STEMI Study
STEMI Study
com/2012/01/22/jurnal-kardiologi/
JOURNAL READING
Oleh:
Pembimbing :
MALANG
2011
Elliott M. Antman
Onset STEMI
Tindakan prehospital
A. Sistem EMS
Semua penolong pertama EMS untuk pasien nyeri dada dan atau curiga
serangan jantung harus dilatih dan dilengkapi untuk melakukan defibrilasi
dini (level of evidence A).
C. Fibrinolisis prehospital
Pasien STEMI dengan syok kardiogenik <75 tahun harus segera dibawa ke
fasilitas kateterisasi jantung dan revaskularisasi segera (PCI atau CABG)
bila dapat dilakukan dalam 18 jam onset nyeri (level of evidence A).
1. Anamnesa
Target anamnesa pasien STEMI di UGD harus yakin apakah pasien pernah
mengalami episode iskemia miokard sebelumnya seperti angina stable,
UAP, MI, CABG, atau PCI. Evaluasi keluhan pasien harus berfokus pada
nyeri dada, gejala penyerta, jenis kelamin dan umur, HT, DM,
kemungkinan diseksi aorta, risiko penyerta, penyakit serebrovaskular
klinis (anaurosis fugax, kelemahan wajah/ekstremitas,
kesemutan/penurunan sensoris wajah/ekstremitas, ataksia, atau vertigo)
(level of evidence C).
2. Pemeriksaan fisik
3. EKG
Bila EKG tidak dapat mendiagnosa STEMI namun pasien tetap simtomatik
dan terdapat kecurigaan klinis besar untuk STEMI, EKG serial dengan
interval 5-10 menit atau monitoring ST segmen kontinu harus dilakukan
untuk mendeteksi kemungkinan perkembangan ST segmen (level of
evidence c).
Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG lead kanan harus dilakukan untuk
mendeteksi ST elevasi yang menunjukkan infark ventrikel kanan (level of
evidence B).
4. Pemeriksaan laboratorium
Untuk pasien dengan ST elevasi pada EKG 12 lead dan gejala STEMI,
terapi reperfusi harus dimulai sesegera mungkin tidak tergantung
pemeriksaan biomarker (level of evidence C).
Kelas III
Pada pasien dengan ST elevasi pada EKG 12 lead dan gejala STEMI, terapi
reperfusi harus dimulai sesegera mungkin dan tidak bergantung pada
pemeriksaan biomarker bedside (level of evidence ).
6. Imaging
Pasien STEMI harus dilakukan foto thoraks portable, namun hal ini tidak
menghambat terpai reperfusi (kecuali kemungkinan kontraindikasi
misalnya diseksi aorta dicurigai) (level of evidence C).
Kelas III
C. Manajemen
1. Penanganan rutin
a. Oksigen
b. Nitrogliserin
Pasien dengan iskemik yang sedang berjalan harus mendapat nitrogliserin
sublingual (0,4 mg) tiap 5 menit dengan total 3 dosis setelah penilaian
tentang perlunya nitrogliserin IV (level of evidence C).
Kelas III
Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien dengan SBP <90 atau >30mmHg
di bawah baseline, bradikardi <50, takikardi >100 atau dicurigai infark RV
(level of evidence C).
Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mendapat PDE
inhibitor untuk disfungsi ereksi dalam 24 jam terakhir (48 jam untuk
tadalafil) (level of evidence B).
c. Analgesia
Morfin sulfat (2-8 mg iv diulang tiap 5-15 menit) adalah analgesic yang
menjadi pilihan manajemen nyeri berhubungan dengan STEMI (level of
evidence C).
Kelas III
NSAID (kecuali aspirin) baik nonselektif maupun COX-2 selektif tidak boleh
diberikan selama hospitalisasi karena STEMI karena meningkatkan risiko
mortalitas, infark ulang, HT, HF, dan rupture miokard berhubungan
dengan penggunaannya (level of evidence C).
d. Aspirin
e. Beta bloker
Terapi beta bloker oral harus dimulai dalam 24 jam pertama untuk pasien
yang tidak mempunyai:
4. Kontraindikasi relative beta bloker (PR interval >0,24 dtk, blok derajat
II-III, asma/penyakit jalan napas reaktif (level of evidence B).
4. Kontraindikasi relative beta bloker (PR interval >0,24 dtk, blok derajat
II-III, asma/penyakit jalan napas reaktif (level of evidence B).
