Abstracts
,
.
,
.
.
.
,
.()
.
.
A. Prolog
Kitab suci al-Quran yang diyakini sebagai lautan yang tak bertepi (bahr
l>a s>ahila lah>u) dan keajaibannya tidak akan habis (l>a tanqadh>i
aj>aibuhu>) pada kenyataannya, membutuhkan orang-orang yang
secara akademik disiapkan untuk tugas penafsiran, melihat kandungan
dan efektivitas dari sebuah al-Quran yang dapat menembus dan
memayungi semua aktivitas kehidupan setiap mukmin, yang selaras
dengan adagium arab sh>alih li kulli zam>an wa mak>an. Syarat-
syarat akademik yang dimaksud sudah terpenuhi pada al-Qurthubi.
Sebagai seorang ulama yang hidup pada paruh pertama abad
ke-7, setidaknya, tafsir al-Qurthubi banyak diminati oleh para pengkaji
1Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah penelitian tafsir, dibawah
dosen pengampu: Dr. Sahiron Samsuddin, MA, di Pascasarjana Unsiq, dan akan
dipresentasi pada hari sabtu, 29 Oktober 2010.
1
al-Quran dan penafsiran, mengingat kandungan isi tafsir yang
dihasilkannya merupakan salah satu ensiklopedi tafsir bercorak hukum
(laun fiqhi) terlengkap sebagaimana dikenal dari nama tafsirnya.
Namun lebih dari kandungan hukum tersebut, tafsir al-Qurthubi
menyimpan banyak rekaman kopi seputar penolakannya kepada
pemahaman teologis kaum muktazilah, terutama dalam kasus apakah
Allah s.w.t. dapat dilihat di hari kiamat (ruyatulla>h) -selanjutnya
ditulis dengan kata ruyatulla>h, sebagaimana yang ditolak kaum
muktazilah. Pemakalah mengakui bahwa pembahasan ini merupakan
diskusi yang cukup panjang antara ulama masa lalu, baik ulama tafsir,
hadis, teolog dan lainnya. Namun cukup menarik juga kalau dikaji
ulang untuk mendapatkan titik terang permasalahan yang sebenarnya.
Pembahasan dalam makalah ini akan berkonsentrasi dan
menitik-beratkan kepada penolakan-penolakan al-Qurthubi atas
penafsiran muktazilah pada kasus tersebut, sebagai upaya yang dianut
penulisnya untuk menunjukkan posisinya sebagai pendukung madzhab
mayoritas ulama. Pembahasan ini secara metodologis akan
menggunakan analisa deskriptif.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr
ibn Farh al-Khazraji al-Qurthubi al-Andalusi al-Maliki. Menurut Indal
Abrar, informasi tahun kelahirannya tidak terdapat dalam catatan para
penulis biografi, sehingga tidak dapat diyakini secara yakin kapan ia
dilahirkan.2Dilihat dari penisbahan nama akhirnya, ia berasal dari
Cordova3 dan beraliran madzhab maliki dalam fikih, namun tidak
2
termasuk dalam kategorisasi ulama maliki yang fanatik sebagaimana
informasi dari Muhammad Husein Dzahabi.4
5Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam al-Quran
wa al-Mubayyin lima Thadhammanahu min al-Sunnah wa Ai al-Quran, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, tt.), hal. 36-37.
3
A>y al-Furqa>n. Namun lebih dikenal dengan tafsir al-Qurthubi. Dilihat
dari arti dan kandungan judul, tafsir ini berusaha mengumpulkan
selengkap mungkin pembahasan seputar hukum yang terangkum
dalam al-Quran dan Sunnah.7
2). Metode
4
keempat metode tersebut, menurut penulis tafsir al-Qurthubi dapat
dimasukkan ke dalam metode tahli>li> dan muqa>rin sekaligus,
dengan argumentasi bahwa al-Qurthubi sendiri sering menampilkan
pendapat ulama tafsir sebelumnya. Sebagai contoh: ia menampilkan
pendapat Ibnu Atiyah ketika menafsirkan kata al-Hamdu dan al-
Rahman pada surat (al-Fatihah [1]: 1-4).10
11Ibid., hal. 9
12Ibid.
13Ibid.
