Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

Traumatik Optik Neuropati

Oleh
Viona Natalia Sitohang 11.2015.407
Gloria Benthamy 11.2016.028
Alvan Aresto Djari 11.2016.070

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Bayukarta


Periode 28 November 2016 31 Desember 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA
Daftar Isi

Daftar Isi

Bab 1 Pendahuluan

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi dan fisiologi nervus optik 3

2.2 Definisi 10

2.3 Etiologi

10

2.4 Patogenesis 11

2.5 Manifestasi Klinis 12

2.6 Diagnosis 13

2.7 Penatalaksanaan

16

2.10 Prognosis 19

Bab 3 Kesimpulan

21
PENDAHULUAN
Jaras penglihatan terdiri dari serial sel dan sinaps yang membawa informasi visual
dari lingkungan hingga ke otak untuk kemudian diproses. Terdiri dari retina, saraf optik, optik
kiasma, traktus optik, nukleus geniculatum lateral (LGN), radiasi optik, dan korteks striae.i
Traumatic Optic Neuropathy (TON) merupakan suatu cedera akut pada saraf optik
oleh karena trauma.Akson-akson saraf optik dapat rusak secara langsung maupun tidak
langsung dan kehilangan penglihatan dapat parsial hingga komplit.Cedera tidak langsung
pada saraf optik terjadi akibat adanya transmisi tekanan ke kanal optik pada saat trauma
tumpul.Sebaliknya, cedera langsung yang mengakibatkan kerusakan anatomis saraf optik
terjadi pada luka tusuk orbital, adanya fragmen tulang dalam kanal optik, atau hematoma
pada pembungkus saraf.ii
Penyebab TON tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan sepeda, diikuti
oleh jatuh dan tindak kekerasan.TON terjadi sebanyak 1.5-5% pasien dengan trauma kepala
tertutup dan terjadi kerusakan pada jaras penglihatan (4-6/100.000 populasi/tahun.Laki-laki
penderita terkait TON mencapai 60-95% kasus (4:1 dibandingkan dengan wanita), dan
banyak pada dekade pertama hingga kedua usia hidup mereka. Di Amerika Serikat terjadi
sebanyak 0,5-5% pada pasien dengan trauma kepala tertutup dan 2.5% pada pasien dengan
fraktur midfasial. Angka kejadian TON oleh karena trauma kraniofasial dilaporkan sekitar
0.5-1.5%.Prevalensi internasional terhadap angka kejadian TON bervariasi di setiap negara,
tergantung pada angka kejadian kecelakaan atau tindak kekerasan.2,iii,iv

ANATOMI SARAF OPTIK


Saraf Optik merupakan saraf kranial kedua yang terdiri dari lebih 1juta akson yang
berasal dari lapisan sel ganglion retina dan menyebar menuju ke korteks oksipital. Jumlah
serabut saraf optik bervariasi dari 1 juta hingga 2.22 juta, dengan ukuran diameter kecil
hingga serabut saraf berdiameter besar.1
Nervus optikus dibagi menjadi beberapa daerah topografi, yaitu1 :
1. Regio intraokular yaitu optic disc, prelaminar area dan laminar area
2. Region intraorbital
3. Regio intrakanalikular
4. Regio Intrakranial
Saraf optik memiliki panjang 5-6 cm dan dibagi menjadi 4 segmen berdasarkan lokasinya :
intraocular (0.7-1mm) : akson tanpa myelin yang berjalan melalui lamina kribrosa kemudian
menjadi bermielin; intraorbital (3 cm): memiliki lapisan meningeal dura mater, arachnoid,
rongga sub arachnoid, dan pia mater; intrakanalikular (6-10 mm) : saraf optik masuk ke
forame optik dan berjalan di sepanjang kanal optik dalam lesser wing sphenoid; dan
intrakranial (10-16 mm) : saraf optik berjalan naik ke posterior dan medial pada optik
kiasma.1
Saraf optik dikelilingi oleh tiga lapisan meningeal; lapisan paling luar yaitu duramater,
berupa jaringan ikat padat yang keras yang mengandung serabut elastis.Lapisan berikutnya
merupakan membran arachnoid, membran kolagen tipis dengan banyak trabekula yang
menghubungkan dengan lapisan paling dalam,pia mater.Ketiga lapisan ini bersatu didalam
sklera dan periorbita.1,5