Kelas III
4. Kontraindikasi relative beta bloker (PR interval >0,24 dtk, blok derajat
II-III, asma/penyakit jalan napas reaktif (level of evidence A).
f. Reperfusi
Konsep umum
Reperfusi farmakologis
Kelas III
Terapi fibrinolitik seharusnya tidak diberikan pada pasien yang EKG nya
hanya menunjukkan ST depresi kecuali dicurigai MI posterior.
Kontraindikasi/perhatian
Pasien STEMI yang beresiko tinggi ICH harus diterapi dengan PCI daripada
terapi fibrinolitik (level of evidence A).
Kontraindikasi terapi fibrinolitik: neurologis dan lain-lain
Pada pasien ICH, infuse krioprecipitat, FFP, protamin, dan platelet dapat
diberikan tergantung klinis (level of evidence C).
Kelas III
PCI
Coronary angiografi
Kelas iii
PCI primer
Pertimbangan spesifik:
a. Pasien STEMI yang MRS dengan fasilitas PCI harus diterapi dengan PCI
dalam 90 menit setelah kontak dengan pelayanan kesehatan (level of
evidence A).
b. Bila durasi gejala dalam 3 jam dan perkiraan waktu door to ballon dan
door to needle:
c. Bila durasi gejala > 3 jam, PCI primer dipilih dan harus dilakukan dalam
waktu sesingkat mungkin, dengan tujuan dalam 90 menit (level of
evidence B).
d. PCI primer harus dilakukan untuk pasien yang lebih muda dari 75 tahun
dengan STEMI/LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam MI dan cocok
untuk revaskularisasi yang dapat dilakukan dalam 18 jam setelah syok,
kecuali pasien menolak/kontraindikasi/ketidakcocokan untuk terapi
invasive lebih lanjut (level of evidence A).
e. PCI primer harus dilakukan pada pasien dengan CHF parah dan atau
edema paru (Killip kelas III) dan onset gejala dalam 12 jam. Waktu yang
dibutuhkan untuk intervensi harus sesingkat mungkin (level of evidence
B).
Cukup beralasan untuk melakukan PCI primer untuk pasien dengan onset
salah satu gejala berikut dalam 12-24 jam:
Kelas III
PCI seharusnya tidak dilakukan pada arteri noninfark pada pasien tanpa
gangguan hemodinamik (level of evidence C).
PCI primer seharusnya tidak dilakukan pada pasien asimtomatik > 12 jam
setelah onset STEMI bila hemodinamik dan elektrolit stabil (level of
evidence C).
PCI primer seharusnya dilakukan pada pasien yang tidak dapat dilakukan
fibrinolitik, dengan STEMI dengan onset gejala 12 jam (level of evidence
C).
Cukup beralasan untuk melakukan PCI primer pada pasien yang tidak
dapat dilakukan fibrinolitik dengan onset gejala dalam 12-24 jam dengan
satu atau lebih:
Kelas III
PCI terfasilitasi
c. Risiko perdaraha kecil (usia muda, tidak ada HT tidak terkontrol, berat
badan normal) (level of evidence C).
Kelas III
Strategi reperfusi dengan terapi fibrinolitik full dose diikuti PCI tidak
direkomendasikan dan dapat berbahaya (level of evidence B).
Strategi invasive segera (emergency) dan PCI penyelamatan
a. Syok kardiogenik dan umur > 75 tahun dan kandidat yang cocok untuk
revaskularisasi (level of evidence B)
b. CHF parah dan atau edema paru (Killip kelas III) (level of evidence B)
Kelas III
Pada pasien dengan anatomi yang sesuai, PCI harus dilakukan di mana
terdapat tanda-anda MI rekuren (level of evidence C).
PCI setelah fibrinolisis atau untuk pasien yang tidak mendapat reperfusi
primer
Pada pasien dengan anatomis yang cocok, PCI harus dilakukan jika
terdapat bukti objektif MI rekuren (level of evidence C).
Pada pasien dengan anatomis yang cocok, PCI harus dilakukan untuk
iskemia miokard sedang/berat spontan/dengan provokasi selama
penyembuhan STEMI (level of evidence B).
Pada pasien dengan anatomis yang cocok, PCI harus dilakukan untuk syok
kardiogenik atau instabilitas hemodinamik (level of evidence B).
