Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti,


karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan
ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau
saat operasi untuk tujuan yang lain.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG, maka
banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat
dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan
semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan
moralitas.
Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila
batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran
klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai
yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi
ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun
intrahepatik. Sebagian besar pasien dengan batu kandung empedu tidak mengalami
gejala/asimptomatis

1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan laporan ini adalah mengetahui
perjalanan penyakit salah seorang pasien, sehingga dapat menilai kondisi pasien dari
awal terjadinya penyakit hingga post diberikan tindakan.

1.2.2. Tujuan khususnya


yaitu :

1. Mengetahui anatomi kandung empedu

2. Memahami definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, jenis batu empedu,


patofisiologi, gejala klinik, diagnosis, terapi, komplikasi dan pencegahan batu
empedu.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Usia : 64tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Magelang Selatan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

Agama : Islam

Datang ke Rumah Sakit pada Tanggal : 27 Desember 2012 dari poli bedah rujukan dari
poli penyakit dalam

Bangsal : Edelweis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 27 Desember 2012 di ruang


Edelweis Rumah Sakit Tingkat II Dr. Soedjono, Magelang.

B. ANAMNESIS

Pasien mengeluh nyeri pada perut kanan atas dan menjalar sampai dengan ke
pinggang, nyeri dirasakan kurang lebih 1 minggu yang lalu, nyeri hilang timbul terasa panas
dan perih. Tidak ada demam, mual ataupun muntah, kadang kadang suka pusing berputar
putar

RPD: Hipertensi dan gastritis

RPO: pasien sudah berobat ke dokter umum di RSU tidar 1 minggu yang lalu dan sudah di
USG.

2
C. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 27 Desember di ruang Edelweis Rumah Sakit
tingkat II dr. Soedjono

Keadaan Umum : Tampak Sakit sedang


Kesadaran/GCS : Compos Mentis / 15
Tanda Vital :
o Tekanan Darah : 140/90 mmHg
o Nadi : 84x/menit
o Suhu : 36.5 C
o Respirasi : 24x/menit
Thoraks : Cor bj I dan II reguler
Pulmo vesikuler
Abdomen
o Inspeksi: Supel
o Auskultasi : BU (+)
o Palpasi : nyeri tekan daerah epigastrium dan lumbal dekstra
o Perkusi : Timpani

D. ASSESSMENT

Dyspepsia dd susp. Kolelitiasis

E. PLANNING

Planning Diagnostik
o Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap, BT, CT
o Pemeriksaan EKG
o Foto Lumbosakral AP
Planning Terapi
o Simptomatik
o Sharox 2 x 1
o Meloxicam 1 x 1
o Trixon
o Suportif
o Infus RL 20 tpm
o Puasa untuk persiapan operasi besok

Pada tanggal 28 desember 2012 dilakukan operasi kolesistektomi

FOLLOW UP

3
Tgl S O A P
29 Nyeri pada VS: td 120/80 Post op Therapi
des daerah post s/n 36,5/ 84 kolesistektomi - awasi VS
- Puasa
2012 operasi, status generalis: hari ke 1
- Trixon
pusing (-), tampak sakit sedang - Ranitidin
- Antrain
mual(-). kepala: CA -/- SI -/-
- kalnex
Muntah (-), thoraks: cor dan
demam (-). pulmo DBN
abdomen:
Isupel, bekas luka
membaik, rembesan
darah +, pus(-),
Drain (+)
Abu +
Pal NT (-)
Per timpani
Kateterurin
berwarna kuning
pekat, darah (-)
30 Nyeri pada VS: td 120/90 Post op Terapi lanjutkan
des luka bekas Tampak sakit sedang kolesistektomi Medikasi luka
2012 operasi, Kepala : CA-/- SI -/- hari ke 2 Coba minum
pusing (-), Thoraks : cor dan mobilisasi
demam (-) pulmo DBN
mual Abdomen:
muntah (-), Isupel, luka
operasi membaik,
rembesan darah (-),
drain (+)