Regio Panjang (mm) Diameter (mm)


Intraokular 1.0 1,5 x 1,75
Optic Disc
Prelaminar
Laminar
Intraorbital 25 34
Intrakanalikular 4 10 34
Intrakranial 10 47
Tabel 2.1. Ukuran saraf optik berdasarkan regio(Dikutip dari :Skuta GL, Cantor LB, Weiss
JS. Fundamentals and Principles of Ophtalmology Singapore: American Academy of
Ophtalmology; 2012.)

Berdasarkan perkembangannya, saraf optik merupakan bagian dari otak, dan lapisan fibernya
dikelilingi oleh lapisan glial, bukan sel Schwann.Panjang saraf optik bervariasi antara 35
sampai 55 millimeter. Bagian yang dapat dilihat dari pemeriksaan oftalmoskopi adalah saraf
optik regio intraokular.1,6

Gambar 2.1. Empat regio saraf optik(Dikutip dari : Steinsapir KD, Goldberg RA. Traumatic
Optic Neuropathies. In Miller NR, Newman NJ, editors. Walsh & Hoyt's Clinical Neuro-
Ophtalmology, 6th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 431 - 446.)

a. Regio Intraokular
Puncak saraf optik adalah tempat berawalnya penyakit kongenital maupun penyakit okular
yang didapat.Bagian anterior dapat dilihat dengan pemeriksaan oftalmoskopi sebagai optic
disc. Strukturnya berbentuk oval dengan ukuran horizontal 1,5 millimeter dan vertikal 1,75
millimeter. Berbentuk cekung dengan dua pembuluh darah yang melewati titik pusatnya,
yaitu arteri retina medial dan vena retina medial. Bagian ini dapat dibagi menjadi 4 bagian,
yaitu1 :
a. Lapisan fiber superfisial
b. Area prelaminar
c. Area laminar
d. Area retrolaminar

b. Regio Intraorbital
Regio intraorbital terdiri dari 2 bagian, yaitu1:
a. Annulus of Zinn
b. Meningeal Sheaths

Gambar 2.2.Meningeal Sheaths(Dikutip dari :Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Fundamentals
and Principles of Ophtalmology Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2012.)

c. Regio Intrakanalikular
Didalam kanal optik, suplai darah saraf optik berasal dari pembuluh pial yang merupakan
percabangan dari arteri oftalmika.Saraf optik dan araknoid yang mengelilinginya terhubung
ke kanalperiosteum.

d. Regio Intrakranial
Setelah melewati kanal optik, 2 saraf optik akan membentang di atas arteri oftalmika dan
arteri karotis interna. Arteri serebri anterior juga melintasi saraf optik dimana arteri
komunikans anterior juga akan saling berhubungan sehingga membentuk sirkulus Willisi.
Kemudian saraf optik melintas kearah posterior melewati sinus kavernosus dan mencapai
kiasma optikum.
Kiasma optikum dibagi menjadi dua yaitu jalur kanan dan kiri yang berakhir di korpus
genikulatum lateralis.Dari daerah ini keluar jalur genikulokalkarin yang melewati setiap
korteks penglihatan primer.Kiasma optikum dilapisi oleh pia dan araknoid dan memiliki
vaskularisasi yang sangat banyak.Ukuran kiasma optikum diperkirakan memiliki lebar 12
millimeter dan panjang 8 millimeter pada daerah anteroposterior dengan ketebalan 4
millimeter.
Gambar 2.3. Kiasma Optikum(Dikutip dari : Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan &
Asbury's General Ophtalmology. 17th ed. New York: Lange; 2007.)

