ABSTRACT
Internal parasit infestation is one of the things that hamper the productivity
of livestock. The use of plants and plant products as medicine has long been
practiced. Betel nut (Areca catechu) has an anthelmintic effect, in particular
from the class Nematode. The main content of betel nut are carbohydrates, fats,
fiber, polyphenols including flavonoids and tannins, alkaloids and minerals.
Dominant alkaloid present in betel nut and are likely to have the effect of
anthelmintic is arecoline and tannin. Some studies use betel nut to prove the
content of anthelmintic has been done on Haemonchus contortus and Ascaridia
galli. The results showed that betel nut contains an anthelmintic and can be used
as an anthelmintic for livestock.
ABSTRAK
PENDAHULUAN
404
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
405
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
arekolin (Suryati dan Suprapto, 1988). Arekolin bersifat racun bagi beberapa
jenis cacing (Lutony, 1993;Suharsono, 1994) dan menyebabkan paralisis
sementara (Firgorita, 1991). Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah
pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang
termasuk dalam golongan flavonoid. Senyawa tanin diduga memiliki
kemampuan daya antelmintik yang mampu menghambat enzim dan merusak
membran (Shahidi dan Naczk, 1995). Terhambatnya kerja enzim dapat
menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga cacing akan
kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati karena kekurangan tenaga.
Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang
akhirnya mati. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki
kemampuan untuk mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang
tidak larut dalam air (Harborne, 1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovasidal,
yang dapat mengikat telur cacing yang lapisan luarnya terdiri atas protein
sehingga pembelahan sel didalam telur tiadak akan berlangsung pada akhirnya
larva tidak terbentuk (Tiwow et al., 2013). Pada pengobatan hewan, ekstrak biji
pinang digunakan untuk pengobatan cacing pada anjing dan ternak, dan untuk
mengobati masalah pencernaan pada kuda (Hannan et al., 2012).
406
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
penurunan berat badan dan hambatan pertumbuhan (Ikeme, 1971, Zalizar &
Rahayu, 2001; Zalizar et al., 2006), penurunan produksi telur (Tiuria, 1991)
serta penurunan kualitas telur (Zalizar et al., 2007). Hal tersebut karena cacing
selain menyerap zat-zat makanan juga menyebabkan kerusakan sel-sel epitel
villi serta berkurangnya luas permukaan villi usus yang berperanan dalam proses
pencernaan dan penyerapan makanan (Zalizar, et al. 2006). Penanggulangan
terhadap infeksi parasit cacing yang sering dilakukan pada saat ini adalah
dengan memberi obat cacing (antelmintik). Pemberian antelmintik yang
berulang menimbulkan galur cacing yang resisten (Waller, 1994).
407
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN
Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin dan tanin yang
kemungkinannya mempunyai efek antelmintik. Arekolin bersifat racun bagi
beberapa jenis cacing dan menyebabkan paralisis. Senyawa tanin memiliki
kemampuan menghambat enzim dan merusak membran. Membran cacing yang
rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Penelitian
efek antelmintik biji pinang telah dilakukan pada cacing H. Contortus dan
Ascaridia galli. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak biji etanol pinang
memiliki daya antelmintik .
DAFTAR PUSTAKA
Beriajaya, T.B. Murdiati, Suhardono dan C.F. Pantouw. 1998. Pengaruh ekstrak
biji pinang (Areca cathecu) terhadap cacing Haemonchus contortus secara
in vitro. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Veteriner. Bogor, 18-19
Februari 1998. Bogor: Balitvet. pp: 154-160
408
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Noble, E.R and Noble, G. A.,1989. Parasiologi Biologi Parasit Hewan. Edisi ke
5. terjemahan dari Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Nonaka, G. 1989. Isolation and structure elucidation of tannins, Pure & Appl.
Chem, 61 (3): 357-360.
Ronohardjo P, Nari J. 1977. Beberapa Masalah Penyakit Unggas di Indonesia.
Didalam: Ilmu dan Industri Perunggasan. Seminar Pertama, 30-31
Mei 1977. Bogor.
Suryati, E dan E.S.M Suprapto. 1988. Isolasi dan penemuan sifat senyawa aktif
piscisida dari biji pinang (Areca catechu). Media Penelitian Sukamandi
6:50
Tiwow, D., Widdhi, B dan Novel, S.K. 2013. Uji efek antelmintik ekstrak etanol
biji pinang (Areca catechu) terhadap cacing Ascaris lumbricoides dan
Ascaridia galli secara in vitro. Pharmacon 2 (02): 76-80
Waller, P.J. 1994. The development of anthelmintic resistance in ruminant
livestock. Acta Tropica 56:233-243
Wang, C.K. and Lee, W.H. 1996. Separation, characteristics, and biological
activities on phenolics in areca fruit. J. Agric. Food Chem 44(8):2014 -
2019.
Zalizar L, Rahayu ID. 2001. Pengaruh penggunaan larutan bawang putih
terhadap penampilan produksi ayam lurik penderita parasit cacing. Jurnal
Agritek Vol. 9 No. 2.
Zalizar L, Satrija F, Tiuria R, Astuti DA. 2006. Dampak infeksi Ascaridia galli
terhadap gambaran histopatologi dan luas permukaan vili usus serta
penurunan bobot hidup starter. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(3):
215-222.
Zalizar L, Fadjar. S, Risa. T, Dewi AA. 2007. Respon ayam yang mempunyai
pengalaman infeksi ascaridia galli terhadap infeksi ulang dan
implikasinya terhadap produktivitas dan kualitas telur. Animal Production.
Jurnal Produksi Ternak 9(2): 92-98.
409
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRACT
VUB Inpari 13 is not so much known to the public due to newly released
in late 2013 , this variety has the advantage of early maturity of up to ( 105-124
days ) , with a short life ( very early maturing ) about 103 days , the plants can
be harvested already Inpari 13 , but it is also the high productivity of rice plants
with an average yield of 6.59 t / ha . Along with the development of production
technology of crop management is required a system -specific crop management
such as integrated crop management (PTT) is an innovative and dynamic
approach in an effort to increase production and income of farmers through
participatory component assembly technology with farmers . Field trials
conducted with legowo cropping systems . The purpose of this study to test the
VUB Inpari 13 on dry land plateau , while the location of the assessment carried
out in the Village Talang Darat Kota Pagaralam North Dempo . The results
obtained at the time of harvest production obtained at 2:1 legowo production
system 6,0 ton / ha , 3:1 production of 5.5 tons / ha , 4:1 production of 4,8 tons /
ha .
ABSTRAK
410
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN
411
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
412
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian pupuk dengan dosis
yang tepat dan menerapkan sistem jajar legowo akan memberikan pengaruh
pada pertumbuhan tinggi tanaman, dari hasil pengamatan sebelum dilakukan
panen, tinggi tanaman dengan menggunakan sistem jajar legowo 2:1, 3:1 dan 4:1
pertumbuhan tinggi tanaman tidak terlalu meberikan pengaruh yang signifikan,
dimana pertumbuha tinggi tanam tertingi rerata pada sistem 2:1 dan terendah
pada sistem 3:1. Merata nya tingi tanaman, diduga pupuk N,P, dan K yang
diberikan telah terserap bagai tanaman, dan sudah optimal untuk menyediakan N
dalam meningkatkan tinggi tanaman.
Produktivitas. Berdasarkan hasil pengkajian rata-rata produksi dengan
menggunakan sistem jajar legowo dapat dilihat pada Tabel 2.
Dapat dilihat pada Tabel 2 produksi yang didapat pada sistem legowo 2:1
produksi 6,0 ton/ha, 3:1 produksi 5,5 ton/ha, 4:1 produksi 4,8 ton/ha. Dari hasil
panen yang dilakukan produksi tertinggi pada jajar legowo 2:1 hal ini diduga
pada sistem 2:1 ini sudah sesuai dan cukup mendapatkan sinar matahari dengan
mengatur sistem jarak tanamnya. Menurut sembiring (2001), sistem tanam
legowo merupakan salah satu komponen PTT pada padi sawah apabila
dibandingkan dengan sistem tanam lainnya memiliki keuntungan sebagai berikut
terdapat ruang terbuka yang lebih besar diatara dua kelompok barisan tanaman
yang akan memperbanyak cahaya matahari masuk ke setiap rumpun tanaman,
mempermudah petani dalam pengelolaan usahataninya, meningkatkan jumlah
tanam pada kedua bagian pinggir untuk setiap set legowo, sistem tanam berbaris
ini juga berpeluang bagi pengembangan sistem produksi padi-ikan, dan
meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10-15%.
Respon Inovasi Teknologi. Dari hasil pengkajian adaptasi VUB Inpari
13 didapat respon petani terhadap kegiatan yang telah dilakukan dengan
percontohan melalui demplot, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
413
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
414
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
415
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABTSRACT
The assessment was carried out at Senabing village, Lahat District from July
until December 2013. In each selected village each of 10 farmers as implementing
activities. Assessment prepared using randomized block design (RBD) with 4
treatments and 5 replication. The treatment was a combination of inorganic
fertilizers and EKKU consisting of: A: Inorganic Fertilizers full dose (= 2 g Urea,
NPK = 20 g), B: dose of inorganic fertilizers (urea = 1 g, NPK = 10 g) + 40 mL
EKKU/L of water, C: 3/4 dose of inorganic fertilizers (urea = 1.5 g, NPK = 15 g) +
EKKU 20 mL EKKU/L of water, and D: 3/4 dose of inorganic fertilizers (Urea =
1.5 g, NPK = 15 g) + 40 mL EKKU/L of water. Planting were done by the following
procedures: first eggplant seeds sown in a plastic tray measuring 30 x 40 cm for 30
days, then transferred seedlings in polybags measuring 10 kg medium containing a
mixture of soil and manure. Fertilization was done 2 times in 2 adn 10 weeks after
planting. Spraying EKKU (dose treatment) was carried out every week until harvest.
The study showed that a dose reduction of 50% inorganic fertilizer combined with
the application EKKU much as 40 mL/L of water is able to suppress the leaf-eating
caterpillars attack, where the attack rate is only 19.2%. Giving EKKU much as 40
mL/L of water at various doses of inorganic fertilizer can improve plant growth
eggplant, where the highest plant growth occurs in inorganic fertilizer reduction by
25% which is 87.0 cm.
ABSTRAK
Pengkajian dilaksanakan di lokasi pengembangan Model Kawasan Rumah
Pangan Lestari (M-KRPL) Kabupaten Lahat, yaitu Desa Senabing Kecamatan Lahat
dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang. Kedua lokasi tersebut merupakan lokasi
pendampingan BPTP Sumatera Selatan sejak bulan Juli sampai Desember 2013. Di
setiap desa dipilih masing-masing 10 petani sebagai pelaksana kegiatan. Pengkajian
disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan
diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dosis pupuk anorganik
dan EKKU yang terdiri atas: A : Pupuk anorganik dosis lengkap (Urea = 2 g, NPK =
20 g), B : Pupuk anorganik dosis (Urea = 1 g, NPK = 10 g) + EKKU dosis 40
mL/L air, C: Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis
20 mL/L air, dan D: Pupuk
416
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 40 mL/L air.
Penanaman dilakukan mengikuti prosedur berikut: benih terung terlebih dahulu
disemaikan dalam baki plastik berukuran 30 x 40 cm selama 30 hari, selanjutnya
bibit dipindah dalam polybag berukuran 10 kg yang mengandung media tanam
berupa campuran tanah dan pupuk kandang (kotoran ternak sapi/kambing).
Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yakni umur 2 minggu setelah tanam (mst)
dan umur 10 mst. Penyemprotan EKKU (dosis sesuai perlakuan) dilakukan
setiap minggu hingga menjelang panen. Hasil pengkajian menunjukkan
pengurangan dosis pupuk anorganik sebanyak 50% yang dikombinasikan
dengan aplikasi EKKU sebanyak 40 mL/L air mampu menekan serangan ulat
pemakan daun, dimana tingkat serangan hanya 19,2%. Pemberian EKKU
sebanyak 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan anorganik mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman terung, dimana pertumbuhan tanaman
tertinggi terjadi pada pengurangan pupuk anorganik sebesar 25% yakni 87,0 cm.
PENDAHULUAN
417
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
risiko ketergantungan terhadap input bahan kimiawi sintetik. Salah satu bahan
yang efektif dan ramah lingkungan adalah ekstrak kompos kulit udang (EKKU).
EKKU diketahui efektif mengendalikan berbagai penyakit pada tanaman kacang
panjang, cabai dan kubis (Suwandi, 2004), ketimun dan oyong (Syahri et al.,
2014), dan virus kuning pada cabai (Syahri dan Somantri, 2014). EKKU juga
diketahui mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun, penggunaan
EKKU pada tanaman terung belum dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan dalam rangka mengetahui efektivitas EKKU dalam menekan penyakit
dan meningkatkan pertumbuhan pada tanaman terung.
418
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
HASIL
Jenis Hama Penyakit yang Menyerang. pengamatan jenis hama dan
penyakit yang muncul pada terung disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hama penyakit tanaman terung yang menyerang selama
kegiatan pengkajian.
Jenis OPT Perlakuan
A B C D
Ulat pemakan daun + + + ++
Kutu kebul - - - -
Bercak daun + - - -
Keterangan:
- = tidak ada serangan + = serangan ringan ++ = serangan berat
Intensitas Serangan Hama
Hasil pengkajian terhadap serangan ulat pemakan daun disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Intensitas serangan ulat pemakan daun
Intensitas penyakit pada petani ke- (%)
Perlakuan Rerata (%)
I II III IV V
A 4 16 32 40 12 20,8a
B 16 16 28 20 16 19,2a
C 40 24 24 20 40 29,6a
D 48 4 20 12 44 25,6a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
berarti berbeda tidak nyata menurut DMRT0,05
419
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap jenis OPT yang menyerang pada pertanaman
terung selama pengkajian menunjukkan bahwa serangan OPT didominasi oleh
serangan serangga hama, sedangkan serangan patogen sangat rendah. Bahkan,
serangga penghisap. Penggunaan EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang
dikombinasikan dengan pengurangan dosis pemupukan hingga 50% (pelakuan
B) dapat menekan intensitas serangan ulat pemakan daun terung. Hal ini terlihat
dari serangan yang paling rendah yakni 19,2%. Namun, pemberian EKKU
dengan berbagai dosis yang dikombinasikan dengan pengurangan pupuk
anorganik sebanyak 25% (perlakuan C dan D) ternyata memberikan penekanan
serangan hama yang lebih rendah dibandingkan tanpa penggunaan EKKU
(perlakuan A). Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan
bahan hara yang terkandung dalam EKKU sehingga menyebabkan tanaman
lebih tumbuh subur sehingga rentan terhadap serangan hama. Kandungan EKKU
yang terdapat dalam Bio-Fitalik yakni glukosamin (minimal 1.000 mg/l),
mikrobia khitinolitik (minimal 3 x 106/L), bakteri pelarut phospat (minimal 1 x
106/L), mikrobia selulotik (minimal 1 x 107/L), dan beberapa unsur hara (total N
850 ppm, P2O5 150 ppm, K2O 50 ppm, nitrat 350 ppm, Ca 450 ppm).
Penekanan hama maupun penyakit tanaman disebabkan karena ekstrak
kompos dapat memacu terjadinya induksi resistensi, antagonisme, dan peningkatan
toleransi tanaman. Menurut Suwandi (2004), efektifitas pengendalian penyakit
menggunakan EKKU pada tanaman sayuran telah dilaporkan terhadap penyakit
daun pada tanaman kacang panjang, cabai dan kubis. Adanya kandungan kulit
udang pada kompos ini, memungkinkan bahan ini lebih efektif dari ekstrak kompos
biasa. Peningkatan aktifitas pengendalian ini dapat terjadi akibat meningkatnya
aktifitas mikroorganisme kitinolitik yang diinduksi oleh kitin yang terdapat pada
kulit udang. Menurut Yurnaliza (2002), kitin merupakan homopolimer dari -1,4 N-
setil-D-glukosamin dan merupakan polimer ke dua terbanyak di alam setelah
selulosa. Enzim kitinase dapat digunakan sebagai biokontrol terhadap serangga dan
jamur penyakit tanaman dan produksi protein
420
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
sel tunggal (single cell protein) yaitu dengan menggunakan kitinase untuk
menghidrolisis material kitin dan khamir sumber protein sel tunggal sehingga
diperoleh protein sel tunggal dengan kadar protein dan asam nukleat yang sesuai.
