Anda di halaman 1dari 75

58

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tension-Type Headache Kronik

Tension Type Headache kronik adalah nyeri kepala yang berasal dari

TTH episodik, dengan serangan setiap hari atau serangan episodik nyeri

kepala yang lebih sering yang berlangsung beberapa menit sampai

beberapa hari. Nyeri kepala bersifat bilateral, menekan atau mengikat

dalam kualitas dan intensitas ringan atau sedang, dan nyeri tidak

bertambah memberat dengan aktifitas fisik yang rutin. Kemungkinan

`terdapat mual, fotofobia atau fonofobia ringan (Sjahrir, Machfoed,

Suharjanti, Basir, Adnjana, 2013).

Universitas Sumatera Utara


59

Prevalensi nyeri kepala pada populasi dewasa berkisar 47% untuk

nyeri kepala secara umum, di dalamnya termasuk 10% migren, 38% TTH

dan 3% nyeri kepala kronik. Prevalensi migren lebih tinggi di Eropa dan

Amerika Utara, sedangkan prevalensi TTH lebih tinggi di Eropa (80%)

dibandingkan dengan Asia dan Amerika (20-30%) (Jensen dan Stovner,

2008). Sejumlah 1,4-2,2% dari populasi menderita migren kronik dan 2,2%

menderita TTH Kronik, dimana penderitanya mengalami 15 hari atau lebih

serangan setiap bulan (Houle, Butschek, Turner, Smitherman, Raphins,

2012).

Pada penelitian klinis dengan follow-up selama 10 tahun terhadap

62 penderita yang di awal penelitian menderita TTH episodik, 75% tetap

menderita TTH episodik dan 25% berubah menjadi TTH kronik. Pada yang

awalnya menderita TTH kronik, 31% tetap menderita TTH kronik, 21%

menjadi medication-overuse headache, dan sisanya berubah menjadi

TTH episodik, dengan atau tanpa terapi profilaksis (Mork, 2000).

Lyngberg dkk meneliti 146 penderita TTH episodik frequent, dan 15

penderita TTH kronik. Ternyata setelah difollow-up dijumpai 45% berubah

menjadi TTH infrequent atau tidak ada nyeri kepala, 39% tetap menderita

TTH episodik frequent, dan 16% menjadi TTH kronik. Luaran yang buruk

berhubungan dengan TTH kronik sejak awal, menderita migren pada saat

yang bersamaan, tidak menikah dan adanya gangguan tidur (Lyngberg,

2005). Beberapa faktor risiko kronifikasi nyeri kepala yang dapat

dimodifikasi pada populasi non klinis termasuk jenis kelamin wanita, status

sosioekonomi rendah, dan riwayat pernikahan sebelumnya. Sedangkan

Universitas Sumatera Utara


60

faktor risiko potensial yang dapat dimodifikasi meliputi obesitas,

mengorok, komorbid dengan penyakit nyeri lainnya, cedera kepala atau

leher, dan pengalaman hidup seperti kematian dan perceraian (Scher,

Midgette, Lipton, 2008).

Dampak yang diakibatkan oleh nyeri kepala tidak terbatas hanya

pada oleh rasa nyerinya tetapi meliputi 3 dimensi, yaitu distres afektif,

densitas nyeri dan disabilitas (Holroyd, Malinoskia, Davis, Lipchik,1999).

Dampak TTH kronik terhadap hidup penderitanya ternyata lebih besar dari

anggapan saat ini, dan distres afektif merupakan dampak yang penting

(Holroyd, Stensland, Lipchik, Hill, ODonnel, Cordingley, 2000). Ansietas

atau depresi dapat berkontribusi terhadap sensitisasi sentral yang

mendasari TTH frekuen. Penggunaan analgetik yang berlebihan,

komorbid dengan gangguan psikiatris, atau pemicu nyeri kepala yang

tidak jelas yang persisten dapat membatasi efektifitas pengobatan nyeri

kepala. Obat-obatan dan terapi behavior saat ini efektif untuk ETTH tetapi

kurang begitu efektif untuk CTTH. Kombinasi terapi behavior dan obat

preventif mungkin dapat memperbaiki hasil pengobatan CTTH (Holroyd,

2002).

Penelitian-penelitian terdahulu mengenai mekanisme patofisiologi

TTH memfokuskan pada faktor muskuler. Namun, telah menjadi lebih

nyata bahwa faktor sentral, khususnya sensitisasi sentral juga memiliki

peranan yang penting (Matthews, 2006).

Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan

neuron trigeminal sentral. Faktor-faktor miofasial dan sensitisasi perifer

Universitas Sumatera Utara


61

dari nosiseptor memegang peranan dalam kejadian TTH episodik,

sedangkan sensitisasi sentral berperan dalam TTH kronik.

Ketidakseimbangan antara faktor miofasial perifer dengan mekanisme

sentral merupakan faktor dasar patogenetik sefalgia (Jensen, Ehde,

Hoffman, Patterson, Czerniecki, Robnson, 2002; Sjahrir, 2008).

2.1.1. Faktor Perifer

Nyeri tekan jaringan miofasial perikranial merupakan gambaran

klinis yang paling nyata pada TTH. Dianggap bahwa impuls nosiseptif dari

otot-otot perikranial mungkin dijalarkan ke kepala dan akan dirasakan

sebagai nyeri kepala. Oleh karenanya jaringan miofasial memiliki peran

penting dalam TTH. Mekanisme patofisiologi yang meningkatkan nyeri

tekan ini masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.

Mekanisme yang mungkin yang menyebabkan nyeri miofasial dan

nyeri tekan meliputi (Bendtsen, 2000) : 1. Sensitisasi nosiseptor miofasial;

2. Sensitisasi second order neurons pada level spinal dorsal horn/

trigeminal nucleus. ; 3. Sensitisasi neuron supraspinal ; dan 4. Penurunan

aktifitas antinosiseptif dari struktur supraspinal.

Pada kondisi normal, nyeri miofasial dimediasi oleh serabut tipis

bermielin (A) dan serabut C tidak bermielin, dan serabut bermielin yang

tebal (A dan A) normalnya memediasi sensasi yang tidak berbahaya.

Berbagai keadaan yang berbahaya, seperti stimulus mekanik, iskemia dan

mediator kimia dapat mengeksitasi dan mensensitisasi serabut A dan

Universitas Sumatera Utara


62

serabut C, dan oleh karenanya memiliki peran dalam peningkatan nyeri

tekan pada TTH (Matthews, 2006)

Selama bertahun-tahun dianggap bahwa kontraksi otot-otot kepala

dan leher merupakan hal penting dalam perkembangan TTH,

sebagaimana terefleksi dari terminologi sebelumnya dari penyakit ini,

muscle-contraction headache. Namun berbagai studi elektromiografi

(EMG) menunjukkan aktifitas otot yang normal atau hanya sedikit

meninggi pada TTH. Hal ini mungkin tidak menimbulkan iskemia otot

umum. Peningkatan aktifitas otot mungkin merupakan suatu adaptasi

protektif terhadap nyeri, dibandingkan sebagai penyebab nyeri (Bendsten,

2000).

Peningkatan kekerasan otot perikranial dijumpai pada penderita

TTH kronik, namun hanya sedikit hubungan antara kekerasan dan

intensitas nyeri kepala. Pada penelitian oleh Rollnik dkk yang memberikan

injeksi toksin botulinum dengan tujuan untuk menurunkan kekerasan otot

temporalis dinilai dengan pemeriksaan EMG dan dievalusi setelah 12

minggu, ternyata tidak ditemukan penurunan dalam nyeri kepala (Rollnik,

Karst, Fink, Dengler, 2001). Selama istirahat atau olahraga, konsentrasi

laktat di otot trapezius tidak berbeda antara penderita TTH kronik

dibandingkan dengan orang sehat. Namun peningkatan aliran darah yang

diinduksi olahraga berkurang (blunted) pada penderita TTH kronik,

diinterpretasikan sebagai peningkatan vasokonstriksi simpatetik

sehubungan dengan hipereksitabilitas neuron-neuron SSP (Fernandez-

de-las-Penas, Bueno, Ferrando, Elliot, Cuadrado, Pareja, 2007).

Universitas Sumatera Utara


63

Peningkatan nyeri tekan perikranial mungkin disebabkan adanya

peningkatan aktifitas pada myofascial trigger points (MTPs). Myofascial

trigger points adalah suatu tempat yang hyperirritable yang berhubungan

dengan berkas yang rapat pada otot skeletal. Myofascial trigger points ini

memberikan respon nyeri terhadap tekanan dan regangan, dan selalu

menyebabkan pola karakteristik nyeri rujukan (referred pain) (Fernandez-

de-las-Penas dan Schoenen, 2009). Aktifitas EMG spontan ditemukan

dalam nidus 1-2 mm dari seluruh MTP pada penderita TTH kronik. Diduga

MTP yang aktif menyebabkan kadar mediator kimia yang lebih tinggi,

seperti bradikinin, CGRP, substansi P, serotonin, norepinefrin, dan lain-

lain, tidak hanya di sekitar MTP, namun juga di regio yang jauh yang

bebas nyeri (Shah, Danoff, Desai, Parikh, Nakamura, Philips, et.al. 2008).

Bila hal ini benar, maka teori MTP aktif yang dapat menyebabkan

sensitisasi nosiseptor perifer, yang selanjutnya melalui input nosiseptif

yang persisten, berkontribusi terhadap sensitisasi sentral dan kronifikasi

dari TTH. Selanjutnya kronifikasi TTH akan menimbulkan peningkatan

nyeri tekan perikranial (Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2010). Couppe

dkk menemukan bahwa trigger points (TPs) aktif jauh lebih sering

ditemukan pada TTH kronik dibanding kontrol, dan jumlah serta intensitas

nyeri dari TPs dapat digunakan untuk membedakan kedua grup (Couppe,

Torelli, Fuglsang-Frederiksen, Andersen, Jensen, 2007). Trigger points

aktif multipel ditemukan pada otot temporalis, khususnya di columna

anterior dan di medial perut otot (muscle belly) . Lokasi TPs yang aktif di

otot temporalis berhubungan dengan area otot dengan ambang nyeri

Universitas Sumatera Utara


64

tekan yang rendah, mendukung adanya hubungan antara TPs aktif

multipel dengan peta topografis sensitifitas terhadap tekanan pada wanita

dengan TTH kronik (Fernandez-de-las-Penas, Caminero, Madeleine,

Guillem-Mesado, Ge, Arendt-Nielsen, et.al., 2009). Pada penderita TTH

kronik, nyeri lokal dan nyeri referal dari TPs aktif di otot temporalis

mungkin berkontribusi terhadap karakteristik nyeri pada TTH kronik

(Fernandez-de-las-Penas, Bueno, Ferrando, Elliot, Cuadrado, Pareja,

2007).

Myofascial trigger points yang aktif ditemukan di otot-otot yang

dipersarafi nervus trigeminal, seperti temporalis, masseter, otot-otot

ekstraokular, dan di otot-otot yang dipersarafi oleh segmen C1-C3, seperti

sternokleidomastoideus, suboksipital dan trapezius atas. Penderita TTH

kronik memiliki MTP yang lebih banyak dibandingkan dengan orang sehat.

Hal ini menunjukkan kemungkinan peranan MTP dalam patofisiologi TTH

(Marcus, Scharff, Mercer, Turk,1999).

Gambar 1 di bawah ini menunjukkan bagaimana terjadinya konversi

dari TTH episodik menjadi TTH kronik. Masukan nyeri yang terus menerus

dari jaringan miofasial perikranium menginduksi terjadinya sensitisasi

sentral, sehingga lama kelamaan stimulus yang seharusnya tidak

menimbulkan nyeri, diterjemahkan sebagai nyeri (Bezov, Ashina, Jensen,

Bendtsen, 2011).

Universitas Sumatera Utara


65

Gambar 1. Input nosiseptif perifer yang berkelanjutan sebagai


kemungkinan penyebab sensitisasi sentral dan kronifikasi nyeri kepala.
Dikutip dari : Bezov, Ashina, Jensen, Bendsten (2011)

Sel imun dan glia berinteraksi dengan neuron untuk meningkatkan

sensitifitas terhadap nyeri dan untuk memediasi transisi dari nyeri akut

menjadi nyeri kronik. Sebagai respon terhadap cedera, sel-sel imun

diaktifasi dan sel imun di dalam darah akan menuju lokasi cedera. Sel-sel

imun ini tidak hanya bertanggung jawab untuk mekanisme pertahanan

tubuh tetapi juga menginisiasi sensitisasi nosiseptor perifer. Melalui

sintesis dan pelepasan mediator inflamasi dan interaksinya dengan

neurotransmitter dan reseptornya, sel-sel imun, glia dan neuron-neuron

membentuk jaringan yang terintegrasi yang mengkoordinasikan respon

imun dan memodulasi eksitabilitas jalur nyeri. Sistem imun juga akan

mengurangi sensitisasi dengan menghasilkan immune-derived analgetic

dan anti inflamasi atau agen proresolusi (Ren dan Dubner, 2010).

Studi oleh Hubbard dan Berkoff (1993) yang menggunakan

elektroda jarum, melaporkan aktifitas EMG pada MTP meningkat secara

signifikan dibandingkan aktifitas EMG pada otot yang tidak nyeri (non-

Universitas Sumatera Utara


66

tender). Selanjutnya, aktifitas EMG pada trigger points secara signifikan

lebih tinggi pada penderita TTH kronik dibandingkan dengan kontrol yang

sehat. Trigger point tersebut ternyata hanya berdiameter beberapa

milimeter, yang mungkin dapat menjelaskan mengapa peningkatan

aktifitas EMG hanya dapat dideteksi sebahagian pada elektroda

permukaan. Aktifitas yang terus-menerus pada beberapa motor unit

sepanjang waktu yang lama mungkin cukup untuk perkembangan nyeri

miofasial dan nyeri kepala. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa

nyeri tekan miofasial tidak disebabkan kontraksi otot berlebihan yang

menyeluruh sehingga menyebabkan iskemia otot, seperti yang

sebelumnya diyakini (Bendsten, 2000).

Ambang nyeri (pain treshold) pada penderita TTH dapat diteliti

menggunakan tekanan, elektrik dan termal (panas dan atau dingin). Untuk

semua modalitas stimulus, ambang deteksi nyeri, ambang toleransi nyeri

dan laporan nyeri dapat dinilai. Ambang deteksi nyeri adalah kemungkinan

stimulus terendah yang menimbulkan sensasi nyeri. Ambang toleransi

nyeri adalah stimulus nyeri maksimal yang dapat ditoleransi seseorang.

Studi ambang nyeri pada penderita TTH menunjukkan perbedaan antara

penderita TTH episodik dan TTH kronik. Deteksi ambang nyeri tekan yang

normal ditemukan pada penderita TTH episodik pada beberapa studi

(Gobel, Weigle, Kropp, Soyka,1992; Jensen, Rasmussen, Pedersen,

Olesen, 1993; Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2011). Namun pada

penderita TTH kronik, berbagai studi melaporkan adanya ambang nyeri

tekan, termal dan elektrik yang lebih rendah pada regio sefalik

Universitas Sumatera Utara


67

dibandingkan kontrol. Bendsten dan Jensen juga menemukan adanya

penurunan ambang nyeri dan toleransi nyeri pada penderita TTH kronik

(Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2011).

Peningkatan sensitifitas nyeri miofasial dapat merupakan akibat

dari pelepasan mediator-mediator inflamasi, yang menghasilkan eksitasi

dan sensitisasi aferen sensorik perifer (Bendsten, 2000). Penelitian Bo

dan kawan-kawan (2008) menemukan peningkatan kadar sitokin IL-1,

TGF-1 dan MCP-1 pada CSS penderita TTH episodik dan migren.