5
qira>a>t, ira>b, dan na>sikh-mansu>kh.14 Secara garis besar,
penjabaran tersebut biasanya, ketika menafsirkan, ia menjelaskan: 1)
keutamaan surat dan ayat, 2) asba>b al-nuzu>l, 3) mendahulukan
penafsiran dengan corak bi al-matsu>r (riwayat), 4) mengungkap
makna dan kandungan hukum beserta perbedaan pendapat, 5)
mengungkap arti kata dari sisi bahasa, dan menjelaskan 6) perbedaan
qira>a>t. Di samping itu, ia lebih cenderung memilih pendapat yang
paling kuat, hadis sahih, mengomentari dan mengevaluasi, dan
membantah argumen kelompok yang dianggap berlebihan
(g}a>lat).15
16Lebih lanjut, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurthubi, hal. 11-13.
6
yang lebih ditampilkan dan dimunculkan kepermukaan adalah sisi
hukum, Muhammad Husein Dzahabi dan Abdul Hayy al-Farmawi
memasukkannya ke dalam penafsiran para ahli fikih (fuqaha).17
7
ketika menafsirkan beberapa ayat yang terkait, di antaranya (1).
(Baqarah [2]: 55): [
] telah menyamakan dan memasukkan kelompok
yang berlawanan dengan aliran antrophomorphisme (tajsi>m). Ia
mengatakan:
...
..20.
, :
, : ,
, :...
21
8
sebagaimana kata ruyah adalah tujuan dari kata nadzar. Kaum ini
lebih memperjelas bahwa
( kata nadhar yang diikuti dengan huruf ila bukan termasuk
bagian dari nama rukyat melainkan pembukaannya), sama misalnya
penggunaan kata isgha> dan nadhar qalb yang merupakan rangkaian
awal untuk menuju kepada pengertian sima> dan makrifah. Untuk
menguatkan asumsi mereka, mereka memberikan argumentasi kepada
delapan:
1. (Araf [7]: 198): . Dalam ayat ini,
mereka berpendapat bahwa melihat dengan menggunakan
nadzar ketika dalam keadaan tidak menggunakan rukyat.
Dengan demikian, nadzar bukan termasuk rukyah.
2. Kata nadzar diberikan sipat bukan dengan sipat kata ruyah.
Sebagai contoh, kalimat . Kata ini mengandung
arti bahwa gerakan biji mata tertuju kepadanya yang tidak
disipati dengan kata ruyah.
3. Apabila dikatakan, misalnya: mengindikasi
bahwa ruyah merupakan tujuan dari kata nadzar
4. Apabila dikatakan, misalnya: :( rumah
orang tersebut saling berhadapan) adalah hasil dari kata
nadhara, bukan sebaliknya.
5. Perkataan seorang penyair: *
. Syair ini menguatkan asumsi bahwa Tuhan Maha Pengasih
dapat dilihat dengan kata nadzar yang diikuti huruf ila tetapi
tidak termasuk ruyah.
6. Perkataan Abu Ali al-Farisi, seorang pakar bahasa arab yang
berguru kepada Ibnu Mujahid dan menjadi guru Ibnu Jinni,
mengatakan bahwa kata nadzar tidak termasuk dalam kategori
ruyah, yang mengandung arti pengetahuan (idrak) bashar,
melainkan sebagai menggerakan biji mata kepada arah yang
ingin dilihat.
7. . Mereka melihat Allah secara khusus, bukan selain-
Nya.
9
a. (Qs. Ali Imran: 77): . Mereka mengatakan:
Jika menggunakan kata sudah mencukupi sebagai alasan
untuk mengatakan penafian nadzar bukan berarti penafian
ruyah.
b. Kelompok muktazilah yang menggunakan alat penakwilan yang
melalui dua pengertian, (1) makna kata nadzar adalah penantian.
Mereka menakwilkan ayat di atas dengan arti penantian. Penantian
yang dimaksud adalah berupa pahala. Sedangkan makna kedua (2)
mereka tetap menakwilkan kata nadzar dengan arti rukyah tetapi
melalui penakwilan yang berkaidah:
, : . Maksudnya, penyebab
kepada rukyah adalah nadzar yang secara bahasa diartikan sebagai
menggerakan biji mata ke arah yang dilihat22
10
Ku dan memahaminya. Kata naz}rah diartikan: berseri-seri, (isyra>q),
kehidupan, dan kekayaan. [] : kepada Tuhan dan Pemilik-nya, [
]: melihat Tuhan-nya, (demikian itu pendapat) mayoritas ulama.