Suplai Darah Saraf Optik


Arteri oftalmika membentang dibawah saraf optik.Suplai darah dari saraf optik berbeda dari
satu bagian ke bagian lainnya.Daerah retrolamina disuplai oleh pembuluh darah pial dan
pembuluh darah silier posterior.Daerah lamina disuplai oleh arteri silier posterior.Daerah
prelaminar disuplai oleh arteri silier posterior dan arteri koroidal.Daerah lapisan fiber disuplai
oleh arteri retina medial.Daerah intraorbital disuplai oleh pembuluh darah pial bagian
proksimal dan cabang-cabang kecil dari arteri oftalmika.Daerah intrakanalikular disuplai oleh
sebagian besar arteri oftalmika. Daerah intrakranial disuplai oleh cabang utama dari arteri
oftalmika dan arteri karotis interna.1

FISIOLOGI PENGLIHATAN
Saraf optik merupakan indera khusus untuk penglihatan.Cahaya dideteksi oleh sel-sel
batang dan kerucut di retina, yang dapat dianggap sebagai end-organ sensorik khusus untuk
penglihatan.Badan sel dari reseptor-reseptor ini mengeluarkan tonjolan (prosesus) yang
bersinaps dengan sel bipolar, neuron kedua di jalur penglihatan.Sel-sel bipolar kemudian
bersinaps dengan sel-sel ganglion retina.Akson-akson sel ganglion membentuk lapisan serat
saraf pada retina dan menyatu membentuk saraf optikus.Saraf keluar dari bagian belakang
bola mata dan berjalan ke posterior di dalam kerucut otot untuk masuk ke dalam rongga
tengkorak melalui kanal optik.
Di dalam tengkorak, dua saraf optikus menyatu membentuk kiasma optikum. Di kiasma,
lebih dari separuh serat mengalami dekusasio dan menyatu dengan serat-serat temporal
yang tidak menyilang dari saraf optikus sisi lain untuk membentuk traktus optikus. Masing-
masing traktus optikus berjalan ke nukleus genikulatum lateral.Dengan demikian, semua
serat yang menerima impuls dari separuh kanan lapang pandang masing-masing mata
membentuk traktus optikus kiri dan berproyeksi ke hemisfer serebrum kiri dan separuh kiri
lapang pandang berproyeksi ke hemisfer serebrum kanan.Dua puluh persen serat di traktus
melayani fungsi pupil. Serat-serat ini menuju ke nukleus pretektalis otak tengah, sementara
serat lainnya bersinaps di nukleus genikulatum lateral membentuk traktus genikulo-
kalkarina. Traktus ini berjalan melalui tungkai posterior kapsula interna dan kemudian
menyebar ke dalam radiasi optikus yang melintasi lobus temporalis dan parietalis dalam
perjalanan ke korteks oksipitalis (korteks kalkarina).v

Gambar 2.2. Jaras Penglihatan1

TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY


Definisi
Traumatic Optic Neuropathy (TON) merupakan suatu bentuk neuropati optikus oleh
adanya kerusakan pada saraf optik yang menyebabkan kerusakan pada fungsi visual diikuti
dengan defek pupil aferen relative (Marcus-Gunn pupil).4

ETIOLOGI
TON dikaitkan dengan kecelakaan dengan momentum tinggi dan trauma wajah.Kecelakaan
sepeda motor, kekerasan, luka tumpul, luka tusuk, luka tembak, dan pembedahan endoskopi
sinus merupakan penyebab TON.Luka tumpul umumnya terjadi akibat deselerasi cedera pada
region antefrontal kepala.Keparahan trauma tidak selalu terkait dengan derajat penurunan
penglihatan.4

KLASIFIKASI
Cedera saraf optik dapat diklasifikasikan menjadi cedera langsung dan tidak langsung
berdasarkan jenis cedera.