Peningkatan konsentrasi protein CSS yang ditemukan pada penderita

nyeri kepala menunjukkan bahwa sawar darah otak mungkin agak rentan

(compromised), dan peningkatan sitokin dapat merupakan perembesan

melalui sawar darah otak dari plasma (Bo, Davidsen, Gulbrandsen,

Dietrichs, Bovim, Stovner, et.al., 2008).

Meskipun fungsi fisiologis sitokin di otak adalah sebagai

neuromodulator dan memiliki fungsi imunologik untuk preservasi atau

restorasi hemostasis, telah diketahui bahwa sedikit saja perubahan pada

kadarnya di otak (yang mungkin tidak dapat diukur di CSS) terkadang

dapat mengakibatkan reaksi sistemik dan sintesis sitokin perifer (Rothwell,

1995). Mungkin juga bahwa faktor-faktor seperti sitokin dapat memicu

sistem trigeminovaskuler, yang dianggap sebagai bagian dari sistem

pertahanan otak. Dalam memicu pelepasan neuropeptida vasoaktif dan

nosiseptif, sitokin dapat berkontribusi terhadap terjadinya nyeri kepala.

Bisa juga sitokin dilepaskan oleh karena aktifasi trigeminovaskuler (Bo,

Davidsen, Gulbrandsen, Dietrichs, Bovim, Stovner, et.al., 2008).

Universitas Sumatera Utara


68

Mediator-mediator kimia juga dapat mensensitisasi ujung saraf

nosiseptif. Khususnya stimulan-stimulan yang efektif untuk nosiseptor-

nosiseptor otot skelet adalah substansi endogen, seperti serotonin,

bradikinin dan ion potassium. Substansi-substansi ini dapat dihasilkan

melalui berbagai mekanisme. Misalnya, serotonin dilepaskan oleh platelet,

bradikinin dapat dipecah dari molekul plasma prekursornya kallin, dan

potassium dapat dilepaskan dari sel-sel otot, bila kondisi patologik terjadi

(penurunan pH selama iskemia, kerusakan vaskuler, dan cedera terhadap

sel otot) (Bendsten, 2000).

2.1.2. Faktor Sentral

Peningkatan sensitifitas nyeri miofasial pada TTH kronik juga dapat

disebabkan faktor-faktor sentral, seperti sensitisasi second-order neurons

pada level spinal dorsal horn/ trigeminal nucleus, sensitisasi neuron

supraspinal dan penurunan aktifitas antinosiseptif dari struktur supraspinal

(Matthew, 2006)

Mekanisme sentral merupakan hal yang sangat penting dalam

patofisiologi TTH kronik. Telah diketahui bahwa deteksi nyeri tekan dan

ambang toleransi terhadap stimulus mekanik menurun pada penderita

TTH kronik. Selanjutnya, Bendsten (1996) menunjukkan bahwa penderita

dengan TTH kronik mengalami persepsi nyeri yang terganggu secara

kualitatif. Menurut model yang diajukan oleh Bendtsen pada tahun 2000,

masalah utama pada TTH kronik adalah sensitisasi sentral pada level

spinal dorsal horn atau trigeminal nucleus yang menyebabkan terjadinya

Universitas Sumatera Utara


69

sensisitasi sentral. Perubahan neuroplastik sentral dapat mempengaruhi

regulasi mekanisme perifer dan menyebabkan peningkatan aktifitas otot

perikranial atau pelepasan neurotransmitter di jaringan miofasial

(Bendtsen, 2000). Berdasarkan hal ini, dianggap bahwa sensitisasi

sentral dan keadaan nyeri kronik pada penderita TTH kronik mungkin

berhubungan dengan sensitisasi pada level spinal dorsal horn atau

trigeminal nucleus, atau keduanya, diinduksi oleh input nosiseptif yang

berkelanjutan dari jaringan miofasial perikranial (Ashina, 2007).

Peningkatan sensitifitas nyeri pada TTH kronik dapat disebabkan

penurunan aktifitas antinosiseptif dari struktur supraspinal, yaitu

terganggunya modulasi nyeri sentral. Nociceptive flexion reflex (NFR)

adalah refleks withdrawal yang diorganisasi oleh spinal, yang merupakan

subjek terhadap pengaruh supraspinal dan dapat tertekan (peningkatan

ambang) oleh diffuse noxious inhibitory control (DNIC). Diffuse noxious

inhibitory control yang dipicu oleh serabut A perifer dan serabut C, dapat

berasal dari aktifasi fisiologis dari beberapa struktur otak yang diduga

terlibat dalam inhibisi descending (descending inhibition). Langemark

(1993) menemukan penurunan ambang NFR pada penderita TTH kronik

dibandingkan kontrol. Studi oleh Pielsticker (2005) menemukan adanya

gangguan pada mekanisme inhibisi DNIC pada penderita TTH kronik.

Sementara itu, studi Catchart (2010) menunjukkan bahwa respons DNIC

menurun pada penderita TTH kronik dalam responsnya terhadap 10

denyut algometer dan inflasi cuff, dibandingkan dengan kontrol yang

sehat. Secara kumulatif, studi-studi diatas menunjukkkan disfungsi dari

Universitas Sumatera Utara


70

DNIC pada penderita TTH kronik (Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen,

2011).

Calcitonin-gene-related peptide (CGRP) adalah neurotransmitter

yang aktif pada sistem trigeminovaskuler. Konsentrasi plasma CGRP

meningkat selama serangan migren dan nyeri kepala klaster. Pada

penderita TTH kronik, konsentrasi plasma CGRP normal, tidak bergantung

pada keadaan nyeri kepala, dan tidak meningkat setelah pemberian

glyceril trinitrate. Namun, pada penderita TTH kronik dengan nyeri yang

berpulsasi, konsentrasi CGRP meningkat pada periode interiktal (Ashina,

Bendtsen, Jensen, Schifter, Olesen, 2000).

Neurotransmitter diketahui terlibat dalam perkembangan sensitisasi

sentral, termasuk takikinin, substansi P, neurokinin A, dan asam amino

eksitasi glutamat. Pelepasan neurotransmitter-neurotransmitter ini yang

berlama-lama dapat mengaktifasi reseptor post-sinaptik yang pada

keadaan normal terblok, misalnya reseptor N-methyl D-aspartate (NMDA).

Aktifasi reseptor NMDA menyebabkan peningkatan influks kalsium, yang

menginisiasi kaskade biokimia, termasuk peningkatan produksi nitric

oxide, prostaglandin, dan protein-protein kinase. Hal ini dapat

menyebabkan perubahan metabolik jangka panjang dan meningkatkan

eksitabilitas sel yang terkena (Coderre, Katz, Vaccarino, Melzack, 1993;

Yakhs dan Malmberg 1994; Dickenson, 1996).

Konsentrasi plasma substansi P, neuropeptida Y dan peptida

vasoaktif intestinal di sirkulasi kranial dan perifer tidak berbeda antara

penderita TTH kronik dan orang sehat, dan konsentrasinya tidak

Universitas Sumatera Utara


71

berhubungan dengan ada tidaknya nyeri kepala. Pada penderita TTH

episodik, konsentrasi substansi P yang lebih tinggi ditemukan di platelet,

dan konsentrasi yang lebih rendah dari -endorphin ditemukan pada sel

mononuklear darah perifer, konsentrasi substansi P dan -endorphin

berhubungan terbalik, dan ambang nyeri tekan berhubungan negatif

dengan konsentrasi substansi P. Suatu studi yang membandingkan

penderita migren dengan penderita TTH menunjukkan bahwa pada

penderita TTH ditemukan platelet yang rendah dan konsentrasi met-

enkephalin yang tinggi, dimana yang bertentangan ditemukan pada

penderita migren. Peningkatan konsentrasi metenkephalin ditemukan

pada penderita TTH kronik, yang selanjutnya mendukung hipotesis bahwa

dijumpai ketidakseimbangan antara mekanisme pronosiseptif dan dan

antinosiseptif pada penyakit ini (Langemark, Bach, Ekman, Olesen, 1995;

Furnal dan Schoenen, 2008).

Studi pada binatang menunjukkan bahwa sensitisasi pathway nyeri

dapat disebabkan atau berhubungan dengan aktifasi nitric oxide synthase

(NOS) dan pembentukan nitric oxide (NO). Inhibitor NOS mengurangi

sensitisasi sentral pada nyeri persisten pada model binatang dengan

mengurangi sensitisasi spinal dorsal horn yang diinduksi oleh input nyeri

yang berkelanjutan dari perifer. Ashina dan kawan-kawan (1999) meneliti

efek analgesik inhibitor NOS, NG-monomethyl-L-arginine hydrochloride ( L -

NMMA). Obat ini secara signifikan menurunkan nyeri kepala dan nyeri

miofasial perikranial dan juga kekerasan otot (muscle hardness). Studi ini

memberikan informasi penting mengenai mekanisme aksi antinosiseptif

Universitas Sumatera Utara


72

dari inhibisi NOS pada TTH kronik (Ashina, Bendtsen, Jensen, Lassen,

Sakai, Olesen,1999; Matthew, 2006). Percobaan hewan menunjukkan

inhibisi NOS mengurangi sensitisasi sentral pada nyeri persisten.

Pemberian L-NG-methylarginine hydrochloride secara bermakna

mengurangi nyeri kepala dan faktor miofasial pada penderita TTH kronik.

Mekanisme kerjanya diduga terutama dengan mengurangi sensitisasi

sentral pada level kornu posterior medulla spinalis atau nukleus trigeminal

atau keduanya (Ashina dan Bendtsen, 2001)

Gangguan pada pain-modulating transmitters, begitu juga dengan

perubahan seluler pada SSP tampaknya terlibat dalam perubahan

persepsi nyeri pada penderita TTH kronik. Serotonin (5-hydroxytriptamine,

5-HT) merupakan neurotransmitter yang penting namun memiliki peran

yang kompleks dalam modulasi nyeri. Serotonin memiliki aksi algogenik

(menghasilkan nyeri) pada saraf perifer, namun tampaknya memiliki efek

antinosiseptif yang predominan pada SSP. Serotonin adalah

neurotransmitter penting pada pathway anti-nosiseptif yang descending

dari brainstem ke spinal dorsal horn, dan mungkin juga terlibat dalam

pathway ascending anti-nosiseptif. Efek anti-nosiseptif 5-HT dimediasi

oleh banyak subtipe reseptor 5-HT, yaitu : reseptor 5-HT1, 5-HT2 dan 5-

HT3. Kompleksitas sistem modulasi nyeri ditekankan pada fakta bahwa

efek 5-HT dapat bervariasi, meskipun pada subtipe reseptor yang sama.

Misalnya, 5-HT dapat memiliki aksi fasilitasi serta inhibisi sekaligus pada

proses nosiseptif spinal ketika beraksi pada reseptor 5-HT1. Tambahan

lagi, 5-HT memiliki efek pada modalitas nyeri yang lain, misalnya efek

Universitas Sumatera Utara


73

vaskuler, yang secara tidak langsung mempengaruhi mekanisme nyeri

(Bendsten, 2000). Jensen dan kawan-kawan (1994) menemukan bahwa

konsentrasi plasma 5-HT meningkat selama serangan nyeri kepala pada

grup mixed (TTH episodik dan TTH kronik), dan Bendsten (1997) tidak

menemukan hubungan antara konsentrasi plasma dengan frekuensi nyeri

kepala (Furnal dan Schoenen, 2008). Sekresi growth hormone dan

prolaktin terhambat pada penderita TTH kronik, sebagai respons dari

injeksi subkutan sumatriptan, yang menunjukkan adanya penurunan

sensitifitas reseptor serotonin 5-HT1 di hipotalamus. Hal ini menunjukkan

bahwa sumatriptan, agonis serotonin 5-HT1, memiliki efektifitas tinggi

untuk serangan migren akut, juga efektif pada penderita TTH (Furnal dan

Schoenen, 2008).

Kriteria diagnostik TTH kronik sesuai The International

Classification of Headache Disorders, 2nd Edition (2004) adalah sebagai

berikut (Headache Classification Subcommittee of the International

Headache Society, 2004 ; Sjahrir, Machfoed, Suharjanti, Basir, Adnjana,

2013) :

A. Nyeri kepala timbul 15 hari/b ulan, berlangsung > 3 bulan (180

hari/tahun) dan juga memenuhi kriteria B-D

B. Nyeri kepala berlangsung beberapa jam atau terus-menerus

C. Nyeri kepala memiliki paling tidak 2 karakteristik berikut :

1. Lokasi bilateral

2. Menekan/ mengikat (tidak berdenyut)

3. Ringan atau sedang

Universitas Sumatera Utara


74

4. Tidak memberat dengan aktifitas fisik yang rutin

D. Tidak didapatkan :

1. Lebih dari satu : fotofobia, fonofobia atau mual yang ringan

2. Mual yang sedang atau berat, maupun muntah

E. Tidak ada kaitan dengan penyakit lain.

2.2. Tension-Type Headache Kronik dan Stres Psikologis

Selain faktor-faktor biologis seperti yang telah dijabarkan di atas,

faktor psikologis juga berperan dalam perkembangan TTH. Nyeri kepala

ini dapat diperburuk oleh stres psikologis. Sejalan dengan ini telah

diketahui bahwa stres dan ketegangan mental adalah faktor presipitasi

yang nyata pada TTH. Sejumlah studi eksperimental telah menunjukkan

bahwa TTH dapat diinduksi oleh stres psikologis, dan terapi psikologis dan

perilaku tampaknya efektif untuk terapi TTH, seperti halnya dengan

farmakoterapi. Mekanisme bagaimana stres psikologis berperan dalam

TTH belum dimengerti sepenuhnya, namun faktor sentral seperti kontraksi

involunter dari otot-otot sefalik, penurunan aktifitas penghambat nyeri

descending supraspinal, hipersensitifitas supraspinal terhadap stimulus

nosiseptif mungkin terlibat (Bendsten, 2000). Walaupun banyak penelitian

menunjukkan adanya dasar perubahan biokimiawi yang mendasari

patologi terjadinya nyeri kepala, masih banyak klinisi yang tetap percaya

adanya kontribusi kondisi psikologis dalam proses kronifikasi nyeri kepala

(Muller, 2000). Pada penelitian dengan stres buatan di laboratorium oleh

Janke dan kawan-kawan, depresi meningkatkan dan dihubungkan dengan

Universitas Sumatera Utara


75

meningkatnya pericranial muscle tenderness. Pada individu dengan

frequent headache depresi meningkatkan sensitisasi sentral dan

meningkatkan kerentanan terhadap TTH (Janke, Holroyd, Romanek,

2004). Faktor genetik kelihatannya lebih berperan dalam patofisiologi

migren bila dibandingkan dengan TTH. Walaupun konsep TTH

menunjukkan adanya hubungan dengan faktor psikologis, penelitian

menunjukkan profil psikologis penderita ETTH tidak berbeda dengan

kontrol (Kelman, 2011).

Zivadinov (2003) mengadakan suatu survei menggunakan metode

wawancara face-to-face, door-to-door pada populasi kota Bakar

(Kroasia) untuk memperkirakan prevalensi TTH dan menetapkan frekuensi

faktor yang mempresitasi pada subjek dengan migren dan TTH. Mereka

mengidentifikasi 1319 penderita mengalami TTH dan stres merupakan

faktor yang mempresipitasi serangan nyeri kepala pada 651 orang

(49,4%, odds ratio 1,4; 95% CI 1,17-1,69) (Torelli, Abrignani, Castellini,

Lambru, Manzoni, 2008).