Aplikasi EKKU pada tanaman terung ternyata juga mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena bahan organik EKKU juga
berperan sebagai sumber hara bagi tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan
meningkatkan kapasitas pertukaran kation yang dapat meningkatkan kesuburan
tanah (Hastuti, 2000). Hasil kajian menunjukkan bahwa aplikasi EKKU dengan
dosis 40 mL/L air (perlakuan D) memberikan tinggi tanaman tertinggi dibandingkan
perlakuan lainnya yakni 87,0 cm, sedangkan jumlah cabang terbanyak terdapat pada
perlakuan B yakni aplikas EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang dikombinasikan
dengan pengurangan dosis pupuk anorganik sebesar 25%. Hasil ini mengindikasikan
bahwa pemberian EKKU dengan dosis 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan
anorganik ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Suwandi (2004)
menambahkan produksi tanaman juga mengalami peningkatan dengan pemberian
kompos dikarenakan bahan organik juga berperan sebagai sumber hara bagi
tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan meningkatkan kapasitas pertukaran
kation yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penggunaan EKKU bahkan dapat
meningkatkan produksi tanaman oyong dan kacang panjang masing-masing sebesar
17,40% dan 246,67% (Syahri et al., 2014).
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Kurniawati, S. dan Hersanti. 2009. Pengaruh Inokulasi MVA dan Pemberian
Abu Kelapa Sawit terhadap Perkembangan Penyakit Bercak Coklat
(Alternaria solani Sor.) pada Tanaman Tomat. Widyariset 12(2): 63-69.
Rukmana, R. 1994. Bertanam Terung. Kanisius, Yogyakarta.
Suwandi. 2004. Efikasi Ekstrak Kompos Kulit Udang untuk Pengendalian
Penyakit pada Daun Tanaman Kacang Panjang, Cabai dan Kubis. J. Pest
Tropical 1(2):18-24.
Syahri dan R.U. Somantri. 2014. Kajian aplikasi biopestisida berbahan ekstrak
kompos kulit udang (EKKU) pada berbagai dosis pemupukan terhadap
pertumbuhan dan serangan penyakit cabai. Disampaikan pada Seminar
Nasional Pertanian Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014.
421
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Syahri, Hartono dan Suwandi. 2014. Pemanfaatan ekstrak kompos kulit udang
(EKKU) dalam pengendalian penyakit dan peningkatan produksi
tanaman sayuran. Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian
Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014.
Utami, S.N.H. dan S. Handayani. 2003. Sifat Kimia Entisol pada Sistem
Pertanian Organik. Jurnal Ilmu Pertanian 10(2): 63-69.
Wiratno, Siswanto, dan I.M. Trisawa. 2013. Perkembangan Penelitian,
formulasi, dan pemanfaatan pestisida nabati. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 32(2): 150-155.
Yurnaliza. 2002. Senyawa Khitin dan Kajian Aktivitas Enzim Mikrobial
Pendegradasinya. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/826/1/
Biologi-Yurnaliza2.pdf, diakses 1 Juni 2012).
422
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRACT
Pest attack was causing up to 20% yield losses of rice. Integrated Plant
Management can be used to suppress the yield losses due to pest attack. The
research was conducted on farmers' fields with freshwater land typology. The
treatments consisted of the use of new high yield variety (Inpari 10, Inpari 12,
and Inpari 14), fertilization recomendation based on PUTS dan KATAM,
Legowo 4: 1 with 2-3 seeds/hole, and pest control with the principles of
integrated pest management, whereas for comparison is cultivation by farmers.
Observations were made on the intensity of pest attacks such as blast disease,
injury lever for leaf folder and mole-cricket. The monitoring of organisms using
pitfall traps and light traps. The study showed that the application of ICM on
rice crops give effect to the pest attack. In the IPM-application, the intensity of
leaf folder attacks only <16%, mole cricket <1% and blast <7%. These are lower
than farmer technology. PTT also gives effect to an increase in the population of
natural enemies of pests such as spiders and bees.
Keywords: integrated plant managemend, pest and diseases, yield losses.
ABSTRAK
423
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
orong-orong <1% dan penyakit blas <7%. Serangan hama maupun penyakit ini
cenderung lebih rendah pada padi yang menggunakan teknologi PTT
dibandingkan dengan cara petani. PTT juga memberikan pengaruh terhadap
peningkatan populasi musuh alami hama seperti laba-laba maupun lebah.
PENDAHULUAN
424
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
425
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
minggu setelah tanam (mst), pemupukan II umur 3-4 mst, dan pemupukan III
pada umur 7-8 mst. Pemupukan dilakukan dengan cara ditebar/dihambur di
seluruh permukaan lahan. Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu benih
direndam dalam larutan 20 ml Bio-Fitalik/L air selama 24 jam selanjutnya
diperam selama 2 hari. Penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit
berumur + 30 hari. Penyiangan gulma dilakukan dengan cara diterbas dan
menggunakan herbisida, sedangkan pengendalian OPT dilakukan dengan
menggunakan perangkap cahaya dan pestisida kimiawi yang diaplikasikan
sesuai dengan tingkat serangan OPT dengan mengikuti prinsip PHT.
Paramater Pengamatan. Pengamatan tingkat serangan OPT dilakukan
seminggu sekali sejak awal penanaman hingga menjelang panen. Sampel
tanaman untuk pengamatan OPT dipilih secara diagonal dengan jumlah sampel
tanaman yakni 10 tanaman. Intensitas serangan OPT dihitung dengan
menggunakan rumus Mc. Kinney dalam Kurniawati dan Hersanti (2009):
(n v)
I 100%
NZ
Dimana I = keparahan penyakit; n = jumlah tanaman yang terserang; N =
jumlah seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala
tertinggi. Untuk mengetahui populasi OPT terutama serangga pada petak
pertanaman juga dilakukan penangkapan dengan menggunakan pitfall trap dan
light trap. Serangga yang diperoleh selanjutnya dihitung dan diidentifikasi
jenisnya.
HASIL
426
Prosiding Seminnar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Hasil tangkapan light trap dan pitfall trap selama penelitian ditunjukkan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa organisme yang tertangkap pada pitfall trap dan lighht trap
Jenis Perangkap Jenis Organisme Jumlah (ekor)
Pitfall trap Hymenoptera 26
Arachnida 3
Coleoptera 2
Light trap Hymenoptera 99
Lepidoptera 1
Coleoptera 2
Homoptera 31
427
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Inpari 10 (PUTS) 0
Inpari 10 (KATAM) 1,1
Inpari 12 (PUTS) 0
Inpari 12 (KATAM) 1,1
Inpari 14 (PUTS) 6,7
Inpari 14 (KATAM) 4,4
Inpari 12 (CARA PETANI) 0,9
PEMBAHASAN
428
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
429
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
430
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Serangan orong-orong terutama pada padi yang tumbuh pada lokasi yang tidak
tergenang (kering).
Serangan orong-orong pada semua petak perlakuan relatif rendah (<1%
dari populasi tanaman), hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan dalam
kondisi tergenang air. Bahkan, pada minggu ke-3 tidak terdapat lagi tanaman
yang mati karena orong-orong (Tabel 1). Hal ini dikarenakan telah dilakukan
aplikasi insektisida karbofuran pada lokasi pertanaman terutama pada pinggir
petak perlakuan yang kondisinya tidak tergenang.
Selanjutnya, untuk menekan serangan OPT yang aktif pada malam hari
(nocturnal pest) dilakukanlah penangkapan dengan menggunakan perangkap cahaya
yang dimodifikasi (light trap), perangkap ini dibuat dengan menggunakan corong
air berukuran besar dengan diameter + 30 cm, dengan cahaya bersumber dari lampu
senter (Gambar 2). Sedangkan, untuk mengidentifikasi jenis serangga yang ada pada
tanah dilakukan dengan menggunakan perangkap sumuran (pitfall trap) yang
dipasang di setiap petak perlakuan.
431
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN
432
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
433
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Baru
Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian
Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Kalender Tanam
Terpadu. http://katam.litbang.deptan.go.id.[12 Januari]2013.
Baehaki, SE. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi dalam
Perspektif Praktek Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices).
Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1): 65-78.
Balai Penelitian Tanaman Padi. 2004. Inovasi Teknologi untuk Peningkatan
Produksi Padi dan Kesejahteraan Petani. Sukamandi.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013.
Kementerian Pertanian.
Fagi, AM dan S. Kartaatmaja. 2004. Teknologi Budidaya Padi: Perkembangan
dan Peluang. Dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Penyunting:
Fasisal Kasryno, E. Pasandaran, AM Fagi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Roja, A. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT) Padi
Sawah. BPTP Sumatera Barat.
Santos, A.B., N.K. Fageria, A.S. Prabhu. 2003. Rice ratooning management
practices for higher yields. Communication Soil Science. J. Plant Anal 34:
881-918.
Semangun, H. 2004. Hama dan Penyakit Penting Tanaman Pangan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Sriwijaya Post Online (http://www.sripoku.com, Edisi Tanggal 20 Juni 2010 dan
11 Januari 2011)
Supriatna, A. 2003. Integration pest management and its implementation by rice
farmer in Java. Jurnal Litbang Pertanian 22(3): 109-115.
Sutami, B. Prayudi, dan S. Sulaiman. 2001. Reaksi Ketahanan Galur-galur Padi
Rawa Pasang Surut terhadap Penyakit Blas Leher. Di dalam: Prayudi B, et
al. (eds), Pegelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa. Prosiding
Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Penelitian Tanaman Pangan di Lahan
Rawa Menuju Ketahanan Pangan, Kesejahteraan Petani dan Konsumen;
Banjarbaru, 4-5 Juli 2000. p 127-137.
434
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRACT
This study aims to obtain new varieties soybeans adaptive and has a high
yield potential through the approach of Integrated Crop Management (ICM)
supports soybeans in Central Sulawesi. Location studies on dry land Luwuk
District of East Village Lauwon Banggai and Wood Village District Court
District of Mepanga Moutong Parigi. Using Split plot design consisting of a
main plot and subplot. The main plot is the location/village activities. The
subplots were soybean varieties consisting of varieties Tanggamus, Argomulyo,
Willis and Kaba. Each treatment was repeated 3 times. Broad swath of
assessment 5 mx 5 m using a spacing of 40 cm x 15 cm at planting 2 seeds
planting hole. The results of the study show that the introduced varieties 4 shows
the different productivity of the development site. Banggai varieties Tanggamus
obtain the highest yield of 3.16 t/ha followed by Kaba 3.00 t/ha, Willis 2.40 t/ha,
and Argomulyo 2.20 t/ha, while in the District Parigi Moutong Willis varieties
2.20 t/ha Tanggamus ha followed by 2.08 t/ha and Argomulyo and Kaba obtain
the same result of 1.60 t/ha. Conclusion that the varieties Tanggamus and
adaptive willis to be developed at each study site because it gives results in
higher soybeans seed, which Tanggamus varieties of 3.16 t/ha and Willis 2,40
t/ha as compared to other varieties.
Keywords : Adaptation , yielding varieties , soybeans , Results
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul baru (VUB)
kedelai yang adaptif dan memiliki potensi hasil tinggi melalui pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) mendukung SL-PTT kedelai di Sulawesi
Tengah. Lokasi kajian di lahan kering Desa Lauwon Kecamatan Luwuk Timur
Kabupaten Banggai dan Desa Kayu Agung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi
Moutong. Menggunakan rancangan Split Plot yang terdiri dari petak utama dan anak
petak. Petak utama adalah lokasi/desa tempat kegiatan. Anak petak
435
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
adalah varietas kedelai yang terdiri dari varietas Tanggamus, Argomulyo, Willis
dan Kaba. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Luas petak pengkajian 5 m
x 5 m dengan menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm ditanam 2 biji per
lubang tanam. Hasil kajian menunjukkan dari 4 varietas yang diintroduksi
memperlihatkan produktivitas yang berbeda terhadap lokasi pengembangannya.
Kabupaten Banggai varietas Tanggamus memperoleh hasil tertinggi 3,16 t/ha
disusul Kaba 3,00 t/ha, Willis 2,40 t/ha, serta Argomulyo 2,20 t/ha sedangkan di
Kabupaten Parigi Moutong varietas Willis 2,20 t/ha disusul Tanggamus 2,08
t/ha serta Argomulyo dan Kaba memperoleh hasil yang sama 1,60 t/ha.
Kesimpulan bahwa varietas Tanggamus dan willis adaptif untuk dikembangkan
di masing-masing lokasi penelitian karena memberikan hasil biji kedelai yang
lebih tinggi, yaitu varietas Tanggamus 3,16 t/ha dan Willis 2,40 t/ha
dibandingkan dengan varietas lainnya.
Kata kunci: Adaptasi, varietas unggul, kedelai, hasil
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi,
jagung dan umbi-umbian yang meiliki gizi tinggi. Kebutuhan kedelai di Indonesia
terus meningkat dan ini belum bisa diimbangi oleh produksi nasional sehingga
impor kedelai masih terus dilakukan. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi
permintaan nasional yang cenderung terus meningkat, produksi kedelai perlu terus
diupayakan peningkatannya untuk memenuhi kebutuhan yang semakin bertambah
dan sekaligus penyediaan pangan yang bergizi bagi masyarakat luas.
Perkembangan produktivitas tanaman kedelai di Sulawesi Tengah periode
2010-2012 menunjukkan adanya peningkatan. Produktivitas kedelai Tahun 2010
mencapai 1,31 t/ha, Tahun 2011 mencapai 1,28 t/ha dan Tahun 2012 mencapai
1,46 t/ha (BPS Sulteng, 2013). Namun demikian, produktivitas yang dicapai
masih tergolong rendah dan fluktuatif. Peluang peningkatan produksi melalui
perbaikan teknologi masih terbuka lebar, mengingat produktivitas pertanaman
kedelai di tingkat petani masih rendah (1,3 t/ha) dengan kisaran 0,6-2,0 t/ha
(Hermanto dan kasim, 2008), padahal teknologi produksi yang tersedia mampu
menghasilkan produktivitas kedelai antara 1,7- 3,2 t/ha (Marwoto et al. 2009).
Rata-rata produktivitas kedelai nasional baru mencapai 1,42 t/ha (BPS Pusat,
2013).
Varietas unggul merupakan inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian
yang mudah diadopsi petani dan memberikan kontribusi signifikan dalam
meningkatkan produksi. Perakitan varietas kedelai di Indonesia telah berhasil
mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan mulai diarahkan pada perbaikan
ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Namun rata-rata hasil
kedelai nasional masih relatif rendah. Penyebabnya karena budidaya kedelai di
Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam sehingga hasil kedelai
tidak hanya berfluktuasi antar lokasi, namun juga antar musim, faktor lain
hingga saat ini belum semua petani kedelai menggunakan benih varietas unggul
yang berlabel (Thamrin et al. 2012).
Pengembangan varietas kedelai berdaya hasil tinggi pada cakupan
lingkungan yang luas merupakan salah satu faktor kunci dalam peningkatan
436
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
437
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
gulma dilakukan secara optimal. Panen dilakukan saat masak fisiologis ditandai
dengan 95% polong telah berwarna coklat dan daun berwarna kuning.
Pengamatan kajian ini meliputi data keragaan komponen pertumbuhan
dan hasil. Data komponen pertumbuhan terdiri dari: persentase tanaman tumbuh,
umur 50% pembungaan, tinggi tanaman, dan umur panen. Data komponen hasil
terdiri dari: jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, bobot 100 biji
dan hasil biji per hektar. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam
(Uji F), apabila analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan
dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%.
HASIL
Tabel 2. Umur berbunga (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-
PTT kedelai, Sulawesi Tengah, MH 2012
Varietas
Lokasi
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 35,25 35,00 37,87 34,75 35,72a
Parigi Moutong 31,00 33,00 38,00 40,00 35,50a
Rata-rata 33,12a 34,00a 37,93b 37,37b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
Tabel 3. Tinggi Tanaman (cm) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-
PTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012.
Varietas
Lokasi
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 92,00 69,00 72,70 82,60 79,10a
Parigi Moutong 74,80 55,80 66,60 74,40 67,90b
Rata-rata 83,40a 64,25c 67,80c 78,50b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
438
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Tabel 4. Umur Panen (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT
kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012
Varietas
Lokasi
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 88,34 80,00 88,57 84,25 85,29a
Parigi Moutong 86,00 76,00 90,00 86,00 84,50a
Rata-rata 87,17c 78,00a 89,28d 85,12c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
Tabel 7. Bobot 100 biji (gr) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT
kedelai, Sulawesi Tengah. 2012
Varietas
Lokasi
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 12,26 17,18 12,57 13,13 13,78a
Parigi Moutong 11,53 17,01 13,12 12,90 13,64a
Rata-rata 11,89b 17,10a 12,84b 13,01b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
Tabel 8. Hasil Biji (t/ha) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT
kedelai, Sulawesi Tengah. 2012
Varietas
Lokasi
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 3,16 2,20 2,40 3,00 2,69
Parigi Moutong 2,08 1,60 2,20 1,60 1,87
Rata-rata 2,62 1,90 2,30 2,30
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
439
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN
440
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
441
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
disusul Willis dan Kaba memperoleh hasil yang sama 2,30 t/ha dan Argomulyo
1,90 t/ha.