a. Cedera Tidak Langsung Saraf Optik


Cedera tidak langsung terjadi pada trauma tertutup pada kepala, menyebabkan timbulnya
tekanan yang kemudian menekan saraf optik.Pada pemeriksaan, tidak terdapat perubahan
cepat pada pemeriksaan fundus.Diskus optik dapat normal hingga 3-5 minggu setelahnya
dan berubah pucat seiring atrofi diskus terjadi.4,vi

b. Cedera Langsung Saraf Optik


Cedera langsung saraf optik terjadi akibat dari avulsi saraf atau akibat adanya penetrasi
pada orbita, penetrasi fragmen tulang dan mengenai saraf optik menyebabkan neuropati
optikus parsial atau komplit pada pembungkus saraf optikus.Perdarahan didalam dan
sekitar saraf optik juga dapat terjadi.vii,viii
Tidak seperti cedera tidak langsung, cedera langsung menyebabkan perubahan segera
pada fundus yang merangsang oklusi arteri retina sentralis, oklusi vena retina sentralis atau
iskemia anterior neuropati optik.4,9

PATOFISIOLOGI
TON terjadi secara multifaktorial, beberapa penelitian menyimpulkan adanya mekanisme
primer dan sekunder dari cedera yang terjadi.Cedera langsung terjadi pada trauma tajam,
fraktur orbita dengan fraktur midfasial. Cedera tidak langsung umumnya disebabkan oleh
adanya gaya tekanan pada cedera kepala yang ditransmisikan hingga ke saraf optik. Baik
cedera langsung maupun tidak langsung menyebabkan kerusakan mekanis ataupun iskemia
pada saraf optik.Terkadang cedera okuli sangat kecil hingga tidak terlihat adanya penyebab
eksternal.Edema pada rongga tertutup, nekrosis akibat kontusio, robekan serabut saraf, dan
infark oleh karena thrombus dan spasme berpotensial menyebabkan cedera saraf optik.2,ix

a. Primer
Mekanisme primer menyebabkan kerusakan permanen pada akson saraf optik pada saat
terjadinya cedera.Kontusio pada akson saraf optik menyebabkan iskemia dan edema lokal
saraf optik, selanjutnya menyebabkan kompresi neural dalam rongga kanal
optik.Abnormalitas axon fokal terangsang, dengan karakteristik gangguan transpor
aksonal, hingga terjadi apoptosis sel. Robekan pada mikrovaskular dan cedera akson
menyebabkan terjadinya perdarahan dalam saraf optik dan pembungkusnya.4,6,8

b. Sekunder
Mekanisme sekunder menyebabkan pembengkakan saraf optik setelah terjadi cedera
akut.Gangguan homeostasis selular disekitar area kerusakan saraf optik yang ireversibel,
melalui mekanisme yang berbeda namun saling berhubungan yang menyebabkan
kerusakan akson.Meskipun nantinya pembengkakan atau kontusio pada saraf dapat
membaik, kerusakan pada akson merupakan kerusakan permanen.4,x
Mekanisme ini antara lain :
1. Iskemia dan cedera reperfusi - iskemia parsial oleh karena berkurangnya aliran darah.
Tetapi reperfusi pada area iskemik transien menyebabkan peroksidasi lipid membran
sel dan pelepasan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan jaringan.
2. Bradikinin : diaktivasi setelah terjadinya trauma, dan menyebabkan pelepasan asam
arakhidonat dari neuron. Prostaglandin yang dihasilkan dari metabolisme asam
arakhidonat, radikal bebas dan lipid peroksidase menyebabkan edema pada kanal
optik.
3. Ion kalsium : setelah terjadinya iskemia saraf optik, ion kalsium masuk ke intraselular.
Meningkatnya konsentrasi kalsium intrasel berperan menjadi toksin metabolik dan
menyebabkan kematian sel.
4. Proses inflamasi : sel polimorfonuklear (PMN) banyak pada 2 hari pertama setelah
trauma, kemudian digantikan oleh makrofag dalam 5-7 hari. PMN menyebabkan
kerusakan yang cepat, sementara makrofag menunda kerusakan jaringan, demielinasi
dan gliosis.2,4,8