Suatu studi di Italia oleh Beghi yang meneliti komorbiditas nyeri

kepala dengan penyakit psikiatrik menemukan bahwa dari 374 penderita

yang ikut serta, gangguan psikiatri ditemukan pada 49 penderita (14,6%;

10,9% penderita migren, 12,8% penderita TTH dan 21,4% penderita nyeri

kepala tipe mixed). Dari Mini International Neuropsychiatry Interview

(MINI) dideteksi adanya episode depresif pada 59,9% penderita migren,

68,3% penderita TTH dan 69,6% penderita nyeri kepala tipe mixed (Beghi,

Allais, Cortelli, DAmico, De Simone, dOnofrio, et.al., 2007; Beghi,

Universitas Sumatera Utara


76

Bussone, DAmico, Cortelli, Cevoli, Manzoni, et.al., 2010). Ansietas

ditemukan pada 18,4% penderita migren, 19,3% penderita TTH, dan

18,4% penderita nyeri kepala tipe mixed (Torelli, Abrignani, Castellini,

Lambru, Manzoni, 2008). Peneliti lain menemukan bahwa penderita

migren dan TTH memiliki tingkat ansietas dan depresi yang lebih tinggi.

Mereka menyimpulkan bahwa penderita migren dan TTH memiliki coping

responses yang maladaptif dan inefektif, serta gambaran kepribadian

neurotik dibandingkan dengan individu sehat. Hal ini mungkin berperan

penting dalam perkembangan dan beratnya nyeri kepala (Ozdemir, Aykan,

Ozdemir, 2014).

Maladaptive cognitions ditemukan pada kebanyakan penderita

nyeri dan befperan penting dalam perkembangan nyeri kronik (Borkum,

2010). Namun Puretic dkk yang meneliti penderita TTH dan individu sehat

di Zagreab, Kroasia berpendapat bahwa bahwa TTH yang merupakan

suatu kondisi nyeri kronik mungkin merupakan konsekuensi dan bukan

penyebab dari gejala-gejala depresi (Puretic, Lovrencic-Huzjan, Cvetkovic,

Kes, 2014).

Penelitian Yucel (2002) mengevaluasi automatic thoughts,

alexithymia dan assertiveness (ketegasan) menemukan bahwa

dibandingkan dengan kontrol, penderita nyeri kepala memiliki skor yang

lebih tinggi pada pengukuran automatic thoughts dan alexithymia, dan

skor assertiveness yang lebih rendah. Penderita TTH kronik memiliki skor

yang lebih tinggi untuk automatic thoughts dibandingkan dengan penderita

TTH episodik. Penemuan ini menunjukkan bahwa penderita TTH mungkin

Universitas Sumatera Utara


77

memiliki kesulitan dalam mengekspresikan emosinya (Yucel, Kora,

Ozylcin, Alcalar, Ozay Ozdemir, Yucel, 2002). Sementara Autret dan

kawan-kawan menemukan penderita migren lebih rentan terhadap

munculnya gejala somatik dan memiliki predisposisi untuk

mengembangkan dampak negatif dari nyeri (Autret, Roux, Ribaux-Lepage,

Valade, Debiasis, 2010). Penelitian lain menunjukkan bahwa frekuensi

nyeri kepala memiliki dampak terhadap kualitas hidup penderitanya pada

usia lanjut, khususnya berkaitan dengan nyeri tengkuk dan disabilitas

yang diakibatkannya (Uthaikup, Sterling, Jull, 2009).

Banyak regio di otak yang berhubungan dengan proses

pemrosesan nyeri juga terlibat dengan fenomena psikologis (misalnya :

emosi, atensi, stres), oleh karenanya modulasi nyeri oleh faktor-faktor

psikologis dapat terjadi melalui sirkuit yang sama ini, mempengaruhi

sinyal nyeri di dalam otak (Nicholson, Houle, Rhudy, Norton, 2007).

Mekanisme yang paling banyak diketahui yang memodifikasi nyeri

adalah sirkuit yang terdiri dari neuron-neuron periaquaductal gray (PAG),

5-hydroxytriptamine (5-HT) dari rostral ventromedial medulla (RVM), dan

neuron-neuron norepinefrin (NE) dari dorsolateral pontomesencephalic

tegmentum (MLPT). Setidaknya beberapa efek pereda nyeri dari analgesik

opioid, agonis 5-HT, dan agonis NE terjadi melalui sirkuit ini. Sirkuit PAG-

RVM-MLPT menerima input dari banyak regio forebrain yang terlibat juga

dalam proses psikologis, khususnya sistem limbik. Contohnya, amigdala,

area yang diketahui penting untuk emosi, dapat mengaktifasi sirkuit ini dan

penting untuk modulasi nyeri oleh faktor kognitif-emosional. Sementara itu,

Universitas Sumatera Utara


78

korteks anterior cingulate, korteks orbitofrontal, insula dan hipokampus

terlibat dalam modulasi nyeri yang berasal dari atensi, ekspetasi, persepsi

dari pengendalian (controllability) dan atau ansietas (kecemasan).

Penemuan-penemuan ini mendukung pandangan biopsikososial dari nyeri

kepala (Nicholson, Houle, Rhudy, Norton, 2007).

Stres dan ketegangan mental adalah keluhan utama dalam TTH,

dan telah dijumpai hubungan antara stres dan nyeri kepala (Clark, Sakai,

Merrill, Flack, McCreary, 1995). Meskipun stres sendiri penting untuk

survival, peningkatan stres yang kronik memiliki hubungan langsung

terhadap onset, progresi atau outcome dari berbagai kondisi patofisiologik.

Namun masih menjadi pertanyaan bagaimana stres diterjemahkan dalam

patofisiologi nyeri pada penderita TTH. Satu hubungan yang menarik

mengenai nyeri adalah aktifasi faktor transkripsi, faktor nuklear -light

chain (NFB). Stres mengaktifasi NFB dalam 4 jam setelah inisiasi

stimulus stres pada tikus (Madrigal, Garcia-Bueno, Caso, Perez-Nievaz,

Leza, 2006). Ketika NFB diaktifasi, ia meningkatkan perubahan post-

transkripsional yang mengakibatkan aktifasi iNOS (inducible nitric oxyde

synthase) dan COX-2 (cyclo-oxygenase-2) yang berperan dalam nyeri.

Konsisten dengan ini, imobilisasi stres meningkatkan ekspresi iNOS and

aktifitasnya pada jam ke-6, dimana inhibisi NFB oleh pyrrolidine

menurunkan ekspresi dan aktifitas iNOS pada binatang yang stres

(Madrigal, Moro, Lizasoain, Lorenzo, Castrillo, Bosca, et.al., 2001).

Glyceril trinitrate (GTN), suatu penginduksi TTH, menginduksi

aktifasi NFB pada duramater tikus, seiring dengan peningkatan kadar

Universitas Sumatera Utara


79

mRNA iNOS. Selain itu, reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate)

memainkan peran esensial dalam aktifasi NFB. Blokade reseptor NMDA

menurunkan translokasi NFB dan secara bersamaan menghambat

secara parsial ekspresi iNOS yang diinduksi stres dan aktifasinya di otak

(Munhoz, Lepsch, Kawamoto, Malta, de Sa Lima, Avellar, et.al.,2006;

Chen, 2009).

Respons stres yang normal melibatkan aktifasi inisial dari aksis

glukokortikoid adrenal, yang akan meningkatkan eksitasi glutaminergik di

SSP. Peningkatan glutamat dan sitokin-sitokin dapat mengaktifasi reseptor

NMDA dan pathway second-messenger yang lain, mengakibatkan aktifasi

NFB, peningkatan iNOS dan produksi NO, yang menghasilkan

perubahan vasodilatasi dan perubahan-perubahan oksidatif. Hal ini akan

menghasilkan nyeri yang berasal dari dilatasi pembuluh darah intrakranial,

dura dan struktur-struktur yang lain, dan bila hal ini persisten, akan

menyebabkan TTH dan mempotensiasi nyeri pada otot-otot perikranial

melalui sensitisasi perifer dan sentral (Chen, 2009).

Universitas Sumatera Utara


80

Gambar 2. Patofisiologi Tension-Type Headache kronik (chronic tension-


type headache, TTH Kronik), evolusi dari Tension-Type Headache
episodik (episodic tension-type headache, TTH episodik)
Dikutip dari : Chen (2009).

Universitas Sumatera Utara


81

Gambar 3. Gambar model patofisiologi TTH Kronik


Input nosiseptif dari jaringan miofasial perikranial (garis merah) meningkat
karena sebab yang tidak diketahui, yang menghasilkan perubahan-
perubahan plastis (sensitisasi nosiseptif second order neuron) pada spinal
dorsal horn (segmen C2-C3) dan trigeminal nucleus. Input nosiseptif ke
struktur supraspinal akan meningkat, yang akan meningkatkan
eksitabilitas neuron supraspinal dan menurunkan inhibisi dari transmisi
nosiseptif yang meningkat pada spinal dorsal horn dan nucleus trigeminal
(garis hijau). Perubahan-perubahan neuroplastis sentral juga dapat
meningkatkan perangsangan ke motor neuron pada level supraspinal dan
segmental, yang menghasilkan sedikit peningkatan aktifitas otot dan
peningkatan kekerasan otot. PMT= pericranial myofascial tissue, BI=
brainstem interneurons, MN= motor nuclei, SH/TNC= spinal horn /
trigeminal nucleus caudalis.

Dikutip dari : Furnal dan Schoenen (2008).

Universitas Sumatera Utara


82

2.3. Sitokin

Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap

mikroba dan antigen lainnya yang memediasi dan meregulasi reaksi imun

dan inflamasi (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007). Sitokin merupakan peptida

pengatur (regulator) yang dapat diproduksi oleh hampir semua sel yang

berinti dalam tubuh. Sitokin dikelompokkan dalam mediator yang berfungsi

dalam komunikasi antar sel yang berfungsi membawa sinyal yang

dikirimkan ke sel sasaran agar melakukan perubahan perilaku. Dalam

komunikasi antar sel dibutuhkan sel penghasil mediator, pembawa sinyal

dan sel sasaran yang akan menerima sinyal. Sinyal yang dibawa oleh

mediator akan diterima oleh molekul reseptor yang akan meneruskan

pesan melalui mekanisme transduksi yang berakhir dalam aktifasi gena-

gena dalam inti sel sasaran (Subowo, 2009).

Sitokin biasanya mempunyai sel-sel sasaran yang tidak terlalu jauh

letaknya, sehingga sitokin tidak bergantung pada peredaran darah, namun

tidak berarti bahwa sitokin tidak dapat ditemukan dalam darah. Walaupun

umumnya sitokin mempunyai efek pada sel-sel sasaran yang berada di

dekatnya, beberapa jenis sitokin, misalnya IL-3 dan GM-CSF yang

dilepaskan oleh sel TCD4+ membantu merekrut sel-sel efektor di daerah

infeksi dengan cara menginduksi sumsum tulang untuk meningkatkan

mielopoiesis sehingga terjadi penambahan sel-sel granulosit dan

makrofag di daerah infeksi (Subowo, 2009).

Sitokin, menurut definisi yang diusulkan oleh Jan Vilcek tahun

1998, adalah protein regulator yang dilepaskan oleh sel-sel lekosit dan

Universitas Sumatera Utara


83

berbagai jenis sel lain dalam tubuh; kegiatan pleiotropik sitokin mencakup

efek pada sel dari sistem imun dan modulasi respon radang. Karena tidak

ada definisi singkat yang dapat mencakup sifat-sifat utama yang dimiliki

sitokin, paling tepat kiranya ditetapkan dalam bentuk senarai uraian sifat-

sifat sitokin seperti yang diusulkan Jan Vilcek sebagai berikut : 1.

Sebagian besar sitokin berbentuk polipeptida atau glikoprotein sederhana

dengan BM sebesar 30 kd atau kurang (tetapi banyak sitokin membentuk

molekul oligomer dengan BM lebih dan satu sitokin (IL-2) merupakan

heterodimer) ; 2. Umumnya produksi sitokin sangat rendah atau sama

sekali tidak diproduksi, produksi sitokin diatur oleh berbagai rangsang

melalui induksi pada tingkat transkripsi atau transduksi ; 3. Produksi

sitokin hanya selintas dan jarak kegiatannya dengan sel sasaran biasanya

pendek (sangat jelas pada autokrin atau parakrin yang berbeda dengan

endokrin) ; 4. Mekanisme kerja sitokin pada sel sasarannya melalui ikatan

dengan reseptor permukaan sel sasarannya yang bersifat sangat spesifik

dengan afinitas tinggi ; 5. Sebagian besar mekanisme kerja sitokin

dimanifestasikan dalam pola alternatif pada ekspresi gena dalam sel

sasarannya. Mekanisme kerja tersebut mendorong ke arah peningkatan

atau pengurangan rasio pembelahan sel, perubahan status diferensiasi

sel dan/atau perubahan ekspresi beberapa fungsi diferensiasi ; 6.

Walaupun rentang efek dari masing-masing sitokin dapat sangat lebar dan

beraneka ragam, paling sedikit beberapa efek setiap sitokin ditujukan

pada sel-sel hematopoetik (Subowo, 2009).

Universitas Sumatera Utara


84

Walaupun berbagai jenis sitokin secara struktural berbeda, mereka

memilki beberapa kesamaan : 1. Sekresi sitokin berlangsung singkat dan

self-limited. Sitokin biasanya tidak disimpan dan sintesanya diinisiasi oleh

transkripsi gena yang baru sebagai akibat aktifasi seluler. Transkripsi ini

bersifat transien, dan m-RNA yang membawa kode sebagian besar sitokin

bersifat tidak stabil, jadi sintesa sitokin juga bersifat transien ; 2. Kerja

sitokin bersifat pleiotropik dan redundant. Pleiotropik artinya satu sitokin

bekerja pada berbagai jenis sel sedangkan redundancy artinya beberapa

sitokin yang berbeda memiliki efek yang sama ; 3. Sitokin sering

mempengaruhi dan bekerja pada sitokin lainnya ; 4. Kerja sitokin dapat

bersifat lokal maupun sistemik. Kebanyakan sitokin bekerja di dekat

tempatnya dihasilkan, apakah pada sel penghasilnya sendiri (autokrin)

atau sel-sel di sekitarnya (parakrin). Jika dihasilkan dalam jumlah besar,

sitokin dapat memasuki sirkulasi darah dan bekerja di tempat yang jauh

(endokrin) ; 5. Sitokin memulai kerjanya dengan berikatan pada reseptor di

membran sel sasaran. Reseptor sitokin memiliki afinitas yang tinggi

terhadap ligandnya. Sehingga untuk menghasilkan efek biologisnya,

cukup hanya sejumlah kecil sitokin yang berikatan dengan reseptornya ; 6

Sinyal eksternal meregulasi ekspresi reseptor sitokin dan juga respon sel

terhadap sitokin ; 7. Respon sel sasaran terhadap sebagian besar sitokin

berupa perubahan ekspresi gena sehingga menghasilkan fungsi yang

baru dan kadang-kadang menyebabkan proliferasi sel sasaran ; 8.

Respon sel terhadap sitokin diatur secara ketat melalui mekanisme inhibisi

umpan balik untuk menghentikan efeknya (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007).

Universitas Sumatera Utara


85

Secara fungsional, sitokin dapat dibagi atas 3 kategori berdasarkan

kerja biologis utamanya, yaitu : 1. Mediator dan regulator dari innate

immunity yang terutama dihasilkan oleh fagosit mononuklear sebagai

respon terhadap agen infeksius, misalnya TNF, IL-1, IL-12 dan IFN- ; 2.

Mediator dan regulator adaptive immunity yang terutama dihasilkan oleh

limfosit T sebagai respon terhadap pengenalan spesifik antigen asing,

misalnya IL-2, IL-4, IL-5 dan IFN- ; 3. Stimulator hematopoesis yang

dihasilkan oleh sel stroma sumsum tulang, lekosit dan sel-sel lainnya dan

berfungsi merangsang pertumbuhan dan diferensiasi lekosit immature

(Abbas, Lichtman, Pillai, 2007).

