PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit otoimun yang
mengakibatkan kerusakan organ, jaringan, dan sel yang dimediasi karena
kompleks imun dan autoantibodi yang berikatan dengan antigen jaringan.2
2.2 Epidemiologi
Sistemik lupus eritematosus terutama menyerang wanita muda dengan
insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio
wanita: laki-laki 5:1. Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu
penyakit rematik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat
bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi antara 2,9/100.000 400/100.000.
SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, China, dan
mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Prevalensi SLE di
Amerika 15-50 per 100.000 penduduk dengan etnis terbanyak yakni Amerika
Afrika. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. 1,2
2.3 Etiopatogenesis
Etiologi dan pathogenesis SLE belum diketahui dengan jelas. Meskipun
demikian, terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor, dan
ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon
imun. Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE mempunya kerabat dekat yang juga
menderita SLE. Angka terdapatnya SLE pada kembar identik 24-69% lebih tinggi
dari saudara kembar non identik 2-9%.1
Penelitian terakhir yang menunjukkan beberapa gen berikut HLA_DR 2
dan HLA-DR 3 berperan dalam mengkode unsur sistem imun. Gen lain yang ikut
berperan seperti gen yang mengkode sel reseptor T, imunoglobulin, dan sitokin.
Sistem neuroendokrin ikut berperan melalui pengaruhnya terhadap sistem imun.
Penelitian menunjukkan bahwa sistem neuroendokrin dengan sistem imun saling
2
mempunyai hubungan timbal balik. Beberapa penelitian berhasil menunjukkan
bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.1
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal pada sel CD4
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Akibatnya
muncullah sel T autoreaktif yang menyebabkan induksi dan ekspansi sel B, baik
yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu
ini masih belum jelas. Sebagian diduga hormon seks, sinar UV, infeksi. 1
Pada SLE autoantibodi terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non histon. Kebanyakan di antaranya adalah dalam keadaan alamiah
terdapat dalam bentuk agregat protein dan kompleks protein RNA. Ciri khas
autoantigen ini mereka tidak tissue spesific dan merupakan komponen integrasi
dari semua jenis sel. 1
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibodi).
Dengan antigen spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar di
sirkulasi. Klirens kompleks imun menurun, meningkatnya kelarutan kompleks
imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake
kompleks imun pada limpa terjadi pada SLE. Sehingga kompleks imun tersebut
deposit ke luar sistem fagosit mononuklear. Endapannya di berbagai organ
mengakibatkan aktivasi komplemen sehingga terjadi peradangan. Organ tersebut
bisa berupa ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dll. 1
3
Karakteristik manifestasi renal berupa proteinuria >500 mg/urin 24 jam, sedimen
eritrosit. Klasifikasi glomerulonefritis akibat SLE terdiri dari beberapa kelas. 3
1. Minimal mesangial lupus nefritis
2. Mesangial proliferatif lupus nefritis
3. Fokal lupus nefritis
4. Difus lupus nefritis
5. Membranosa lupus nefritis
6. Sklerosis lupus nefritis
Manifestasi neuropsikiatrik. Terdapat 19 manifestasi lupus
neuropsikiatrik yang bisa dibuktikan hanya dengan biopsi. Gejala yang dirasakan
berupa nyeri kepala, kejang, depresi, psikosis, neuropati perifer. Manifestasi
sistem saraf pusat berupa aseptik meningitis, penyakit serebrovaskuler, sindrom
demielinasi, nyeri kepala, gangguan gerakan, mielopati, kejang, penurunan
kesadaran akut, kecemasan, disfungsi kognitif, gangguan mood, psikosis.
Manifestasi sistem saraf perifer berupa polineuropati perifer akut, gejala autonom,
mononeuropati, miastenia gravis, neuropati kranial, pleksopati. 3
Manifestasi muskuloskeletal. Manifestasi yang satu ini merupakan
manifestasi yang paling sering mengungkap terjadi SLE pada pasien. Atralgia dan
mialgia merupakan gejala tersering. Keluhan ini sering kali dianggap mirip
dengan artritis reumatoid dan bisa disertai dengan faktor reumatoid positif.