4
A BU (+)
Pal NT (-)
Pertimpani
Kateter : urin
berwarna kuning
pekat
31 Keluhan (-) VS : TD 120/90 Post op Terapi lanjut
des Kepala : CA-/- SI-/- kolesistektomi Medikasi luka
2012 Tampak sakit ringan hari ke 3 Aff drain
Thoraks: cor dan Diet bubur
pulmo DBN
Abdomen :
I supel, luka
operasi membaik,
drain (+)
ABu (+)
Pal NT (-)
Per timpani
1 Keluhan (-) VS: TD 210/120 Post op Therapi lanjut
Jan BAB dan Tampak sakit ringan kolesistektomi Medikasi luka
2013 BAK Kepala: CA -/- SI -/- hari ke 4
normal Thoraks: DBN
Abdomen :
I supel, rembesan
darah (-), luka
membaik
A: BU(+)
Pal: NT (-)
Per: timpani

5
2 jan Keluhan (-) VS: td 170/100 Post op - Rawat jalan
- aff infus
2013 BAB dan Tampak sakit ringan kolesisteksom
- bawa obat :
BAK Kepala: CA-/- SI-/- i hari ke- 5 Narfos 2x1
normal, Thoraks : DBN Zaldiar 2x1
Da???
tidak Abdomen: - Medikasi
pusing, I supel, luka luka
tidak mual membaik
dan muntah ABU (+)
Pal NT (-)
Per timpani

HASIL PEMERIKSAAN USG (18 Desember 2012)

6
Hepar : ukuran normal, echostructure parenchym homogen dbn , permukaan rata,
sudut lancip, tak tampak nodul, V hepatica dan porta Dbn

Vesika felea : ukuran normal, dinding DBN, tampak batu dengan ukuran 17,9 mm

Pancreas : ukuran normal, echostructure parenchym homogen, permukaan rata,


nodul (-)

7
Lien : ukuran dbn, echostructure parenchym homogen, permukaan rata, v. Lienalis dbn

Renal sin dx: UKURAN Dbn, echostructure parenchyme dbn, batas kortikomedular dbn,
PCS tak melebar, tidak tampak batu

VU : dinding dbn, tidak tampak batu

Kesan : Cholelitiasis

LAPORAN OPERASI

Nama pasien : ny. S

Dokter Bedah : Letkol CKM dr. Dadiya

Dokter Anastesi: dr. Kurniawan

Diagnosis prabedah : kolelitiasis

Diagnosis pasca bedah: kolelitiasis

Operasi / tindakan : cholecystektomy

Tanggal operasi : 28 desember 2012

1. Dalam stadium anastesi, antiseptik lapangan operasi


2. Insisi daerah subkosta dekstra
3. Dilakukan kolesistektomi kemudian di PA
4. Kontrol perdarahan
5. Cuci kavum abdomen
6. Pasang drain
7. Tutup lapis demi lapis

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. ANATOMI

8
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear
yang terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 10 cm.
Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat
menggembung sampai 300 cc.

Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk
bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan
dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis
membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.

Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri


hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan
kandung empedu.

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak


dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus
coeliacus.

9
Gambar 1: Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.

Pendarahan arterial ductus choledochus ialah sebagai berikut :

Bagian proksimal dipasok oleh arteri cystica


Bagian tengah memperoleh darah dari ramus dexter arteria hepatica propria
Bagian rectoduodenal dipasok oleh arteria pancreaticoduodenalis superior posterior
dan arteria gastroduodenalis

Arteria cystica mengantar darah kepada ductus choledochus dan ductus cysticus. Arteria
cystica biasanya berasal dari ramus dexter arteria hepatica propria di sudut antara ductus
hepaticus communis dan ductus cysticus (Moore K. & Agur A., 2002).

Gambar 2: Vaskularisasi Vesika Felea

10
3.2. KOLELITIASIS

Kolelitiasis atau batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang
membentuk suatu material yang menyerupai batu yang dapat ditemukan dalam kandung
empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-
duanya (Schwartz S., Shires G., Spencer F., 2000).

Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana


terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesika felea) yang memiliki ukuran,
bentuk dan komposisi yang bervariasi.

EPIDEMIOLOGI

Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada
wanita dikarenaan memiliki faktor risiko, diantaranya : obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak
dan genetik (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).

Insidens kolelitiasis di negara Barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa
dan lanjut usia. Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak
tahun 1980-an angkanya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi (Jong W.
& Sjamsuhidajat R., 2005).

ETIOLOGI

Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor predisposisi
terpenting, yaitu :

1. Perubahan Komposisi Empedu


Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolestrol mengekskresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolestrol. Kolestrol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk
membentuk batu empedu (Hadi S., 2002).