Gambar 4 . Respon Imun Pada Infeksi Bakteri Patogen


Dikutip dari : DElia, et.al (2013)

Universitas Sumatera Utara


86

Selama terjadi infeksi, tubuh mengenali bakteri patogen yang

mengarah kepada cellular recruitment dan timbulnya respon sitokin

proinflamatori termasuk IL-6 dan TNF-. Respon inflamasi ini berlanjut ke

pembersihan bakteri patogen dan memungkinkan tubuh kembali ke

keadaan homeostasis imunitas dan penderita selamat. Pada beberapa

kasus infeksi, bakteri patogen terlambat diidentifikasi sehingga respon

imun pun terlambat muncul. Hal ini memungkinkan bakteri patogen

berproliferasi dan memicu hipersitokinemia sehingga mengakibatkan

kerusakan jaringan, bahkan kematian (DElia, Harrison, Oyston,

Lukaszewski, Clark, 2013).

Gambar 5. Cytokine Storm


Dikutip dari : DElia, et.al.(2013)

Ketika cytokine storm telah terjadi, terapi konvensional mungkin

tidak lagi memadai. Strategi untuk mengatasinya adalah dengan

Universitas Sumatera Utara


87

menggunakan zat yang bekerja pada jalur immune fundamental misalnya

jaringan chemokine dan pada jalur anti inflamasi kolinergik, dan strategi

lebih spesifik termasuk dengan menggunakan antibodi HMGB1 da

inhibitor COX-2. Semua strategi ini akan meredakan cytokine storm dan

mengurangi risiko kerusakan jaringan dan memberikan waktu bagi terapi

konvensional untuk bekerja secara langsung terhadap bakteri patogen

(DElia, Harrison, Oyston, Lukaszewski, Clark, 2013).

Gambar 6. Summary of actions of cytokines and chemokines


Dikutip dari : Borish dan Steinke, (2003)

Universitas Sumatera Utara


88

2.3.1. Tumor Necrosis Factor

Tumor Necrosis Factor pada awalnya ditemukan pada tumor

tertentu yang mengalami perdarahan yang ternyata disebabkan adanya

nekrosis jaringan. Tumor necrosis factor terutama dihasilkan oleh sel

makrofag dan sel-sel jenis lain dengan berbagai aktifitas biologik pada sel-

sel sasaran yang termasuk sistem imun maupun bukan. Sejumlah sel baru

dapat menghasilkan TNF setelah mendapatkan rangsangan yang cocok,

misalnya dari limfosit dan sel NK (Subowo, 2009).

Tumor Necrosis Factor merupakan mediator utama pada respon

inflamasi akut terhadap infeksi bakteri gram negatif dan mikroba lainnya,

dan bertanggung jawab atas terjadinya beberapa komplikasi sistemik

pada infeksi berat. Stimulus terkuat terhadap produksi TNF oleh makrofag

adalah berikatannya TLR dengan LPS dan produk mikroba lainnya.

Produksi IFN- oleh limfosit T dan sel NK akan meningkatkan produksi

TNF oleh makrofag yang distimulasi oleh LPS. Fungsi fisiologis utama dari

TNF adalah menstimulasi rekrutmen netrofil dan monosit ke lokasi infeksi

dan mengaktifkan sel-sel ini untuk menghilangkan mikroba (Abbas,

Lichtman, Pillai, 2007).

Tumor Necrosis Factor memiliki jejaring pengawasan induksi dan

efek. Misalnya IL-1 menginduksi produksi TNF dan sebaliknya TNF

menginduksi produksi IL-1 oleh sel makrofag, produksi IFN- 1 , dan IFN-

2 oleh fibroblast dan produksi GM-CSF oleh beberapa jenis sel. Tumor

Necrosis Factor- dihasilkan oleh sel limfosit T 1, sebagian oleh limfosit

T 2 dan sel T sitotoksik (Subowo, 2009).

Universitas Sumatera Utara


89

Gena untuk TNF terdapat pada bagian lengan pendek kromosom 6

yang diduga di dekat atau di dalam kompleks MHC. Molekul TNF manusia

memiliki homologi sebesar 80% dengan TNF mencit atau kelinci dan 28%

dengan limfotoksin. Limfotoksin yang mempunyai mekanisme kerja dan

reseptor yang sama dengan TNF disebut sebagai TNF- (Subowo, 2009).

Terdapat 2 jenis reseptor TNF yaitu reseptor TNF tipe I (TNF-RI, 55 kD)

dan tipe II (TNF-RII, 75 kD) (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007).

Tumor Necrosis Factor memiliki berbagai efek dengan manifestasi

sebagai berikut : 1. Efek sitotoksik. Efek sitotoksik terlihat pada beberapa

jenis jaringan tumor yang mengalami kemunduran dan nekrosis yang

disertai perdarahan. Mekanisme kematian sel tumor in vivo oleh TNF

belum jelas, tetapi yang jelas bahwa kematian sel tumor membutuhkan

reseptor untuk TNF. Kematian sel tumor akan dipercepat jika terdapat

hambatan sintesis protein dalam sel tumor. Tetapi mekanisme kematian

sel tumor secara in vivo bukan pengaruh langsung TNF melainkan secara

tidak langsung. Kemungkinan kematian sel tumor karena terjadinya

nekrosis jaringan tumor sebagai akibat gangguan vaskularisasi untuk

jaringan tumor. Terdapat bukti bahwa sel makrofag teraktifkan dapat

membunuh sel-sel tumor, sedang TNF merupakan produk sel makrofag; 2.

Efek radang. Kini TNF lebih dianggap sebagai mediator utama dalam

radang. Pada percobaan dapat ditunjukkan bahwa TNF yang diperoleh

dalam bentuk murni secara biokimiawi ternyata bertanggung jawab

kepada aktifitas cahectin yang umumnya bekerja pada penderita yang

mengalami infeksi parasit. Mekanisme pada beberapa kejadian radang

Universitas Sumatera Utara


90

setempat diramalkan berdasarkan pengamatan dalam percobaan in vitro.

Misalnya sel netrofil yang bereaksi dengan TNF meningkat

pengikatannnya dengan sel endotel, letupan respiratori dan

degranulasinya. Pola kerusakan jaringan radang mirip dengan kerusakan

oleh IL-1. Demikian pula kemampuan TNF dalam menginduksi proliferasi

fibroblas mirip IL-1, sehingga TNF dianggap penting dalam proses

penyembuhan luka ; 3. Efek hematopoetik. Efek TNF terhadap aktifitas

hematopoetik terlihat dalam bentuk hambatan pembentukan koloni biakan

granulosit-monosit, eritroid dan koloni sel multi-potensial pada jaringan

sumsum tulang manusia. Tetapi sebaliknya pada mencit, TNF

meningkatkan sel-sel progenitor dalam jaringan sumsum tulang pada

percobaan in vitro ; 4. Efek imunologik. Walaupun TNF dalam beberapa

aktifitas biologik mirip IL-1, namun ada beberapa perbedaan dalam

mekanisme pengaturan imun. Secara umum nampak perbedaan bahwa

TNF tidak banyak terlibat dalam pengaturan tersebut. Tumor Necrosis

Factor mempunyai aktifitas perangsangan yang multipel terhadap limfosit

T teraktifasi, misalnya respon proliferatif limfosit T terhadap antigen,

peningkatan reseptor untuk IL-2 dan induksi produksi IFN-. Demikian

juga imunitas spesifik terhadap tumor ditingkatkan oleh TNF. Tumor

Necrosis Factor dapat meningkatkan ekspresi antigen MHC kelas I pada

fibroblas dan sel endotel. Efek perlindungan non-spesifik terhadap

patogen telah dilaporkan pula untuk TNF, misalnya aktifitas antivirus dan

beberapa parasit (Subowo, 2009).

Universitas Sumatera Utara


91

Bila stimulus cukup kuat, TNF akan diproduksi dalam jumlah besar

sehingga memasuki aliran darah dan bekerja di tempat yang jauh sebagai

hormon endokrin. Salah satu aktifitas sistemik utama dari TNF adalah

menginduksi hipotalamus dan menyebabkan terjadinya demam, sehingga

disebut sebagai pirogen endogen untuk membedakannya dari LPS yang

berfungsi sebagai pirogen eksogen yang berasal dari mikroba. Terjadinya

demam sebagai respon terhadap TNF (dan IL-1) dimediasi oleh

meningkatnya sintesa prostaglandin oleh sel-sel hipotalamus (proses ini

distimulasi oleh sitokin). Inhibitor sintesa prostaglandin, misalnya apirin,

dapat menghambat terjadinya demam dengan jalan menghambat aktifitas

TNF dan IL-1 ini (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007).

Gambar 7. Lokasi gene TNF- pada kromosom 6 (6p21.3)

Dikutip dari : Cereda, Gagliardi, Cova. Diamanti, Ceroni (2012)

Universitas Sumatera Utara


92

Gen TNF- mengatur kode protein yang terdiri atas 233 asam

amino dengan berat molekul 25,6 kDa. Pada awalnya, TNF- merupakan

suatu protein transmembran yang terdiri atas 212 yang terasosiasi dengan

homotrimer : bagian terminal N kehilangan 76 asam amino akibat

pembelahan oleh TNF- converting enzyme, menghasilkan satu bentuk

monomer TNF- yang dapat larut (17 kD) dan selanjutnya bentuk trimetrik

(51 kD). Bentuk trimerik merupakan bentuk dapat larut yang aktif secara

biologik karena kemampuannya untuk berikatan dengan reseptornya.

Bentuk trimerik ini secara spontan cenderung segera terdisosiasi menjadi

bentuk monomerik yang inaktf. Hal ini merupakan proses fisiologis yang

memungkinkan untuk membatasi efek merugikan apabila terjadi

peningkatan konsentrasi TNF- yang berlebihan. Respon TNF- terhadap

berbagai sinyal ekstraseluler terjadi dengan sangat cepat dan transien,

meliputi komponen transkripsional dan komponen posttranskripsional.

Kontrol proses transkripsionalnya terjadi terutama pada tahap inisiasi

transkripsional (Cereda, Gagliardi, Cova, Diamanti, Ceroni, 2012).

Tumor Necrosis Factor- merupakan salah satu sitokin yang

mempunyai efek merugikan sekaligus menguntungkan terhadap Susunan

Saraf Pusat. Cui dkk melakukan penelitian mengenai polimorfisme gen

promotor TNF- dan kadar TNF- dalam serum pada penderita stroke

iskemik dan menyimpulkan TNF- sangat mungkin berperan dalam proses

patogenesis stroke iskemik (Cui, Wang, Li, Zhang, Li, Wang, et.al, 2102).

Peneliti lain mempelajari polimorfisme gen promoter TNF- pada

penderita Japaneese Enchepalitis dan menyimpulkan bahwa orang

Universitas Sumatera Utara


93

dengan alella 308A and -863C lebih rentan menderita infeksi yang lebih

berat (Kumar, Kumar, Kaur, 2012). TNF- merupakan mediator

neuroinflamasi dan mungkin berperan menimbulkan disfungsi neuronal.

Neuroinflamasi kronis berperan dalam beberapa gangguan neurologis

yang menimbulkan penurunan fungsi kognitif. Penelitian terhadap analog

thalidomide, 3,6-dithiothalidomide (DT), yang memiliki efek menekan

aktifitas TNF- menunjukkan bahwa DT dapat membalikkan proses

penurunan fungsi kognitif yang terjadi akibat gangguan hipokampus akibat

induksi neuroinflamasi kronis. Hasil ini menunjukkan bahwa TNF-

merupakan mediator penting dalam proses neuroinflamasi kronis dan

gangguan fungsi kognitif dan regulasi terhadap produksinya dapat

berperan dalam penatalaksanaan beberapa penyakit neurodegeneratif

pada manusia (Belarbi, Jopson, Tweedie, Arellano, Luo, Greig, et.al.

2012). Penelitian pada penderita Cerebral Palsy tipe spastik dan diskinetik

menunjukkan adanya peningkatan kadar dopamin, homovanilic acid

(HVA), IL-1 dan TNF- dalam serum (Hadiwidjaja, 2005). Kadar IL-6, IL-

8, TNF- dan CRP juga meningkat pada penderita penyakit Behcet yang

aktif (Karadag, Kozac, Totan, 2010). Tanure dan kawan-kawan

membandingkan kadar TNF-, reseptor 1 TNF- yang dapat larut

(sTNFR1), reseptor 2 TNF- yang dapat larut (sTNFR2), dan BDNF

selama serangan migren dan masa bebas nyeri kepala. Ternyata tidak

dijumpai perbedaan yang bermakna pada kadar TNF-, sTNFR1 dan

sTNFR2 selama serangan migren dan masa bebas nyeri kepala (Tanure,

Gomez, Hurtado, Teixera, Domingues, 2010).

Universitas Sumatera Utara


94

Sitokin proinflamasi TNF- berkontribusi terhadap kematian sel

pada penyakit yang mengenai SSP dengan jalan mempengaruhi

neurotransmisi sinaptik. Efek eksitotoksik ini terjadi dengan jalan

meningkatkan kadar GluA2-lacking AMPA receptor (AMPAR) yang masuk

ke membran plasma neuron. In vitro, meningkatnya kadar AMPAR pada

permukaan neuron setelah terekspos dengan TNF- dihubungkan dengan

internalisasi yang cepat dari GABAA receptors (GABAAR). Respon SSP

terhadap TNF- terjadi dengan pengaturan waktu yang kompleks serta

bersifat dose dependent. Sedangkan secara in vivo, efek ini belum jelas

dipahami. Stuck et.al meneliti efek injeksi TNF- terhadap perubahan

GABAAR pada tikus dan menyimpulkan bahwa TNF- menginduksi

masuknya GABAAR ke dalam sinaps secara dose-dependent dalam waktu

60 menit (Stuck, Christensen, Huie, Tovar, Miller, Nout, et.al, 2011).

Kadar TNF- juga banyak diteiti pada penyakit-penyakit di luar

SSP. Hadisaputra dan Prayudhana meneliti penderita endometriosis dan

mereka menemukan bahwa kadar serum IL-6, TNF-, dan MMP-2 tidak

berbeda bermakna pada penderita endometriosis stadium I-II dan stadium

III-IV Penelitian ini menunjukkan TNF- tidak dapat digunakan untuk

mengukur derajat keparahan endometriosis (Hadisaputra dan

Prayudhana, 2013). Oepomo juga meneliti kadar TNF- pada

endometriosis dan menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata

kadar TNF- dalam zalir peritoneal antara penderita endometriosis

dengan perempuan normal. Kadar TNF- dalam zalir peritoneal

berperanan pada proses endometriosis peritoneal. Terdapat hubungan

Universitas Sumatera Utara


95

korelasi positif kuat antara kadar TNF- zalir peritoneal dengan kadar

TNF- serum pada penderita endometriosis (Oepomo, 2006). Kadar TNF-

juga telah diteliti pada anak penderita demam berdarah dengue dan

disimpulkan bahwa kadar TNF- serum awal meningkat secara bermakna

lebih tinggi pada kelompok DBD yang mengalami syok dan TNF- serum

awal > 24 pg/ml adalah nilai optimal untuk menentukan terjadinya syok

atau tidak penderita DBD pada anak (Ganda, 2010). Kapadia dkk meneliti

kadar serum TNF- dan kadar reseptor TNF 1 dan 2 pada penderita

stenosis aorta dan regurgitasi mitral New York Heart Association (NYHA)

kelas I atau II dan tanpa penyakit arteri koronaria yang bermakna.

Hasilnya menunjukkan peningkatan kadar serum TNF- pada penderita

dengan chronic hemodynamic overloading dan payah jantung dini.

Peningkatan kadar reseptor TNF 1 dan 2 juga memiliki hubungan

langsung dengan perburukan kelas NYHA (Kapadia, Yakoob, Nader,

Thomas, Mann, Griffin, 2000). Furoxan-aspirin (B8), suatu novel NO-

aspirin hybrids, secara signifikan menurunkan pelepasan TNF- dari

monosit dan makrofag, dan mungkin bekerja dengan menginhibisi aktifasi

NF-kB (Turnbull, Marcarinoo, Sheldrake, Lazzarato, Cena, Fruttero,

et.al., 2008).

