Disusun Oleh :
Pendamping :
PORTOFOLIO
Kasus 2
Daftar Pustaka:
2
management of gastroesophageal reflux disease: update. J Gastroenterol
Hepatol 2008;23:8-22
2. Armstrong D, Gittens S, Vakil N. The Montreal consensus and the
diagnosis of gastroesophageal reflux disease (GERD): A central American
need analysis.CDDW 2008. Available from URL:
http//www.pulsus.com/cddw2008/abs/195.htm.
3. Jung HK. Epidemiology of gastroesophageal reflux disease in Asia : A
systematic review. J Neurogastroenterol Motil 2011; 17: 14-27.
4. Goh KL, Wong CH. Gastrooesophageal reflux disease: An Emerging
Disease in Asia. J Gastroenterol Hepatol 2006; 2:118-23.
5. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW,
Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2009.hal.481-95
6. Rosaida MS, Goh KL. Gastro-oesophageal reflux disease, reflux
oesophagitis and non-erosive reflux disease in a multiracial Asian
population: a prospective, endoscopy based study. Eur J Gastroenterol
Hepatol 2004;16:495-501.
7. Arif, Mansjoer, dkk,. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 4. FKUI,
Jakarta: Medica Aesculpalus; 2014
8. American Gastroenterological Association (AGA) Institute. AGA medical
position statement on the management of gastroesophageal reflux disease.
Gastroenterology. 2008: 135: 1383-91.
9. Sifrim D, Castell D, Dent J, Kahrilas PJ. Gastro-oesophageal reflux
monitoring: review and consensus report on detection and definitions of
acid, non-acid, and gas reflux. Gut 2004;53:1024-31
10. Hongo M, Kinoshita Y, Shimozuma K, Kumagai Y, Sawada M, Nii M.
Psychometric validation of the Japanese translation of the quality of life in
reflux and dyspepsia questionnaire in patients with heartburn. J
gastroenterol 2007; 42: 802-15.
11. DeVault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and
treatment of gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol
2005;100:190-200
12. Kahrilas PJ, Shaheen NJ, Vaezi MF, et al. American Gastroenterological
Association Medical Position Statement on the management of
gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology 2008;135:1383-91, 91
e1-5
13. Sifrim D, Castell D, Dent J, Kahrilas PJ. Gastro-oesophageal reflux
monitoring: review and consensus report on detection and definitions of
acid, non-acid, and gas reflux. Gut 2004;53:1024-31.
14. Hirano I, Richter JE. ACG practice guidelines: esophageal reflux testing.
Am J Gastroenterol 2007;102:668-85
15. Yamada T, et al. Principles of Clinical Gastroenterology. Oxford :
Blackwell Publishing Ltd; 2008
16. Hirano I, Richter JE. ACG practice guidelines: esophageal reflux testing.
3
Am J Gastroenterol 2007;102:668-85
17. Wang WH, Huang JQ, Zheng GF, Wong WM, Lam SK, Karlberg J, et.al. Is
Proton Pump Inhibitor Testing an Effective Approach to Diagnose
Gastroesophageal Reflux Disease in Patients with Noncardiac Chest Pain?
Arch Intern Med 2005;165:1222-1228
18. Kaltenbach T, Crockett S, Gerson LB. Are lifestyle measures effective in
patients with gastroesophageal reflux disease? An evidence-based
approach. Arch Intern Med 2006;166:965-71.
19. M. Storr, A. Meining, HD. Allescher, Pathopysiology and Pharmalogical
Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease, Digestive Disease 2000;
18:93-102.
20. Kahrilas PJ, Shaheen NJ, Vaezi MF, et al. American Gastroenterological
Association Institute Medical Review on The Management of
Gastroesophageal Reflux Disease. Gastroenterology 2008;135:1392-1413.
21. John M. Inadomi, Roula Jamal, Glen H. Murata, Richard M. Hoffman,
Laurence A. Lavezo, Justina M. Vigil, Kathleen M. Swanson, Amnon
Sonnenberg, Step down management of gastroesophageal reflux disease.
Gastroeneterology 2001; 121(5): 1095-100
22. J.Dent, Definition of reflux disease and its separation from dyspepsia, gut
2002; 50(Suppl 4): iv 17-iv20.