GAMBARAN KLINIS
TON posterior terkadang sulit dinilai terutama pada pasien dengan cedera multipel, terutama
pada pasien tidak sadarkan diri.Pemeriksaan teliti harus dilakukan secepat mungkin,
kemungkinan hanya diperoleh defek aferen pupil pada pemeriksaan. Defisit penglihatan
bervariasi dari penglihatan normal dengan defek lapangan pandang hingga kehilangan total
terhadap persepsi cahaya.3

DIAGNOSIS
Diagnosis TON berdasarkan klinis, dengan adanya trauma kepala dan wajah yang
menyebabkan gangguan penglihatan.Pasien mengalami kehilangan penglihatan yang
mendadak, berat, dan unilateral. Kondisi ini dapat bermanifestasi segera atau dalam hitungan
jam hingga hari setelah trauma. Riwayat penyakit perlu ditanyakan apakah adanya defisit
penglihatan sebelum trauma, riwayat penyakit sebelumnya, obat-obatan dan alergi obat.2,4

PEMERIKSAAN FISIK
Pada situasi akut, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar dan penilaian ketajaman
penglihatan tidak dapat dilakukan, penegakan diagnosis TON dapat terhambat. Pada pasien
sadar, dapat dilakukan berbagai tes untuk membantu penegakan diagnosis , antara lain:

1. Ketajaman penglihatan. Diperiksa dengan menggunakan Snellen's chart atau kartu


baca jarak dekat. Angka kejadian tidak respon cahaya bervariasi tergantung pada
kejadian trauma. Harus diingat bahwa kurang dari 10% kasus terjadi penurunan
penglihatan akibat cedera saraf optik sekunder. Bagaimanapun tajam penglihatan
harus dinilai kembali setelah 24 jam.

2. Relative afferent pupillary defect (RAPD) :dinilai dengan swinging flashlight test.
Cahaya yang masuk ke mata normal akan merangsang pupil konstriksi dan juga
merangsang pupil mata lain ikut berkonstriksi. Terjadi penurunan stimulasi
pupilomotor yang mencapai batang otak ketika cahaya masuk ke mata pada cedera
saraf optik dibandingkan pada bagian yang tidak cedera, sehingga respon pupil
menurun. RAPD tidak ada pada TON bilateral.

3. Penglihatan warna. Pasien diminta untuk melihat objek berwarna merah dengan
sebelah mata. Objek akan dipersepsikan berwarna hitam, coklat, atau merah buram
pada mata yang cedera.

4. Lapangan pandang. Meskipun tidak ada tanda patognomonic defek lapangan pandang
dalam mendiagnosa trauma saraf optik, lapangan pandang harus dinilai pada pasien
sadar dan kooperatif sebagai informasi kemungkinan lokasi kerusakan saraf optik.

5. Oftalmoskopi. Oftalmoskopi dilakukan dengan bantuan agen midriatik kerja pendek


pada semua pasien stabil. Evaluasi sirkulasi retinal dan koroidal, morfologi saraf
optik. Adanya perdarahan berbentuk cincin didekat kepala saraf optik menunjukkan
adanya avulsi parsial atau komplit saraf optik. Neuropati optik anterior menyebabkan
gangguan sirkulasi berakibat obstruksi arteri dan vena dan pembengkakan diskus
optikus. Atrofi optik pada trauma kepala akut dengan neuropati optikus menunjukkan
gangguan saraf optik sudah ada sebelum trauma. Kerusakan pada saraf optik distal
pada orbita, kanal optik, atau rongga intrakranial tidak menunjukkan perubahan
tampilan selama 3-5 minggu
Gambar 2.3.Disc pallor from trauma

Gambar 2.5 Atrofi Optik

6. Adneksa okuli. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur tepi atau dinding orbita,
edema orbita, proptosis atau enopthalmus, atau disfungsi otot ekstra okuli.