Telah juga diketahui bahwa secara in vitro, adiponektin

menghambat signal transkripsi nuclear factor kb (NF-kB) di endotel, yang

memediasi efek TNF- dan sitokin proinflamasi lain. Penelitian terhadap

137 pria dengan usia 30-60 tahun nondiabetes dengan obesitas sentral

menunjukkan konsentrasi adiponektin akan menurun pada kondisi

Universitas Sumatera Utara


96

obesitas dan adiponektin memiliki korelasi negatif dengan TNF- ( Lina ,

Pattelongi, Lawrence, Wijaya, Asad, et.al, 2011). Penelitian pada hewan

menunjukkan bahwa setelah pemberian injeksi Growth Hormone (GH)

terjadi penurunan kadar TNF- dan menyimpulkan bahwa terapi GH

menurunkan kadar TNF- plasma pada tikus jantan dislipidemia

(Misitahari, 2011).

2.3.2. Interleukin

Berdasarkan jenis sel penghasilnya, sitokin dibedakan atas : 1.

Monokin, yaitu sitokin yang dihasilkan terutama oleh monosit dan

turunannya, dan 2. Limfokin, yaitu sitokin yang dihasilkan terutama oleh

limfosit. Karena banyak sitokin yang dihasilkan oleh lekosit dan bekerja

pada lekosit lainnya, mereka disebut interleukin. Istilah ini sebenarnya

kurang tepat karena banyak sitokin yang hanya dihasilkan oleh lekosit dan

juga hanya bekerja pada lekosit tidak disebut interleukin, sebaliknya

banyak sitokin yang disebut interleukin dihasilkan dan bekerja pada sel-

sel yang bukan lekosit (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007).

2.3.2.1. Interleukin-1 (IL-1).

Interleukin-1, salah satu sitokin yang pertama kali ditemukan paa

tahun 1980-an, merupakan mediator yang kuat pada demam, nyeri dan

inflamasi. Selama ini regulasi dari molekul IL-1 masih merupakan misteri.

Identifikasi sebuah kompleks protein sitoplasmik baru yang disebut

inflammasomes, yang berperan meregulasi aktifasi IL-1 dan sekresinya

Universitas Sumatera Utara


97

telah membawa kemajuan penting dalam pemahaman peran IL-1 secara

biologik dan patogenesis penyakit (Contassot, Beer, French, 2012).

Interleukin-1 adalah salah satu monokin. Sumber utama IL-1 adalah

monosit dan makrofag. Sel-sel jenis lain seperti keratosit (sel epidermis),

sel LGL (NK cells), sel dendritik, astrosit, mikroglia, limfosit B dan

fibroblast dapat menghasilkan IL-1, walaupun sedikit, setelah

mendapatkan rangsangan oleh sejumlah zat tertentu Sifat perangsangan

yang terjadi menentukan apakah IL-1 dilepaskan atau tetap berada dalam

sel (Subowo, 2009). Interleukin 1 terbagi atas dua protein, yaitu IL-1 dan

IL-1, yang terdiri dari dua gen yang berbeda, tetapi mengenali

permukaan reseptor yang sama. Terkecuali pada keratinosit pada kulit,

beberapa sel epitel, dan beberapa sel dari sistem saraf pusat, IL-1 tidak

diproduksi oleh sel pada orang yang sehat. Namun, sebagai respon

terhadap adanya infeksi, akan terjadi peningkatan kadar IL-1 yang

diproduksi oleh makrofag dan beberapa sel lainnya (Subowo, 2009).

Interleukin-1 dan IL-1 secara struktural memiliki 25% asam

amino yang homolog. Keduanya tidak mengandung sekuensi peptida

yang hidrofobik. Dalam jumlah yang besar IL-1 disimpan dalam bentuk

prekursor di intrasel. Sebagian bentuk prekursor ini dibawa ke permukaan

sel dan sisanya berikatan dengan membran sel. Yang berikatan dengan

membran merupakan bentuk yang aktif, sifatnya seperti parakrin yang

bekerja pada sel yang berdekatan yang memiliki reseptor IL-1. Bentuk

prekursor IL-1, tidak seperti prekursor IL-1, menunjukkan aktifitas

biologi yang sedikit atau tidak ada sama sekali. Bentuk IL-1 ekstraseluler

Universitas Sumatera Utara


98

terdiri dari campuran prekursor maupun bentuk mature dari IL-1. IL-1

dan IL-1 memiliki efek bila berikatan dengan reseptor khusus. Terdapat

dua jenis reseptor yang berbeda. Yang pertama yaitu IL-1 reseptor tipe I

(IL-1 RI), yang ada pada sel T, fibroblas, keratinosit, sel endotel, sel yang

melapisi sinovial, kondrosit, dan hepatosit. Kedua adalah IL-1 reseptor

tipe II (IL-1 RII), yang terdapat pada sel B, neutrofil, dan sel sumsum

tulang. Reseptor ini memiliki berat molekul 68 kDa dan merupakan bagian

dari imunoglobulin (Ig). Secara umum, IL-1 berikatan lebih baik pada

reseptor tipe I dan IL-1 berikatan lebih baik pada reseptor tipe II

(Subowo, 2009).

Interleukin-1 memiliki berbagai aktifitas biologi. Sebagai contoh IL-1

meningkatkan sintesis prostaglandin pada sel endotel dan sel otot polos.

Di hati, IL-1 mengawali respon fase akut yang menghasilkan peningkatan

sintesis protein dan menurunkan produksi albumin. Interleukin-1

meningkatkan produksi kolagenase pada sel sinovial dan tulang rawan

dan resorpsi kalsium di tulang. Efek IL-1 pada sistem saraf pusat yaitu

menginduksi demam (aktifitas pirogen endogen), menginduksi tidur

gelombang lambat, dan melepaskan dua corticotropin-releasing factor dan

adrenokortikotropin. Interleukin-1 juga memiliki efek pada sistem endokrin,

yaitu bekerja secara langsung pada kelenjar adrenal untuk mencetuskan

steroidogenesis. Pada jumlah yang sedikit, IL-1 meningkatkan produksi

insulin, dan pada jumlah yang besar bersifat sitotoksik terhadap sel

pankreas. Interleukin-1 juga memiliki peran penting dalam fungsi imunitas,

yaitu memiliki efek pada makrofag/monosit, limfosit T, limfosit B, sel NK,

Universitas Sumatera Utara


99

dan sel LAK. Kerjanya pada makrofag/monosit, akan meningkatkan

sintesa dan produksi TNF dan IL-6. Interleukin-1 juga meningkatkan

produksi GM-CSF dan IL-4, yang mana hal ini akan meningkatkan

proliferasi sel B dan sintesa imunoglobulin. Interleukin-1, sama seperti

sitokin lainnya, memiliki peranan penting dalam aktifasi sel NK dan

produksi LAK, sehingga memiliki efek sebagai tumorisidal. Walaupun

produksi IL-1 yang normal penting dalam respon terhadap luka dan

infeksi, produksi IL-1 yang berkepanjangan dapat menimbulkan penyakit

seperti rematoid arthritis, sepsis, inflammatory bowel disease, leukemia

mielogenous akut dan kronik, diabetes melitus bergantung insulin, dan

aterosklerosis (Subowo, 2009).

Fungsi utama IL-1, mirip dengan TNF, adalah sebagai mediator

respon inflamasi terhadap infeksi dan stimulus lainnya. Interleukin-1

bekerja bersama-sama dengan TNF sebagai innate immunity and

inflammation. Sumber utama IL-1, seperti juga TNF, adalah sel-sel fagosit

mononuklear yang teraktifasi. Produksi IL-1 oleh makrofag diinduksi oleh

produk bakteri seperti LPS dan oleh sitokin lainnya misalnya TNF. Tidak

seperti TNF, IL-1 juga diproduksi oleh sel-sel lain selain makrofag,

misalnya netrofil, sel epitel (seperti keratinosit), dan sel endotel (Abbas,

Lichtman, Pillai, 2007).

Interleukin-1 mempunyai pengaruh yang luas, tidak saja

mempunyai sel sasaran dalam sistem imun, bahkan juga berpengaruh

pada sel-sel di luar sistem imun. Pengaruh IL-1 sangat luas dan dianggap

sebagai mediator pada proses radang, misalnya memberikan efek respon

Universitas Sumatera Utara


100

yang mencakup percepatan pertumbuhan sel sasaran (limfosit),

menginduksi ekspresi molekul pada permukaan sel (ICAM-1 pada sel

endotel), dan pelepasan mediator sekunder seperti prostaglandin dari sel

makrofag dan sitokin lain (IL-2) oleh limfosit T, TNF-, dan GM-CSF dari

sel-sel makrofag dan IL-6 dari fibroblast (Subowo, 2009).

Sel sasaran yang menerima induksi dari IL-1 akan merespon dalam

bentuk yang berbeda-beda, misalnya sel-sel imunokompeten akan

meningkatkan proliferasinya, sedang sel-sel yang terlibat dalam proses

radang responnya tergantung pada jenis selnya. Sebagai contoh fibroblast

akan berproliferasi di samping sel tersebut akan memproduksi PGE2

dalam SSP yang memberikan efek demam dan anoreksi, dan pada

jaringan tulang dan kartilago akan menyebabkan resorbsi (Subowo, 2009).

Interleukin-1 merupakan suatu polipeptida yang panjangnya 17-

kDa, dengan molekul yang berbentuk tong (barrel-shaped) (Patel, 2003).

Protein IL-1 dibedakan dalam bentuk IL-1 dan IL-1 yang masing-masing

diatur oleh gena yang berbeda. Gena untuk IL-1 diduga terletak pada

lengan panjang kromosom 2 (2q14). Kedua jenis protein tersebut terutama

dihasilkan oleh sel makrofag dan sel-sel lain seperti telah disebutkan di

atas (Subowo, 2009). Homolog di antara kedua bentuk IL-1 ini kurang

dari 30%, tetapi keduanya berikatan pada reseptor yang sama dan

memiliki aktifitas biologis yang sama. Kedua bentuk IL-1 ini sintesa

sebagai precursor berukuran 33-kD dan disekresi dalam bentuk protein

mature berukuran 17-kD. Bentuk aktif dari IL-1 adalah dalam bentuk

produk mature, tetapi IL-1 sudah aktif baik dalam bentuk precursor 33-kD

Universitas Sumatera Utara


101

maupun dalam bentuk produk mature yang lebih kecil (Abbas, Lichtman

,Pillai, 2007).

Interleukin-1 dianggap sebagai mediator yang sangat penting

dalam proses radang. Dalam pengamatan gejala radang secara in vivo

terungkap bahwa timbulnya demam merupakan efek neuroendokrin IL-1

karena terangsangnya pusat regulasi panas pada hipotalamus. Telah

lama diketahui bahwa mediator yang dihasilkan oleh lekosit yang semula

dinamakan pirogen endogen bertanggung jawab dalam induksi produksi

PG oleh sel-sel yang terdapat di sekitar pusat regulasi panas di

hipotalamus. Efek neuroendokrin lain berlangsung karena produksi cortico

releasing factor yang pada gilirannya akan merangsang produksi hormon

ACTH dari hipofise yang akan menginduksi produksi hormon

kortikosteroid dari kelenjar adrenal. Hormon kortikosteroid mendorong

pelepasan sel-sel netrofil dari sumsum tulang ke dalam peredaran darah

yang dibarengi dengan peningkatan hematopoesis menyebabkan

perubahan susunan komponen sel darah (Subowo, 2009).

Interleukin-1 juga berperan dalam aktivasi limfosit T pada tahap

awal respon imun. Kecocokan akan MHC kelas II dari sel makrofag dalam

menyajikan antigen kepada limfosit T sangat diperlukan dalam mengawali

respon imun. Sel-sel penyaji ini tidak saja menyajikan antigen dengan

cara kontak dengan klon limfosit T yang cocok, namun juga diperlukan

adanya pelepasan IL-1 sebagai sinyal kedua. Aktifasi limfosit T

berlangsung dengan adanya 2 sinyal utama tersebut, kemudian akan

disusul oleh proliferasi dan diferensiasi sel. Tanpa keterlibatan molekul

Universitas Sumatera Utara


102

MHC kelas II, IL-1 tidak dapat berfungsi sendiri dalam membangkitkan

respon imun melalui aktifasi limfosit T (Subowo, 2009).

Di samping sebagai mediator yang penting dalam proses

peradangan IL-1 juga merupakan mediator yang berperan dalam aktifitas

imunologik. Pengaruh IL-1 dalam imunitas ini terutama melalui

dorongannya terhadap diferensiasi limfosit T yang dapat dipantau melalui

perubahan-perubahan marka pada membrannya; dengan demikian IL-1

meningkatkan fungsi limfosit T dan produksi limfokin seperti IL-2, CSF,

BCGF (IL-4 dan IL-5), IFN-, dan LDCF (Subowo, 2009).

Pada percobaan in vitro, IL-1 memperkuat proliferasi, diferensiasi

dan fungsi produksi antibodi oleh limfosit B. Pengaruh IL-1 terhadap

limfosit B dapat secara tidak langsung melalui limfosit T yang

menghasilkan BCGF. Oleh karena IL-1 dapat dihasilkan juga oleh limfosit

B sendiri, maka interleukin ini dapat bertindak sebagai autokrin yang dapat

mengatur aktifitasnya sendiri (Subowo, 2009).

Efek biologis IL-1 mirip dengan TNF dan tergantung pada jumlah

sitokin yang diproduksi. Jika diproduksi dalam konsentrasi rendah, IL-1

berfungsi sebagai mediator inflamasi lokal. Ia akan bekerja pada sel

endotel untuk meningkatkan ekspresi molekul permukaan yang

memediasi adhesi lekosit seperti ligands terhadap intergrin. Jika

diproduksi dalam jumlah lebih besar, IL-1 akan memasuki aliran darah dan

menghasilkan efek endokrin. Efek sistemik IL-1 akan menginduksi

demam, sintesa plasma protein fase akut oleh hati, dan secara langsung

Universitas Sumatera Utara


103

maupun tidak langsung menstimulasi produksi IL-6, dan produksi netrofil

dan platelet oleh sumsum tulang (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007).

Banyaknya persamaan aktifitas antara IL-1 dan TNF cukup

mengejutkan karena kedua sitokin ini berbeda secara struktural dan

memiliki resptor yang berbeda pula. Begitupun, terdapat beberapa

perbedaan antara keduanya. Misalnya, IL-1 tidak menginduksi apoptosis

dari sel-sel, dan bahkan pada konsentrasi sistemik, IL-1 tidak

menyebabkan perubahan patofisiologis pada syok septik (Abbas,

Lichtman, Pillai, 2007).

Vedova dan kawan-kawan di Adelaide, Australia menemukan

peningkatan kadar serum IL-1 pada penderita CTTH bila dibandingkan

dengan kontrol, sedangkan kadar serum IL-18 juga ditemukan meningkat

secara signifikan pada pria penderita CTTH. Karena kadar kedua sitokin

ini meningkat tanpa adanya infeksi maupun cedera, mereka menduga

adanya peran faktor genetik yang bertanggung jawab atas fluktuasi kadar

keduanya (Vedova, Cathcart, Dohnalek, Lee, Hutchinson, Immink, et.al.,

2013).

Peningkatan kadar IL-1 dan IL-1ra dalam CSS dijumpai pada

trauma kapitis berat atau perdarahan subarakhnoid. Walaupun IL-1

sendiri tidak menyebabkan kematian sel saraf, injeksi IL-1 intrastriatal

atau intraserebroventrikuler menyebabkan kematian sel saraf yang

bermakna akibat eksitotoksik, iskemik atau cedera kepala traumatik pada

hewan pengerat. Mekanisme kerja IL-1 dalam memperburuk cedera

kepala akut masih belum diketahui (Patel, Boutin, Allan, 2003).