Setelah melihat beberapa data komponen pertumbuhan dan komponen
hasil yang ditunjukkan 4 varietas kedelai yang diuji pada 2 lokasi yang berbeda
menunjukkan keragaman antar varietas tersebut. Hasil penelitian Adie dan
Arifin (2008), salah satu penyebab terjadinya fluktuasi hasil kedelai karena
budidaya kedelai di Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam,
sehingga hasil kedelai tidak hanya berfluktuasi antar lokasi namun juga antar
musim. Disinyalir juga bahwa besarnya ragam hasil antara lokasi lebih
disebabkan oleh penerapan perbedaan budidaya. Selain dari itu, faktor
determinan budidaya kedelai antar musim di Indonesia adalah mutu draenase
dan ketersediaan air. Ayda Krisnawati dan Adie (2008), menyatakan sulitnya
mendapatkan kedelai berdaya hasil di atas 2,5 t/ha dengan umur masak di bawah
75 hari berkaitan dengan masalah proses fisiologi tanaman. Hal ini diduga
bahwa varietas kedelai yang berumur dalam akan memiliki fase vegetatif lebih
panjang dibandingkan dengan kedelai berumur genjah, sehingga cabang, jumlah
buku dan jumlah polong semakin banyak. Selain itu periodisitas kedelai berumur
dalam juga lebih panjang akan menjadi modal penting dalam menghasilkan
fotosintesis bersih bagi tanaman dan dapat meningkatkan hasil biji kedelai.
Karakter morfologi tanaman, seperti ketebalan daun dan laju pertumbuhan
tanaman, merupakan karakter tanaman yang diduga mempengaruhi tingkat
produktivitas karena dapat mempengaruhi kecepatan proses fotosintesis. Laju
pengisian biji yang tinggi dan berlangsung relatif lama akan menghasilkan bobot biji
yang tinggi selama biji sebagai sink dapat menampung hasil asimilat. Sebaliknya,
bila sink cukup banyak tetapi hasil asimilat rendah mengakibatkan kehampaan biji
(Sutoro et al. 2008). Besarnya ragam lingkungan untuk budidaya kedelai di
Indonesia memang menuntut tersedianya varietas kedelai yang memiliki keragaman
hasil relatif kecil pada sembarang lokasi, sehingga daya hasil yang diperoleh akan
paralel dengan mutu lingkungan lokasi yang bersangkutan.
KESIMPULAN
442
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA
Adie,M.M. dan Arifin, 2008. Hasil Biji Galur-Galur Harapan Kedelai. Inovasi
teknologi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
BPS, 2013. Biro Pusat Statistik Indonesia. Jakarta.
Hermanto dan Kasim, H., 2008. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
(SL-PTT) Kedelai. Departemen Pertanian.
Iriani, E., dan Jauhari, S., 2012. Uji Adaptasi beberapa Varietas Kedelai pada
Lahan dengan pH < 5,5 di Spesifik Jawa Tengah. Prosiding Seminar
Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Semarang.
DJufry Fadjry, 2012. Pengujian Galur-Galur Harapan Kedelai Produktivitas
Tinggi di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Prosiding Seminar
Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Bogor.
Krisnawati, A.,dan Adie,M.M., 2012. Stabilitas Hasil Galur Harapan Kedelai di
Lintas Lokasi. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan. Bogor.
Marwoto, Subandi, T.Adisarwanto, Sudaryono, Astanto K, Sri H, Diah S dan
M.M.Adie, 2009. Pedoman Umum PTT Kedelai. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Ruslan Boy dan Mardiana, 2013. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu
Kedelai. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Palu.
443
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
444
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRACT
ABSTRAK
445
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN
Lahan rawa khususnya lahan rawa lebak merupakan salah satu sumber daya
lahan yang potensial untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan pertanian
tanaman pangan khususnya beras. Lahan rawa lebak salah satu penyumbangan
produksi beras khususnya untuk Provinsi Sumatera Selatan bahkan secara nasional.
Oleh karena itu peningkatan kebutuhan pangan secara ekstensifikasi maupun
intensifikasi diarahkan di luar pulau Jawa diantaranya Provinsi Sumatera Selatan.
Pada tahun 2011 luas panen padi di Sumatera Selatan mencapai 784.820 ha dengan
rata-rata produktivitas 4.3 ton/ha dan secara nasional sudah mencapai 4.98 ton/ha
(Badan Pusat statistik Indonesia, 2012). Sedangkan produktivitas padi di lahan lebak
rata-rata 3 ton/ha, bila dibandingkan dengan rata-rata produktivitas padi secara
nasional masih tergolong rendah, karena petani di lahan lebak menanam padi pada
musim kemarau. Sehingga kadangkala terjadi kekeringan dan bila turun hujan
terjadi kebanjiran. Selain itu varietas yang digunakan tidak berlabel atau benih hasil
seleksi sendiri dan penggunaan varietas yang sama dalam jangka waktu yang lama.
Kemudian pada lahan rawa lebak dalam yang airnya lambat surut maka petani
menggunakan varietas lokal dan tidak dipupuk sehingga hasil yang dicapai kurang
memuaskan. Maka banjir, kekeringan dan tinggi genangan air merupakan faktor
penghambat dan bahaya bagi pertumbuhan tanaman padi. Selain itu, kesuburan
tanah yang rendah, kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara juga
merupakan masalah yang penting di lahan rawa lebak. Permasalahan yang sering
dialami petani adalah kebanjiran pada saat padi masih dipersemaian sehingga petani
kekurangan bibit dan bibit yang ditanam sudah berumur tua akibat air belum surut
dalam melakukan usahataninya. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut maka
Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi menyediakan galur-galur padi untuk lahan
rawa lebak. Dikemukakan oleh Zen (2007) dalam Jonharnas et al. (2009), galur
yang memiliki keunggulan yang baik dari varietas yang berkembang di petani akan
dapat diterima lebih cepat oleh konsumen bila sesuai dengan preferensi konsumen.
Hasil penelitian sebelumnya, varietas unggul padi yang ditanam di lahan rawa lebak
Kabupaten Banyuasin Sumsel seperti Ciherang, INPARA 2 dan INPARA 1 dapat
tumbuh
446
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
baik dengan produksi 6,5-7,4 ton gkp/ha pada MK 2009 (Suparwoto, et al,
2011). Adapun tujuannya untuk memperoleh beberapa galur-galur padi yang
mempunyai potensi hasil tinggi dan dapat beradaptasi baik di lahan rawa lebak.
447
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
HASIL
Pada Tabel 2, secara statistik parameter yang diamati yaitu jumlah gabah
per malai, persentase gabah isi per malai dan bobot 1000 butir gabah dari galur
yang diuji berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang, Inpara 3 dan
Inpara 5 (Tabel 2).
448
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Tabel 2. Rata-rata jumlah gabah/malai, persentase gabah isi/malai dan berat 1000
butir gabah dari galur-galur/varietas yang diuji di lahan lebak, MK 2011
449
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN
Tinggi tanaman. Tinggi tanaman dari galur yang diuji dan varietas
Inpara 3, Inpara 5, Ciherang bervariasi (Tabel 1). Galur B 115867 F-MR-11-2-2,
B 10891 B-Mr-3-KN-4-1-1-MR-1 dan B 13135-1-MR-2-KA-1 memiliki tinggi
tanaman tidak berbeda nyata dengan varietas Ciherang, Inpara 3 dan inpara 5
sebagai pembanding dengan rata-rata tinggi tanaman 103,1 cm, 100,5 cm dan
98,2 cm. Berdasarkan deskripsi Inpara 3 yang merupakan padi rawa tinggi
tanamannya bisa mencapai 108 cm dan Inpara 5 lebih pendek dari inpara 3
hanya 92 cm (Balai Besar Penelitian Padi, 2011). Menurut IRRI (1996), kriteria
tinggi tanaman tergolong rendah, sedang dan tinggi apabila tingginya masing-
masing adalah < 110 cm, 110-130 cm dan > 130 cm. Galur-galur yang dikaji
semuanya bisa ditanam di lahan rawa lebak karena tidak menunjukkan
kerebahan, baik untuk ditanam di lebak dangkal dan tengahan dan galur tersebut
termasuk tanaman yang rendah < 110 cm. Bervariasinya tinggi tanaman dari
varietas yang dikaji disebabkan oleh faktor genetik dari masing-masing galur
dan faktor lingkungan. Tinggi pendeknya tananam berkaitan dengan ketahanan
tanaman terhadap kerebahan. Karakter tinggi tanaman merupakan salah satu
karakter agronomi yang harus diperhatikan, karena jika tanaman terlalu tinggi
maka tanaman akan mudah rebah. Tanaman yang tinggi cenderung untuk rebah
pada saat panen, karena rendahnya daya topang tanah. Tanaman padi yang
mengalami kerebahan di lahan rawa lebak akan mengalami permasalahan
apabila terlambat panen bulir padi akan tumbuh maka kualitas padi akan turun.
Menurut Waluyo (2004) dalam Bakri et al. (2006), lahan rawa lebak mempunyai
struktur tanah amorf dan terdapat lumpur yang dalam, akibatnya daya topang
tanah rendah, tanaman yang tinggi cenderung untuk rebah. Disisi lain jika
tanaman terlalu pendek maka tanaman akan rentan terhadap rendaman yang
sering terjadi di lahan rawa lebak. Galur-galur yang diuji tergolong mempunyai
tinggi tanaman yang ideal untuk lahan lebak.
450
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Persentase gabah isi/malai. Persentase gabah isi per malai dari galur-
galur yang diuji tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang,
Inpara 3 dan Inpara 5 yaitu galur B 115867 F-Mr-11-2-2, B 10891 B-Mr-3-KN-
4-1-1-Mr-1, B 13132-8-MR-1-KA-1, B 13134-5-MR-1-KA-2 dan B 13135-1-
MR-2-KA-2 berkisar 80,3%-82,6%. Tinggi rendahnya persentase gabah isi per
malai disebabkan oleh perbedaan tanggapan dan ketahanan tiap galur/varietas
terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan terutama pada fase
reproduktif dan pemasakan. Dikemukakan oleh Simanulang (2001) bahwa
jumlah gabah isi per malai berhubungan nyata dengan hasil tanaman tetapi
sangat dipengaruhi oleh gabah hampa.
Berat 1000 butir gabah. Bobot 1000 butir gabah dari galur yang diuji
berbeda nyata dengan varietas pembanding yaitu galur B 10891 B-MR-3-KN-4-
1-1-MR-1 dan B 13132-8-MR-1-KA-1 rata-rata 29,8 gram, sedangkan Ciherang
rata-rata 28,7 gram, Inpara 3 rata-rata 26,8 gram dan inpara 5 rata-rata 28,3 gram
(Tabel 2). Komponen bobot 1000 butir gabah merupakan suatu komponen yang
harus diperhatikan untuk memprediksi potensi hasil tanaman. Semakin tinggi
bobot 1000 butir gabah menggambarkan semakin bernas gabah tersebut.
451
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kekurangan air karena curah hujan sedikit hanya 40,5 mm dengan satu hari
hujan pada bulan Juli 2011 bahkan sampai bulan Agustus tidak ada curah hujan.
(Gambar 1).
450
400
350
300
250 curah hujan
200 (mm) hari hujan
150
100
50
0
September
Nopember
Desember
Agustus
Februari
Oktober
Januari
Maret
April
Juni
Mei
Juli
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik
Indonesia. Jakarta.
Bakri dan R.H. Susanto. 2006. Keragaan produksi beberapa varietas padi hasil
mutasi radiasi di daerah rawa lebak di Kecamatan Rambutan Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan. Jurnal Tanaman Tropika 9 (1) : 24-29.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2011. Deskripsi varietas padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 118 hal.
452
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice. Internasional Rice Research
Institute. Los philippines.
Lesmana, O.S, H.M. Toha, I.Las dan B. Suprihanto. 2004. Varietas unggul baru
padi. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Purnamaningsih, L.S; Arifin,K dan Utami, M.D. 2010. Adaptasi enam genotip
padi lokal pada lingkungan pemupukan organik dan anorganik. Prosiding
Seminar Nasional Balai Besar penelitian Padi, Badan Litbang Pertanian.
Sukamandi. Hal. 89-101.
Simanulang, Z.A. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat agronomis dan mutu. Dalam
Bambang Prayudi dkk (Ed). Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil
penelitian/pengkajian Spesifik lokasi. BPTP Jambi.
Suparwoto dan Waluyo. 2011. Pertumbuhan dan daya hasil padi varietas INPARA
1, INPARA 2 dan Ciherang di lahan lebak tengahan Kabupaten Banyuasin
Sumatera Selatan. Dalam : Bambang Suprihatno, Aan Andang Daradjat,
Satoto, Baehaki, dan Sudir (Ed). Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian
Padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Buku 1. Badan
Litbang Pertanian Sukamandi. Hal :161-168.
453
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRAK
454
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
P. grisea memiliki banyak ras yang bersifat sangat dinamik. Perakitan varietas
padi yang memiliki ketahanan durable dan bersifat poligenik merupakan salah
satu cara menghadapi patogen blas yang bersifat multiraces. Beberapa varietas
padi yang tahan terhadap beberapa ras patogen blas diantaranya Inpago 4,
Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, Inpago 8, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, dan Inpara
6. Usaha lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan vareitas tahan yaitu
tidak menanam padi secara monokultur dengan terus menerus. Tanaman padi di
lahan sub optimal perlu dilakukan pergiliran varietas atau rotasi gen. Adanya
beberapa varietas yang berbeda tingkat ketahanannya pada suatu areal
pertanaman padi dapat mengurangi tekanan seleksi terhadap patogen P. grisea
sehingga dapat memperlambat terjadinya ras blas yang baru dan patahnya
ketahanan varietas padi.
Kata kunci: Varietas Unggul, Penyakit Blas, Lahan Sub-Optimal
PENDAHULUAN
Penyakit blas merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi
yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea. Blas merupakan penyakit
utama padi gogo dan menginfeksi tanaman padi pada semua fase pertumbuhan
(Ou, 1979). Penyebaran penyakit blas sangat luas dan bersifat destrukif jika
kondisi lingkungan menguntungkan (Scardaci et al., 1997). Daerah endemis blas
tersebar di beberapa provinsi di Indonesia terutama di Lampung, Sumatera
Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Potensi penyakit blas yang besar ditemukan juga di lahan pasang surut seperti
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Mukhlis, 1997). Hasil monitoring
perkembangan penyakit blas yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
penyakit tersebut telah meluas dari padi gogo ke padi sawah, sehingga varietas
IR64 telah terserang penyakit blas (Orbach et al., 2000). Serangan blas meluas
ke areal sawah antara lain di Bali, Banyuwangi, Sukabumi, dan Sumatera
Selatan (Amir 1995). Sudir et al. (2013), melaporkan bahwa penyakit blas
ditemukan menyerang tanaman padi sawah irigasi di Kabupaten Subang,
Karawang, dan Indramayu (Jawa Barat); Pemalang, Pekalongan, Batang,
Demak, Jepara, dan Blora (Jawa Tengah); serta Lamongan, Jombang, Pasuruan,
Mojokerto, Probolinggo, dan Lumajang (Jawa Timur).
Penyakit ini dibedakan berdasarkan organ tanaman yang terserang,
apabila terjadi infeksi pada daun menyebabkan blas daun dan apabila infeksi
pada malai menyebabkan blas leher (Syam dan Hermanto, 1995). Blas leher
dinilai lebih berbahaya karena dapat menyebabkan kehampaan gabah sebesar
90% (Amir dan Kardin, 1991). Tingkat kehilangan hasil akibat serangan
penyakit blas di daerah endemik mencapai 11-50% (Baker et al., 1997; Scardaci
et al., 1997). Di Indonesia, serangan penyakit blas pada tahun 2007 mencapai
1.285 juta ha atau 12% dari total luas areal pertanaman padi di Indonesia dan
bahkan diramalkan serangan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang
(Ditjen Tanaman Pangan, 2008).
Ledakan penyakit blas pada tahun 2007 merupakan salah satu dampak dari
perubahan iklim yang terjadi. Pemanasan global dapat menyebabkan perubahan
yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai
tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin,
455
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi,
frekuensi serangan hama dan wabah penyakit (Balitklimat, 2011).
Perkembangan penyakit dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Fenomena
banjir dan kekeringan, perubahan pola curah hujan yang berdampak terhadap
pergeseran musim dan pola tanam, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang
semakin meningkat akan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan
penyakit tanaman merupakan dampak dari perubahan iklim yang mengancam
keberlanjutan usaha pertanian.
Untuk mengantisipasi terjadinya ledakan penyakit blas akibat pemanasan
global antara lain dapat diupayakan dengan pengendalian penyakit secara
terpadu, yaitu memadukan waktu tanam yang tepat dan pergiliran varietas
unggul baru tahan penyakit blas. Tulisan ini membahas penggolongan varietas
tahan penyakit blas berdasarkan agroekosistem dan manajemen pengelolaan
ketahanannya terhadap penyakit blas. Selain itu, pemahaman mengenai epidemi
penyakit blas berguna dalam pengendalian penyakit blas secara efektif dan
efisien mendukung bio-industri pertanaman padi di lahan sub-optimal.