2. Statis Empedu
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan komposisi kimia dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan
kontraksi kandung empedu atau spasme spingter Oddi atau keduanya dapat

11
menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat
dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu (Hadi S., 2002).

3. Infeksi Kandung Empedu


Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu.
Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan
sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya
batu, dibanding penyebab terbentuknya batu (Hadi S., 2002).

FAKTOR RISIKO

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor risiko. Namun, semakin banyak
faktor risiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor risiko
tersebut antara lain :

Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40 50 tahun. Sangat sedikit
penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan semakin
bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu
(Lesmana L., 2000).
Jenis Kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan
4 : 1. Di Indonesia, jumlah penderita wanita lebih banyak daripada laki-laki (Lesmana
L., 2000).
Obesitas
Pada orang yang mengalami obesitas dengan indeks massa butuh (BMI) tinggi maka
kadar kolestrol dalam kandung empedu sangat tinggi sehingga akan menurunkan
garam empedu dan mengurangi kontraksi atau pengosongan kandung empedu
(Lesmana L., 2000).
Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu (Lesmana L., 2000).
Aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
kolelitiasis (Lesmana L., 2000).
Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena dalam jangka laa mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal.

12
Sehingga risiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu
(Lesmana L., 2000)

JENIS BATU EMPEDU

Batu empedu diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Menurut beberapa


ahli, pembagian batu empedu adalah sebagai berikut :

1. Batu Empedu Kolestrol (Hadi S., 2002).

a. Soliter (single cholesterol stone) atau tunggal

Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto Rontgen terlihat
intinya. Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan permukaan licin atau noduler.
Batu ini tidak mengandung Kalsium sehingga tidak dapat dilihat pada pemotretan sinar-
X biasa.

b. Batu kholesterol campuran

Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu yaitu
mengandung batu empedu kholesterol yang soliter di mana pada permukaannya
terdapat endapan pigmen kalsium.

c. Batu kholesterol ganda

Jenis batu ini jarang dijumpai dan bersifat radiolusen.

2. Batu Empedu Pigmen (Hadi S., 2002).

Pigmen kalkuli mengandung pigmen empedu dan berbagai macam kalsium dan matriks
dari bahan organik. Batu ini biasanya berganda, kecil, amorf, bulat, berwarna hitam atau
hijau tua

13
Bagan 1: proses pembentukan batu pigmen

3. Batu Empedu Campuran (Hadi S., 2002).

Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai ( 80%), dan terdiri atas kolestrol,
pigmen empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein. Biasanya berganda dan
sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque.

MANIFESTASI KLINIS

Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi

menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya bervariasi

dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi.

Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik

bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah

subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan

fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu

dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus,

umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu

dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.

14
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini

berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah

kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan

inflamasi akut.

Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30

60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke

abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina

pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum

pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.

Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi

yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis

kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu,

abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan

mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.

Sebagian besar (90 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini

timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut.

Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering

mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan

dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo

kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.

Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus

sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran

empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan

15
sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif

yang nyata.

Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa

menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul

pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar

spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis

koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

Gambar 3: Manifestasi Klinis Yang Biasa Terjadi

DIAGNOSIS

Diagnosis batu empedu dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan tanda klinis yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik. Selain itu, diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
kepastian diagnosis. Pmeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain adalah :

Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk batu kandung empedu, kecuali bila terjadi
komplikasi kolesistitis akut bida didapatkan leukositosis, kenaikan kadar bilirubin

16
darah dan fosfatase alkali. Apabila terjadi sindrom Mirrizi akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu (Hadi S., 2002).
1. Uji Ekskresi Empedu
Fungsinya mengukur kemampuan hati untuk mengkonjugasi dan
mengekskresikan pigmen.

o Bilirubin Direk (Terkonjugasi)


Merupakan bilirubin yang telah diambil oleh sel-sel hati dan larut dalam air.
Makna klinisnya mengukur kemampuan hati untuk mengonjugasi dan
mengekskresi pigmen empedu. Bilirubin ini akan meningkat bila terjadi
gangguan ekskresi bilirubin terkonjugasi. Nilai normalnya antara 0,1-0,3
mg/dl (Kee, L.J.).

o Bilirubin Indirek (Tidak Terkonjugasi)


Merupakan bilirubin yang larut dalam lemak dan akan meningkat pada
keadaan hemolitik (lisis darah). Nilai normalnya antara 0,2-0,7 mg/dl (Kee,
L.J.).

o Bilirubin Serum Total


Merupakan bilirubin serum direk dan total meningkat pada penyakit
hepatoselular. Nilai normalnya antara 0,3-1,0 mg/dl (Kee, L.J.).

o Bilirubin Urin/Bilirubinia
Merupakan bilitubin terkonjugasi diekskresi dalam urin bila kadarnya
meningkat dalam serum, mengesankan adanya obstruksi pada sel hati atau
saluran empedu. Urin berwarna coklat bila dikocok timbul busa berwarna
kuning (Kee, L.J.).