Universitas Sumatera Utara


104

Pada Demensia Alzheimer, IL-1 di samping punya peran yang

menguntungkan berupa mengakibatkan terjadinya degradasi plak dan

rekrutmen fagosit, IL-6 juga memiliki peran yang merugikan berupa

sintesis A, fosforilasi protein tau dan neurotoksisitas (Shaftel, Griffin,

OBanion, 2008). Pada tikus, IL-6 menstimulasi sel ganglion trigeminal

primer untuk mensintesa COX-2 dan PGE2 yang akhirnya akan

menyebabkan pelepasan CGRP. Pelepasan CGRP ini dimediasi oleh

jalur independen oleh COX-2 dan jalur independen melalui aktifasi

reseptor 5-HT1B/D (Neeb, Hellen, Boehnke, Hoffmann, Schuh-Hofer,

Dimagi, et.al., 2011). Penelitian lain membuktikan bahwa IL-1 13 dan IL-6

menyebabkan sensitisasi nosiseptor trigeminal dan memainkan peranan

penting dalam patogenesis migren dengan jalan menurunkan ambang

rangsang terhadap stimulus inflamasi lainnya. Berdasarkan hasil

penelitian ini, diduga peningkatan kadar IL-1 13 dan IL-6 akan

memfasilitasi peningkatan ekspresi protein yang menghasilkan sinyal di

dalam sel saraf dan sel glia di dalam ganglion dan Trigeminal Nucleus

Caudal, yang akhirnya akan berkontribusi terhadap sensitisasi perifer

dan sentral, dan memainkan peran penting pada patologi migren (Durham

dan Durham, 2009). Chioato et.al di Italia menemukan bahwa pemberian

canakumab, suatu antibodi monoklonal anti-interleukin-1 (anti-IL-1),

300 mg dosis tunggal secara subkutan tidak mempengaruhi induksi atau

persistensi reson antibodi setelah vaksinasi dengan vaksin influenza pada

orang sehat (Chioato, Noseda, Felix, Stevens, Del Giudice, Fitoussi,

et.al., 2010).

Universitas Sumatera Utara


105

2.3.2.2. Interleukin-6 (IL-6).

Interleukin-6 juga telah dihubungkan dengan agregasi amiloid beta

dan terjadinya hiperfosforilasi protein tau pada penyakit Alzhemer.

Polimorfisme IL-6 berhubungan dengan menurunnya risiko late-onset

Alzheimer disease, khususnya pada yang bukan carrier ApoE4 (Chen

dan Smith, 2012). Pada penderita migren telah diketahui bahwa kadar IL-6

meningkat pada saat serangan. Penelitian Yan et.al. menunjukkan bahwa

IL-6 memperkuat eksitabilitas saraf afferen duramater sehingga terjadi

sensitisasi yang berkontribusi terhadap patogenese nyeri kepala migren

(Yan, Melemedjian, Price, Dusson, 2012). Interleukin-6 juga dihubungkan

dengan penyakit aterosklerosis dan juga merupakan mediator kunci pada

respon inflamasi pada iskemi serebral. Review oleh Tso dan kawan-

kawan terhadap 12 publikasi mengenai hubungan IL-6 dan stroke

menyimpulkan adanya hasil yang tidak konsisten, diduga akibat

kompleksnya fisiologi IL-6 dan beragamnya subtipe stroke (Tso, Merino,

Warach, 2007). Kadar serum IL-6 saat masuk rumah sakit juga

berhubungan dengan perburukan klinis secara dini pada penderita stroke

iskemik tanpa tergantung pada ukuran infark, topografi dan mekanisme

terjadinya infark (Vila, Castillo, Davalos, Chamorro, 2000).

Interleukin-6 juga berperan penting dalam reaktifasi virus

sitomegalo pada manusia melalui extracellular signal-regulated kinase-

mitogen-activated protein kinase (ERKMAPK). Pada penelitian ex vivo IL-

6 berperan penting dalam proses reaktifasi virus sitomegalo dari sel

dendrit. (Reeves dan Compton, 2011). Penelitian eksperimental in vitro

Universitas Sumatera Utara


106

menunjukkan peningkatan produksi IL-6 oleh sel glia yang terinfeksi virus

ensefalomieitis murine. Interleukin-6 mRNA dari sel glia yang terinfeksi

meningkatkan hibridisasi terhadap urutan pengkodean IL-6 yang terletak

pada kromosom 5 (Rubio, Cerciat, Unkila, Garcia-Segula, Arevalo, 2011).

Interleukin-6 juga dilaporkan diduga berperan pada penyakit

autoinflamasi. Penyakit ini jarang ditemukan dan ditandai dengan dengan

karakteristik berupa terjadinya inflamasi tanpa penyebab yang jelas dan

tanpa titer autoantibodi atauu antigen spesifik sel T yang tinggi. Diduga

hipersekresi IL-6 di dalam SSP berperan dalam proses patogenesisnya

(Salsano, Rizzo, Bedini, Bernard, DallOlio, Volorio, et.al., 2013).

Pada penyakit di luar sistem saraf, beberapa penelitian telah

menunjukkan bahwa kadar hemoglobin terendah dijumpai pada

konsentrasi tertinggi marker inflamasi yaitu sitokin proinflamasi, (IL-6, IL-

1, TNF a) dan CRP, walaupun hanya IL-6 yang menjadi faktor independen

yang menentukan kadar hemoglobin. Namun penelitian oleh Wibawa dan

Bakta di Denpasar, Bali pada tahun 2008 tidak dapat membuktikan

adanya hubungan yang bermakna antara kadar IL-6 dengan kadar

hemoglobin (Wibawa dan Bakta, 2008). Penelitian di Bandung mengenai

kadar IL-6 pada penderita kanker payudara menunjukkan bahwa kadar IL-

6 serum pada kanker payudara bermetastase lebih tinggi dibandingkan

dengan kanker payudara lanjut lokal (Sapari, Abdurrahman, Tjandrawati,

2014). Sitokin juga diketahu berperan dalam proses aterogenesis.

Penelitian dengan sampel laki-laki sehat menunjukkan bahwa peningkatan

kadar IL-6 dihubungkan dengan meningkatnya risiko infark miokard

Universitas Sumatera Utara


107

(Ridker, Rifai, Stampfer, Hennekens, 2000). Kadar IL-6 dan IL-2 juga

ditemukan meningkat secara bermakna pada penderita burning mouth

syndrome dibandingkan dengan kontrol dan berkorelasi dengan

keparahan penyakit tersebut (Simcic, Pezelj-Ribaric, Grzic, Horvat,

Brumini, Muhvic-Urek, et.al., 2006). Pada penderita penyakit arteri perifer,

kadar IL-6 yang tinggi secara persisten dihubungkan dengan penurunan

fungsional yang lebih cepat bila dibandingkan dengan penderita yang

kadar IL-6 nya rendah atau fluktuatif (McDermott et.al., 2011) Kadar IL-6

juga ditemukan lebih tinggi pada serum penderita psoriasis aktif dibanding

kontrol (Arican, Aral, Sasmaz, Ciragil, 2005).

Interleukin-6 rekombinan manusia telah diketahui dapat

meningkatkan jumlah trombosit pada tikus, anjing dan primata normal.

Pemberian IL-6 pada penderita kanker ovarium yang menjalani

kemoterapi dapat ditoleransi dengan baik dan mempercepat pemulihan

jumlah trombosit (DHondt, Humblet, Guillaume, Baatout, Chatelain,

Berleire, et.al., 1995). Tocilizumab (TCZ) merupakan antibodi monoklonal

yang bekerja secara langsung terhadap reseptor IL-6 baik yang dalam

bentuk terlarut maupun yang terikat pada membran. Di Jepang obat ini

sudah digunakan pada penyakit Castleman, artritis rematoid dan artritis

juvenil idiopatik (Alonso dan Bilbao, 2009). Selain perannya pada berbagai

proses inflamasi, IL-6 juga berperan pada penyakit neoplastik. Neumann

et.al. meneliti kadar serum IL-6 pada anjing dengan berbagai penyakit hati

yang berbeda dan menyimpulkan bahwa kadar serum IL-6 dapat

membantu membedakan hepatitis akut dari hepatitis kronis dan

Universitas Sumatera Utara


108

membedakan tumor hati primer atau sekunder (Neumann, Kaup,

Scheulen, 2012).

2.4. Sitokin dan Otak

Penelitian terhadap sitokin dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu

termasuk penelitian yang mencari hubungan antara sitokin dengan SSP.

Dari penelitian-penelitian tersebut muncul 2 pertanyaan mendasar yaitu :

1. Bagaimana sitokin memodulasi fungsi SSP ? ; dan 2. Apakah peranan

sitokin pada patogenesis penyakit-penyakit sistem saraf ? . Penelitian

menunjukkan bahwa sitokin dapat mempengaruhi fungsi SSP misalnya

mempengaruhi fungsi saraf otonom yang dikontrol SSP, neuroendokrin

dan respons tingkah laku (Quan dan Herkerham, 2002). Dua sitokin

proinflamasi, TNF- dan IL-1 berperan memodulasi perilaku otak

organisme normal. Kedua sitokin ini juga terlibat dalam plastisitas sinaptik,

transmisi neural dan Ca21 signaling (Vitkovic, Bockaert, Jacque, 2000).

Telah diketahui bahwa sitokin dapat mempengaruhi fungsi saraf

pusat dengan berbagai cara dan ekspresi sitokin juga ditemukan pada

kasus-kasus infeksi dan cedera otak. Juga ditemukan beberapa bukti

keterlibatan sitokin dalam induksi dan modulasi penyakit neurologis mulai

Alzheimer disease hingga chronic fatique syndrome (Quan dan

Herkerham, 2002).

Pada awalnya sitokin diidentifikasi sebagai molekul sinyal

interselular dan berfungsi sebagai mediator antara sistem imun dengan

sistem saraf pusat. Aktifitas imunologis pada host sering berkaitan

dengan perubahan perilaku, suhu tubuh dan aktifitas neuroendokrin, yang

Universitas Sumatera Utara


109

semuanya diatur oleh SSP. Sehingga disimpulkan sitokin yang diinduksi

selama respon imun akan memodulasi fungsi SSP untuk memperoleh

mekanisme fisiologis, behavior dan endokrin untuk melawan infeksi.

Injeksi berbagai sitokin secara sistemik atau langsung ke dalam ventrikel

serebral akan mengaktifasi hipotalamus-pituitary adrenal (HPA) aksis,

menimbulkan demam dan prolonged slow wave sleep, berkurangnya

intake makanan/minuman, dan penurunan motilititas. Sitokin yang paling

sering diuji disini adalah IL-1 (Quan dan Herkerham, 2002).

Secara in vivo ditemukan bahwa peningkatan kadar sebuah sitokin

cenderung disertai perubahan kadar sitokin lainnya karena sitokin bisa

menginduksi sitokin lainnya. Selain itu, pada single immune response

dibutuhkan sitokin yang multipel untuk tercapainya suatu respon imun.

Contohnya IL-2 menginduksi demam secara tidak langsung. Interleukin-1

dan/atau TNF- adalah mediator IL-2 untuk menimbulkan demam. Dari

berbagai penelitian diduga aktifitas imun perifer dapat mempengaruhi SSP

melalui efek IL-1. Namun tidak didukung oleh studi pada hewan transgenik

yang telah disuntikkan lipopolisakarida endotoksin bacterial (LPS)

intraperitoneal dan didapati bahwa IL-6 adalah sitokin yang menginduksi

demam dan bukan IL-1. Pada akhirnya dinyatakan IL-1, IL-6, TNF- dan

INFy adalah sitokin yang utama aktif di otak (Quan dan Herkerham, 2002).

Sitokin juga mengaktifasi sirkuit neural spesifik. Ada 2 pemikiran

yang melatarbelakangi penelitian ini : 1. Sitokin dapat mencapai area

manapun di otak dan kerjanya pada daerah itu akan menentukan aktifitas

Universitas Sumatera Utara


110

area tersebut ; 2. Sitokin akan menimbulkan reaksi berantai untuk

mencapai sirkuit neural yang lebih jauh (Quan dan Herkerham, 2002).

Peran TNF- pada aktifitas neuroproteksi dapat dilihat pada

gambar 8. Secara skematis prosesnya meliputi : 1. Penguatan aktifitas

neuron secara fisiologis ; 2. Proses nutritif yang dimulai dengan pelepasan

mediator parakrin neuronal termasuk fosfat berenergi tinggi, glutamat,

potassium dan khususnya prostaglandin, yang dapat memperkuat ; 3.

Endositosis yang dihubungkan dengan produksi TNF- oleh mikroglia.

Astrosit juga berperan dalam proses pelepasan mediator parakrin yang

mengaktifasi mikroglia ini ; 4. TNF- yang dilepaskan mikroglia

selanjutnya memicu peningkatan aktifitas neuronal dengan jalan ; 5.

Meningkatkan ekspresi reseptor NMDA dan AMPA serta menurunnya

ekspresi reseptor GABA dan ; 6. Pada saat yang sama, TNF- dari

mikroglia juga mempengaruhi astrosit (Kraig, Mitchell, Christie-Pope,

Kunkler, White, Tang et.al., 2010).

Gambar 8 . Schematic of neuro-immune initiating signaling of activity-


dependent neuroprotection
Dikutip dari : Kraig et.al.( 2010)

Universitas Sumatera Utara


111

Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa sel-sel non-neuronal

adalah sumber sitokin utama di otak. Namun ada kesimpulan yang

berbeda dimana setelah penyuntikan sistem imun perifer maka sel

endotelial pada sawar darah otak akan mengaktifasi siklooksigenase 2

(COX-2). Sehingga disimpulkan efek sitokin pada SSP bisa dihambat

dengan pemberian COX-2 inhibitor. Interleukin-1 dapat menghambat

potensiasi jangka panjang pada neuron di amigdala, dan hipokampus.

Sehingga diperkirakan aktifitas sitokin ini akan mempengaruhi fungsi

belajar, memori dan emosi (Quan dan Herkerham, 2002).

Sitokin bisa berperan melawan infeksi atau bahkan mengakibatkan

kematian sel, baik sel yang sehat maupun sel yang normal. Sitokin juga

berperan dalam patogenesis penyakit neurologis. Bukti klinis yang

menggambarkan peranan sitokin dalam patogenesis penyakit

neurodegeneratif misalnya pada meningitis bakterial luarannya berkaitan

dengan kadar TNF- dan IL-1 di CSS. Penyuntikan antiserum TNF-

akan mengurangi efek letal endotoksin bakteri ini. Contoh lain adalah

pada penderita sklerosis multipel (SM) dimana pada lesi otak penderita ,

imunoreaktifitas TNF- itu berhubungan dengan astrositoma dan

makrofag. Juga ditemukan kadar IL-1 dan TNF- pada CSS penderita SM

lebih tinggi dari kontrol. Terapi yang efektif pada SM adalah interferon

B(IFN-B) yang kemudian akan menghambat produksi IL-1 dan TNF-.

Pada penyakit lain, kadar TNF- mRNA meningkat pada striatum dan

substansia nigra penderita Penyakit Parkinson. Pada penyakit Alzheimer

terjadi peningkatan IL-1 serta ditemukannya IL-1 imunoreaktif mikroglia

Universitas Sumatera Utara


112

(IL-1+). Interleukin-1+ ini akan mengatur regulasi protein precursor B-

amiloid (BAPP) dan BAPP ini menstimulasi pembentukan IL-1 ( siklus

sitokin) yang selanjutnya menjadi kekuatan pengendali patogenesis

Demensia Alzheimer (DA). Dari sini berkembanglah pengetahuan bahwa

obat anti inflamasi penghambat IL-1 bermanfaat dalam penanganan DA.