PEMBAHASAN
456
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
457
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
458
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Selain varietas unggul tahan penyakit blas yang telah dilepas oleh BB Padi,
terdapat galur-galur padi yang dirakit berasal dari koleksi plasma nutfah terdiri atas
varietas lokal, varietas unggul, dan padi liar yang telah diuji ketahanannya terhadap
penyakit blas. Adanya keragaman genetik yang luas di dalam plasma nutfah
memberikan peluang yang besar untuk perbaikan genotipe tanaman (Sumarno,
2002). Varietas lokal yang tahan lima ras dominan (033, 041, 073, 133, dan 173)
yaitu varietas Sibau dan P. Pulut Longbanga (Nasution et al. 2011). Respon
beragam dari 465 galur padi hasil pemuliaan terhadap lima ras P. grisea. Sebagian
besar galur menunjukkan reaksi tahan terhadap satu dan dua ras blas masing-masing
sebanyak 32,04 dan 30,32% (Santoso dan Nasution, 2011).
Spesies padi liar merupakan sumber daya genetik yang cukup penting untuk
program perakitan varietas unggul tahan hama, penyakit, dan toleran cekaman
abiotik. Sumber keragaman genetik lainnya dapat diperoleh dari spesies padi liar.
Spesies padi liar merupakan kerabat jauh dari padi budidaya (Oryza sativa). Spesies
padi liar Oryza officinalis bereaksi tahan terhadap blas, sedangkan
Oryza rutifogon, Oryza punctata, Oryza alta bereaksi agak tahan terhadap blas
(Nasution et al. 2012).
Untuk menekan serangan penyakit blas, disarankan untuk melakukan
pengendalian secara terpadu, antara lain menanam varietas tahan sesuai cekaman
lingkungan setempat, menggunakan pupuk urea sesuai dosis rekomendasi,
melakukan pola pergiliran varietas sehingga siklus hidup cendawan P. grisea
dapat terputus, menanam padi secara serempak, melakukan sanitasi lingkungan
secara intensif, dan khusus pada daerah endemis blas dapat dilakukan
penyemprotan fungisida sistemik (Santika dan Sunaryo, 2008).
459
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
utama yang diduga sebagai pendukung stabilitas ketahanan terhadap penyakit blas
pada pertanaman padi tradisional adalah keragaman genetik dari varietas tersebut.
Seleksi individu yang diikuti dengan pembentukan galur dari varietas
lokal maupun antar galur di dalam varietas, dengan demikian varietas lokal
tersebut berupa campuran. Penggunaan varietas campuran dilaporkan
menghambat perubahan virulensi patogen yang berakibat meningkatkan
stabilitas hasil (Santoso dan Nasution, 2011). Penanaman varietas campuran
membuat kondisi lingkungan menjadi tidak homogen atau adanya keragaman
pada populasi inang (Garret and Mundt, 1999). Penanaman bermacam-macam
varietas yang memiliki ketahanan terhadap penyakit blas berbeda pada suatu
hamparan diharapkan dapat diperoleh ketahanan tanaman padi yang stabil.
Namun untuk menerapkan paket teknologi berupa penggunaan varietas
unggul baru tahan penyakit blas disertai pergiliran varietas bukan suatu hal yang
mudah dilakukan karena petani tidak akan menggunakan varietas baru sebelum
mereka yakin akan keunggulannya. Oleh karena itu, perlu digiatkan penyuluhan,
demonstrasi varietas, atau promosi lain agar informasi varietas unggul baru
tahan penyakit blas dapat segera diadopsi oleh petani.
460
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
total 26 ras yang berbeda di antaranya terdapat 7 ras yang selalu muncul di
setiap tahun yaitu ras 001, 023, 033, 073, 101, 133, dan 173. Hasil monitoring
2007 hingga 2008 dari beberapa lokasi di Indonesia seperti Sumatera (Kayu
Agung, Lampung), Kalimantan Tengah (Dadahup), Bali (Tabanan) dan Jawa
Barat (Kuningan) terindentifikasi sebanyak 18 ras seperti ras 001, 021, 040, 041,
051, 061, 071, 073, 100, 101, 121, 201, 203, 241, 301, 333, 341, dan 343
(Santoso dan Nasution, 2009).
Sampel daun sakit di Propinsi D.I. Yogyakarta menunjukkan bahwa
penyakit blas yang berkembang adalah ras 033, 133, dan 173. Di Propinsi Jawa
Barat yaitu Kabupaten Sukabumi telah diketahui sebagai daerah endemik
penyakit blas. Data monitoring menunjukkan bahwa tingkat keragaman populasi
patogen blas di Sukabumi cukup tinggi. Beberapa ras yang ditemukan di Kab.
Sukabumi yaitu Ras 001, 123, 133, 173, dan 243 (Santoso et al. 2007).
Populasi P. grisea sangat beragam dan terdiri dari individu-individu ras
yang mempunyai sifat virulensi yang berbeda (Zeigler et al. 1994). Dominasi ras
P. grisea di suatu wilayah dengan wilayah lain yang berbeda memungkinkan
varietas padi di suatu wilayah tahan tetapi rentan di wilayah lain. Informasi
sebaran ras P. grisea sangat diperlukan untuk memprediksi kesesuaian varietas
yang akan dilepas (spesifik lokasi). Hal ini sangat penting untuk regionalisasi
varietas sesuai dengan sebaran ras P. grisea di wilayah tersebut. Dengan
diketahuinya sebaran ras P. grisea yang dominan di suatu wilayah endemik blas
maka pengendalian penyakit blas akan lebih efektif dengan menggunakan
varietas tahan yang disesuaikan dengan ras P. grisea di wilayah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1996. Ilmu penyakit tumbuhan. Edisi Ketiga. Busnia, M., dan T.
Martoredjo (penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Amir, M., dan M.K. Kardin. 1991. Pengendalian penyakit jamur. Dalam Padi Buku
3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. p. 825-844.
461
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
462
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
463
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
464
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRACT
ABSTRAK
465
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN
Luas rawa di Indonesia mencapai 34,4 juta ha yang terdiri dari 20,2 juta
ha rawa pasang surut dan 13,3 juta ha rawa lebak (Nugroho et al. 1996). Salah
satu sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
komoditas pertanian adalah lahan rawa yang luasnya mencapai 33,4039,40 juta
ha, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Menurut
Subagjo & Widjaja (1998), lahan rawa di Indonesia terdiri dari lahan rawa
pasang surut yang diperkirakan luasnya mencapai 23,10 juta ha dan lahan rawa
lebak (non pasang surut) dengan luas mencapai 13,30 juta ha.
Budidaya tanaman padi merupakan hal yang paling pokok dalam
pengembangan produksi tanaman pangan. Padi merupakan bahan makanan pokok
masyarakat Indonesia, kebutuhan pangan padi sampai saat ini masih sangat tinggi
(Triwidiyati 2008). Berbagai kendala terjadi dipertanaman padi yang mengakibatkan
produksi padi menurun diantaranya hama dan penyakit tumbuhan
penyakit (Effendy et al. 2008; Widiarta et al. 2004; Syam et al. 2007;
Bahagiawati, 2001).
Pengendalian hama pada tanaman padi, umumnya masih sangat
tergantung pada pestisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetik yang
berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif, berupa pencemaran lingkungan,
resistensi hama sasaran dan terjadinya resurgensi. Penggunaan agens hayati
berupa jamur entomopatogen (Herlinda et al. 2008), merupakan suatu upaya
untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik. Diharapkan jamur
entomopatogen tersebut dapat menjadi solusi menekan populasi hama yang
bersumber dari potensi sumber daya hayati lokal yang diperkirakan
466
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
467
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
468
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
golongan laba-laba dari famili Tetragnathidae sebesar 42,74% pada umur 30 hst
dan pada golongan serangga Coenagrionidae 25.89% pada umur 10 hst.
Pada umur 50-80 hst kelimpahan relatif tertinggi tertinggi dari golongan
laba-laba famili Tetragnathidae sebesar 38.26% dan golongan serangga famili
Coenagrionidae 13.48%. Hasil penelitian di daerah rawa lebak ditemukan
artropoda predator di tajuk ada 23 famili, terdiri dari 5 famili dari golongan laba-
laba dan 18 famili dari golongan serangga predator. Jumlah artropoda predator
ditemukan di tajuk tanaman padi di lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair
pada umur 10-40 hari setelah tanam terdiri dari 11 famili dan 23 spesies dan
pada umur 50-80 hari setelah tanam (hst) di lahan yang diaplikasikan
bioinsektisida cair ditemukan 15 famili dan 25 spesies.
Waktu pengamatan pada umur tanam 10-40 hari setelah tanam (hst)
Kelas, Ordo,
10 20 30 40
Famili
JS JI KR JS JI KR JS JI KR JS JI KR
Arachnida
Lycosidae 0 0 0.00 0 0 0.00 0 0 0.00 0 0 0.00
Araneidae 0 0 0.00 0 0 0.00 1 2 1.71 0 0 0.00
Tetragnathidae 4 35 31.25 4 41 37.96 3 50 42.74 3 53 35.33
Linyphiidae 0 0 0.00 0 0 0.00 3 7 5.98 2 9 6.00
Oxyopidae 2 27 24.11 2 23 21.30 2 8 6.84 2 26 17.33
Salticidae 0 0 0.00 1 2 1.85 2 11 9.40 3 18 12.00
Insecta
Hemiptera
Staphylinidae 1 10 8.93 1 5 4.63 1 5 4.27 1 3 2.00
Coccinelidae 0 0 0.00 2 3 2.78 2 8 6.84 1 13 8.67
Odonata
Coenagrionidae 3 29 25.89 3 20 18.52 3 17 14.53 3 21 14.00
Lubellulidae 0 0 0.00 1 1 0.93 0 0 0.00 0 0 0.00
Orthoptera
Tettigonidae 1 2 1.79 1 1 0.85 1 1 0.85 1 4 2.67
Gryllidae 2 9 8.04 2 11 10.19 2 8 6.84 1 3 2.00
Total 13 112 100.00 17 108 100.00 20 117 100.00 17 150 100.00
JS = Jumlah spesies, JI = Jumlah individu, KR= Kelimpahan relatif
469
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Waktu pengamatan pada umur tanam 10-80 hari setelah tanam (hst)
Kelas, Ordo, Famili 50 60 70 80
JS J1 KR JS J1 KR JS J1 KR JS J1 KR
Araneidae
Arachnida
Lycosidae 0 0 0.00 0 0 0.00 1 1 0.71 0 0 0.00
Araneidae 0 0 0.00 1 1 0.73 0 0 0.00 0 0 0.00
Tetragnathidae 3 57 38.26 3 45 32.85 3 50 35.46 4 37 32.46
Linyphiidae 2 4 2.68 1 2 1.46 0 0 0.00 3 6 5.26
Oxyopidae 2 21 14.09 2 29 21.17 2 26 18.44 3 17 14.91
Salticidae 2 21 14.09 2 18 13.14 2 20 14.18 2 18 15.79
Insecta
Coleoptera
Staphylinidae 1 3 2.01 1 3 2.19 1 4 2.84 1 2 1.75
Coccinelidae 0 0 0.00 1 16 11.68 1 16 11.35 1 19 16.67
Bostrychidae 1 2 1.34 0 0 0.00 0 0 0.00 0 0 0.00
Chrysomelidae 1 2 1.34 0 0 0.00 0 0 0.00 0 0 0.00
Melyridae 1 1 0.67 1 3 2.19 0 0 0.00 0 0 0.00
Odonata
Coenagrionidae 3 17 11.41 3 10 7.30 2 19 13.48 3 12 10.53
Orthoptera
Tettigonidae 1 5 3.36 1 6 4.38 0 0 0.00 0 0 0.00
Gryllidae 2 3 2.01 2 4 2.92 2 5 3.55 2 3 2.63
Total 21 149 100.00 18 137 100.00 14 141 100.00 19 114 100.00
JS = Jumlah spesies, JI = Jumlah individu (ekor), KR = Kelimpahan relatif
Hal ini disebabkan pada umur 40 hst dan 50 hst dilihat dari morfologi
tanaman padi sudah besar dan sudah mulai masuk pada fase generatif. Pada
umur tanaman seperti ini sangat disukai oleh serangga fitopag dimana inang
menyediakan tempat dan makanan yang berlimpah.
PEMBAHASAN
Sejalan dengan hasil penelitian Khodijah et al. (2012) artropoda predator
penghuni ekosistem persawahan rawa lebak dan pasang surut Sumatera Selatan
ditemukan serangga predator Coenagrionida, Coleoptera, Lubellulidae,
Tettigonidae.
Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif jamur entomopatogen berpengaruh
terhadap keanekaragaman keanekaragamaman spesies dan kelimpahan populasi
artropoda predator (serangga dan laba-laba) baik di tajuk maupun di permukaan
tanah (Khodijah, 2013). Di ekosistem persawahan, artropoda predator (serangga
470
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dan laba- laba) merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan
populasi hama padi (wereng coklat dan penggerek batang) (Thalib et al. 2002).
Jumlah individu atau kelimpahan artropoda predator dengan
bertambahnya umur tanaman bertambah pulah jumlah kelimpahannya.
Rendahnya jumlah individu artropoda predator pada lahan yang diaplikasikan
bioinsektisida dan insektisida sintetik hal ini menunjukan bahwa aplikasi
tersebut dapat mempengaruhi populasi artropoda predator yang aktif di tajuk
maupun di permukaan tanah (Herlinda et al. 2008).
Dengan banyaknya serangga fitopag akan banyak pula serangga dan
laba-laba predator yang memangsa serangga fitopag tersebut. Keanekaragaman
spesies serangga yang aktif di tajuk dan permukaan tanah pada sawah tanpa
aplikasi insektisida lebih tinggi dibandingkan dengan keanekaragaman spesies
serangga pada sawah yang diaplikasi insektisida sintetik maupun bioinsektisida
(Herlindah et al. 2008).
KESIMPULAN
Aplikasi bioinsektisida cair berbahan aktif jamur entomopatogen
berpengaruh terhadap kelimpahan relatif di tajuk tanaman padi mulai dari umur
10 hst sampai 80 hst.
SANWACANA
DAFTAR PUSTAKA
Asikin S, Wahyuni S dan Ardiwinata A.N. 2008. Keanekaragaman Serangga
Musuh Alami di Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
(BALITTRA). Banjar Baru Kalimantan Selatan.
Barrion AT, Litsinger JA. 1999. Taxonomy of Rice Insect Pest and Their
Arthropod Parasites and Predators, p.13-362. In E.A. Heinrichs (ed.).
Biology and Management of Catindig, J.L.A & Heong, K.L. 2003. Stem
borers. Rice Doctor. International Rice Research Institute, Philippines
(Web site).
471
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kalshoven LGE, van der Laan PA. 1981. The pest of crops in Indonesia. P.T.
Ichtiar Baru. Van Hoeve, Jakarta.
472
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Santiago DR, Castillo AG, Arapan RS, Navasero MV, Eusebio JE. 2001.
Efficacy of Metarhium anasopliae (Metsch.) Sor. againts the oriental
migratoria locust, Locusta migratoria manilensis Meyen. The Philippine
Agric. Scientist 84:26-34.
Settle WH, Ariawan H, Astuti ET, Cahyana W, Hakim AL, Hindayana D, Lestari
AS, Pajarningsih. 1996. Managing tropical rice pest through conservation of
generalist natural enemies and alternative prey. Ecology. 77:1975-1988.
Wraight SP, Carruthers RI, Bradley CA, Jaronski ST, Lacey LA, Wood P,
Wraight SG.1998. Pathogenicity of the entomopathogenic fungi
Paecilomyces spp. and Beauveria bassiana against the silverleaf whitefly,
Bemisia argentifolii. J Invertebr Pathol 71:217-22.
473
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Wraight SP, Ramos ME. 2002. Application parameter affecting field efficacy of
Beauveria bassiana foliar treatments againts Colorado potato beetle,
Leptinonarsa decemlineata. Biol Control 23:164-178.
474
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRACT
ABSTRAK
475
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN
Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian menjadi salah satu
kendala dalam pembangunan pertanian. Oleh karena itu, usaha pengembangan
pertanian di arahkan pada pemanfaatan lahan marginal seperti lahan pasang
surut. Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dijadikan lahan
pertanian karena sebarannya sangat luas, yaitu diperkirakan sekitar 20,1 juta
hektar yang terbentang di sepanjang pantai Sumatera, Kalimantan dan Papua.
(Widjaja-Adhi et al., 1992). Salah satu komoditas pertanian yang berpotensi
untuk dikembangkan di lahan rawa pasang surut adalah tanaman jeruk.