2. Uji Enzim Serum


Asparte aminotransferase (AST/SGOT) dan alanin aminotransferase
(ALT/SGPT) merupakan enzim intrasel yang terutama berada di jantung, hati dan
jaringan skelet yang dilepaskan dari jaringan yang rusak (seperti nekrosis atau terjadi
perubahan permeabilitas sel dan akan meningkat pada kerusakan hati. Nilai
normalnya berada pada rentang 5-35 unit/ml (Kee, L.J.).
Alkaline fosfatase dibentuk dalam hati dan diekskresikan ke dalam empedu,
kadarnya akan meningkat jika terjadi obstruksi biliaris. Nilai normalnya 30-120 IU/L
atau 2-4 unit/dl (Kee, L.J.).
Pemeriksaan radiologis
o Foto Polos Abdomen

17
Kurang lebih 10% dari batu kandung empedu bersifat radio opak sehingga
terlihat pada foto polos abdomen (Hadi S., 2002).

o Ultrasonografi
Penggunaan USG dalam mendeteksi batu di saluran empedu sensitivitasnya
sampai 98% dan spesifitas 97,7%. Keuntungan lain dari pemeriksaan cara ini
adalah mudah dikerjakan, aman karena tidak infasif dan tidak perlu persiapan
khusus, ditambah pula bahwa USG dapat dilakukan pada penderita yang sakit
berat, alergi kontras, wanita hamil dan tidak tergantung pada keadaan faal hati.
Ditinjau dari berbagai segi keuntungannya, pemeriksaan USG sebaiknya
dipakai sebagai langkah pemeriksaan awal. Dengan pemeriksaan ini bisa
ditentukan lokasi dari batu tersebut, ada tidaknya radang akut, besar batu,
jumlah batu, ukuran kandung empedu, tebal dinding, ukuran CBD (Common
Bile Duct) dan jika ada batu intraduktal (Hadi S., 2002).

o Tomografi Computer
Keunggulan tomografi komputer adalah dengan memperoleh potongan obyek
gambar suara secara menyeluruh tanpa tumpang tindih denagn organ lain,
karena mahalnya biaya pemeriksaan, maka alat ini bukan merupakan pilihan
utama (Hadi S., 2002).

o Kolesistografi
Foto dengan pemberian kontrak baik oral maupun intravena diharapkan batu
yang tembus sinar akan terlihat. Jika kandung empedu tidak tervisualisasikan
sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang dengan dosis ganda zat kontras.
Goldberg dan kawan-kawan menyatakan bahwa reliabilitas pemeriksaan
kolesistografi oral dalam mengidentrifikasikan batu kandung empedu kurang
lebih 75%. Bila kadar bilirubin serum lebih dari 3 mg% kolesistografi tidak
dierjakan karena zat kontras tidak diekskresi ke saluran empedu (Hadi S.,
2002).

KOMPLIKASI

Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis
kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu,

18
abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan
mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.

a. Kolesistitis Akut

Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan
sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan dan
manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus
atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan
atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh
rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).
Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar ke punggung
atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan,
yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri
tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik Murphy sign (pasien berhenti bernafas
sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20%
kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi terbuka atau
laparoskopik (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).

b. Kolesistitis Kronis

Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering
mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan
dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti
koledokolitiasis, pankreatitis dan kolangitis (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).

c. Pankreatitis Akut

Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan
gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul pankreatitis
akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan
akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis
koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis
(Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).

19
TERAPI

A. Tindakan Operatif

1. Kolesistektomi

Terapi terbanyak pada penderita kandung empedu adalah dengan operasi. Kolesistektomi
dengan atau tanpa eksplorasi duktus komunis tetap merupakan tindakan pengobatan untuk
penderita dengan batu empedu simptomatik. Pembedahan untuk batu empedu tanpa gejala
masih diperdebatkan, banyak ahli menganjurkan terapi konservatif. Sebagian ahli lainnya
berpendapat lain, mengingat silent stone akhirnya akan menimbulkan gejala-gejala
bahkan komplikasi, maka mereka sepakat bahwa pembedahan adalah pengobatan yang
paling tepat yaitu kolesistektomi efektif dan berlaku pada setiap kasus batu empedu kalau
keadaan umum penderita baik.