Peranan TNF- pada DA juga ada namun tidak sejelas IL-1. Pada wanita

muda, kejadian yang tidak nyaman pada masa kanak-kanak dihubungkan

dengan migren, khususnya migren kronik dan migren transformasi, dan

biomarker vaskuler khususnya biomarker inflamasi termasuk TNF- dan

IL-6 (Tietjen,Khubchandani, Herial, Shah, 2012).

Berbagai macam penelitian in vitro untuk meneliti efek

neurotoksisitas IL-1 atau TNF- pada sel neuron SSP sudah dilakukan

dan kesimpulan yang dihasilkan masih sangat ambigu. Untuk sel glia

sendiri ternyata yang memiliki efek toksik adalah TNF-. Tumor Necrosis

Factor- ini toksik terhadap oligodendrosit sehingga timbul kerusakan

myelin (kontribusi pada SM dan experimental alleric encephalomyelitis

(EAE). Sel glia yang telah teraktifasi akan membentuk zat-zat neurotoksik

(asam quinolic, reactive oxygen intermediates, reactive nitrogen

intermediates, glutamate) (Quan dan Herkerham, 2002).

Studi in vivo menunjukkan IL-1 dan TNF- dapat bersifat

neuroprotektif maupun neurotoksik. Kapan sitokin bersifat neuroprotektif

dan kapan bersifat neurotoksik tergantung pada 3 hal, yaitu : 1. Kadar

sitokin. Semakin rendah kadar sitokin pada sistim saraf maka sifatnya

akan semakin neuroprotektif ; 2. Lamanya paparan sel dengan sitokin.

Universitas Sumatera Utara


113

Semakin lama paparannya, maka efeknya akan semakin neurotoksik ;

dan 3. Site of action. Interleukin-1 pada striatum dapat merusak neuron

kortikostriatal, namun tidak merusak neuron di korteks. Namun penelitian

tentang daerah otak yang mana atau jenis sel yang mana yang rentan

terhadap sitokin ini masih sangat sedikit (Quan dan Herkerham, 2002).

Pada suatu penelitian dimana Trypanosoma pallidum dimasukkan

ke dalam tubuh tikus, parasit ini berdiam di pleksus koroideus dan organ

sirkumventrikular di otak. Mereka akan menstimulasi sekresi IL-1 dan

TNF- pada sistem imun perifer. Setelah beberapa lama terjadi apoptosis

sel-sel non neuronal di sekitar ventrikel, degenerasi saraf vagus bilateral,

traktus olfaktori lateral dan hipokampus bagian rostral dan beberapa

daerah lainnya. Efek neurotoksik inii berkaitan dengan paparan kronis

antara IL-1 dan TNF- dengan area otak tersebut. Aktifitas molekul ini bisa

mencapai seluruh daerah di otak, umumnya simetris, melalui ruang

ekstraselular. Penemuan ini menyimpulkan bahwa : 1. Area otak tertentu

lebih rentan terhadap efek neurotoksik sitokin ; 2. Efek neurotoksik tidak

hanya mengenai sel neuronal saja namun juga sel non neuronal ; dan 3.

Injury pada sel non neuronal bersifat apoptosis, sedangkan pada sel

neuronal bersifat nekrotik (Quan dan Herkerham, 2002).

Walaupun beberapa penelitian melaporkan bahwa mindfulness

training dapat mengurangi gejala pada beberapa keadaan nyeri kronis,

termasuk nyeri kepala, namun Cathcart dkk menemukan bahwa latihan ini

tidak menurunkan kadar sitokin pada penderita CTTH (Cathcart, Vedova,

Immink, Proeve, Hayball, 2013).

Universitas Sumatera Utara


114

2.5 . Sitokin dan Sawar Darah-Otak

Sawar darah-otak (SDO) merupakan pemisah SSP dengan

sirkulasi sistemik, oleh karenanya SDO berperan mengontrol

microenvirontment dan homeostasis SSP dengan mekanisme kerja yang

mampu untuk memfasilitasi asupan nutrisi, meregulasi keseimbangan ion,

dan menjadi barrier yang melindungi dari xenobiotic toksin potensial yang

dapat dijumpai di sirkulasi sistemik (Ronaldson dan Davis, 2011).

Sawar darah otak seharusnya menghalangi sitokin berinteraksi

dengan SSP. Ada 5 jalur sitokin melewati sawar darah otak, yaitu : 1.

Sitokin mengalami transport aktif melewati sawar darah otak ; 2. Sitokin

mengaktifkan nervus vagus perifer yang kemudian mengaktifkan target di

otak ; 3. Sitokin bocor melewati SDO pada organ sirkumventrikular

(Circumventricular organs/CVOs) dan mengaktifkan target SSP di daerah

ini ; 4. Sitokin menginduksi sel-sel sawar darah otak untuk memproduksi

sitokin yang kemudian disekresikan ke parenkim otak ; dan 5. Sitokin

dibawa oleh leukosit yang berinfiltrasi melewati sawar darah otak (Quan

dan Herkerham, 2002).

Sawar darah-otak memberikan ruang yang luas bagi sitokin untuk

mempengaruhi fungsi SSP. Sawar darah-otak merupakan target dalam

terapi intervensi, sehingga penting untuk mengerti interaksi sitokin dalam

level SDO. Signaling sitokin pada level SDO merupakan bentuk regulasi

dinamis yang penting, yang mampu mengubah fungsi SDO secara cepat

dan dapat mempengaruhi fungsi otak yang sehat maupun yang

mengalami gangguan.

Universitas Sumatera Utara


115

Beberapa mekanisme berkaitan dengan sitokin dan SDO : 1.

Pengenalan SDO terhadap sitokin dan peptida lainnya yang berhubungan.

Sawar darah-otak terdiri dari 3 dimensi, yang terletak diantara otak dan

pembuluh darah yang membawa material untuk pertukaran informasi

selektif. Sawar darah-otak merupakan tempat regulator dalam respon

terhadap sitokin. Sawar darah-otak secara selektif dapat mentranspor

beberapa sitokin, berupa IL-1, IL-1, IL-1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-

6, TNF, leukemia inhibitory factor (LIF), ciliary neurotrophic factor dan

berbagai adipokines. Sitokin memainkan peranan penting dalam respon

fisiologi terhadap inflamasi dan neuroregenerasi. Fungsi lainnya, SDO

dapat membatasi berbagai sitokin yang akan melewati SDO. Transfoming

Growth Factor (TGF-) tertahan di vaskular serebral dan TGF- tidak bisa

memasuki otak, dan sebaliknya Epidermal Growth Factor (EGF) dapat

melewati SDO secara cepat. Dalam neuroinflamasi, chemokine CXCL 12,

yang terletak di permukaan basolateral SDO, berfungsi dalam mencegah

ekstravasasi leukosit ke dalam SSP. ; 2. Reseptor sitokin dan

mikrodomain membran endotel. Reseptor sitokin terletak pada membran

mikrodomain dan berikatan dengan endositosis dependent maupun yang

independent. Endocytic microdomain terdiri dari protein pembungkus yang

spesifik, lipid atau keduanya. Dynamin dan Actin merupakan komponen

utama jalur endocytotic. Caveolae memainkan peranan penting dalam

transitosis melewati SDO. Aktifitas caveolae yang meningkat setelah

cedera otak berhubungan dengan peningkatan ekspresi caveolae

fosforilasi. Berbagai sitokin dan reseptornya mengalami endositosis dalam

Universitas Sumatera Utara


116

bentuk caveolin-dependent. Pada s el , IL-1 dan IL-1R1 menginduksi

fosforilasi caveolin dan endositosis caveolin-dependent. Akumulasi sitokin

dalam lipid dapat memfasilitasi proses signaling. Endositosis berkontribusi

dalam mengakhiri proses signaling melalui perpindahan sitokin, hormon

dan reseptornya dari ekstraseluler. Terdapat hubungan antara lokasi dan

endositosis dari mikrodomain yang spesifik dan sitokin intraseluler dengan

reseptornya. Sitokin dan reseptornya berakumulasi dalam membran

mikrodomain, sitokin dapat menginduksi translokasi reseptornya menuju

ke mikrodomain yang spesifik. Mikrodomain menentukan nasib sitokin

dan reseptornya setelah endositosis, tetapi hanya sedikit yang diketahui

tentang pengaruh mekanisme membran mikrodomain terhadap fungsi

resptor sitokin pada sel endotel SDO. ; 3. Regulasi neuroendokrin. Efek

dari signaling sitokin pada SDO terhadap regulasi neuroendokrin

dicontohkan dengan leptin. Leptin merupakan sitokin utama dalam

regulasi neuroendokrin pada SSP. Bekerja melalui reseptor leptin (ObR

atau LR berfungsi untuk mengontrol asupan makanan dan pemakaian

energi dengan cara mempengaruhi berbagai peptida hipotalamus. Oleh

karena itu leptin harus mampu melewati SDO dari tempat asalnya di

jaringan lemak. ; 4. Tertundanya signal neuroinflamasi dan gabungan

berbagai jalur signaling yang diaktifasi ikatan yang berbeda. Sawar darah-

otak dapat mencegah masuknya beberapa substansi dan sebaliknya

membiarkan substansi yang lain lewat serta membentuk signal sekunder

yang dapat mempengaruhi fungsi SSP saat berinteraksi dengan substansi

tertentu. Endotel SDO berespon terhadap stimulus inflamasi yang

Universitas Sumatera Utara


117

dibentuk oleh substansi vasoaktif, termasuk endothelin-1, prostaglandin,

leukotrien, dan platelet activating factor. Terdapat signal intraseluler yang

berbeda terhadap sitokin yang berbeda. Sawar darah-otak menghasilkan

chemokines dan sitokin sebagai respon terhadap cedera dan inflamasi.

Bagaimana proses signaling dapat mempengaruhi transitosis ? Meskipun

data yang didapatkan masih kurang, namun hal ini jelas bahwa signaling

seluler oleh sebuah sitokin dapat memodifikasi sistem transpor antara

yang satu dengan yang lainnya. Interaksi signal peptidergic pada SDO

diilustrasikan dengan hubungan antara leptin dengan urocortin pada

proses aktivasi STAT-1 dan STAT-3. Leptin dapat meningkatkan aktivasi

STAT-1 dan STAT-3. Leptin juga mempunyai hubungan dengan -MSH.

-MSH berikatan dengan reseptor melanocortin (MC-3R) dan MC-4R

pada hipotalamus. Seperti halnya interaksi leptin dan urocortin, leptin tidak

mampu meningkatkan produksi cAMP. ; 5. Interaksi sitokin dengan

reseptor hormon nuklear pada SDO. Reseptor hormon nuklear merupakan

faktor ikatan yang diaktifasi oleh proses transkripsi. Ikatan yang terjadi

dengan hormon seperti estrogen, progesteron, testosteron dan

glukokortikoid, begitu juga retinoic acids dan oxysterols. Hormon ini

berikatan dengan reseptor dan meregulasi munculnya gen yang penting

untuk pertumbuhan, metabolisme dan berbagai fungsi vital lainnya.

Secara bersama-sama reseptor nuklear yang terdapat dalam sel endotel,

memainkan peranan pada ikatan protein , sitokin dan transporter.

Kaskade signaling diawali regulasi sitokin terhadap fungsi reseptor nuklear

melalui fosforilasi, dan ; 6. Efek sitokin pada efflux transporter obat.

Universitas Sumatera Utara


118

Endotelium SDO kaya dengan efflux transporters yang bekerja sebagai

barier transpor terhadap obat dan komponen endogen menuju parenkim

otak. Pompa aktif efluks yang utama terdiri dari P Glycoprotein (P-gp,

ABCB1), breast cancer resisten protein (BCRP, ABCG2) dan multidrug

resistance yang berhubungan dengan berbagai protein (MRP, ABCC1-6)

termasuk dalam transporter ABCfamily. Adanya transporter ini telah

diimplikasikan terhadap obat-obatan seperti antikanker, antivirus,

antibakterial, antiepilepsi dan analgesik. P-gp terdapat pada bagian

luminal vaskular, astrocytic end feet bagian abluminal SDO, mikroglia dari

parenkim otak dan endotel pleksus koroidalis. Pada saat terjadi inflamasi,

berbagai sitokin seperti TNF, IL-1 dan IL-6 dapat mengubah aktifitas

fungsional dan efflux transporters. Dapat disimpulkan bahwa sitokin dapat

meningkatkan modulasi efflux drug transporters yang bersifat dose and

time dependent.(Pan, Stone, Hsuchou, Manda, Zhang, Kasti, et.al., 2011).

Ada beberapa reseptor, kanal ion, influx/efflux protein transpor yang

mencolok pada sel endotel otak yang secara fungsional sama dengan

yang dijumpai pada jaringan lain namun dengan kapasitas dan kecepatan

transpor yang berbeda seperti d-glucose transporter, l-amino acid carrier,

Na+/K+ ATPase. Komponen yang kecil, nonionik dan bersifat lipid-soluble

dapat masuk ke SSP dengan mekanisme difusi pasif yang diatur oleh

protein transpor endogen seperti ATP-binding cassette (ABC) transporter

(berperan dalam translokasi opioid dan metabolitnya), solute carrier (SLC)

transporter yang terdapat di endotel SDO. Selain itu, beberapa

transporter tambahan yang termasuk solute carrier transporter seperti

Universitas Sumatera Utara


119

organic ion transporting polypeptides (OATP), organic ion transporters,

nucleoside transporters dan peptide transporters juga berperan dalam

memfasilitasi penyebaran obat menembus SDO (Ronaldson dan Davis,

2011).

Nyeri (sebagai respon inflamasi mengakibatkan perubahan

permeabilitas SDO yang dapat mengubah komposisi protein di tight-

junction) dapat meningkatkan permeabilitias paraselular dari SDO dan

berhubungan dengan delivery obat ke SSP. Terbukanya rute paraselular

menyebabkan peningkatan uptake beberapa obat ke SSP, misalnya

agonis reseptor opioid seperti kodein. Kemampuan obat untuk

menembus endotel SDO dan mencapai konsentrasi efektif dalam SSP

tergantung pada banyak mekanisme transport, seperti uptake ke otak via

influx transporter dan keluar dari otak melalui efflux transporter yang harus

seimbang (Ronaldson dan Davis, 2011).

Identifikasi dan karakterisasi dari mekanisme biologis

memungkinkan nyeri perifer untuk mentransmisikan sinyal yang akan

mengganggu transporter obat ke SDO dengan cara merubah konsentrasi

serum sitokin seperti TGF-1 yang merupakan regulator homeostasis

mikrovaskular di otak. TGF- dijumpai menurun pada pemberian obat anti

inflamasi non steroid seperti diklofenak. TGF- merupakan pencetus

perubahan SDO yang terjadi saat nyeri inflamasi dan TGF- dimediasi

oleh ALK. Pathway ALK1 menyebabkan aktifasi endotel yang ditandai

dengan meningkatnya permeabilitas dan ALK5 memediasi sinyal yang

menyebabkan resolusi vaskular yang ditandai dengan menurunnya

Universitas Sumatera Utara


120

permeabilitias. TGF-/ALK5 dapat meregulasi permeabilitas SDO dengan

mengubah struktur kompleks protein tight-junction SDO dan dengan

meningkatkan ekspresi transporter influx. TGF-/ALK5 merupakan target

farmakologis yang potensial yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan

delivery obat ke SSP (Ronaldson dan Davis, 2011).

2.6. Amitriptilin

Anti depresan merupakan obat yang paling sering digunakan pada

TTH kronik. Amitriptilin terbukti lebih baik dari plasebo pada kebanyakan

uji klinis walaupun uji klinis terbesar menunjukkan hasil sebaliknya.