Budidaya jeruk di lahan rawa sudah lama dikenal masyarakat setempat,
khususnya di Kalimantan Selatan sejak ratusan tahun silam. Budidaya jeruk
siam di lahan rawa dapat dilakukan dengan sistem hamparan (sawah), tetapi
umumnya dengan sistem tukungan (gundukan) atau surjan bertahap (sistem
baluran). Secara bertahap petani membuat tukungan di lahan sawahnya. Sistem
tukungan ini dianjurkan hanya untuk lahan rawa dengan jenis tanah mineral atau
bergambut, tetapi juga mulai merambat ke lahan gambut dengan berbagai
ketebalan dari dangkal sampai sedang. Bentuk tukungan umumnya persegi
empat dengan tinggi 60-75 cm dan lebar sisi antara 2-3 meter. Jarak tanam antar
tanaman dalam baris 4-6 meter. Jarak antar baris 10-14 meter tergantung luas
lahan dan kemampuan operasional traktor dalam pengolahan tanah untuk
tanaman padinya. Apabila pilihan penataan lahan dengan sistem surjan maka
diperlukan saluran pengatusan di salah satu sisi dengan lebar 1,0 meter dan
dalam 0,6 meter agar mudah pengaliran air keluar dan juga dlengkapi dengan
pintu air sistem tabat (dam overflow). Saluran ini juga dapat dimanfaatkan
sebagai perangkap ikan alamiah (Noor dan Nursyamsi, 2012).
Budidaya tanaman jeruk sangat menjanjikan karena dapat memberikan
keuntungan yang cukup tinggi dibandingkan usahatani lainnya. Menurut Zuraida
(2012), usahatani jeruk dapat mendukung rumah tangga petani dengan penerimaan
sebesar Rp 21.150.000,- dan biaya produksi Rp 6.630.000, maka nilai R/C Ratio:
3,1(R/C Ratio >1). Pendapatan petani sebesar Rp 14.520.000,- dan ini memberikan
kontribusi sebesar 70,70 %. Dari hasil tersebut terlihat jelas bahwa usahatani jeruk
sangat mendukung terhadap pendapatan rumah tangga petani.
476
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
477
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
HASIL
(a) (b)
Gambar 1. (a). Lokasi penelitian yang berada di lahan rawa pasang surut dengan sistem surjan;
(b). Bagian tabukan yang tidak ditanami padi ditumbuhi tanaman purun tikus.
Budidaya jeruk di wilayah ini berbeda dengan yang biasa dilakukan di
lahan kering karena di wilayah kalimantan selatan merupakan lahan rawa yang
memerlukan penataan yang khusus supaya tanaman jeruk dapat hidup dan
berkembang. Usahatani tanaman jeruk di lahan pasang surut Kalimantan Selatan
ditanam dengan cara meninggikan sebagian tanah di sekitarnya secara
memanjang sehingga terbentuk surjan. Bagian lahan yang ditinggikan disebut
tembokan, sedang wilayah yang digali atau di bawah disebut tabukan. Lebar
tembokan sekitar 2,5-4 m, sedangkan tabukan dengan lebar 6-7 m. Bagian
tabukan yang tidak ditanami padi ditumbuhi oleh tanaman purun tikus. Purun
tikus (Eleocharis dulcis) merupakan gulma yang tumbuh dan berkembang di
lahan rawa pasang surut yang berlumpur. Tumbuhan ini mempunyai rimpang
pendek dengan stolon memanjang berujung bulat gepeng, berwarna kecoklatan
sampai hitam. Batang tegak, tidak bercabang, berwarna keabuan hingga hijau
mengilap dengan panjang 50200 cm dan tebal 28 mm.
Analisis Tanah. Lokasi kegiatan penelitian yang digunakan adalah lahan petani
pada daerah pasang surut dengan tipe luapan C yang menerapkan budidaya
tanaman jeruk saja dengan sistem surjan (monokultur). Secara umum jenis tanah
di lokasi tersebut adalah tanah sulfat masam. Tanah sulfat masam umumnya
memiliki sifat-sifat khas yang dicirikan oleh bahan-bahan sulfida atau horison
sulfurik pada solum tanah dan pH tanah (pH < 3,5-4,0).
478
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Gambar 2. Perlakuan Pemberian Amelioran di Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan pada
Bulan Mei 2013.
Dari hasil analisa awal diketahui bahwa karakteristik kimia tanah
mempunyai sifat bereaksi sangat masam, P-tersedia rendah dan basa-basa tukar
sangat rendah hingga rendah (Tabel 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan penambahan dolomit 3 ton/ha dapat meningkatkan pH tanah tertinggi
yaitu 4,45 dari 3,72 dan menurunkan kandungan Al-dd 8,15 dari 13,99. Kandungan
p-tersedia tertinggi pada perlakuan dolomit 1 ton/ha yaitu 26,39 me/100g.
Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan pemberian dolomit 2 dan 3 ton/ha
berpengaruh nyata dalam meningkatkan pH tanah terhadap kontrol/tanpa dolomit.
Namun perlakuan pemberikan dolomit 1 ton/ha tidak berpengaruh nyata.
Tabel 1. Karakteristik Kimia Tanah Sulfat Masam Awal Sebelum dan Sesudah
Perlakuan di Desa Karang Indah Kec. Mandastana, Kab. Barito Kuala,
Kalimantan Selatan
K-dd Ca-dd Mg-dd Al-dd P-tersedia
Dosis Dolomit pH
(me/100g) (me/100g) (me/100g) (me/100g) (ppm)
0 ton/ha (D0) 3.72 a 0.71 a 1.21 a 1.37 a 13.99 a 22.36 ab
1 ton/ha (D1) 3.96 ab 0.96 a 2.74 ab 2.19 ab 10.71 a 26.39 b
2 ton/ha (D2) 4.19 bc 0.60 a 2.06 ab 1.80 a 8.82 a 21.22 ab
3 ton/ha (D3) 4.45 c 0.72 a 5.17 b 4.04 b 8.15 a 18.81 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
479
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
siam Banjar berbunga kembali. Pada bulan Oktober 2013 jumlah bunga tertinggi
terjadi pada perlakuan kapur 1 ton/ha sebanyak 127 bunga/pohon.
Karena pembungaan tanaman jeruk siam Banjar terjadi 4 kali setahun,
terdapat beberapa cluster buah berdasarkan diameter buah dalam satu tanaman,
sehingga musim panen jeruk siam Banjar juga terjadi lebih dari 3 kali per
tahun. Pengamatan terhadap buah jeruk siam Banjar pada bulan Mei 2013,
tanaman jeruk didominasi oleh buah yang berdiameter rata-rata 34,49 mm
dengan jumlah buah + 363 buah per pohon. Pada bulan Juli dan September
2013, jumlah jeruk sudah mulai menurun karena sebagian dari jeruk tersebut
telah dipanen. Puncak waktu panen dilakukan pada bulan September 2013.
Warna buah jeruk siam Banjar pada saat panen hijau kekuningan. Namun pada
pengamatan bulan Nopember 2013, jeruk siam Banjar telah berbuah kembali,
dengan diameter buah rata-rata 4,81 mm dan jumlah buah tertinggi terjadi terjadi
pada perlakuan dolomit 1 ton/ha rata-rata 111 buah/pohon dan jumlah buah
terendah pada perlakuan dolomit 0 ton/ha rata-rata 96 buah/pohon. Hasil
pengamatan terhadap diameter, berat, tebal kulit, berat kulit dan jumlah juring
pada buah jeruk siam Banjar saat panen disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Diameter, berat, tebal kulit, berat kulit dan jumlah juring buah jeruk
siam Banjar pada saat panen
Dosis Dolomit Diameter Berat Buah Tebal Kulit Berat Kulit Jumlah
Buah (mm) (g) Buah (mm) Buah (g) Juring (bh)
0 ton/ha (D0) 54.69 a 89.3 a 1,92 a 10,00 a 13.00 a
1 ton/ha (D1) 58.52 b 106.55 b 2,13 a 16,00 ab 12.25 a
2 ton/ha (D2) 57.61 b 101.70 ab 2,14 a 20,50 b 11.75 a
3 ton/ha (D3) 56.52 ab 100.90 ab 1,87 a 18,75 b 12.25 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Hasil pengamatan terhadap diameter, berat, berat kulit buah jeruk siam
Banjar pada perlakuan dolomit memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan tanpa
diberikan dolomit. Semakin tinggi pH tanah, komponen hasil jeruk siam Banjar
akan semakin tinggi. Diameter dan buah tertinggi pada perlakuan D1 (1 ton/ha)
masing-masing sebesar 58,52 mm dan 106,55 g. Untuk tebal dan berat kulit buah
tertinggi pada perlakuan D2 (2 ton/ha) masing-masing sebesar 2,14 mm dan 20,50 g.
Tetapi hal ini tidak terjadi pada pengamatan jumlah juring buah jeruk, penambahan
dolomit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dan jumlah juring tertinggi pada
perlakuan tanpa pemberian dolomit sebanyak 13 buah juring.
480
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
(d)
Gambar 3. (a) bunga jeruk siam Banjar (b) fruit set jeruk siam Banjar; (c) buah siam Banjar
berumur 8 msb; (d) buah siam Banjar pada saat panen
Analisa Buah Jeruk Siam Banjar. Jeruk siam merupakan salah satu
bebuahan yang cukup digemari karena memiliki rasa yang manis dan daging buah
yang halus. Namun cita rasa jeruk siam dapat dipengaruhi oleh lingkungan tempat
tumbuh. Kondisi tanah adalah salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi
kualitas buah jeruk siam. pH tanah yang rendah dapat mempengaruhi ketersediaan
unsuk makro di dalam tanah. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa
penambahan dolomit menurunkan total padatan terlarut jeruk siam Banjar. Total
padatan terlarut tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian dolomit yaitu 11,95obrix
dan terendah pada perlakuan dengan pemberian dolomit 1 ton/ha sebesar 10,57
o
brix. Sedangkan untuk total asam dan jus buah, perlakuan yang diberikan tidak
berpengaruh nyata. Total asam dan jus buah tertinggi pada perlakuan pemberian
dolomit 2 ton/ha masing-masing sebesar 33,30% dan 2,13%. Hasil pengamatan
terhadap total padatan terlarut, volume jus, dan kadar asam buah jeruk siam Banjar
saat panen disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Total padatan terlarut, volume jus, dan kadar asam buah jeruk
siam Banjar pada saat panen
Total Padatan Terlarut Jus Total Asam
Dosis Dolomit (oBrix) (%) (%)
0 ton/ha (D0) 11.95 a 32.87 a 1.23 a
1 ton/ha (D1) 10.57 b 33.07 a 1.09 a
2 ton/ha (D2) 10.75 b 33.30 a 2.13 a
3 ton/ha (D3) 10.62 b 33.25 a 1.51 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
481
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
482
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
483
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kgs. A. Kodir
Balai Pengkajian Teknologi Sumatera Selatan
Jl. Kol. H.Barlian No.83. Km 6 Palembang
E-mail :kiagus_abdkodir@yahoo.com
ABSTRAK
Sumatera Selatan memiliki lahan rawa lebak cukup luas yaitu sekitar 2,98
juta hektar namun hingga kini pemanfaatannya untuk budidaya pertanian baru
mencapai sekitar 12,7%. Upaya optimalisasi lahan rawa lebak telah dilakukan di
Kebun Percobaan (KP) Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera
Selatan dengan penanaman karet klon unggul. Percobaan ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran adaptasi tanaman karet pada lahan rawa lebak dangkal
seluas 1 ha (550 batang). Penanaman dilakukan sejak bulan Mei Tahun 2007
menggunakan bibit polibeg satu payung dengan jarak tanam 6 x 3,3 m.
Pengamatan dilakukan terhadap persentase tanaman hidup dan pertumbuhan
tinggi tanaman serta panjang lilit batang pada ketinggian 1 meter dari kaki gajah.
Hasil percobaan menunjukan bahwa hingga tahun ke 7 tanaman tetap bertahan
hidup hingga berjumlah 455 batang (82,7%) dan seluruhnya menunjukan
penampilan yang baik (tidak ada gejala serangan hama dan penyakit serta
pertumbuhan normal). Hasil pengukuran panjang lilit batang menunjukkan
bahwa pertumbuhan lilit batang maksimum hingga tahun ke 7 (2014) mencapai
75 cm. Panjang lilit batang rata-rata populasi pohon karet tersebut mencapai
54,5 cm. Matang sadap 50% dicapai pada umur 5 tahun. Pada saat ini tinggi
tanaman rata-rata mencapai 8,4 meter.
PENDAHULUAN
484
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten
Muara Enim (Puslitbangtanak, 2002, Dinas PU Pengairan, 2010).
Secara agronomis lahan rawa lebak selain dapat dimanfaatkan untuk
tanaman pangan seperti padi dan palawija juga dapat dimanfaatkan untuk
tanaman perkebunan. Tanaman karet telah banyak dibudidayakan di lahan
kering di Sumatera Selatan namun untuk rawa lebak nampaknya belum lazim
dilakukan karena kondisi lahan yang selalu terendam air terus menerus atau pada
musim tertentu. Akan tetapi pada akhir-akhir ini mengingat perkembangan
tanaman karet sudah cukup pesat dan kebutuhan pemenuhan produksi makin
meningkat maka tidak menutup kemungkinan tanaman karet juga dapat
dibudidayakan di lahan rawa lebak. Beberapa petani ada yang mencoba
menanam karet di lahan rawa lebak dangkal, namun demikian hasilnya belum
memuaskan sebab masalah biofisik lahan dan tata kelola lahan serta teknik
budidaya. Dengan penerapan teknologi pengelolaan lahan yang merupakan
kunci keberhasilan usahatani karet di lahan rawa lebak, diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas lahan rawa lebak.
485
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Menurut Noor (2007) lahan rawa lebak memiliki banyak potensi yang
dapat digali dan memberikan keunggulan-keunggulan komparatif dan kompetitif
dibandingkan dengan lahan-lahan yang lain. Salah satu potensi lahan rawa lebak
adalah pemanfaatannya sebagai lahan pertanian. Secara umum, pertanian yang
dapat dilakukan di lahan rawa lebak adalah pertanian sawah, palawija, dan
beberapa komoditas buah-buahan dan perkebunan. Pola tanam dan jenis
komoditas yang dapat dikembangkan di lahan rawa lebak sangat tergantung
kepada tipologi lahan rawa lebak, yaitu lebak dangkal, lebak tengahan, dan lebak
dalam. Pada musim hujan, lahan rawa lebak tengahan sampai lebak dalam akan
tergenang lebih dari 100 cm sehingga disebut dengan sawah barat. Sawah barat
harus ditanami padi surung (deep water rice) pada akhir musim kemarau dan
dipanen pada saat musim hujan (genangan 100-150 cm). Padi yang termasuk
jenis padi surung adalah alabio, tepus, nagara, termasuk padi yang di kenal
dengan nama hiyang. Banyak juga padi irigasi yang dapat di tanam di lahan
rawa lebak pada musim hujan. Pada musim kemarau, lebak dangkal dan lebak
tengahan menjadi kering sehingga bisa ditanami sayuran, palawija, dan buah-
buahan. Buah yang ditanam pada ledokan ini adalah jenis buah yang semusim
seperti semangka, ataupun melon. Pada lebak dalam hanya ditanamai pada saat
musim kemarau panjang (4-5 bulan kering), selebihnya dibiarkan dengan
genangan yang tetap tinggi.
Guna mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa lebak di KP Kayu Agung,
untuk pertama kali mulai dicoba memanfaatkan tanaman perkebunan seperti karet
dan kelapa sawit. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan dan hasil tanaman di lahan
rawa lebak sangat tergantung pada jenis tanah dan juga masalah air. Jika mampu
mengatasi kedua masalah tersebut, pertanian di lahan rawa lebak akan memberikan
hasil yang mungkin sama baiknya dengan di lahan pertanian yang tidak marginal
(Noor, 2007). Untuk itu dalam pelaksanaan pengembangan tanaman perkebunan di
lahan rawa lebak ini telah dilakukan pembuatan saluran-saluran drainase untuk
mengendalikan muka air tanah dan dilakukan pemberian kapur dan pemupukan
pada saat pengolahan tanah/penanaman.
Secara umum ada dua macam bibit sebagai bahan tanam karet, yaitu bibit
stum dan bibit polybeg. Bibit stum adalah bahan tanam karet yang diperoleh
hasil okulasi batang bawah dengan mata entres dari batang tas yang sudah hidup
tetapi belum tumbuh tunas. Ada dua macam stum yaitu stum mata tidur dan
stum tinggi. Stum mata tidur adalah bahan tanam karet berupa stum yang sudah
dipotong akar batang bawah dan batang bagian atas 10-15 cm dari atas mata
entres, sedangkan stum tinggi adalah bahan tanam berupa stum yang tingginya
mencapai 1,2 2 m. Bibit polybeg adalah bahan tanam karet yang berasal dari
stum mata tidur yang ditanam dalam polybeg atau berasal dari biji sebagai
batang bawah yang ditanam dalam polybeg kemudian setelah memenuhi syarat
diokulasi ditumbuhkan tunas okulasinya dalam polybeg hingga 1-2 payung.
Dalam kegiatan ini penanaman tanaman karet di
486
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
3. Penanaman.
487
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
488
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Beberapa hama dan penyakit yang menyerang pertanaman karet di lahan rawa
lebak antara lain :
1). Hama
a. Kutu tanaman (Planococcus citri)
Gejala: merusak tanaman dengan mengisap cairan dari pucuk batang dan
daun muda. Bagian tanaman yang diisap menjadi kuning dan kering.