23. Ip S, Bonis P, Tatsioni A, et al. Comparative Effectiveness of Management
Strategies For Gastroesophageal Reflux Disease. Comparative
Effectiveness Review 2005;Number 1.
Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis Penyakit Refluks Gastroesofageal
2. Etiologi dan faktor resiko Penyakit Refluks Gastroesofageal
3. Mekanisme terjadinya Penyakit Refluks Gastroesofageal
4. Penatalaksanaan yang tepat pada Penyakit Refluks Gastroesofageal
1. Subjektif :
Pasien datang dengan keluhan dada terasa panas sejak kurang lebih
6 bulan SMRS. Rasa panas dirasakan dari ulu hati dan naik ke arah dada.
Rasa panas di dada tidak disertai penjalaran dan terutama dirasakan saat
berbaring. Pasien juga mengeluh rasa pahit dan asam di lidah dan
terkadang tenggorokan terasa sakit dan sering merasa cairan dari perutnya
naik ke tenggorokan saat berbaring. Pasien tidak mengeluh adanya nyeri
4
dan kesulitan menelan, penurunan berat badan yang tidak diketahui
sebabnya, muntah darah dan BAB beradarah. Riwayat penggunaan obat
penghilang nyeri dalam jangka waktu yang lama tidak ada. Riwayat
keluarga dengan keganasan lambung atau esofagus tidak ada.
2. Objektif :
o Gejala Klinis :
Pasien datang dengan keluhan dada terasa panas sejak kurang lebih
6 bulan SMRS. Rasa panas dirasakan dari ulu hati dan naik ke arah dada.
Rasa panas di dada tidak disertai penjalaran dan terutama dirasakan saat
berbaring. Pasien juga mengeluh rasa pahit dan asam di lidah dan
terkadang tenggorokan terasa sakit dan sering merasa cairan dari perutnya
naik ke tenggorokan saat berbaring. Pada umumnya, gambaran klinis
GERD berupa heartburn yaitu rasa panas, terbakar di dada yang kadang
disertai rasa nyeri dan pedih, serta gejala-gejala lain seperti regurgitasi
(rasa asam dan pahit di lidah). Gejala tersebut timbul karena adanya
mekanisme transient lower esophageal spinchter relaxation (TLESR),
menurunnya bersihan esofagus, disfungsi sfingter esofagus , dan
pengosongan lambung yang lambat. Hal tersebut mengakibatkan
terjadinya regurgitasi isi lambung ke dalam esofagus sehingga timbullah
rasa panas atau terbakar (heatburn) yang dirasakan naik dari ulu hati ke
dada, begitu juga dengan rasa asam dan pahit di mulut.
5
lambung dan atau esofagus, penggunaan OAINS kronik, dan usia lebih
dari 40 tahun di daerah prevalensi kanker lambung tinggi. Jika ditemukan
alarm sign, maka harus dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk
memastikan ada tidaknya esofagus Barret atau keganasan.
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
Keadaan sakit : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 86 kali per menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20 kali per menit
Suhu : 36,8o C (aksila)
Keadaan Spesifik
o Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-)
o Thorak
Paru
Inspeksi : statis simetris kanan dan kiri, dinamis kanan = kiri, tidak
ada yang tertinggal
Palpasi : stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal kanan = kiri, ronkhi (-) kedua
paru , wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di linea axilaris anterior sinistra ICS
VI
Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan line para sternalis dextra,
batas kiri linea axilaris anterior sinistra ICS VI
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II normal regular, Murmur (-), S3
Gallop (-)
o Abdomen
6
Inspeksi : datar, scar (-), benjolan (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-) epigastrium, hepar dan lien tidak
teraba
Auskultasi : bisisng usus (+) normal
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
o Genital (tidak diperiksa)
o Ekstremitas
Ekstremitas atas : deformitas (-), edema (-), jaringan parut (-), tidak
panas pada perabaan, CRT < 2 detik, pergerakkan
aktif dan pasif luas.