(Fernandez-de-las-Penas dan Schoenen, 2009 ; Tfelt-Hansen, 2010).

Amitriptilin juga merupakan obat pilihan pertama untuk terapi profilaksis

TTH kronik walaupun efektifitasnya sering terbatas akibat efek

sampingnya (Bendtsen, Evers, Linde, Mitsikostas, Sandrini, Schoenen,

2010). Boz dkk membandingkan efektifitas amitriptilin dengan sertraline

(penghambat selektif reuptake serotonin) sebagai terapi profilaksis

penderita TTH kronik tanpa depresi. Kedua obat ini terbukti efektif untuk

terapi TTH kronik tanpa depresi, namun Amitriptilin lebih efektif bila

dibandingkan dengan sertraline (Boz, Altunayoglu, Velioglu, Ozmenoglu,

2003).

Amitriptilin telah dibuktikan dapat mengurangi keadaan depresi,

terutama depresi endogen. Perbaikan berwujud sebagai perbaikan

suasana perasaan (mood), bertambahnya aktifitas fisik, kewaspadaan

mental, perbaikan nafsu makan dan pola tidur lebih baik, serta

Universitas Sumatera Utara


121

berkurangnya pikiran morbid. Obat ini tidak menimbulkan euforia pada

orang normal (Santoso dan Wiria, 1995).

Amitriptilin juga telah diketahui memiliki efek analgetik. Apakah efek

analgesik berhubungan dengan aktifitasnya dalam memperbaiki mood

atau oleh karena aksi farmakologis (atau keduanya) masih belum

diketahui (Bryson dan Wilde, 1996). Data dari 41 penelitian menunjukkan

antidepresan trisiklik merupakan analgesik yang efektif. Amitriptilin

merupakan obat yang paling sering diteliti. Ditemukan bukti yang

konsisten bahwa antidepresan trisiklik bersifat analgesik pada neuropati

diabetik dan neuralgia post herpetik, dan menunjukkan efikasi pada nyeri

sentral dan nyeri post-stroke. Kondisi lain dimana antidepresan trisiklik

bermanfaat sebagai analgetik, meliputi nyeri kepala tipe tegang, migren

dan nyeri oro-fasial kronik (Lynch, 2001).

Amitriptilin juga efektif untuk pengobatan nyeri akibat neuropati

diabetika (Bril, England, Franklin, Backonja, Cohen, Del Toro, et.al., 2011).

Pada nyeri sentral pasca stroke, Amitriptilin juga lebih efektif mengurangi

rasa nyeri dibandingkan dengan plasebo (Lampl, Yazdi, Roper, 2002).

Huang dkk juga menemukan bahwa Amitriptilin dosis rendah dapat

memperlambat waktu transit orocaecal yang membuat lambung menjadi

kurang sensitif, meningkatkan kadar plasma ghrelin dan neuropetida Y,

sehingga direkomendasikan untuk gangguan saluran cerna fungsional

(Huang, Jiang, Jia, You, Huang, Gong, et.al., 2013). Review sistematik

yang dilakukan oleh the WorkSafeBC Evidence-Based Practice Group

Universitas Sumatera Utara


122

(EBPG) melalui Cochrane Database of Systematic Reviews, Cochrane

Librarys Health Technology, Assessment Database, BIOSIS, Embase,

dan Memline menunjukkan bukti bahwa antidepresan trisiklik, termasuk

Amitriptilin, bermanfaat pada penatalaksanaan nyeri kronik (Noertjojo,

Martin, Dunn, 2010). Pada penderita nyeri lengan persisten akibat

penggunaan lengan yang berlebihan, walaupun tidak mengurangi

intensitas nyeri secara signifikan, Amitriptilin dosis rendah terbukti

meningkatkan fungsi lengan dan memperbaiki keadaan umum secara

signifikan (Goldman, Stason, Park, Kim, Mudgal, Davis, et.al., 2010).

Amitriptilin dapat menginduksi atau bahkan dapat meningkatkan jumlah

periodic limb movements (PLM) saat tidur pada orang sehat sehingga

harus mempertimbangkan adanya PLM saat menggunakannya untuk

penderita gangguan tidur (Goerke, Rodenbeck, Cohrs, Kunz, 2013).

Amitriptilin merupakan salah satu antidepresan trisiklik yang telah

banyak digunakan dalam klinis selama 4 dekade. Disebut trisiklik karena

karena strukturnya memiliki karakteristik 3 cincin nukleus (Katzung, 2006).

Amitriptilin merupakan derivat dibenzosikloheptana antidepresan trisiklik,

berwarna putih, tidak berbau, berbentuk serbuk kristal atau kristal kecil

berasa pahit dan rasa terbakar, dan larut dalam air dan alkohol, memiliki

pKa 9,4 (McEvoy, 2004).

Universitas Sumatera Utara


123

Gambar 9. Struktur Kimia Amitriptilin

Dikutip dari : McEvoy (2004)

Amitriptilin bekerja terutama sebagai penghambat ambilan kembali

serotonin (serotonin re-uptake inhibitor) dan norepinefrin dengan aksi

yang kuat pada transporter serotonin dan efek yang moderat pada

transporter norepinefrin. Selain itu, Amitriptilin berfungsi sebagai antagonis

reseptor 5-HT2, 5-HT3, 5-HT6, 5-HT7, 1-adrenergik, H1, H2, H4, dan

mAch, dan agonis reseptor 1. Amitriptilin juga menghambat kanal

natrium, kalium dan kalsium (Tatsumi, Groshan, Blakely, Richelson,1997;

Punke dan Friederich, 2007).

Dosis harian yang direkomendasikan adalah 25-200 mg/ hari. Dosis

hampir selalu ditentukan secara empiris, adanya efek samping biasanya

merupakan faktor yang membatasi. Toleransi terhadap beberapa efek

dapat terjadi, oleh karenanya pola terapi harus dimulai dengan dosis kecil,

ditingkatkan perlahan-lahan hingga dosis maksimum yang dapat

ditoleransi (Katzung, 2006).

Universitas Sumatera Utara


124

Amitriptilin hidroklorida diabsorbsi cepat dari saluran cerna dan dari

parenteral. Konsentrasi puncak plasma terjadi dalam 2-12 jam setelah

pemberian oral atau intramuskular (pemberian parenteral tidak lagi

tersedia di Amerika Serikat). Amitriptilin dan metabolit aktifnya (nortriptilin)

didistribusikan ke kelenjar susu, dengan konsentrasi yang hampir sama

atau sedikit lebih besar dibandingkan dalam serum ibu hamil. Waktu paruh

plasma Amitriptilin berkisar dari 10-50 jam. Obat ini dimetabolisasi melalui

pathway yang sama dengan antidepresan trisiklik yang lain; nortriptilin,

metabolit N-monodemetilasi, merupakan metabolit aktif. Sekitar 25-50%

dari satu dosis Amitriptilin diekskresikan di urin sebagai metabolit inaktif

dalam 24 jam, sejumlah kecil diekskresikan di feses melalui eliminasi bilier

(McEvoy, 2004).

Universitas Sumatera Utara


125

Gambar 10. Diagram skematik menggambarkan beberapa tempat kerja


potensial antidepressan.
Dikutip dari : Katzung (2006)

Efek samping antidepresan trisiklik berupa : sedasi (mengantuk,

efek aditif dengan obat sedatif lain), gejala simpatomimetik (tremor,

insomnia), efek antimuskarinik (pandangan kabur, konstipasi, gangguan

berkemih, kebingungan), efek kardiovaskuler (hipotensi ortostatik, defek

konduksi, aritmia), gejala psikiatrik (perburukan psikosis, sindroma

withdrawal), gejala neurologik (kejang), dan gangguan metabolik-endokrin

(peningkatan berat badan dan gangguan fungsi seksual) (Katzung, 2006).

Universitas Sumatera Utara


126

Interaksi farmakokinetik obat yang mungkin terjadi adalah antara

inhibitor-inhibitor poten P450 2D5, paroxetin, fluoxetine, dan obat-obat

yang tergantung pada pathway ini untuk clearance-nya (misalnya :

desipramin, nortriptilin, flecainide). Interaksi obat yang signifikan secara

klinis sangat jarang, hanya dijumpai beberapa laporan kasus setelah

pemakaian kumulatif lebih dari 50 juta penderita yang menggunakan obat

ini (Katzung, 2006).

2.7. Deksketoprofen

Deksketoprofen trometamol adalah garam dekstrorotator

enantiomer dari ketoprofen yang larut dalam air. Ketoprofen racemic

digunakan sebagai agen analgesik dan anti-inflamasi, dan merupakan

salah satu inhibitor sintesis prostaglandin paling kuat secara in vitro. Efek

ini berhubungan dengan (S)-(+)-enantiomer (Deksketoprofen), sementara

(R)-(-)-enantiomer sama sekali tidak memiliki aktifitas tersebut. Ketoprofen

racemic (campuran kimiawi obat yang mengandung jumlah yang sama

dari bentuk dekstrorotator dan levorotator) menunjukkan sedikit

stereoselektifitas dalam farmakokinetiknya. Bioavaibilitas oral relatif dari

Deksketoprofen (12,5 mg dan 25 mg) serupa dengan ketoprofen racemic

(25 dan 50 mg). Deksketoprofen trometamol diberikan dalam bentuk

tablet, diabsorbsi dengan cepat, dengan waktu ke konsentrasi maksimum

plasma (tmax) antara 0,25-0,75 jam (Barbanoj, Antonijoan, Gich, 2001).

Deksketoprofen terikat kuat dengan protein plasma, khususnya

albumin. Obat ini dieliminasi dengan biotransformasi ekstensif menjadi

metabolit inaktif yang dikonjugasi oleh glukoronat. Konjugat diekskresi di

Universitas Sumatera Utara


127

urine, dan tidak ada obat yang dieliminasi tanpa diubah. Pada dosis diatas

7 mg, Deksketoprofen superior secara signifikan dibandingkan dengan

plasebo pada penderita dengan nyeri sedang dan berat. Hubungan dosis-

respons antara 12,5 mg dan 25 mg dapat dilihat dari kurva time-effects,

superioritas dosis 25 mg lebih merupakan hasil dari perpanjangan durasi

aksi dibandingkan dengan peningkatan dalam efek analgesik puncak.

Plateau dalam aktifitas analgesik dari Deksketoprofen trometamol pada

dosis 25 mg dijumpai. Waktu hingga muncul pengurangan nyeri tampak

lebih pendek pada penderita yang diterapi dengan Deksketoprofen

trometamol. Obat ini dapat ditoleransi dengan baik (Barbanoj, Antonijoan,

Gich, 2001).

Deksketoprofen trometamol 25 mg tiga kali sehari per oral terbukti

sama efektifnya dengan diklofenak tiga kali 50 mg per hari untuk

pengobatan nyeri akibat osteoartritis lutut (Srikanth, Harshad,

Shivamurthy,Niveditha, 2012). Obat ini juga lebih efektif dibanding

parasetamol dan metamizol untuk mengurangi nyeri akut pasca operasi

telinga, hidung dan tenggorokan (Karaman, Cukurova, Demirhan, Gonullu,

Altunbas, 2010). Review sistematik terhadap 35 penelitian mengenai nyeri

akut dan kronik menyimpulkan bahwa Deksketoprofen paling tidak sama

efektifnya dengan obat anti inflamasi non steroid dan kombinasi

parasetamol/opioid lainnya (Moore dan Barden, 2008).

Pada penelitian ini kedua obat ini dibandingkan efektifitasnya dalam

hal menurunkan intensitas nyeri dan pengaruhnya terhadap kadar TNF-

IL-1 dan IL-6 serum. Amitriptilin dipilih karena merupakan obat golongan

Universitas Sumatera Utara


128

trisiklik antidepresan yang telah banyak diteliti manfaatnya pada TTH

kronik dan efektif sebagai terapi preventif TTH kronik. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui apakah Amitriptilin juga bermanfaat sebagai

terapi kuratif. Deksketoprofen dalam bentuk ketoprofen juga telah diteliti

dan efektif pada TTH akut Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah

Deksketoprofen juga efektif pada TTH kronik. Efektifitas kedua obat ini

secara klinis dibandingkan dengan menggunakan parameter perubahan

pada skala intensitas nyeri NRS. Juga dibandingkan pengaruh kedua obat

terhadap kadar TNF-, IL-1 dan IL-6 serum dengan melakukan

pengukuran kadar TNF-, IL-1 dan IL-6 serum, sebelum dan sesudah

pemberian Amitriptilin atau Deksketoprofen. Diharapkan Amitriptilin

maupun Deksketoprofen akan menurunkan intensitas nyeri dan kadar

TNF-, IL-1 dan IL-6 serum pada penderita TTH kronik.

Gambar 11. Paradigma Terapi Farmakologis Pada TTH


Dikutip dari : Bendsten dan Jensen (2009)

Universitas Sumatera Utara


129

2.8. Skala Pengukuran Nyeri

Nyeri adalah pengalaman emosional yang seringkali bersifat

subjektif. Agar dapat menilai beratnya nyeri secara lebih objektif

digunakan skala pengukuran nyeri. Ada banyak skala pengukuran nyeri

misalnya Visual Analog cale (VAS), Numeric Rating Scale (NRS) for Pain,

McGill Pain Questionnaire (MPQ), Short-Form McGill Pain Questionnaire

(SF-MPQ), Chronic Pain Grade Scale (CPGS), Short Form-36 Bodily Pain

Scale (SF-36 BPS) mll (Hawker, Mian, Kendzerska, French, 2011).

Visual Analog Scale (VAS) merupakan instrumen pengukuran yang

sering digunakan. Skala ini berupa garis horizontal sepanjang 100 mm,

dan penderita diminta untuk memberi tanda pada garis tersebut yang

mewakili apa yang dirasakannya pada saat diperiksa. Skor VAS diperoleh

dengan mengukur dari ujung kiri sampai ke tanda yang dibuat penderita

dalam ukuran milimeter (Crichton, 2001 ; Hawker, Mian, Kendzerska,

French, 2011). Skala pengukuran nyeri VAS memiliki reliabilitas yang

tinggi untuk pengukuran nyeri akut (Bijur, Silver, Gallagher, 2001).

Penelitian tentang pengukuran intensitas nyeri pada 55 penderita nyeri

kepala di Medan menunjukkan bahwa VAS memiliki kesetaraan dengan

Skala Verbal derajat nyeri kepala (Iqbal, Rambe, Sjahrir, 2005)

Numeric Rating Scale (NRS) untuk nyeri juga merupakan instrumen

yang sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri pada orang

dewasa, termasuk penderita dengan nyeri kronik. Walaupun ada

beberapa variasi, model yang paling sering digunakan adalah yang terdiri

dari 11 item. Numeric Rating Scale merupakan versi numerik yang

Universitas Sumatera Utara


130

bersegmen dari VAS dimana penderita diminta untuk memilih salah satu

nomor (antara 0-10) yang paling baik merefleksikan intensitas nyeri yang

mereka alami. Nyeri yang ditanyakan kepada penderita untuk direfleksikan

melalui NRS adalah nyeri yang mereka alami dalam 24 jam terakhir atau

intensitas nyeri rata-rata yang mereka alami. Angka 0 menggambarkan

tidak adanya nyeri dan angka 10 menggambarkan nyeri yang paling hebat

(Hawker, Mian, Kendzerska, French, 2011). Untuk mengukur intensitas

nyeri pada penelitian ini digunakan NRS, karena telah teruji dan sering

dipergunakan

Universitas Sumatera Utara


131

2.9. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


132

2.10. Kerangka konsep

2.11. Identifikasi Variabel

Variabel terikat:

1. Intensitas nyeri

2. Kadar TNF- serum

3. Kadar Interleukin-1 serum

4. Kadar Interleukin-6 serum

Variabel bebas :

1. Amitriptilin

2. Deksketoprofen

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai