah pesisir, muara kali atau sungai dan lautan
dengan cara apapun.
50.
51. 3.3 Sanksi Bagi Pelanggaran Hukum Sasi oleh Nelayan Lokal
52. Sama halnya dengan adat yang lain, maka sanksi-sanksi
atas pelanggaran adat sasi dilaksanakan oleh penguasa negeri dan arwah
leluhur. Sanksi yang paling berat dan sangat ditakuti di waktu dahulu
adalah sanksi yang diberikan oleh arwah leluhur. Oleh karena itu orang
sangat takut melanggar sasi. Bilamana ada orang yang melanggar sasi
yaitu melakukan pengambilan tanaman atau hasil laut pada masa tutup
sasi maka hukuman yang diberikan oleh pemerintah negeri yaitu raja dan
perangkat negeri kepada si pelanggar adalah ditangkap, dipertontonkan di
hadapan masyarakat umum dan mendapat hukuman fisik lainnya seperti
dicambuk, dikenakan denda, kerja paksa dan dikucilkan dari tengah-
tengah kehidupan masyarakat. Hukuman itu itu tidak terlalu berat seperti
hukuman yang akan diberikan oleh arwah atau roh-roh tete nene moyang
(leluhur) antara lain seperti anak yang sakit-sakitan secara terus-menerus
dan akhirnya meninggal dunia sehingga keluarga itu tidak memiliki
seorang keturunanpun. Istilah lokalnya adalah tutup mataruma.
53. Pada masa tutup sasi masing-masing orang harus menjaga
atau mewaspadai dirinya sehingga tidak membuat hal-hal yang
bertentangan hingga pada akhirnya mendapat teguran dan hukuman dari
kewang serta anak-anak kewang. Sementara itu suasana di sekitar hutan
maupun labuhan (lautan) menjadi tenang dan sunyi. Kewang dan anak-
anak kewang akan terus berjalan memeriksa apakah ada yang melanggar
sasi atau tidak. Penduduk negeri tetap diperbolehkan ke hutan atau laut
untuk mengambil makanan tetapi semua itu berlangsung secara tenang dan
hanya mendatangi tempat-tempat yang tidak menjadi daerah sasi.
Makanan isi kebun dan ikan hanya diambil untuk keperluan makan saja
dan tidak boleh lebih.
54. Hukum sasi adalah sejumlah peraturan yang mengandung
larangan dengan pidana denda. Hukum sasi terbagi menjadi hukum sasi

11
materiil yaitu pokok perbuatan yang dapat dipidana, jenis pidana apa yang
dapat diterapkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan Reglement sasi. Sedangkan hukum sasi formil yaitu
sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara kewang mepergunakan
wewenangnya untuk menerapkan pidana, selain itu juga sasi bertujuan
untuk melindungi alam dengan segala sesuatu yang ada di atasnya dari
pengrusakan yang terjadi oleh tindakan-tindakan manusia.
55.

12
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
56. Dari penyusunan Makalah ini, dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yaitu:
Persengketaan yang terjadi antar nelayan lokal pada umumnya
adalah karena ketidakjelasan batas wilayah yang dimiliki oleh
masing-masing warga masyarakat.
Masyarakat Hukum Adat yang berada di Maluku Tengah
secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengelola sumber
daya pesisir dan laut yang terletak pada petuanan mereka.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga adat
maka secara tidak langsung eksistensi masyarakat adat (dalam
hal ini pemilik otonomi asli) dapat memberikan kontribusi
bagi pembangunan Nasional khususnya dalam upaya
pengolahan, pemeliharaan, dan upaya pelestarian lingkungan
hidup sebagai bagian yang akan dinikmati oleh generasi
seterusnya.
Sasi merupakan larangan untuk memanen suberdaya tertentu
(hayati laut maupun darat) dalam jangka waktu yang
ditetapkan. Sasi bertujuan untuk mengatur semua hasil bumi
yang ada di wilayah negeri, baik pekarangan sendiri maupun
areal perkebunan atau ladang (komersial).
Dengan adanya Hukum sasi laut, maka sumberdaya laut yang
ada di wilayah Maluku Tengah akan melimpah karena sasi laut
berfungsi sebagai penjaga sumberdaya laut yang ada di laut
dan juga dilindungi oleh Pemerintah.
4.2 Saran
57. Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat sebaiknya
menghargai, melestarikan, meningkatkan dan memperhatikan eksistensi
masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisional yang dimiliki sesuai
dengan pengakuan konstitusional dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sehingga tidak terjadi benturan diantara peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
58.
59.

13
60. DAFTAR PUSTAKA
61.
62. Arianto, H. dan Sapiah Talaohu. 2009. Peranan Lembaga Peradatan Negeri
63. dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kecamatan
Amahai, Maluku
64. Tengah. Lex Jurnalica, Volume 6, Nomor 3, Halaman 157-
173
65. Badan Pengelola Kapet Seram. 2011. Hak Ulayat dalam Perspektif Pengelolaan
66. Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
http://info.kapetseram.com/?p
67. =127 Diakses tanggal 15 Mei 2012
68. Judge, Zulfikar dan Marissa Nurizka. 2006. Peranan Hukum Adat Sasi Laut dalam
69. Melindungi Kelestarian Lingkungan di Desa Eti Kecamatan
Seram Barat
70. Kabupaten Seram Bagian Barat. Lex Jurnalica Volume 6,
Nomor 1, Hal
71. 30-61
72. Nendissa, Renny H. 2010. Eksistensi Lembaga Adat dalam Pelaksanaan Hukum
73. Sasi Laut di Maluku Tengah. Jurnal Sasi Volume 16, Nomor
4, Halaman
74. 1-6
75. Nirahua, Salmon E. M. 2012. Hak-Hak Suku Nuaulu Atas Pengelolaan Sumber
76. Daya Hutan di Pulau Seram Provinsi Maluku. Universitas
Pattimura
77. Sudirman. 2006. Potensi Sumberdaya Laut Perairan Indonesia Timur dan Tingkat
78. Pemanfaatannya ke Depan oleh Masyarakat Pantai dan
Nelayan
79. Setempat. Makassar: Universitas Hasanuddin
80. Solihin, A. dan Arif Satria. 2007. Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah
81. Sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan:
Kasus Awig-awig
82. di Lombok Barat. Jurnal Transdisiplin Sosiologi,
Komunikasi, dan Ekologi
83. Manusia, Volume 01, Nomor 01, Halaman 67-86
84. Tjiptabudy, Jantje. 2012. Hak-Hak Konstitusional Masyarakat Adat Atas
85. Sumberdaya Alam di Wilayah Laut dan Pesisir
86.
87.

14

Anda mungkin juga menyukai