(Pada bab ini) terdapat hadis Shuhaib yang di-takhrij oleh Muslim,
sebagaima telah dijelaskan pada (Yunus [10]: 26):
. Ibnu Umar r.a. mengatakan: Penduduk surga yang paling mulia
adalah (mereka) yang melihat wajah-Nya di waktu pagi dan petang,
kemudian membaca ayat ini (Qiyamah [75]: 22-23). Yazid al-Nahwi
meriwayatkan dari Ikrimah: kamu melihat Tuhan-mu, sedangkan Hasan
mengatakan: wajah-wajah mereka berseri-seri dan (mereka) melihat
Tuhan mereka.23
11
Untuk mendukung pendapat mayoritas ulama, sebagaimana
yang dianutnya, ia menampilkan beberapa argumen: 1) hadis-hadis
dengan multi periwayatan, 2) Tsalabi, pakar tafsir, dan 3) pakar
bahasa arab, yang diwakili oleh Azhari dan Qusyairi.
12
mereka melihat dan sujud. Allah berfirman: angkat kepala kalian, karena
hari ini bukan ibadah.24
13
Sedangkan pakar bahasa lainnya, Qusyairi, ketika menyalahkan
dan menolak pendapat Mujahid dari sisi bahasa, berargumentasi lain.
Ia mengatakan sebagai berikut:
[]: huruf merupakan bentuk tunggal dari yang berarti: nikmat-
nikmat yang ditunggu, adalah pendapat yang salah (batil). Alasannya,
bentuk tunggalnya ditulis dengan huruf akhir alif ( (bukan ya ((.27
E. Epilog
Perdebatan dan diskusi merupakan keharusan yang tidak terelakkan
lagi dalam bentuk apapun, sebagaimana al-Quran mengajarkan
secara langsung (Nahl [16]: 125)30 yang menggunakan kata ja-da-la
beserta derivasinya dan kata-kata lain yang terkait, jika tujuannya
untuk dinamisasi sebuah penafsiran dan didukung dengan argumentasi
27Ibid., hal. 43.
14
masing-masing. Dalam kaitan ini, setidaknya, al-Qurthubi sudah
melakukannya ketika mendiskusikan pandangan kaum muktazilah
terkait rukyatulla>h melalui penafsiran. Dari pemaparan di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa: a) tafsir al-Qurthubi tidak hanya memuat
penafsiran-penafsiran yang bercorak hukum, b) al-Qurthubi mengikuti
pendapat mayoritas ulama terkait rukyatulla>h di hari kiamat, c)
penafsiran kaum muktazilah terkait rukyatulla>h bias teologis, d)
dilihat dari sisi ke-hadis-an dan kebahasaan arab, penafsiran dan
28Dalam masalah ini, ada dua perdebatan yang cukup panjang di antara
ulama-ulama. Pertama, yang menolak pernyataan Tuhan dapat di lihat di dunia, di
antara para ulama sahabat adalah: Ibnu Abbas dalam satu riwayat, Aisyah, Abu
Hurairah r.a dan mayoritas ulama hadis, fikih, dan kalam (teologi). Kedua, yang
berseberangan dengan pendapat pertama, diwakili oleh para sahabat: Ibnu Abbas
dalam riwayat masyhur, Hasan, Ikrimah, dan Ibnu Masud r.a. Pertama, diwakili oleh
hadis Aisyah r.a. yang cukup panjang, terdapat dalam sahih Muslim, dari Masruq
yang sedang bersandar kepada Aisyah. Kemudian Aisyah berkata: wahai Abu Aisyah,
tiga perkara, siapa yang berbicara salah satunya, telah melakukan kebohongan yang
sangat besar. Aku bertanya, apa (tiga hal itu?) Ia menjawab, 1) siapa yang
menganggap bahwa Muhammad telah melihat Tuhan. Ia (Masruq) yang ketika itu