Cukup beralasan untuk melakukan PCI rutin pada pasien dengan fraksi
ejeksi LV (LVEF) < 0,40, CHF/aritmia ventrikel serius (level of evidence C).
Kelas III
PCI arteri infark yang tersumbat total > 24 jam setelah STEMI tidak
direkomendasikan pada pasien asimtomatis dengan penyakit 1 atau 2
pembuluh darah bila hemodinamik dan elektriknya stabil dan tidak
terdapat tanda-tanda iskemia berat (level of evidence B).
c. Pada waktu perbaikan bedah post infark VSR atau insufisiensi katub
mitral (level of evidence B).
e. Aritmia ventrikel life threatening dengan adanya stenosis kiri > 50%
atau penyakit pada 3 pembuluh darah (level of evidence B).
Kelas III
Penilaian reperfusi
Cukup beralasan untuk memasukkan pola ST elevasi, irama jantung, atau
gejala klinis 60-180 menit setelah insiasi terapi fibrinolitik. Temuan
noninvasive yang sugestif untuk reperfusi meliputi hilangnya gejala,
mempertahankan/mengembalikan stabilitas hemodinamik/elektrik dan
penurunan <50% pola injuri ST elevasi dari follow up EKG 60-90 menit
setelah terapi awal (level of evidence B).
Terapi tambahan
b. Enoxaparin (serum kreatinin < 2,5 mg/dl untuk laki-laki dan 2 mg/dl
untuk perempuan): untuk pasien <75 tahun, bolus awal 30 mg iv
diberikan, diikuti injeksi sc 15 menit kemudian 1 mg/kg/12 jam, untuk
pasien > 75 tahun, bolus awal iv dihilangkan dan dosis sc diturunkan
0,75mg/kg/12 jam. Tidak tergantung umur, clearance kreatinin selama
terapi diperkirakan < 30ml/min, regimen sc 1 mg/kg/24 jam. Dosis
maintenance denen enoxaparin harus dilanjutkan selama durasi indeks
hospitalisasi sampai 8 hari (level of evidence A).
Kelas III
Antiplatelet
Aspirin
Thieropiridin
GP IIb/IIIa inhibitor
Inhibisi RAAS
ACEi harus diberikan po dalam 24 jam STEMI untuk pasien denagn infark
anterior, kongesti paru/LVEF < 0,40, tanpa hipotensi (SBP <100/>30 di
bawah baseline)/terdapat kontraindikasi terhadap pengobatab (level of
evidence A).
ARB harus diberikan pada pasien STEMI yang intoleran pada ACEi dan
memiliki gejala klinis dan radiologis HF/LVEF <0,40. Valsartan dan
candesartan telah menunjukkan efikasi untuk rekomendasi ini (level of
evidence C).
Kelas III
Manajemen di RS
A. Lokasi
Pasien STEMI harus dibawa ke lingkungan yang tengan dan nyaman yang
menyediakan monitoring kontinu EKG dna pulse oximetri dan
memilikiakses ke fasilitas monitoring hemodinamik dan defibrilasi (level of
evidence C).
Perawatan pasien STEMI di critical care unit (CCU) harus distruktur sesuai
protokol (level of evidence C).
Monitoring EKG harus berdasar lokasi dan irama untuk mendeteksi deviasi
ST, pergeseran aksis, defek konduksi dan disritimia (level of evidence B).
Kelas III
CCU tidak efektif untuk menerima pasien sakit terminal, DNR denga
STEMI, karena kebutuhan klinis dan kenyamanan dapat diperoleh dii luar
CCU (level of evidence C).
Cukup beralasan untuk pasien yang sembuh dari STEMI yang mengalami
HF simtomatik untuk diterapi di step down unit, menyediakan fasilitas
untuk monitoring kontinu EKG, defibrilasi, dan perawat terlatih (level of
evidence C).
Pasien yang sembuh dari STEMI yang memiliki penyakit paru signifikan
memerlukan O2 tambahan aliran tinggi/masker ventilasi
noninvasive/BIPAP/CPAP dapat dipertimbangkan untuk dipindah ke step
down unit dengan fasilitas monitoring kontinu pulse oximetri dan perawat
terlatih denga ratio perawat:pasien cukup (level of evidence C).
B. General measures
1. Level aktivitas
Kelas III
2. Diet
Pasien STEMI harus diresepkan NCEP Adult Treatment Panel III (ATP III)
Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) diet dengan fokus penurunan intake
lemak dan kolesterol <7% total kalori dari lemak jenuh, <200 mg
kolesterol/hari, peningkatan konsumsi asam lemak omega 3 dan intake
kalori yang sesuai dengan kebutuhan energy (level of evidence C).