Pengendalian: Menggunakan BVR atau Pestona.
b. Tungau (Hemitarsonemus , Paratetranychus)
Gejala; mengisap cairan daun muda, daun tua, pucuk, sehingga tidak normal
dan kerdil, daun berguguran. Pengendalian: Menggunakan BVR atau Pestona
2). Penyakit
a. Penyakit pada akar : Akar putih (Jamur Rigidoporus lignosus), Akar merah
(Jamur Ganoderma pseudoferrum), Jamur upas (Jamur Corticium
salmonicolor),
b. Penyakit pada batang : Kanker bercak (Jamur Phytophthora palmivora),
Busuk pangkal batang (Jamur Botrydiplodia theobromae),
c. Penyakit pada Daun : Embun tepung (jamur Oidium heveae), Penyakit
colletorichum (Jamur Coletotrichum gloeosporoides), Penyakit Phytophthora
(Jamur Phytophthora botriosa)
Berdasarkan pengamatan visual dilapangan hingga saat ini gejala
serangan hama dan penyakit seperti tersebut di atas tidak berpengaruh pada
pertumbuhan, artinya walaupun ada gejala serangan hama dan penyakit tetapi
tidak significant berpengaruh pada pertumbuhan tanaman karet yang ada.
5. Penyadapan
Pohon karet dinyatakan matang sadap apabila lilit batangnya pada
ketinggian 100 cm dari kaki gajah telah mencapai 45 cm. Penyadapan
dapat dimulai apabila kebun karet telah matang sadap. Suatu kebun telah
memenuhi kriteria matang sadap apabila jumlah pohon yang matang sadap
sudah 60% atau lebih (Dirjendbun, 2009).
Ditinjau dari kenampakan fisik pertumbuhan tanaman pada saat ini dan
berdasarkan hasil pengukuran lilit batang pada ketinggian 1 meter dari kaki
gajah maka dapat diketahui bahwa sudah lebih 60% tanaman telah mencapai
lilit batang 45 cm. Ini berarti kebun karet tersebut telah matang sadap.
Namun hingga saat ini tanaman belum dilakukan penyadapan karena masih
menunggu persiapan alat dan bahan untuk pengelolaan lateks pasca
penyadapan. Dengan pertumbuhan normal, tanaman karet dapat mulai
disadap pada umur 5 tahun, sehingga usia produktifnya dapat dipertahankan
hingga mencapai 25-35 tahun (Damanik, S.,et al.,2010).
Hasil Pengamatan Penampilan Tanaman Dari pengamatan yang telah
dilakukan hingga tahun ke 7 tanaman karet yang ditanam di lahan rawa lebak
KP Kayuagung tetap bertahan hidup hingga berjumlah 455 batang (82,7%)
dan seluruhnya menunjukan penampilan yang baik, tidak ada gejala serangan
hama dan penyakit serta pertumbuhan normal (Gambar 1dan 2).
489
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Secara umum umur matang sadap karet bervariasi antara 5-7 tahun, tergantung dari
beberapa faktor, antara lain klon, iklim, tindakan budidaya (Boerhendy,2010).
KESIMPULAN
490
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA
Damanik, S., M. Syakir, Made Tasma, dan Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca
Panen Karet.. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 86 h.
Diretktorat Jenderal Perkebunan, 2009. Teknis Budidaya Tanaman Karet.
file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/pedoman_umum_karet_2009.pd f.
Firmansyah, M.A., Suparman, W.A. Nugroho, Harmini dan Umi Pudji Astuti
(2012). Kajian Perbaikan Usaha Tani Lahan Lebak Dangkal di SP1 Desa
Buntut Bali, Kecamatan Pulau Malan Kabupaten Katingan. Provinsi
Kalimantan Tengah. http://bengkulu.litbang-
pertanian.go.id/ind/images/dokumen/tanaman-pangan/firmansyah.pdf.
Island Boerhendy. 2010. Manajemen dan Teknologi Budidaya Tanaman Karet,
Balai Penelitian Karet Sembawa.
Noor Muhammad. 2007. Rawa Lebak: Teknologi, Pemanfaatan, dan
Pengembangannya. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Prajnanta, F. 1996. Agribisnis karet non biji. Penerbit Swadaya. Jakarta.
Puslitbangtanak. 2002. Anomali iklim. Evaluasi dampak, peramalan dan teknologi
antisipasinya. Untuk menekan resiko penurunan produksi. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Widjaja-Ahdi, IPG., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A. Syariffudin Karama. 1992.
Sumber Daya Lahan Rawa : Potensi, Keterbatasan, dan Pemanfaatan. Pp.
19-38. Dalam pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut
dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian .
491
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Nurnayetti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
ABSTRAK
Sampai saat ini, Indonesia belum mampu untuk berswasembada jagung.
Salah satu upaya untuk mencapai swasembada adalah dengan meningkatkan
produktivitas melalui pemakaian varietas unggul baru (VUB) jagung hibrida.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan tampilan empat VUB jagung
hibrida di Sumatera Barat. Penelitian telah dilaksanakan pada lahan sawah tadah
hujan di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat dari
bulan Agustus sampai Desember 2012. Percobaan ditata menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan. Perlakuannya adalah empat
macam VUB jagung hibrida yang dilepas oleh Balitbangtan, yaitu: Bima-2, Bima-3,
Bima-4, dan Bima-5. Teknologi yang diterapkan adalah komponen dasar dan
pilihan yang terdapat dalam model pengelolaan tanaman terpadu (PTT) jagung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan VUB berpengaruh nyata terhadap
semua peubah yang diamati, kecuali tinggi letak tongkol. Didapatkan dua VUB
jagung hibrida yang memberikan hasil mendekati rata-rata deskripsinya, yaitu:
Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27 t/ha) dan Bima-5 (9,17 t/ha, deskripsinya 9,3
t/ha). Sementara dua VUB lainnya memberikan hasil yang lebih jauh rendah dari
rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-2 (7,92 t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4
(8,5 t/ha, deskripsinya 9,6 t/ha). VUB jagung hibrida Bima-5 sangat berpotensi
untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di kawasan Kabupaten Tanah
Datar, Sumatera Barat.
Kata kunci : adaptasi, jagung, hibrida, pengelolaan tanaman terpadu, varietas
unggul baru.
PENDAHULUAN
492
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
diperkirakan kebutuhan industri pakan sudah mencapai 20 juta ton dan diiringi
kebutuhan jagung lainnya sebesar 10 juta ton.
Produksi jagung nasional ditentukan dua sumber pertumbuhan utama,
salah satunya adalah produktivitas. Produktivitas jagung nasional masih rendah
(4,90 t/ha) dibanding potensinya yang mencapai 14,1 t/ha dan produktivitas hasil
penelitian (mencapai 7,90 t/ha di lahan sawah, 8,06 t/ha di lahan kering terbuka,
dan 6,20 t/ha di lahan kering di bawah pohon kelapa) (Atman, 2015).
Produktivitas jagung masih sangat beragam antar provinsi, berkisar 1,710-7,206
t/ha. Produktivitas jagung tertinggi ditemui di Provinsi Jawa Barat (7,206 t/ha),
diikuti Sumatera Barat (6,703 t/ha). Sedangkan Jawa Timur dan Jawa Tengah
sebagai daerah sentra utama jagung di Indonesia memberikan sumbangan
produktivitas berturut-turut 4,803 t/ha dan 5,509 t/ha. Sementara itu,
produktivitas terendah ditemui di Provinsi Papua Barat (1,710 t/ha) (BPS, 2014).
Bila kesemua wilayah ini, utamanya Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah
dapat ditingkatkan produktivitasnya, diperkirakan akan mampu mempercepat
pencapaian swasembada jagung di Indonesia, yang telah dicanangkan oleh
pemerintah untuk dicapai dalam tiga tahun ke depan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung adalah melalui
pemakaian varietas unggul baru (VUB) jagung hibrida (Hosen, dkk., 2013). Sejak
tahun 1956 sampai 2013, telah ditemukan sebanyak 159 varietas jagung yang terdiri
dari 38 varietas komposit dan 121 varietas hibrida. Varietas hibrida yang telah
dilepas berasal dari Balitbangtan dan swasta. Diantara VUB hibrida yang dilepas
oleh Balitbangtan adalah Bima-1, Bima-2, Bima-3, Bima-4, Bima-5, sampai dan
yang terbaru (Bima-19 URI dan Bima-20 URI). Dari deskripsinya, rata-rata hasil
Bima-2 (8,5 t/ha), Bima-3 (8,3 t/ha), Bima-4 (9,6 t/ha), dan Bima-5 (9,3 t/ha)
(Puslitbangtan, 2013). VUB jagung hibrida ini sangat prospek untuk dikembangkan
pada daerah sentra produksi jagung yang ada di Indonesia. Namun, daya
adaptasinya pada masing-masing agroekosistem masih belum banyak diketahui.
Untuk itu dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui keragaan
tampilan empat VUB jagung hibrida di Sumatera Barat. Diharapkan hasil penelitian
ini mendapatkan rekomendasi VUB jagung hibrida yang adaptif di Sumatera Barat,
khususnya di Kabupaten Tanah Datar.
493
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kontak; (6) Pengendalian hama dan penyakit; dan (7) Panen tepat waktu dan
pengeringan segera. Komponen teknologi sebagai penciri PTT disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komponen teknologi yang diterapkan petani sebagai penciri model PTT
jagung Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, 2012.
494
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
495
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pada Tabel 4 terlihat bahwa hasil pipilan kering berkisar 7,92-9,17 t/ha.
Hasil pipilan kering tertinggi didapatkan pada Bima-5 (9,17 t/ha) yang tidak
berbeda nyata dengan Bima-3 dan Bima-4. Sedangkan terendah pada Bima-2
(7,92 t/ha) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 dan Bima-4. Dibandingkan
dengan deskripsinya, ternyata dua VUB jagung hibrida yang memberikan hasil
mendekati rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27
t/ha) dan Bima-5 (9,17 t/ha, deskripsinya 9,3 t/ha). Sementara dua VUB lainnya
memberikan hasil yang lebih jauh rendah dari rata-rata deskripsinya, yaitu:
Bima-2 (7,92 t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4 (8,5 t/ha, deskripsinya 9,6
t/ha) (Puslitbangtan, 2013). Artinya, ditinjau dari tampilan hasil pipilan kering,
VUB Bima-5 berpeluang untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di
Kabupaten Tanah Datar.
496
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
1. Didapatkan dua VUB jagung hibrida yang memberikan hasil mendekati rata-
rata deskripsinya, yaitu: Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27 t/ha) dan Bima-5
(9,17 t/ha, deskripsinya 9,3 t/ha). Sementara dua VUB lainnya memberikan
hasil yang lebih jauh rendah dari rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-2 (7,92
t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4 (8,5 t/ha, deskripsinya 9,6 t/ha).
2. Untuk meningkatkan produktivitas jagung, maka VUB jagung hibrida
Bima-5 sangat berpotensi untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah
hujan di kawasan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat dengan
menerapkan teknologi PTT jagung.
DAFTAR PUSTAKA
497
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRACT
The research was conducted in February 2014 - December 2014, this
research was done in Malang Village Meeting (District of Mount Deer), anculai
Ekang Village and Village North Toapaya (Subdistrict Toapaya), Bintan
regency. Intake of secondary data and primary data in the form of direct
interviews sebanak 25 people then the data generated descriptive ditabulase
later. The results showed age of childbearing age with a breeder is still under the
age of 50 years, whereas the average farmer's main job is nearly 52%, using
waste vegetable culled cows about 24% and 8% use kosentrat rice and
composted sewage treatment by means fermentase only 16%, in the event almost
all look dull hair and knowledge about worming approximately 52% and
approximately 42% bloating disease .. the use of dung as fertilizer generally
almost 80% is used to own the remaining approximately 20% sold. State of
almost 100% cow disease Anaplasma. Sp.dan after the cows examined terrhadap
terlur worm turns cows infected with worms with worm eggs 679-4.600 epg.
Keywords: Medicinal herbs, beef, performance, area vegetables.
ABSTRAK
498
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN
499
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
500
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
501
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
502
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 4. Hasil pemeriksaan telur cacing pada sapi yang diberikan obat
cacing herbal serbuk biji pinang dan biji pada pepaya
Rata-rata Epg 2
Rata-rata Epg setelah 2 mg
No Kelompok Ternak mg sebelumm
pengobatan (e.p.g)
diobati (e.p.g)
1 Tunas Jaya 769 769
2. Agri Bangun Jaya 679 679
3. Margatani 4.300 4.397
Keterangan: SBPep=Serbuk Buah Pinang Pepaya,SBPin=Serbuk Buah Pinang,
OB.P=Obat Pabrik,infeksi ringan epg<500, Infeksi sedang 500-
5.000,infeksi berat >5.000
503
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
504
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
505
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRACT
To support PSDSK 2014 and MP3EI in tidal swamp, beef cattle production
using local feed resources had been encouraged. Utilization fermented of palm
midrib, husk, and bio-cass probiotics as a cattle feed has been used to increase of
productivity and alleviate feed in the dry season. The experiment was conducted to
identify prospect and production response beef cattle to feed treatment introduction
as feed in beef cattle fattening systems at Tidal Swamp Lamunti A2 Village, Kapuas
Regency. Fifteen cattles were used in this experiment during the period of
September to December, 2005. Feed given consistsed of P I (grass + Bio cass
probiotic + fermented of palm midrib + husk); PII (husk + Bio cass probiotic +
grass); PIII (fermented of plam midrib + Bio cass probiotic + grass); PIV (grass +
Bio cass probiotic); dan PV (control = grass that used as animal feed). The results
showed that liveweight gain of P I, PII, PIII, PIV and PV treatment respectively
were 0.67 kg; 0.58 kg; 0.56 kg; 0.56 kg; dan 0.33 kg respectively . P I treatment is
significantly different to the others (control and three combinations feed), while for
three combinations are not significantly different, but among three combinations,
but significantly with control. It was concluded that the use of fermented of palm
midrib, husk, and bio-cass probiotics as a cattle feed gives different response from
grass used as animal feed.
Keywords: feed combinations, cattle, live weight gain
ABSTRAK
Untuk mendukung PSDSK 2014 dan MP3EI di rawa pasang surut, produksi
sapi potong menggunakan sumber daya lokal pakan telah didorong. Pemanfaatan
fermentasi dari pelepah sawit, sekam, dan probiotik bio-cass sebagai pakan ternak
telah digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi pakan pada
musim kemarau. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi prospek dan
daging sapi respon produksi ternak untuk memberi makan pengenalan pengobatan
sebagai pakan sapi potong sistem penggemukan di Tidal Swamp Lamunti A2
Village, Kabupaten Kapuas. Lima belas ekor sapi yang digunakan dalam penelitian
ini selama periode September-Desember 2005. Pakan yang diberikan terdiri dari PI
(rumput + Bio cass probiotik + fermentasi dari pelepah sawit + sekam); PII (sekam
+ Bio cass probiotik + rumput); PIII (fermentasi plam pelepah + Bio cass + rumput
probiotik); PIV (rumput + Bio cass probiotik); Dan PV (kontrol = rumput yang
digunakan sebagai pakan ternak). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keuntungan
liveweight PI, PII, PIII, PIV dan
506
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pengobatan PV masing-masing adalah 0,67 kg; 0.58 kg; 0,56 kg; 0,56 kg; dan
0,33 kg masing-masing. Pengobatan PI secara signifikan berbeda dengan yang
lain (kontrol dan tiga kombinasi pakan), sedangkan untuk tiga kombinasi yang
tidak berbeda secara signifikan, tapi di antara tiga kombinasi, tetapi secara
signifikan dengan kontrol. Disimpulkan bahwa penggunaan fermentasi dari
pelepah sawit, sekam, dan probiotik bio-cass sebagai pakan ternak memberikan
respon yang berbeda dari rumput yang digunakan sebagai pakan ternak.
Kata kunci: kombinasi pakan, sapi, pertambahan bobot badan
PENDAHULUAN
507
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kandungan nutrien dan nilai biologis BIS cukup tinggi. BIS segar yang
dihasilkan dari setiap hektar areal perkebunan setahun adalah rata-rata 560 kg.
Dengan persen bahan kering 91,83%, maka bahan kering BIS yang dihasilkan
adalah 514 kg/ha/tahun (Elisabeth & Ginting, 2003; Ginting & Elisabeth, 2003)
Salah satu strategi pengembangan ternak sapi di Indonesia pada subsistem
usahatani on farm adalah mempercepat pertambahan bobot hidup ternak dengan
memanfaatkan sumberdaya lokal, terutama yang berasal dari limbah perkebunan
berupa silase yang diolah dari pelepah sawit, limbah pertanian berupa dedak dan
probiotik bio-cass. Untuk meningkatkan tingkat konsumsi dan palabilitas pelepah
sawit dilakukan perlakuan fisik (dicacah/dipotong-potong), kemudian untuk
mempertahankan/meningkatkan kualitas nutrien pelepah dilakukan melalui
pembuatan silase. Upaya memperkaya kandungan nutrien BIS dilakukan melalui
proses fermentasi yang dilengkapi dengan pakan imbuhan sebagai sumber vitamin
dan mineral. Jumlah pelepah yang diberikan pada sapi adalah 30% dari bahan kering
yang dikonsumsi, dengan patokan konsumsi bahan kering = 4% dari bobot hidup.