Ekstremitas bawah:
Dextra : deformitas (-), edema (-), jaringan parut (-), tidak
panas pada perabaan, CRT < 2 detik
Sinistra: deformitas (-), edema (-), jaringan parut (-), tidak
panas pada perabaan, CRT < 2 detik
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan darah rutin
Tidak dilakukan
Pemeriksaan Kimia Darah
Tidak dilakukan
Pemeriksaan Radiologi
Tidak dilakukan
3. Assessment :
Pasien datang dengan keluhan lutut kiri yang terasa semakin nyeri
dan sulit untuk berjalan. Keluhan ini dirasakan sudah satu tahun yang lalu
dan memberat sejak 3 hari SMRS. Nyeri terasa memberat saat pasien
menekuk dan menggerakkan lututnya tetapi sedikit berkurang dengan
istirahat. Pasien juga merasakan kaku pada lutut kirinya yang muncul pada
pagi hari setelah bangun tidur dan menetap sekitar 15 menit.
Dari gejala yang dikeluhkan oleh pasien, kita dapat menilai bahwa
pasien mengalami gangguan reumatologi berupa osteoarthritis.
Osteoartritis merupakan suatu penyakit dengan perkembangan slow
progressive, ditandai adanya perubahan metabolik, biokimia, struktur
rawan sendi serta jaringan sekitarnya, sehingga menyebabkan gangguan
fungsi sendi. Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada
7
di dalam tubuh manusia. Sebanyak 230 sendi menghubungkan 206 tulang
yang memungkinkan terjadinya gesekan. Untuk melindungi tulang dari
gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun karena berbagai faktor
resiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan berkurangnya
cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk meredam getar
antar tulang. Tulang rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang
berfungsi untuk menguatkan sendi, proteoglikan yang membuat jaringan
tersebut elastis dan air (70% bagian) yang menjadi bantalan, pelumas
dan pemberi nutrisi. Kelainan utama pada OA adalah kerusakan rawan
sendi yang dapat diikuti dengan penebalan tulang subkondral,
pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen dan peradangan ringan pada
sinovium, sehingga sendi yang bersangkutan membentuk efusi.
Kaku pada sendi lutut yang timbul pada pagi hari dan menetap
sekitar 15 menit dapat menyingkirkan kelainan reumatologi lain yang
gejalanya mirip dengan gejala osteoarthritis. Kekakuan sendi terjadi
setelah sendi tidak digerakkan beberapa lama (gel phenomenon), tetapi
kekakuan ini akan hilang setelah sendi digerakkan. Jika terjadi kekakuan
pada pagi hari, biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit ( tidak
lebih dari 30 menit). Gambaran lainnya adalah keterbatasan dalam
bergerak, nyeri tekan lokal, pembesaran tulang di sekitar sendi, efusi sendi
dan krepitasi.
8
pada pergerakan dapat timbul akibat iritasi kapsul sendi, periostitis dan
spasme otot periartikular.
4. Plan :
5. Plan :
Penatalaksanaan :
Non farmakologi :
- Modifikasi berat badan berlebih dan meninggikan kepala lebih kurang
15-20 cm pada saat tidur, serta faktor-faktor tambahan lain seperti
menghentikan merokok, minum alkohol, mengurangi makanan dan
obat-obatan yang merangsang asam lambung dan menyebabkan
refluks, makan tidak boleh terlalu kenyang dan makan malam paling
lambat 3 jm\am sebelum tidur.
Farmakologi :
Sistemik
- Omeprazole 1x 20 mg selama 2 minggu
Prognosis
Vitam : dubia ad bonam
Functionam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Refluks Gastroesofageal
9
dan/atau komplikasi yang mengganggu. Pernyataan ini diajukan oleh Konsensus
Asia Pasifik mengenai GERD tahun 2008, di mana penekanan diberikan kepada
kata mengganggu, oleh karena menandakan adanya gangguan terhadap kualitas
hidup dan menyarikan pendapat umum yang menyatakan bahwa apabila refluks
esofageal ingin dinyatakan sebagai penyakit, maka kelainan tersebut harus
mempengaruhi kualitas hidup pasien.1 Gastro oesophageal reflux disease
( GERD ) adalah salah satu kelainan yang sering dihadapi di lapangan dalam
bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk pada kualitas hidup
penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas yang bermakna.
Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal definition and
classification of gastroesophageal reflux disease : a global evidence based
consensus), penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease
/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks
kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang
mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstraesofagus dan/atau
komplikasi.2
2. Epidemiologi
10
esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas
dasar dispepsia.5
Beberapa faktor risiko untuk kejadian GERD telah dievaluasi pada populasi
Asia-Pasifik, beberapa di antaranya termasuk usia lanjut, jenis kelamin pria, ras,
riwayat keluarga, status ekonomi tinggi, peningkatan indeks massa tubuh, dan
merokok. Bukti terkuat untuk keterkaitan faktor risiko tertentu dengan kejadian
GERD pada populasi Asia-Pasifik ditemukan untuk peningkatan indeks massa
tubuh, lebih dari 25 studi klinis mendukung korelasi tersebut.6
3. Etiologi dan Patogenesis
11
esofagus menurun di malam hari sehingga pajanan terhadap cairan lambung lebih
lama.7
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1).
Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang
mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan
intra abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya
GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah
anti refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan
faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam
timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan
terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric
outlet dan delayed gastric emptying.5 Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam
patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada.
Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari
gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung.5 Tingginya angka
infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya
telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia
lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai
dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota
dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik antara derajat
keparahan esofagitis refluks d engan infeksi H. pylori. Hamada dkk menunjukkan
insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi H.pylori, khususnya pada
pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi terhadap refluks hiatus hernia.
4
4. Klasifikasi
Konsensus Montreal tahun 2006 mengelompokkan penyakit ini menjadi dua
kelompok berdasarkan lokalisasi gejala, yaitu sindrom esofageal dan sindrom
ekstraesofageal. (lihat Gambar 1).
Sindrom simtomatik adalah refluks esofageal tanpa adanya lesi struktural,
atau pemeriksaan lebih lanjut untuk menilai kerusakan struktural belum
12
dilakukan. Pasien dengan sindrom refluks tipikal memiliki dua keluhan klasik,
yaitu heartburn dan/atau regurgitasi. Pasien dengan sindrom nyeri dada karena
refluks mengeluhkan nyeri dada non kardiak yang dominan tanpa adanya gejala
refluks tipikal. Sindrom dengan lesi esofagus terdiri atas esofagitis refluks,
striktur, esofagitis Barret, dan adenokarsinoma esofagus. Esofagitis ditemukan
pada kurang dari 50% pasien dengan refluks esofagus sementara striktur terjadi
pada <5% pasien. Refluks gastroesofageal dalam jangka lama dapat menyebabkan
keluhan ekstra-esofageal, baik yang telah dapat dijelaskan hubungan sebab-
akibatnya, maupun yang belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan asam
lambung pada esofagus, laring dan mulut menyebabkan batuk, laringitis, asma
dan erosi dental, baik melalui kontak langsung atau refleks neural.8
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai
rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia
(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.
Heartburn tidak mempunyai padanan kata dalam bahasa Indonesia, sehingga
anamnesis perlu dilakukan dengan cermat. Namun demikian, saat ini pemahaman
masyarakat mulai meningkat dan penjelasan menggunakan bahasa lokal dapat
membantu penyampaian pesan, misal rasa panas dari ulu hati dan naik ke arah
dada. Selain itu, masyarakat Asia nampaknya lebih mudah memahami regurgitasi
asam, yang diartikan sebagai perasaan adanya cairan asam di dalam mulut.1
Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak
selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Disfagia yang timbul saat makan
makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang
berkembang dari Barrets esophagus. Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi
ulserasi esofagus yang berat.9 Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi
faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di
daerah gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang
menurunkan tonus LES Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering
13
dijumpai secara bersaman. Selain itu, terdapat beberapa studi yang menunjukkan
hubungan antara gangguan tidur dan GERD.3
Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik dan
utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat, kata
heartburn mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan kata
yang sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk
bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam susunan kata
-kata tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn dan regurgitasi daripada
mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata tersebut. Sebagai contoh, di
Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan angin yang
merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi
di Cina, banyak pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non
cardiac chest pain atau dispepsia (Goh dan Wong, 2006). Walaupun belum ada
survei yang dilakukan, berdasarkan pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang
sama juga sering ditemui di Indonesia.4
GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena
gejala-gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur,
penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial.
Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey , menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun,
serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan pasien penyakit
kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis kronik.10
6. Diagnosis
14
jam, tes Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan tes
penghambat pompa proton (tes supresi asam).