3. Edukasi pasien di RS
Jalur kritis, protocol, dan alat peningkatan kualitas harus digunakan untuk
meningkatkan aplikasi terapi berdasarkan bukti untuk pasien STEMI,
keluarga dan institusi (level of evidence C).
4. Analgesia/ansiolitik
C. Medikasi
1. Beta bloker
Pasien yang mendapat beta bloker dalam 24 jam pertama STEMI tanap
efek samping haruus melanjutkannya selama fase konvalesen awal STEMI
(level of evidence A).
2. Nitrogliserin
Nitrat iv, po/topical berguna dalam 48 jam setelah STEMI untuk terapi
angina rekuren/CHF persisten bila penggunaannya tidak termasuk terapi
beta bloker dan ACEi (level of evidence B).
Kelas III
Nitrat seharusnya tidak diberikan pada pasien dengan SBP <90/>30 di
bawah base line, bradikasrdi berat < 50x/menit, takikardi
>100x/menit/infark RV (level of evidence C).
3. Inhibisi RAAS
ACEi harus diberikan secara oral selama konvalesen dari STEMI pada
pasien yang dapat menoleransi obat-obatan ini dan harus diteruskan
jangka panjang (level of evidence A).
ARB harus diberikan pada pasien STEMI yang intoleran terhadap ACEi dan
mengalami gejala klnis dan radiologis HF/LVEF < 0,40. Valsartan dan
candesartan telah menunjukkan efikasi (level of evidence B).
Pada pasien STEMI yang toleran terhadap ACEi, ARB berguna sebagai
alternative ACEi yang memilki tanda-tanda klinis dan radiologis HF/LVEF
<0,40. Valsartan dan candesartan telah menunjukkan efikasi (level of
evidence B).
4. Antiplatelet
Aspirin 162-325 mg harus diberikan pada hari pertama STEMI dan bila
tidak ada kontraindikasi harus dilanjutkan setiap hari dengan dosis 75-162
mg (level of evidence A).
Thienopiridin (mis CPG) harus diberikan untuk pasien yang tidak dapat
memperoleh aspirin karena hipersensitif/GI intoleran (level of evidence C).
Untuk pasien yang mendapat CPG dan direncanakan CABG, obatnya harus
ditunda min 5 hari, kecuali urgency untuk revaskulasrisai melebihi risiko
perdarahan (level of evidence B).
UFH iv (bolus 60 U/kg, max 4000 U iv, infuse awal 12 U/kg/jam, max 1000
U/jam)/LMWH harus digunakan pada pasiien setelah STEMI yang beresiko
tinggi emboli sistemik (MI besar/anterior, AF, emboli sebelumnya,
thrombus LV, syok kardiogenik) (level of evidence C)..
Pasien dengan STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi harus diterapi
dengan antikoagulan (regimen non uFH) selama indeks hospitalisasi,
sampai 8 hari (level of evidence B). strategi yang dpat digunakna meliputi
LMWH (level of evidence C)/fondaparinux (level of evidence
B)menggunakan regimen dosis yang samampada pasien yang mendapat
terapi fibrinolitik.
6. O2
1. Teknik EKG
Semua pasien STEMI harus difollow up EKG dalam 24 jam dan saat KRS
untuk menilai keberhasilan reperfusi dan luasnya infark,ditandai
gelombang O baru (level of evidence B).
E. Gangguan hemodinamik
1. Penilaian hemodinamik
c. CHF berat/edema paru yang tidak berespon cepat pada terapi (level of
evidence C)
Kelas III
2. Hipotensi
Loading volume cepat dengan infuse iv harus diberikan pada pasine tanpa
tanda klinis overload (level of evidence C).
Kelas III
Beta bloker/CCB tidak boleh diberikan pada pasien low output state
karena HF (level of evidence B).
4. Kongesti paru
Morfin sulfat harus diberkan pada pasien dengan kongeesti paru (level of
evidence C).
ACEi dimulai dengan titrasi short acting ACEi dengan dosis awal rendah
harus diberikan pada pasien dengan edema paru kecuali tekanan sistol
<100 />30 di bawah baseline. Pasien dengan kongesti paru dan TD
rendah sering memerlukan dukungan sirkulasi dengan agen inotropik dan
vasopresor/counterpulsasi balon intraaorta untuk menghilangkan kongesti
paru dan mempertahankan perfusi adekuat (level of evidence A).