Indikasi kolesistektomi, yaitu :

- Adanya keluhan bilier apabila mengganggu atau semakin sering atau berat
- Adanya komplikasi atau pernah ada komplikasi batu kandung empedu
- Adanya penyakit lain yang mempermudah timbulnya komplikasi misalnya DM,
kandung empedu yang tidak tampak pada foto kontras dan sebagainya.
-

2. Kolesistostomi

Beberapa ahli bedah menganjurkan kolesistotomi dan dekompresi cabang-cabang saluran


empedu sebagai tindakan awal pilihan pada penderita kolesistitis dengan risiko tinggi yang
mungkin tidak dapat diatasi dengan kolesistektomi dini.

Indikasi dari kolesistostomi, yaitu :

- Keadaan umum sangat buruk misalnya karena sepsis


- Penderita berumur lanjut, karena ada penyakit lain yang berat yang menyertai,
kesulitan teknik operasi
- Tersangka adanya pankreatitis

Kerugian kolesistostomi mungkin terselipnya batu sehingga sukar dikeluarkan dan


kemungkinan besar terjadinya batu lagi kalau tidak diikuti dengan kolesistektomi.

20
B. Tindakan Non-Operatif

1. Terapi Disolusi

Penggunaan garam empedu yaitu asam Chenodeoxycholat (CDCA) yang mampu


melarutkan batu kolesterol. Pengobatan dengan asam empedu ini dengan sukses
melarutkan sempurna batu pada sekitar 60 % penderita yang diobati dengan CDCA oral
dalam dosis 10 15 mg/kg berat badan per hari selama 6 sampai 24 bulan. Penghentian
pengobatan CDCA setelah batu larut sering timbul rekurensi kolelitiasis (Devid D.,
Sabiston, 1994).

Pemberian CDCA dibutuhkan syarat tertentu yaitu :

- Wanita hamil

- Penyakit hati yang kronis

- Kolik empedu berat atau berulang-ulang

- Kandung empedu yang tidak berfungsi.

Efek samping pengobatan CDCA yang terlalu lama menimbulkan kerusakan jaringan hati,
terjadi peningkatan transaminase serum, nausea dan diare. Asam Ursodioxycholat
(UDCA) merupakan alternatif lain yang dapat diterima dan tidak mengakibatkan diare
atau gangguan fungsi hati namun harganya lebih mahal. Pada saat ini pemakaiannya
adalah kombinasi antara CDCA dan UDCA, masing-masing dengan dosis 7,5 mg/kg berat
badan/hari. Dianjurkan dosis terbesar pada sore hari karena kejenuhan cairan empedu akan
kolesterol mencapai puncaknya pada malam hari.

Mekanisme kerja dari CDCA adalah menghambat kerja dari enzim HMG Ko-a reduktase
sehingga mengurangi sintesis dan ekskresi kolesterol ke dalam empedu. Kekurangan lain
dari terapi disolusi ini selain harganya mahal juga memerlukan waktu yang lama serta
tidak selalu berhasil (Devid D., Sabiston, 1994).

2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsi (ESWL)

ESWL merupakan litotripsi untuk batu empedu dimana dasar terapinya adalah disintegrasi
batu dengan gelombang kejut sehingga menjadi partikel yang lebih kecil. Pemecahan batu
menjadi partikel kecil bertujuan agar kelarutannya dalam asam empedu menjadi

21
meningkat serta pengeluarannya melalui duktus sistikus dengan kontraksi kandung
empedu juga menjadi lebih mudah (Devid D., Sabiston, 1994).

Setelah terapi ESWL kemudian dilanjutkan dengan terapi disolusi untuk membantu
melarutkan batu kolesterol. Kombinasi dari terapi ini agar berhasil baik harus memenuhi
beberapa kriteria mengingat faktor efektifitas dan keamanannya (Devid D., Sabiston,
1994).