Setiap ternak pengkajian diberi probiotik bio-cas produk BPTP Bali, yang
mengandung mikroorganisme yang berfungsi untuk efisiensi pencernaan serat kasar.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana respon penggunaan
kombinasi pakan pada ternak sapi terhadap Pertambahan Bobot Badan Harian
(PBBH) dan konversi pakan serta prospek kedepannya.
508
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Komposisi
Uraian Rumput Silase Pelepah
Dedak
Pakan Sawit
Kadar air 60 C 65,300 34,210 16,200
Protein kasar (% BK) 10,064 8,376 9,500
Lemak kasar (% BK) 0,969 - 3,300
Serat kasar (% BK) 96,869 - 16,400
Kadar abu (% BK) 5,838 11,733 10,800
Bahan Ektra Tanpa N 41,136 50,902 43,800
TDN 56,687 19,170 -
Energi total (Kcal/Kg) 3767,044 3031,044 53,000
Keterangan: Hasil analisa Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Balitnak (2012)
PBBH dihitung dengan mengurangi bobot akhir dengan bobot awal dibagi
jumlah hari antara kedua bobot tersebut. Dari parameter teknis tersebut
selanjutnya dilakukan estimasi ekonomi untuk mengetahui kelayakan dari
introduksi teknologi pakan yang diberikan serta tambahan penghasilan yang
diperoleh pada masing-masing pola pemeliharaan. Pendekatan ekonomi yang
digunakan adalah analisis usahatani parsial yang meliputi analisis gross margin
dan biaya produksi umum sesuai dengan petunjuk Amir & Knipscheer (1989).
509
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pangan (padi, jagung, ubi kayu, dan lain-lain), tanaman perkebunan (karet), dan
ternak (kambing, ayam). Usaha tani lain ini diusahakan petani pelaksana
bersamaan dengan usaha ternak sapi.
Dari aspek perkandangan, petani pelaksana merupakan suatu kelompok tani
yang telah memiliki kandang kelompok. Sistem perkandangan dalam
penggemukkan sapi sebagian besar menggunakan sistem kandang terbuka dengan
lantai tanah. Kandang sistem ini bertujuan agar memudahkan sirkulasi atau
pertukaran udara. Menurut Marhijanto (1993) dalam Budiharjo (2004), kandang
sistem lantai mempunyai keuntungan yaitu dapat menghemat biaya. Pakan ternak
sapi yang digunakan petani sebagian besar adalah rumput alam, sedangkan pakan
tambahan yang diberikan berupa umbi singkong dan ampas tahu. Sistem
pemeliharaan yang dilakukan petani pelaksana ini adalah semi intensif yaitu
dilakukan dengan cara digembalakan pada daerah yang banyak rumputnya, pada
saat yang sama petani mencari rumput untuk pakan sore harinya, selanjutnya pada
sore hari sapi dikandangkan. Penggembalaan dilakukan agar sapi sehat karena dapat
memperoleh cahaya matahari yang cukup, selain itu dapat menekan biaya pakan,
karena sapi memperoleh hijauan pada saat digembalakan.
Pengenalan teknologi penggunaan silase dari pelepah sawit belum pernah
dilakukan kepada petani pelaksana. Pelepah sawit yang banyak tersedia di
sekitarnya biasanya dibakar atau dibiarkan membusuk, sehingga secara teknis
teknologi tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan oleh peternak, sehingga potensi
adopsi teknologinya cukup tinggi. Karakteristik petani pelaksana secara lengkap
dapat dilihat pada (Tabel 2).
Tabel 2. Karakteristik Petani Pelaksanan Penelitian
Uraian Keterangan
Pekerjaan di pekerbunan Bekerja penuh, setengah penuh dan tidak
bekerja
Usia 27 50 tahun
Usahatani lainnya Tanaman pangan, tanaman perkebunan,
serta ternak
Tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMA
Kandang Kandang kelompok
Pakan ternak sapi Rumput alam dan HMT
Pakan tambahan Umbi singkong, ampas tahu
Adopsi teknologi pakan Belum ada
Penggunaan silase dari pelepah sawit Belum diketahui
Gudang pakan Ada
Pencacah Ada
Kemudahan mendapatkan pelepah Tersedia
sawit, dan dedak
Kemudahan mengaplikasikan teknologi Bisa
510
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dibandingkan perlakuan PII, PIV dan kontrol (Tabel 3). Pakan PI semakin terlihat
pengaruhnya pada bulan keempat, karena pertambahan bobot badannya berbeda
nyata dibandingkan PII, PIII, PIV dan kontrol, namun demikian perlakuan PII,
PIII dan PIV juga berpengaruh nyata dibandingkan kontrol.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan imbangan silase,
dedak dan probiotik bio-cass cukup efisien dicerna oleh sapi. PBBH yang dicapai
pada perlakuan PI yaitu 0,67 kg/ekor/hari sudah cukup baik untuk kegiatan di
tingkat lapang. Hasil ini mendekati PBBH yang dicapai pada sapi Ongole yang
diberi pakan jerami padi fermentasi yaitu 0,75 kg/ekor dengan total konsumsi pakan
yang diberi jauh lebih besar yaitu 13,00 kg/hari (Kostaman et al., 1999).
Ditinjau dari aspek konsumsi pakan dimana PI mengkonsumsi kombinasi
pakan lebih lengkap daripada ternak pada kempat perlakuan lainnya, maka
semakin tinggi total konsumsi pakan akan mempengaruhi besarnya PBBH. Nilai
PBHH ini masih lebih tinggi dari yang dilaporkan Boer et al. (2003) pada ternak
sapi yang diberi pakan tambahan 15% onggok yaitu 0,503 kg. Begitu juga
dengan yang dilaporkan oleh Prayogo et al. (2003), bahwa PBBH ternak sapi
PO yang diberi pakan rumput gajah serta campuran konsentrat dan ampas kecap
adalah 0,33 kg/hari dengan nilai konversi pakan 8,53. Nilai ini masih jauh lebih
rendah daripada nilai PBHH penelitian ini.
Tabel 3. Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
Perlakuan
Uraian P
PI PII PIII PIV V
Menurut Ishida dan Hassan (1992) dan Purba et al. (1997) dalam
Simanihuruk dkk., (2008), bahwa nilai kecernaan bahan kering pelepah kelapa
sawit adalah 51%, relatif sama dengan rumput alam yang mencapai 50 54%.
Dengan kandungan zat nutrisi dan nilai kecernaan pelepah kelapa sawit tersebut,
maka energi pelepah kelapa sawit diperkirakan hanya mampu memenuhi
kebutuhan hidup pokok, sehingga untuk pertumbuhan, bunting dan laktasi
diperlukan pakan tambahan untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi.
Penambahan Probiotics bio-cass pada pakan juga membantu penyerapan
pakan oleh ternak. Berdasarkan data pada Tabel 3, penambahan bobot ternak
pada kombinasi pakan yang ditambah probiotik menunjukkan adanya
penambahan bobot yang nyata dibandingkan dengan kontrol. Hal ini juga sejalan
dengan penelitian Adeniji & Zubairu (2013) pada kelinci dengan penambahan
suplementasi probiotik pada pakan dengan perlakuan penggunaan probiotik
(Probiotik A dan Probiotik B) dan tanpa probiotik menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata pada semua parameter pengamatan pertumbuhan kelinci
dan penyerapan pakan. Pada unggas, seperti ayam petelur, pemberian probiotics
juga meningkatkan produksi telur dan menurunkan tingkat kematian anakan
(Yoruk et al. 2004 Cit Ezema 2013), pada ayam boiler/pedaging pemberian
probiotik dengan berbegai level pada pakan meningkatkan penambahan bobot
badan (Bozkurt et al. 2011 Cit Ezema 2013) dan pada sapi perahproduksi susu
meningkat setelah aplikasi probiotik dibandingkan tanpa probiotik (Sretenovic et
511
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
al. 2008 Cit Ezema 2013). Menurut Fuller (1989, 1992) dan Ezema 2013, salah
satu ciri dari probiotik yang bagus adalah peningkatan pertumbuhan pada ternak
yang dikenakan probiotik. Sehingga pemberian probiotik pada pakan ternak
harus juga memperhatikan strain bakteri yang digunakan, tingkat konsumsi
ternak dan kondisi ternak sendiri (Koop-Hoolihan, 2001). Pemberian pakan
tambahan 2 kg komplit feed dan 5 cc probiotik pada sapi Bali jantan mampu
menambah bobot badan harian 0,63 kg/ekor/hari (Suyasa dkk, 1999).
Penggunaan probiotik lokal (Jamu EKD) dengan tambahan 1% dedak
menambah bobot badan harian 0,533 Kg/ekor/hari (Utomo dkk, 2009).
Analisis Ekonomi
Analisis ekonomi yang dilakukan adalah model input-output, yang
memberikan gambaran jelas terhadap suatu proses produksi, disamping
memudahkan evaluasi di masa yang akan datang. Estimasi gross margin atau
keuntungan merupakan salah satu metode/teknik dari model input output yang
diperoleh dari perbedaan atas total penerimaan dengan total biaya produksi (Amir &
Knipscheer, 1989). Total penerimaan terdiri atas penjualan ternak hidup, sedangkan
total biaya produksi terdiri dari komponen biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya
tetap meliputi biaya penyusutan kandang, sedangkan biaya tidak tetap terdiri dari
biaya pembelian pakan dan konsentrat, pembelian alat (habis pakai), pembelian
obat-obatan, tenaga kerja, transportasi dan lain-lain. Selain menghitung estimasi
keuntungan, analisis ini juga meliputi nilai investasi pada masing-masing periode
produksi dan nisbah R/C. Tentunya, pada periode produksi yang berbeda akan
menghasilkan nilai investasi dan estimasi keuntungan yang berbeda pula.
1. Investasi
- Harga dari ternak sapi jantan adalah Rp. 28.000/kg bobot hidup.
2. Biaya produksi
- Harga pelepah sawit segar, dedak, dan probiotik bio-cass Rp. 500/pelepah;
Rp. 5000/kg dan Rp. 15,625/5cc. Tenaga kerja diperhitungkan dengan
upah pokok sebesar Rp. 300.000/bulan. Komponen obat-obatan diperlukan
pada saat ternak masuk dalam kandang dengan perkiraan harga obat-
obatan tersebut adalah Rp. 1600/ekor/hari.
- Alat habis pakai yang diperlukan seperti terpal, kayu untuk kandang, ember
dan alat-alat pembersih diasumsikan sebesar Rp. 250.000/ekor/periode.
- Transportasi dan lain-lain diasumsikan sebesar Rp. 250.000/ekor per
periode
3. Penerimaan
Total penerimaan diperoleh hanya dari penjualan ternak setelah periode
penggemukan, dengan nilai yang berlaku saat itu adalah Rp. 30.000/kg berat
hidup.
Nilai gross margin per hari yang diperoleh masing-masing untuk perlakuan PI,
PII, PIII, PIV dan PV adalah Rp. 8.244,54; Rp. 2.366,20; Rp.10.618,54; Rp.
13.891,21; dan Rp. 6.792,50, dengan nilai R/C masing-masing perlakuan 1,12; 1,04;
1,19; 1,26; dan 1,12. Perhitungan estimasi keuntungan atas biaya tidak tetap dari
usaha penggemukan sapi selama penelitian berdasarkan perlakuan pakan yang
diberikan berturut-turut dapat dilihat pada (Tabel 4). Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa estimasi keuntungan atas biaya variabel tertinggi dicapai oleh
ternak sapi dengan pemberian perlakuan pakan PIV yaitu perlakuan probiotik bio-
cass dan rumput yaitu Rp. 13.891,21 dengan nisbah R/C 1,26. Hal ini disebabkan
karena pada perlakuan ini biaya produksi pakan kombinasi berupa dedak dan silase
tidak diikutkan sehingga pengeluaran bagi peternak sangat
512
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
sedikit. Sedangkan perlakuan lain bila dilihat dari nilai R/C Perlakuan pakan
lainnya (PI, PII dan PIII) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata bagi
nisbah R/C, karena biaya produksi diperoleh dari silase dan dedak, sehingga
akan memberikan respon ekonomi yang sama.
Introduksi teknologi pakan kombinasi pada ternak sapi tidak memberikan
nilai ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian rumput segar.
Respon produksi yang relatif tidak memberikan nilai tambah secara ekonomi ini,
perlu mendapat perhatian lebih lanjut dalam hal inovasi pembuatan pakan,
misalnya dengan menghindari penggunaan bahan-bahan pakan yang berharga
tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada usahaternak sapi, setiap
penambahan satu unit input akan diperoleh tambahan pendapatan yang
bervariasi antara 4 sampai 26 unit output. Nisbah R/C ini akan sangat berkaitan
dengan estimasi keuntungan yang diperoleh, semakin tinggi keuntungan yang
didapat, akan semakin besar pula nisbah R/C. Semakin tinggi nisbah R/C
menunjukkan bahwa usaha tersebut semakin menguntungkan. Nilai ini masih
lebih tinggi dari angka yang dilaporkan oleh Boer et al. (2003) pada ternak sapi
PO yang diberi tambahan pakan 15% onggok dengan PBBH 0,503 kg
menghasilkan nisbah R/C sebesar 1,09.
Harga Perlakuan
Uraian satuan P P P
(Rp.) PI II III IV PV
Investasi
Pembelian 28.000,00 6.070.680,00 6.039.880,00 5.959.800,00 5.955.880,00 6.009.800,00
ternak
Biaya
Variabel
Silase 500,00 150.000,00 - 150.000,00 - -
Dedak 5.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 - - -
Probiotik 15,63 1875,60 1875,60 1875,60 1875,60 -
Bio-cass
Obat- 1.600,00 1.600,00 1.600,00 1.600,00 1.600,00 1.600,00
obatan
Peralatan 250.000,00 250.000,00 250.000,00 250.000,00 250.000,00 250.000,00
Tenaga 10.000,00 10.000,00 10.000,00 10.000,00 10.000,00 10.000,00
kerja
Total biaya 7.934.155,60 7.753.355,60 6.623.275,60 6.469.355,00 6.611.400,00
produkai
Penerimaan
Penjualan 30.000,00 8.923.500,00 8.037.300,00 7.897.500,00 8.166.300,00 7.426.500,00
ternak
Total 8.923.500,00 8.037.300,00 7.897.500,00 8.166.300,00 7.426.500,00
Penerimaan
Keuntungan 989.344,40 283.944,40 1.294,224,40 1.666.945,00 815.100,50
R/C 1.12 1.04 1.19 1.26 1.12
513
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Adenjil, A.A. and Zubairu, N., 2013, Nutrition Value of Palm Kernel Cake
Supplemented with or Without Probioticts to Replece Groundnut Cake in
the Diets of Weaner Rabbits, Journal of Animal Science Advances, 3(10) :
517 523.
Amir, P. and Knipscheer, H.C., 1989, Conducting On-Farm Animal Research:
Procedures and Economic Analysis, Winrock International Institute for
Agricultural Development and International Development Research
Center, Morrilton, Arkansas, USA.
Badan Litbang Pertanian, 2005, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis
Sapi, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Boer, M., Azizal, P.B., Hendri, Y. dan Ermidas, 2003, Tingkat Penggunaan
Onggok Sebagai Bahan Pakan Penggemukan Sapi Bakalan, Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 29 30
September 2003. Puslitbang Peteranakan, Bogor, hal. 99 102.
BPS. 2010, Kalimantan Tengah Dalam Angka 2010, Palangkaraya.
Budiharjo, K., 2004, Analisis Profitabilitas Pengembangan Usaha Ternak Itik di
Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal, Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro Semarang.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2004, Buku Statistik Peternakan
Tahun 2004, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2005, Buku Statistik Peternakan
Tahun 2005, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian, Jakarta.
Elisabeth, Y, dan Ginting, S.P., 2003, Pemanfaatan Hasil Samping Industri
Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong, Prosiding
Lokakarya Nasional, Bengkulu, 9-10 September 2003.
Ezema, C., 2013, Probiotics in Animal Production: A Review, Journal of
Veterinary Medicine and Animal Health, 5(11): 308 316
Fuller, R., 1989, Probiotics in man and animals, Journal appl. Bacteriol, 66: 365-
514
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
378
Fuller, R., 2004, What is probiotics? Biologist, 5: 232
Ginting, P.S, dan Elisbeth, Y., 2003, Teknologi Pakan Berbahan Dasar Hasil
Sampingan Perkebunan Kelapa Sawit, Prosiding Lokakarya Nasional
Bengkulu, 9-10 Sepetember 2003.