bersandar kemudian duduk, dan melanjutkan: ya Ummul mukminin, bukankah Allah
s.w.t. berfirman (Takwir [81]: 23) dan (Najm [53]: 13). (Aisyah) menjawab, aku orang
islam pertama yang bertanya kepada rasulullah s.a.w. yang dijawab, (yang
dimaksud) adalah Jibril, aku tidak pernah melihat bentuk aslinya kecuali dua kali
ketika turun dari langit yang ukurannya menutupi langit dan bumi. Bukankan kamu
mendengar (Anam [6]: 103) dan (Syura [42]: 51): [
] . 2) siapa menganggap bahwa
Muhammad tidak menyampaikan sesuatu, (Maidah [5]: 67): [
] . 3) siapa yang menganggap bahwa Muhammad
mengetahui yang esok (Naml [27]: 65). Kedua, seperti Ibnu Abbas, dalam riwayat
yang masyhur mengatakan Tuhan dapat dilihat dengan kedua mata. Ia berargumen
kepada (Najm [53]: 11) [] . Abdullah ib Haris mengatakan: Ibnu
Abbas dan Kaab berkumpul. Ibnu Abbas mengatakan: kami, dari Bani Hasyim
berpendapat bahwa nabi melihat Tuhan dua kali, apakah kaliah heran bahwa
pertemanan (khullah) diberikan kepada Ibrahim, pembicaraan (takli>m) diberikan
kepada Musa, penglihatan (ruyah) diberikan kepada Muhammad? Kaab kemudian
ber-takbi>r dan mengatakan: Allah s.w.t. menawarkan kalam dan rukyah kepada
Muhammad dan Musa, maka Musa dan Muhammad dapat berbicara dan melihat
Allah s.w.t.
15
penakwilan kaum muktazilah dalam masalah ini mengindikasikan
kekeliruan. Walla>hu al-muwaffiq ila> aqwam al-thari>q.
F. Daftar Pustaka:
16
min as-Sunnah wa A>y al-Qura>n. (Beirut: Muassasah al-
Risalah).
Al-Farmawi, Abdul Hayy. (t.t.) Al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-
Maudhu>i>. cet. 7.
Al-Dimasyqi Jamaluddin al-Qasimi. 1979. Ta>rikh al-Jahmiyah wa al-
Muktazilah. Cet. 1. (Beirut: Muassasah Risalah).
Al-Abduh, Muhammad, Thariq Abdul Halim. 1987. Al-Mutazilah bain
al-Qadi>m wa al-Hadi>s. Cet. 1., (Birmingham: Darul Arqam).
Abdullah ibn Abdurrahman al-Jibrin, Syarh Ushul al-Sunnah,Maktabah
al-Malik Fahd al-Wathaniyah, Riyadh, cet. II.
Al-Khumais, Muhammad ibn Abdurrahman. 1992. Itiqad al-Aimmah al-
Arbaah: Abi Hanifah wa Malik wa al-SyafiI wa Ahmad. Cet.
1., (Riyad: Dar al-Ashimah, Riyadh).
Al-Ismaili, Ahmad ibn Ibrahim. 1999. Itiqa>d Ahlissunnah. Cet. 1.,
(Riyad: Dar Ibnu Hazm, Riyadh).
Az-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar. 1998. Al-Kashsha>f an Haqa>iq
Ghawa>mid} al-Tanzi>l wa Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h at-
Tawi>l. cet. 1., (Riyad: Maktabah Abikan).
Ahmad Fauzi Ilyas, Asal-usul Bahasa: Teori dan Penafsiran Kaum
Muktazilah (tugas makalah pada kajian Filsafat Bahasa
dibawah dosen pengampu Dr. Zamzami Afandi Abdillah dan
tidak diterbitkan, dipresentasi pada rabu 6 Oktober 2010).
Taimiyah, Ibnu. 2008. At-Tanqi>h wa at-Tahri>r ala Muqaddimah fi>
Ushu>l at-Tafsi>r. cet. 1., (Manshura: Dar al-Tashil).
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. (t.t.) Al-Mujam al-Mufahras li Alfa>dz al-
Qura>n al-Kari>m. (Maktabah Dahlan).
17
18