Perbedaannya SLE biasanya tidak menyebabkan deformitas, durasi kejadian
hanya beberapa menit.1,3
Manifestasi kulit. Gejala yang terjadi berikut berupa rash malar dan
diskoid. Sering dicetuskan oleh fotosensitivitas. Bisa terjadi alopesia. Manifestasi
oral berupa terbentuknya ulkus atau kandidiasis, mata dan vagina kering.
Perhatikan gambar 1 berikut malar rash dan gambar 2 alopesia berat akibat SLE.3,4
4
Gambar 1. Rash malar4
5
Manifestasi vaskuler. Fenomena raynaud, livedo reticularis yang
merupakan abnormalitas mikrovaskuler pada ekstremitas, trombosis merupakan
komplikasi yang terjadi. Gambar berikut 3 menunjukkan livedo reticularis. 3-6
2.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American
College of Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria,
dikatakan pasien tersebut SLE jika ditemukan 4 dari 11 kriteria
yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.1,7
No Kriteria Batasan
1 Rash malar Eritema, datar atau timbul di atas
eminensia malar dan bisa meluas ke
lipatan nasolabial
2 Discoid rash Bercak kemerahan dengan keratosis
bersisik dan sumbatan folikel. Pada
6
SLE lanjut ditemukan parut atrof
3 Fotosensitivitas Ruam kulit akibat reaksi abnormal
terhadap sinar matahari
4 Ulkus oral Ulserasi oral atau nasofaring yang
tidak nyeri
5 Artritis nonerosif Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer
dengan karakteristik efusi, nyeri, dan
bengkak
6 Pleuritis atau a. Pleuritis: nyeri pleuritik,
perikarditis ditemukannya pleuritik rub atau
efusi pleura
b. Perikarditis: EKG dan pericardial
friction rub
7 Gangguan renal a. Proteinuria persisten > 0,5 gr per
hari atau kualifkasi >+++
b. Sedimen eritrosit, granular,
tubular atau campuran
8 Gangguan a. Kejang- tidak disebabkan oleh
neurologis gangguan metabolik maupun
obat-obatan seperti uremia,
ketoasidosis, ketidakseimbangan
elektrolit
b. Psikosis- tanpa disebabkan obat
maupun kelainan metabolik di
atas
9 Gangguan a. Anemia hemolitik dengan
hematologi retikulositosis
b. Leukopenia < 4000/uL
c. Limfopenia < 1500/uL
d. Trombositopenia< 100,000/uL
10 Gangguan a. antiDNA meningkat
b. anti Sm meningkat
imunologi
c. antibodi antifosfolipid: IgG IgM
antikardiolipin meningkat, tes
koagulasi lupus (+) dengan
metode standar, hasil (+) palsu
dan dibuktikan dengan
7
pemeriksaan imobilisasi
T.pallidum 6 bulan kemudian atau
fluoresensi absorsi antibodi
11 Antibodi Titer ANA meningkat dari normal
antinuklear
(ANA)
2.6 Penatalaksanaan
Tidak ada kata sembuh untuk SLE, remisi komplit pun jarang terjadi. Oleh
karena itu perlu diperhatikan untuk mengendalikan serangan akut dan mengatur
strategi sehingga dapat mensupresi terjadinya kerusakan target organ. Tatalaksana
diberikan sesuai manifestasi klinis yang terjadi dan dibagi dalam kelompok yang
mengancam nyawa dan tidak mengancam nyawa.2,3
2.8 Prognosis
Studi di Eropa pada 1000 pasien SLE menunjukkan 92% dengan terapi
optimal memiliki survival rate 10 tahun, dan menurun 88% pada pasien dengan
nefropati. Usia rata-rata kematian 44 tahun, dan usia tertua untuk kematian 81
tahun. Penyebab kematian terbesar adalah lupus nefritis.3
10
BAB III
LAPORAN KASUS