1. Kriteria Munich :

- Terdapat riwayat akibat batu tersebut (simptomatik)

- Penderita tidak sedang hamil

- Batu radiolusen

- Tidak ada obstruksi dari saluran empedu

- Tidak terdapat jaringan paru pada jalur transmisi gelombang kejut ke

arah batu

2. Kriteria Dublin :

- Riwayat keluhan batu empedu

- Batu radiolusen

- Batu radioopak dengan diameter kurang dari 3 cm untuk batu tunggal

atau bila multiple diameter total kurang dari 3 cm dengan jumlah

maksimal

- Fungsi konsentrasi dan kontraksi kandung empedu baik

Terapi ESWL sangatlah menguntungkan bila dipandang dari sudut penderita karena dapat
dilakukan secara rawat jalan, sehingga tidak mengganggu aktifitas penderita. Demikian
juga halnya dengan pembiusan dan tindakan pembedahan yang umumnya ditakutkan
penderita dapat dihindarkan. Namun tidak semua penderita dapat dilakukan terapi ini
karena hanya dilakukan pada kasus selektif. Di samping itu penderita harus menjalankan
diet ketat, waktu pengobatan lama dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, serta dapat

22
timbul rekurensi setelah pengobatan dihentikan. Faal hati yang baik juga merupakan salah
satu syarat bentuk terapi gabungan ini, karena gangguan faal hati akan diperberat dengan
pemberian asam empedu dalam jangka panjang (Devid D., Sabiston, 1994).

ESWL dapat dikatakan sangat aman serta selektif dan tidak invasif namun dalam
kenyataannya masih terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi misalnya rasa sakit
di hipokondrium kanan, kolik bilier, pankreatitis, ikterus, pendarahan subkapsuler hati,
penebalan dinding dan atrofi kandung empedu (Devid D., Sabiston, 1994).

C. Dietetik

Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah memberi istirahat
pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk memperkecil kemungkinan
batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan secukupnya untuk
memelihara berat badan dan keseimbangan cairan tubuh (Devid D., Sabiston, 1994).

Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu kandung empedu
tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan makanan yang dapat menyebabkan
gangguan pencernaan makanan juga harus dihindarkan.

Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita konstipasi, maka diet
dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang tidak mengeluarkan gas akan sangat
membantu.

Syarat-syarat diet pada penyakit kandung empedu yaitu :

- Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna.

- Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah kalori

dikurangi.

- Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak

- Tinggi cairan untuk mencegah dehidrasi

PENCEGAHAN

Karena komposisi terbesar batu empedu adalah kolesterol, sebaiknya menghindari


makanan berkolesterol tinggi terutama yang berasal dari lemak hewani .

23
BAB IV

PENUTUP

NY. S datang ke poli bedah RST atas rujukan dari poli interna , datang dengan
keluhan nyeri perut pada adaerah epigastrium dan daerah lumbal kanan menjalar sampai
dengan ke pinggang, tidak ada mual ataupun muntah. Kadang suka pusing berputar putar.
Pasien pernah memeriksakan keluhan ke dokter di RSU tidar dan telah di USG. Hasil
pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah dilakukan di RST didiagnosis bahwa pasien
menderita kolelitiasis.

Gejala yang diperlihatkan oleh pasien dengan kolelitiasis umumnya sangat bervariasi,
meskipun terdapat ciri yang khas yaitu kolik bilier dengan gambaran nyeri pada kuadran
kanan atas yang dapat menjalar sampai ke punggung tepat di bawah tulang skapula, namun
gejala tersebut tidak selalu spesifik seperti itu. Pada pasien ini terdapat nyeri kolik bilier, akan
tetapi gejala lainnya tidak terlalu spesifik. Untuk itu diperlukan pemeriksaan fisik yang lebih
teliti serta bantuan pemeriksaan penunjang.

Penatalaksanaan yang tepat dan adekuat diperlukan untuk menjamin kesembuhan


pasien dengan prognosis yang baik, serta menghindari komplikasi maupun terjadinya relaps.

24
DAFTAR PUSTAKA

Devid C., Sabiston, 1994, Sistem Empedu, Sars MG, L John Cameron, Dalam Buku Ajar
Bedah, Edisi 2, hal 121, Penerbit EGC, Jakarta

Jong W., Sjamsuhidajat R., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta

Kee, L.J., Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta

Lesmana L., 2000, Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi 3, hal :
380-4, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Moore K., Agur A., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta

Schwartz S, Shires G, Spencer F., 2000, Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery)
Edisi 6, hal : 459-64, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

25

Anda mungkin juga menyukai