Nitrat harus diberikan pada pasien kongesti paru kecuali TDS <100/>30 di
bawah baseline. Pasien dengan kongesti paru dan TD rendah sering
memerlukan dukungan sirkulasi dengan agen inotropik dan
vasopresor/counterpulsasi balon intraaorta untuk menghilangkan kongesti
paru dan mempertahankan perfusi adekuat (level of evidence C).
Diuretic harus diberikan pada pasien dengan kongesti paru bila terdapat
volume overload. Pasien yang belum mendapat ekspansi volume perlu
diperhatikan (level of evidence C).
Beta bloker harus dimulai sebelum KRS untuk prevensi sekunder. Untuk
pasien yang mengalami HF selama MRS, dosis kecil perlu dimulai dengan
titrasi gradual (level of evidence B).
Echo harus dilakukan untuk menilai fungsi ventrikel kiri dan kanan untk
menyingkikan kemungkinan mekanik (level of evidence C).
Kelas III
Beta bloker /CCB tidak boleh diberikan pada pasien STEMI dengan HF
yang ditandai kongesti paru dan low output state (level of evidence B).
5. Syok kardiiogenik
Terapi untuk pasien STEMI dan infark ventrikel kanan dan disfungsi
iskemik:
a. Diagnose
b. Regurgitasi mitral
CABG harus dilakukan pada saat yang sama dengan operasi katub mitral
(level of evidence B).
CABG harus dilakukan pada saat yang sama dengan repair VSR (level of
evidence B).
d. Rupture dinding LV
CABG harus dilakukan pada saat yang sama dengan repair dinding (level
of evidence B).
e. Aneurysm LV
Cukup beralasan untuk pasien STEMI yang mengalami aneurisma ventrikel
karena takiaritmia/HF yang tidak berespon terhadap terapi medis dan
kateter dipertimbangkan untuk aneurismektomi LV dan operasi CABG
(level of evidence B).
1. Aritmia ventrikel
a. Fibrilasi ventrikel
Kelas III
b.VT
c. Bila pasien bradikardi <60 x/min / long QT, diperlukan temporary pacing
(level of evidence C)
Kelas III
c. PVC
Kelas III
Kelas III
2. Supraventrikuler aritmia/AF
1. Amiodaron iv
AF sustain dan atrial flutter pada pasien dengan iskemia tanpa gangguan
hemodinamik harus diterapi dengan:
c. Iv beta bloker denagn metoprolol (2,5-5 mg tiap 2-5 menit dengan total
15 mg dalam 10-15 min) /atenolol (2,5-5 mg dalam 2 min dengan total 10
mg dalam 10-15 menit) (level of evidence C)
Kelas III
Terapi untuk PAC tidak diindikasikan (level of evidence c).
3. Bradiaritmia
Ventricular asistol
Kelas III
1. Perikarditis
Kelas III
2. Iskemia/infark rekuren
Pasien dengan nyeri dada iskemik rekuren setelah terapi reperfusi awal
untuk STEMI harus mendapat terapi medis dengan nitrat dan beta bloker
untuk menurunkan kebutuhan O2 miokard dan mengurangi iskemia.
Antikoagulan iv harus diberikan (level of evidence B).
Kelas III
H. Komplikasi lain
1. Stroke iskemik
Pasien STEMI dengan atau tanpa stroke iskemik akut yang memiliki
sumber AF d jantung, trombus mural/ akinetik segmen harus mendapat
terapi warfarin intensitas sedang. Durasinya tergantung kondisi klinis (min
3 bulan untuk pasien dengan thrombus mural/akinetik segmen dan tidak
terbatas pada pasien AF persisten). Pasien harus mendapat LMWH/UFH
sampai antikoagulasi dengan warfarin adekuat (level of evidence B).
Cukup beralasan untuk menilai risiko stroke iskemik pasien STEMI (level of
evidence A).
Cukup beralasan untuk pasien STEMI dengan risiko sstroke iskemik akut
nonfatal menerima terapi suportif untuk menuunkan komplikasi dan
meningkatkan outcome fungsional (level of evidence C).