American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah
mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang ada,
merupakan poin untuk diagnosis, yaitu :10
a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris
(termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien
masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko
untuk Barrets esophagus , atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini
diperlukan. (Level of Evidence : IV)
15
uji diagnostik GERD pada dalam mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD
sebagai berikut :10
a) Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala
esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup
area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal tidak
dijumpainya kelainan secara visual, mukosa yang normal (minimal 5 sampel
untuk esofagitis eosinofilik.)
b) Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala
esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2
kali sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami metaplasia,
displasia, atau malignansi.
c) Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD
yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan
gambaran endoskopinya normal.
d) Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless- pH
dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi pasien
dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa
PPI 2 kali sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak memiliki kelainan
pada manometri.
16
keluarga dengan keganasan lambung dan/atau esofagus, penggunaan OAINS
kronik, dan usia lebih dari 40 tahun di daerah prevalensi kanker lambung tinggi )
dan yang tidak berespons terhadap terapi empirik dengan PPI dua kali sehari.1,11,12
Endoskopi pada GERD tidak selalu harus dilakukan pada saat pertama kali,
oleh karena GERD dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan/atau terapi empirik.
Peran endoskopi SCBA dalam penegakan diagnosis GERD adalah:
Memastikan ada tidaknya kerusakan di esofagus berupa erosi, ulserasi, striktur,
esofagus Barrett atau keganasan, di samping untuk menyingkirkan kelainan
SCBA lainnya.
Menilai berat ringannya mucosal break dengan menggunakan klasifikasi Los
Angeles modifikasi atau Savarry-Miller.
Pengambilan sampel biopsi dilakukan jika dicurigai adanya esofagus Barrett
atau keganasan.
B. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosis GERD adalah untuk menentukan
adanya metaplasia, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang menunjang
diperlukannya pengambilan sampel biopsi pada kasus NERD. Di masa yang akan
datang, diperlukan studi lebih lanjut mengenai peranan pemeriksaan endoskopi
resolusi tinggi (magnifying scope) pada NERD.
D. Pemeriksaan histopatologi
17
Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosis GERD adalah untuk menentukan
adanya metaplasia, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang menunjang
diperlukannya pengambilan sampel biopsi pada kasus NERD. Di masa yang akan
datang, diperlukan studi lebih lanjut mengenai peranan pemeriksaan endoskopi
resolusi tinggi (magnifying scope) pada NERD.
F. PPI test
PPI test dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan
gejala tipikal dan tanpa adanya tanda bahaya atau risiko esofagus Barrett. Tes ini
dilakukan dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu tanpa
didahului dengan pemeriksaan endoskopi. Jika gejala menghilang dengan
pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi PPI dihentikan, maka diagnosis
GERD dapat ditegakkan. Tes dikatakan positif, apabila terjadi perbaikan klinis
dalam 1 minggu sebanyak lebih dari 50%.1,11,15
Dalam sebuah studi metaanalisis, PPI test dinyatakan memiliki sensitivitas
sebesar 80% dan spesifitas sebesar 74% untuk penegakan diagnosis pada pasien
GERD dengan nyeri dada non kardiak. Hal ini menggambarkan PPI test dapat
dipertimbangkan sebagai strategi yang berguna dan memiliki kemungkinan nilai
ekonomis dalam manajemen pasien nyeri dada non kardiak tanpa tanda bahaya
yang dicurigai memiliki kelainan esofagus.17
18
Pilihan pemeriksaan lain yang dapat dilakukan selain pemeriksaan endoskopi
dan pH metri yaitu:
a) Esofagografi barium
Walaupun pemeriksaan ini tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada
keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dibandingkan endoskopi,
yaitu pada kondisi stenosis esofagus dan hernia hiatal.
b) Manometri esofagus
Tes ini bermanfaat terutama untuk evaluasi pengobatan pasien- pasien NERD
dan untuk tujuan penelitian.
c) Tes impedans
Metode baru ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal melalui
perubahan resistensi terhadap aliran listrik di antara dua elektroda, pada saat
cairan dan/atau gas bergerak di antaranya. Pemeriksaan ini terutama berguna
untuk evaluasi pada pasien NERD yang tidak membaik dengan terapi PPI , di
mana dokumentasi adanya refluks non-asam akan merubah tatalaksana.11
d) Tes Bilitec
Tes ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal dengan
menggunakan sifat-sifat optikal bilirubin. Pemeriksaan ini terutama untuk
evaluasi pasien dengan gejala refluks persisten, meskipun dengan paparan asam
terhadap distal esofagus dari hasil pH-metri adalah normal.11
f) Tes Bernstein
Tes ini untuk mengukur sensitivitas mukosa esofagus dengan memasang
selang trans-nasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1
N dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap pemantauan
pH esofagus 24 jam pada pasien dengan gejala tidak khas dan untuk keperluan
penelitian.