11
Riwayat penyakit dahulu:
- Keluhan yang sama (-)
13
Ht : 36,1 %
Leukosit : 11.900 /uL
Eritrosit : 4.50 /uL
Diff count: Neutrofil 64,4% (N: 40-70%)
Lymfosit 28,1% (14-16%)
Monosit 7,5 % (4-13%)
Eosinophil 1,2% (0-7%)
Basophil 0% (0-3%)
Trombosit 356 10^3/uL
Glukosa sewaktu : 84 mg/dL
Ureum : 16 mg/dL
Creatinin : 0,6 mg/dL
Elektrolit :
Natrium : 141 mmol/L
Kalium : 4.0 mmol/L
Chlorida : 101 mmol/L
3.5 Resume
Nn. N 19 tahun, masuk RS dengan keluhan utama demam sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Dari anamnesis, didapatkan riwayat nyeri sendi multiple sejak
3 bulan terakhir sebelum masuk rumah sakit dan hanya beli obat di depot tanpa
resep dokter. 1 bulan sebelum masuk rumah sakit BB menurun 2 kg tanpa sebab
yang jelas. 2 hari sebelum masuk rumah sakit os demam, diikuti nyeri sendi tanpa
kemerahan pada sendi dan bengkak di kaki, kemerahan jika terkena sinar matahari
di pipi tanpa riwayat memakai cream wajah. Dari pemeriksaan fisik, vital sign
didapatkan pasien demam 38,60C, RR 24x/menit. Status lokalis lainnya normal.
Diagnosis kerja: sups SLE
Rencana penatalaksanaan:
A. Penatalaksanaan non farmakologi
- Penjelasan mengenai penyakit dan penyebabnya
- Mencegah terpapar sinar UV
- Edukasi mengenai tanda-tanda penyakit mengancam nyawa
- Istirahat yang cukup
- Diet seimbang
14
- Latihan jasmani
B. Penatalaksanaan farmakologi di igd
- Bed rest
- Diet MB
- IVFD RL 20 gtt/i
- Injeksi Antrain 1 ampul/ 8 jam
- Injeksi metyl Prednisolon 62,5 mg /24 jam
- Injeksi Ranitidin 1 amp / 12 jam
- Cloroquin 1x200mg
- Kalsium Lactat 1x1 tablet
C. Planning
- Pemeriksaan ANA test di Prodia
3.7 Follow up
Tanggal 25 oktober 2016
S: demam (+), nyeri sendi (+),lemas (+)
O: TD: 130/ 60 mmHg, nadi: 99 x/menit, napas: 20x/menit, suhu: 38,00C
Malar rash (+/+)
A: sups. SLE
P: - IVFD RL 20 tpm
- Diet MB
- Injeksi Antrain 1 ampul/ 8 jam
- Injeksi Metyl Prednisolon 125mg/12 jam
- Injeksi Ranitidin 1 ampul/ 12 jam
- Cloroquin 1x200mg
- Kalsium Lactat 1x1 tablet
16
Malar rash (+/+) minimal
A: SLE
P: - Diet MB
- Metyl Prednisolon 3x16 mg
- Ranitidin 2x150 mg
- Cloroquin 1x200mg
- Kalsium Lactat 1x1 tablet
- Ibuprofen 3x400 mg
- Tupepe Cream
17
Foto klinis pasien tgl 24/10/2016
18
fvc
BAB IV
PEMBAHASAN
19
kali nyeri tidak jelas faktor pemicunya, tidak terdapat tanda radang tiap kali nyeri
atau bahkan sampai terjadi deformitas. Dengan demikian dapat dipikirkan
kemungkinan penyebabnya berupa autoimun. Nyeri sendi kronik selain itu juga
disebabkan oleh osteoarthritis, artritis rheumatoid, gout artritis, dan SLE.1
Osteoartritis khasnya nyeri monoartikuler disertai perubahan bentuk pada
ekstremitas, dapat dijumpai nodul Bouchard maupun Heberden, dan nyerinya
berpengaruh pada perubahan posisi misalnya saat duduk mau ke tegak atau dari
bangun tidur ke berdiri. Artritis rheumatoid nyeri sendinya poliartikuler
menyerang sendi kecil, disertai deviasi ulnar. Gout nyeri sendi dipicu oleh
mengkonsumsi makanan tinggi purin. Pada pasien ini kesemua gejala osteoartritis,
artritis reumatoid, dan gout tidak ada. Nyeri sendi pada SLE memiliki ciri khas
sifatnya poliartikuler dan tidak tampak tanda inflamasi dari luar, seperti yang
terdapat pada pasien ini.1
1 bulan sebelum masuk rumah sakit BB pasien menurun 2 kg, dengan
intake normal. Dengan demikian, dapat dipikirkan suatu penyakit kronik misalnya
pada tuberkulosis, SLE atau keganasan. 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien
demam dengan fokus infeksi yang tidak ada, disertai nyeri sendi poliartikuler akut
tanpa tanda inflamasi, terdapat malar rash, dengan fotosensitivitas. Ini masuk
dalam kriteria diagnosis SLE berupa kelainan kulit, sariawan berulang dan
fotosensitivitas. Demam merupakan salah satu manifestasi aspesifik yang sering
membawa pasien SLE datang berobat ke dokter.1,3
Faktor risiko SLE adalah usia, genetik, perempuan, dan ras, serta bisa juga
terjadi karena mengkonsumsi obat tertentu seperti fenitoin, klorpromazin,
hidralazin, isoniazid, metildopa, prokainamid, dan minoksiklin. Pada pasien ini
risikonya berupa jenis kelamin dan usia.1,2,8
Aspek sosial dari SLE adalah pada pasien SLE disarankan untuk tidak
hamil, karena kehamilan pada SLE yang aktif memerlukan terapi agresif bahkan
sampai penggunaan sitostatika yang dapat mengakibatkan komplikasi pada
kehamilan berupa abortus maupun kelainan kongenital. Dengan demikian pasien
dengan SLE harus diberi tahu jika ingin hamil maka harus pada saat serangan
SLE minimal. Penelitian dari American College of Rheumatology menunjukkan
20
penggunaan pil KB hormonal terutama yang mengandung estrogen dapat
memperparah serangan pada pasien SLE. 4
Dari pemeriksaan penunjang tidak didapatkan leukopenia pada pasien,
didapatkan leukosit 10.000/uL. Leukopenia yang menjadi kriteria diagnosis dari
SLE adalah <4000/uL dengan demikian tidak memenuhi kriteria.1,7
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Poin positif pada pasien ini berupa gejala aspesifik
seperti demam, penurunan BB, fatigue, kemudian dari kriteria diagnosis SLE
harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ada. Kriteria yang ada pada pasien ini
berupa artritis poliartikuler, malar rash, kandidiasis oral, dan fotosensitivitas.
Dengan demikian SLE sudah dapat ditegakkan. Rencana pemeriksaan penunjang
untuk mendukung diagnosis sesuai kriteria diagnosis yang disarankan adalah anti
DNA, anti Sm, ANA, IgM IgG antikardiolipin.1,7
Setelah diagnosis SLE ditegakkan maka, penatalaksanaan SLE harus
ditentukan terlebih dahulu apakah SLE yang terjadi pada pasien ini merupakan
SLE yang mengancam nyawa atau tidak. Pada pasien ini termasuk SLE yang tidak
mengancam nyawa karena tidak ada tanda-tanda SLE mengancam nyawa. Dengan
demikian penatalaksanaan akan selalu dimulai dengan tatalaksana non
farmakologi dan kemudian penatalaksanaan farmakologi yang disesuaikan berupa
antipiretik, antiinflamasi dan analgetik, kemudian sunblock parafin yang
mengandung PABA jika akan terpapar matahari 1,7
Pasien telah diberikan penjelasan mengenai penyakitnya dan
penyebabnya. Selain itu pasien juga disarankan untuk mencegah terpapar sinar
UV, diberikan edukasi mengenai tanda-tanda penyakit mengancam nyawa,
disarankan untuk istirahat yang cukup, diet seimbang, latihan jasmani.
21
DAFTAR PUSTAKA
22