Jalaludin, S., Jelan, Z.A., Abdullah N., and Haq, Y.W.,1991, Recent
Development in the Oil Palm By-Product base Ruminant Feeding System,
Proc. MSAP, Penang, Malaysia pp 35-44
Koop-Hoolihan, L., 2001, Prophylactic and Therapeutic Uses of Probiotic: A
Review of Jounal of The American Dietic Association. 147: 747 - 748
Kostaman, T., Handiwirawan, E., Haryanto, B., dan Diwyanto, K., 1999, Respon
Bangsa Sapi Potong Terhadap Pemberian Jerami Padi. Pros. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 19 Oktober
1999. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 299 303.
Mahendri, I.G.A.P., Haryanto, B., dan Priyanti, A., 2006, Respon Jerami Padi
Fermentasi Sebagai Pakan Usaha Penggemukkan Ternak Sapi. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Prayitno dan Darmoko, 1994, Prospek Industri Bahan Baku Limbah Padat
Kelapa Sawit
di Indonesia. Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Sumut.
Prayogo, S., Purbowati, E. dan Dartosukarno, S., 2003, Penampilan Sapi
Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin yang Dipelihara Secara
Intensif. Pros. SemNas Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 29
30 September 2003. hlm. 240 24.
Rasyaf, M., 2002, Beternak Itik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Simanihuruk, K., Junjungan dan Ginting, S,P., 2008, Pemanfaatan Silase
Pelepah Sawit Sebagai Basal Kambing Kacang Fase Pertumbuhan.
Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner
Suyasa, Guntora, S., Purwati, Suprapto dan Widyazid, S., 1999, Pemanfaatan
probiotik dalam pengembangan sapi potong berwawasan agribisnis di Bali,
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2(1):
Utomo, Widjaya, N.E., dan Dara, E.K., 2009. Pengaruh pemberian probiotik
lokal (Jamu EKD) terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi
Bali jantan di Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 12(1): 11 20.
515
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRAK
PENDAHULUAN
516
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
biopestisida seperti tumbuhan jenis pohon adalah pulai dan buta-buta, jenis herbal
(tawar dan kakambat) dan jenis gulma (usar dan tapak liman) (Asikin, 2012) .
Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan
kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary
metabolic products), yang fungsinya dalam proses metabolisme. Kelompok
senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi,
termasuk melindungi diri dari gangguan hama maupun penyakit. Sampai saat ini
dalam mengendalikan hama dan penyakit selalu bermitra dengan bahan kimia
beracun atau pestisida kimiawi. Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu
(PHT), pengendalian dengan pestisida kimiawi merupakan alternatif terakhir
apabila komponen tersebut tidak mampu lagi. Di lain pihak penggunaan bahan
kimia beracun atau pestisida kimiawi tersebut sangat berpengaruh bunuk
terhadap lingkungan terutama terbunuhnya jasad bukan sasaran terjadinya
resurgensi dan resistensi terhadap hama dan terbunuhnya musuh alami (predator,
parasitoid dan pathogen).
Tanaman atau tumbuhan yang berasal dari alam dan potensial sebagai
pestisida nabati umumnya mempunyai karakteristik rasa pahit (mengandung
alkaloid dan terpen), berbau busuk dan berasa agak pedas. Tanaman atau
tumbuhan ini jarang diserang oleh hama sehingga banyak digunakan sebagai
ekstrak pestisida nabati dalam pertanian organik (Hasyim. 2010).
Di Indonesia, sejak tahun 2001 Pemerintah telah mencanangkan gerakan
Go Organik 2010 dengan harapan Indonesia sebagai salah satu produsen
utama pangan organik di dunia. Oleh karena itu dalam SNI 01-6729-2002 yang
mengatur sistem pangan organik telah melarang penggunaan pestisida kimia dan
dianjurkan menggunakan pestisida alami ( termasuk pestisida nabati) dan
pengendalian secara mekanis ( Rizal, 2009).
Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan jenis tumbuhan yang
efektif untuk digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan hama dalam
menunjang pertanian organik.
517
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Hasil-Hasil Penelitian
518
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Gambar 3. Tumbuhan
Gandarusa/Kakambat
Gulinggang (Cassia alata)
519
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
520
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
521
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dari beberapa hasil
penelitian diketahui bahwa tumbuhan rawa seperti tumbuhan jenis pohon pulai dan
buta-buta, jenis herbal (tawar dan kakambat) dan jenis gulma (usar dan tapak
liman), dapat digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan hama ulat
grayak dengan persentase kematian larva masing-masing sebesar untuk tumbuhan
pohon pulai (80-95 %), Buta-buta (80-95%), tumbuhan herbal Tawar (80-92,5%),
Kakambat (75-80%) dan gulinggang (70-80%) dan jenis gulma usar (85-95%),
522
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA
523
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRAK
Di lahan rawa ditemukan flora rawa yang sangat bervasiasi jenisnya, dari
jenis flora tersebut ada yang berfungsi sebagai bahan pengendali hama, pupuk,
bahan penyerap unur beracun, biofilter dan bahan obat-obatan. Dalam
mengendalikan hama pada umumnya selalu bertumpu dengan menggunakan
insektisida sintetik. Sulitnya mengurangi penggunaan insektisida kimia atau yang
disebut insektisida sintetik disebabkan belum adanya cara pengendalan lain yang
efektif. Insektisisa sintetik mudah aplikasinya karena siap pakai dan hasilnya lebih
cepat terlihat. Padahal telah banyak dilaporkan bahwa insektisida sintetik bukan saja
berdampak negatif bagi lingkungan, namun juga terhadap kesehatan manusia. Untuk
mengatasi hal tersebut di atas perlu dicari alternatif pengendalian hama yang ramah
lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan beberapa jenis flora seperti tumbuhan
purun tikus dapat digunakan sebagai tanaman perangkap hama penggerek batang
padi putih dan sebagai bahan attraktannya. Beberapa jenis flora rawa dapat
digunakan sebagai bahan pembuatan insektisida nabati misalnya seperti tumbuhan
Kepayang, Bintaro, Simpur, Jingah, Pegagang, Cambai karuk dalam mengendalikan
hama ulat grayak,ulat jengkal,ulat buah, ulat kubis/plutella dan wereng coklat.
Untuk tumbuhan Kirinyu atau rumput minjangan berperan sebagai biopestisida dan
bahan pupuk organik atau Biopertilezer.
Kata kunci: Flora rawa, pengendali hama, ramah lingkungan
PENDAHULUAN
524
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
langsung maupun tidak langsung, sangat bermanfaat untuk bahan baku pupuk,
industri, obat-obatan, sayuran, biofilter, makanan ternak, makanan ikan, inang
hama, dan alat penjernih limbah cair rumah tangga. Penggalian berbagai potensi
flora rawa itu, telah banyak yang melaporkan (Everaats, 1981), dilakukan
melalui pengetahuan kearifan lokal, inventarisasi, koleksi dan pelestarian plasma
nuftahnya. Untuk pelestarian gulma yang bermanfaat masih ditemui banyak
permasalahan, terutama mengenai budidaya gulma, karena pada saat ini gulma
masih dikategorikan sebagai tumbuhan liar.
Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan manfaat dari beberapa
jenis flora rawa pasang surut yang dapat digunakan sebagai komponen
pengendali hama ramah lingkungan.
8000
7000
6000
5000 2005
Kel.Telur 4000 2006
3000 2007
2000 2008
1000 2009
0
E.dulcis P.karka S.grossus Padi
Gambar 1. Kelompok Telur Peng Batang Padi pada Beberapa Tumbuhan liar
dan padi di Lahan Pasang Surut. Sumber : Asikin dan Thamrin (2009)
Jumlah kelompok telur yang diletakkan pada purun tikus lebih banyak
daripada tumbuhan lainnya, hal ini disebabkan tumbuhan lainnya mempunyai
batang yang lebih keras, selain itu bagian permukaan batang purun tikus lebih
licin sehingga memudahkan bagi penggerek batang untuk meletakkan telurnya.
Menurut Asikin et al. (2001) bahwa penggerek batang padi putih lebih tertarik
meletakkan telurnya pada purun tikus dibandingkan dengan padi yang
permukaan daunnya kasar.
Hasil penelitian yang menggunakan purun tikus sebagai tanaman
perangkap ternyata yang diletakkan di tepi sawah lebih banyak memerangkap
penggerek batang padi untuk meletakkan telurnya dengan tingkat kerusakan
525
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
paling rendah dan yang tertinggi adalah areal pertanaman padi tanpa tanaman
perangkap (Gambar 2).
16
14
12
60
50
JJlh.Kel.Telu
40
30
20
10
0
E.dul cis S.grosus L.articulata S.palutris P.karka Kontrol
Jenis Ekstrak
526
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
35
30
Jlh.Kel.Telu
25
20 Langsung
15 Simp 1 hari
10 Kontrol
5
0
Bhn Segar Bhn Kering
E.ducis
527
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
528
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
529
Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014
lebih sukar dicapai ole h cairan pencernaan hewan. Sebahagian besar tumbuhan
yang banyak mengandung tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan
karena rasanya yang sepet (Rus taman et.al 2007).
Utami (2010), melaporkan bahwa seperti biji bintar o/kelampan
mengandung alkaloid, steroid, triterpenoid dan saponin. Da ging buah
mengandung flavonoid, steroid, dan saponin. Daun mengandung flavo noid,
tanin, saponin dan steroid. Ranting mengandung flavonoid dan steroid.
Sedangkan kulit batang mengandung fvonoid dan steroid.
Senyawa golon gan alkaloid bersifat toksik, repellent, dan mempunyai
aktivitas penghambat makan terhadap serangga (antifeedant). Prosea (2002)
melaporkan bahwa adan ya kandungan cerberin pada biji bintaro/kelampan
diduga memberikan efek mematikan pada tikus. Cerberin merupakan golongan
alkaloid/glikosida yang diduga berperan terhadap mortalitas serangga. Saponin
dan plifenol dikenal sebagai senyawa yang sangat toksik terhadap serangga.
Sedangkan flavonoid m empunyai efek antimikroba/sesebagai pelindun g
tanaman dari patogen dan antife edant (Dadang dan Prijono, 2008). Adanya
kandungan bahan kimia yang terda pat pada bagian-bagian tanaman
bintaro/kelampan tersebut maka potensi tanaman bintaro/kelampan sebagai
pengendali seran gga hama termasuk rayap kayu kering sangat besar.
Tumbuhan Simp ur (Dellinia suffruticosa), merupakan salah satu
tumbuhan asli Asia yang menga ndung antioksidan. Adapun senyawa antiok
sidan yang terindentifikasi dalam t anaman simpur (Dillenia suffruticosa) adalah
B HT dan 1-doctriacontanol (Prames ti, 2005).
Gambar 4. Efikasi ekstrak flora rawa Bintaro dan Simpur terhadap ham a
perusak daun Pegagan (Centela asiatica [L.] Urban)
530
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
531
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Rumput minjangan/Kirinyu
Meskipun keefektifan senyawa kimia nabati jauh dibawah senyawa kimia
sentetik, tetapi senyawa tersebut mempunyai kelebihan, yaitu kurang
menimbulkan dampak negatif antara lain risidu yang terjadi melalui tantai
makanan yang membahayakan manusia dan lingkungan. Menurut Campbell,
(1933) dan Burkill, (1935) jenis tumbuhan telah diketahui berfungsi sebagai
insektisidal dan repelen atau attraktan mengandung senyawa bioaktif seperti
alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tanin.
Pada pestisida nabati tersebut diduga bersifat racun perut, karena pada hari
pertama terjadi kontak belum memperlihatkan gejala keracunan, tetapi setelah larva-
larva tersebut makan sehingga mengakibatkan gejala keracunan bagi larva tersebut.
Daya toksisitas/racun tertinggi yaitu pada bahan tumbuhan Pangium edule,
Palatycerium bifurcatum dan Eriglossum rubiginosum dan Chromolaena odorata
yaitu daya racunnya berkisar antara 70-85% (Asikin dan Thamrin, 2002).
Tumbuhan ini dapat digunakan sebagai obat luka tanpa menimbulkan
bengkak, tumbuhan ini berfungsi juga sebagai bahan insektisida nabati untuk
mengendalikan beberapa jenis hama sayuran. Biller et al. (1994), melaporkan
tumbuhan rumput minjangan juga dapat digunakan sebagai pakan ternak, namun
harus melalui proses pengolahan seperti pengeringan dan penumbukan. Rumput
minjangan mengandung Pas (Pryrrolizidine Alkaloids) sebagai racun, dan
kandungan ini menyebabkan tanaman ini berbau menusuk, rasa pahit, sehingga
bersifat repellent dan juga mengandung allelopati.
Rumput minjangan/Kirinyu ini cukup efektif dalam mengendalikan hama
perusak tanaman sepeti ulat grayak, ulat jengkaldan ulat buah (Asikin dan
Thamrin 2005).
Kirinyu (Chromolaena odorata) adalah salah satu tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai larvasida alami. Tumbuhan ini mengandung senyawa fenol,
alkaloid, triterpenoid, tanin,flavonoid (eupatorin) dan limonen. Kandungan tanin
yang terdapat dalam daun kirinyuh adalah 2,56% (Romdonawati, 2009).
Menurut Ikhimioya (2003), Chromolaena odorata mengandung zat antinutrisi.
Kandungan antinutrisi Chromolaena odorata adalah sebagai berikut:
Haemagglutinnin 9.72 mg/g, Oxalate 1.89 %, Phytic acid 1.34 % dan Saponin
0.50
532
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
sebagai sumber bahan organic tanah. Bahan organic tanah penting peranannya
dalam memperbaiki sifat fisik dan kimia maupun biologi tanah.
Hasil penelitian Pratikno (2002) menunjukkan bahwa biomasa
Cromolaena odorata dan Agerathum conyzoides merupakan bahan organic
kualitas tinggi dengan komposisi kimia bahan seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa jenis flora
rawa dapat digunakan sebagai komponen pengendalikan hama ramah lingkungan
misalnya seperti flora rawa purun tikus dapat digunakan sebagai tanaman perangkap
hama penggerek batang padi putih dan sebagai bahan attraktannya.
Beberapa jenis flora rawa dapat digunakan sebagai bahan pembuatan
insektisida nabati misalnya seperti tumbuhan Kepayang, Bintaro, Simpur, Jingah,
533
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, S., M.Thamrin dan A. Budiman. 2001. Purun Tikus (Eleocharis dulcis)
(Burm.F.) Henschell Sebagai Agensia Pengendali Hama Penggerek
Batang Padi dan Konservasi Musuh Alami di Lahan Rawa Pasang Surut.
Prosiding Simposium Keanekagaragam Hayati dan Sistem Produksi
Pertanian Cipayung, 16-18 Nopember 2000.
Asikin. S., dan M.Thamrin. 2002. Bahan Tumbuhan Sebagai Pengendali Hama
Ramah Lingkungan. Disampai pada Seminar Nasional Lahan Kering
dan Lahan Rawa 18-19 Desember 2002. BPTP Kalimantan Selatan dan
Balittra. Banjarbaru.
Asikin. S., M.Thamrin dan M.Willis. 2002. Iventarisasi Tumbuhan Sebagai
Bahan Pestisida Nabti. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru
Asikin, S., dan M.Thamrin. 2005. Bahan Tumbuhan Rawa Yang Berpotensi
Sebagai Insektisida Nabati. Disampaikan pada Seminar Nasional
Pestisida Nabati III, 21 Juli 2005.
Asikin., S. 2005. Manfaat Beberapa Bagian Tumbuhan Kapayang Terhadap
Hama Sayuran. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru.
Asikin., S. 2006. Penggunaan Tumbuhan Kapayang Terhadap Hama Perusak
Daun Sawi dan Bayam. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru.
Asikin. S., dan M.Thamrin. 2007. Koleksi Bahan Tumbuhan Yang Berpotensi
Mengandung Bahan Bioaktif Untuk Pengendalian Hama. Laporan Hasil
Penelitian Balittra. Banjarbaru.
Budiman., A., M.Thamrin dan S.Asikin. 1988. Beberapa Jenis Gulma di Lahan
Pasang Surut Kalimantan Selatan dan Tengah Dengan Tingkat
Kemasaman Tanah Yang Berbeda. Prosiding Konperensi KeIX HIGI.
Bogor 22-24 Maret 1988.
Biller, A., M. Boppre, L. Witte and T. Hertman. 1994. Pyrrolizidine alkaloids in
Chromolaena odorata. Phytochemistry.
http//www.ens.cau.au//Chromolaena/o/o mod.html. Diakses 26
Agustus 2005
Dadang dan D.Prijono. 2008. Insektisida Nabati :Prinsip, Pemanfaatan dan
Pengembangan. Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian IPB.
Bogor
Everaats, A.P. 1981. Weeds of vegetables in the highlands of Java. Horticultural
Research Institute. Jakarta.
Hairiah, K. 2000. Biologi Tanah. Program Pascasarjana. Universitas
Brawijaya.Malang
http:/waristek.ristek.go.id/pertanian. Jengkol, diakses tanggal 4 Desember 2008.
534
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
535