7. Tatalaksana
a) Penatalaksanaan non-farmakologik
Perhatian utama ditujukan kepada memodifikasi berat badan berlebih dan
meninggikan kepala lebih kurang 15-20 cm pada saat tidur, serta faktor-faktor
19
tambahan lain seperti menghentikan merokok, minum alkohol, mengurangi
makanan dan obat-obatan yang merangsang asam lambung dan menyebabkan
refluks, makan tidak boleh terlalu kenyang dan makan malam paling lambat 3 jam
sebelum tidur.18
b. Penatalaksanaan farmakologik
Obat-obatan yang telah diketahui dapat mengatasi gejala GERD meliputi antasida,
prokinetik, antagonis reseptor H2, Proton Pump Inhibitor (PPI) dan Baclofen.19
20
GERD dibanding golongan antagonis reseptor H2 dan prokinetik. Apabila PPI
tidak tersedia, dapat diberikan H2RA.20,21,22
Pada individu-individu dengan gejala dada terbakar atau regurgitasi episodik,
penggunaan H2RA (H2-Receptor Antagonist) dan/atau antasida dapat berguna
untuk memberikan peredaan gejala yang cepat. Selain itu, di Asia penggunaan
prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin) dapat berguna
sebagai terapi tambahan.1
Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD
ditegakkan. Dosis inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan
selama 2 sampai 4 minggu. Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD
(PPIfailure), sebaiknya PPI diberikan secara berkelanjutan dengan dosis ganda
sampai gejala menghilang. Umumnya terapi dosis ganda dapat diberikan sampai
4-8 minggu.
21
Saat ini terapi untuk refluks non-asam (NAR) masih berkembang. Studi
dengan Baclofen (sebuah agonis GABA-B) memberikan hasil yang menjanjikan,
namun masih memerlukan data lebih lanjut untuk dapat direkomendasikan
rutin.23,24
Terapi yang disarankan termasuk menghindari makan besar dan terlalu
malam, mempertahankan posisi tegak sampai 3 jam setelah makan, penurunan
berat badan dan tidur dengan kepala ditinggikan. Namun demikian masih belum
ada yang memastikan bahwa tindakan-tindakan ini bermakna secara klinis
Intervensi gaya hidup lainnya seperti menghentikan merokok dan alkohol serta
merubah pola diet mampu mengurangi gejala GERD secara bermakna. Modifikasi
gaya hidup digunakan sebagai terapi lini pertama seperti penurunan berat badan,
mengurangi merokok, pengosongan lambung lebih dari 3 jam sebelum tidur
malam.1
22
Sebuah studi sistematik yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan bahwa
dari semua intervensi gaya hidup yang dilakukan, hanya penurunan berat badan
dan meninggikan kepala saat tidur yang mempengaruhi gejala GERD secara
bermakna.
C.
Penatalaksanaan endoskopik
Komplikasi GERD seperti Barrets esophagus, striktur, stenosis ataupun
perdarahan, dapat dilakukan terapi endoskopik berupa Argon plasma coagulation,
ligasi, Endoscopic Mucosal Resection , bouginasi, hemostasis atau dilatasi.
Namun demikian sampai saat ini masih belum ada laporan mengenai terapi
endoskopi untuk GERD di Indonesia.
d. Penatalaksanaan bedah
Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan antirefluks
(fundoplikasi Nissen, perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk
mengatasi komplikasi. Pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen) dapat
disarankan untuk pasien-pasien yang intoleran terhadap terapi pemeliharaan, atau
dengan gejala mengganggu yang menetap (GERD refrakter). Studi-studi yang ada
menunjukkan bahwa, apabila dilakukan dengan baik, efektivitas pembedahan
antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa, namun memiliki efek samping
disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan gangguan usus
pascapembedahan.1,10,22
23