2. DVT dan PE
DVT dan PE setelah STEMI harus diterapi dengan LMWH full dose selama
min 5 hari sampai pasien terantikoagulasi dengan warfarin. Warfarin
dimulai bersama LMWH dan dititrasi sampai INR 2-3 (level of evidence A).
Pasien dengan CHF setelah STEMI yang MRS jangka lama, tidak mampu
ambulasi, beresiko tinggi DVT dan tidak mendapat antikoagulan harus
mendapat profilaksis heparin dosis rendah, mis LMWH (level of evidence
A).
1. Waktu operasi
Pada pasien STEMI, mortalitas Karena CABG meningkat pada 3-7 hari
setelah infark dan manfaat revaskularisasi harus seimbang karena
risikonya. Pasien yang sudah stabil (tidak mengalami iskemi, gangguan
hemodinamik/aritmia life threatening) setelah STEMI dan telah mengalami
penurunan fungsi LV operasinya harus ditunda agar terjadi penyembuhan
miokardium (level of evidence B).
2. Arterial grafting
CABG bermanfaat untuk pasien dengan angina stabil dengan 1-2 penyakit
a.koroner tanpa stenosis a.koroner desenden anterior kiri proximal
signifikan dengan EF<0,50/iskemia pada tes noninvasive (level of
evidence A).
Pada pasien yang mendapat CPG dan direncanakan CABG, obatnya harus
ditunda 5-7hari (level of evidence B).
a. Peranan tes OR
Tes OR harus dilakukan di RS dan segera setelah KRS pada pasien STEMI
yang tidak dipilih untuk kateterisasi jantung dan tanpa gejala risiko tinggi
iskemia (level of evidence B).
Kelas III
Tes OR tidak boleh dilakukan dalam 2-3 hari STEMI pada pasien yang
reperfusinya tidak sukses (level of evidence C).
Tes OR tidak boleh dilakukan untuk evaluasi pasien STEMI dengan angina
unstabil (post infark, decompensasi CHF, aritmia jantung life threatening,
kondisi nonjantung yang membatasi kemampuan OR/kontraindikasi
absolute tes OR (level of evidence C).
Tes OR tidak boleh digunakan untuk stratifikasi risiko pada pasien STEMI
yang mengalami kateterisasi jantung (level of evidence C).
b. Peranan echo
Kelas III
Echo tidak boleh digunakan untuk reevaluasi rutin awal pada pasien
STEMI dengan tidak adanya status klinis/prosedur revaskularisasi.
Penilaian kembali fungsi LV dilakukan 30-90 hari kemudian (level of
evidence C).
d. Fungsi LV
LVEF harus diukur pada semua pasien STEMI (level of evidence B).
e. Evaluasi invasif
Arteriografi koroner dapat dilakukan pada pasien STEMI dengan DM, LVEF
<0,40, CHF, revaskularisasi sebelumnya/aritmia ventrikel life threatening
(level of evidence C).
Kelas III
K. Prevensi sekunder
Pasien yang baru sembuh dari fase akut STEMI harus memiliki rencaan
terapi prevensi sekunder (level of evidence A).
Sebelum KRS, semua pasien STEMI harus diedukasi tentang dan terlibat
dalam perubahan lifestyle dan terapi yang penting untuk pencegahan
sekunder penyakit CVS (level of evidence B).
Pasien post STEMI dan anggota keluarganya harus mendapat instruksi KRS
tentang pengenalan gejala kardiak akut dan tindakan tepat untuk
menyakinkan evaluasi dan terapi (level of evidence C).
Anggota keluarga pasien STEMI disarankan untuk mempelajari AEP dan
CPR (level of evidence C).
2. Terapi antiplatelet
Dosis harian aspirin 75-162 mg po harus diberikan pada pasien yang baru
sembuh dari STEMI (level of evidence A).
Bila terdapat alergi aspirin, terapi warfarin dengan target INR 2,5-3,5
merupakan alternative CPG pada pasien <75 tahun dengan risiko rendah
perdaarhan yang dapat dimonitor adekuat untuk mencaapi target INR
(level of evidence C).
Kelas III
B. Rehabilitasi jantung
Follow up dilakukan untuk menilai ada tidaknya gejala CVS dan FC (level
of evidence C).
Daftar medikasi pasien harus dievaluasi pada follow up dan titrasi ACEi,
beta bloker dan statin harus dilakukan (level of evidence C).
Pasien dan keluarganya harus dilatih CPR setelah KRS (level of evidence
C).
Penelitian lanjutan