7. Tekanan intraokuli. Tonometri harus dilakukan pada orbita yang intak. Peningkatan
tekanan intraokuli dapat bersamaan pada hematom orbital, perdarahan orbital,
emfisema orbital, atau edema jaringan lunak.4,8

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Visual evoked potential (VEP)
Karena sulitnya penilaian neuro-oftalmologi pada fungsi jaras visual pada
pasien cedera berat atau selama rekonstruksi kraniomaksilofasial, VEP dan
elektroretinogram (ERG) diyakini sebagai metode elektrofisiologis untuk
mengumpulkan informasi apakah fungsi penglihatan intak ataupun patologis.VEP
juga digunakan sebagai alat diagnostik pada pasien yang diduga cedera saraf optik
bilateral.
Evaluasi elektrofisiologi dengan multiplanar CT penting pada identifikasi
segera pada trauma saraf optik.Hasil evaluasi memberikan informasi apakah
dibutuhkan intervensi bedah dan/atau terapi konservatif untuk mencegah kerusakan
sekunder saraf optik.4
2. Imaging
Pada pasien politrauma dengan penurunan kesadaran, CT scan dengan
eksplorasi klinis merupakan metode penting untuk menilai TON pada keadaan darurat
yang akut. Hasil pemeriksaan dapat menunjukkan tanda patologi saraf optik, berupa
hematoma pembungkus saraf optik, fraktur pada greater atau lesser wing sphenoid,
hematoma superiosteal, perdarahan hingga apeks orbital, sinus ethmoid dam
sphenoid, dan pneumoencephalus.3,4

PENATALAKSANAAN
Berbagai kontroversial muncul dalam penanganan TON.Sebagian besar penanganan
pada TON meliputi observasi, steroid dan dekompresi bedah.

1. Medikamentosa.

Selama beberapa decade, kortokosteroid diyakini dapat menstabilisasi membran lipid,


mengurangi spasme, meningkatkan pemasokan darah, dan mengurangi edema jaringan neural
dan nekrosis. Penanganan medikamentosa TON dengan steroid mega-dose dilakukan oleh
National Acute Spinal Cord Injury StudyII (NASCIS II) yang dievaluasi pada pasien cedera
tulang belakang akut. Pada studi ini, pasien diterapi dengan plasebo, metilprednisolone, atau
naloxone. Secara farmakologis, terapi metilprednisolone dosis besar atau megadosis terkait
dalam stabilisasi sirkulasi mikrovaskular dan homeostasis kalsium.

Pada kasus TON dimana tidak terdapat kontraindikasi pemberian kortikosteroid, dosis
awal metilprednisolone diberikan sebanyak 30mg/kg/IV, dilanjutkan 15mg/kgBB pada 2 jam
kemudian, dan 15 mg/kgBB setiap 6 jam. Jika terdapat perbaikan visual, dosis steroid
dilanjutkan hingga hari ke-5, kemudian diturunkan secara cepat.Jika tidak terdapat perbaikan
dalam 48-72 jam, pemberian steroid langsung dihentikan tanpa penurunan dosis sebelumnya.
Pemberian kortikosteroid mega dosis dalam 8 jam pertama setelah cedera kemungkinan dapat
memperbaiki pembengkakan saraf optik.Apakah terapi metilprednisolone memiliki efek yang
samadibandingkan hanya observasi dalam penatalaksanaan TON belum terbukti, dan
keterlambatan penanganan terapi dan derajat kehilangan penglihatan belum jelas terbukti
mempengaruhi prognosis.3,4,6,xi

2. Pembedahan
Dekompresi bedah optik kanal dan pembungkus saraf optik digunakan sebagai terapi
TON indirek. Tetapi tidak terdapat konsensus waktu optimum untuk intervensi optimum.
Peningkatan tekanan intrakanalikuli dapat menyebabkan gangguan vaskular dengan iskemia
hingga kebutaan, dan dekompresi saraf optik secara teori membebaskan strangulasi dan
memngembalikan fungsi saraf. Prosedur ini ditambah dengan pemberian steroid untuk
mengurangi inflamasi dan edema. Berbagai metode bedah yang digunakan berupa kraniotomi
trans nasalis, extra-nasal trans-ethmoidalis, lateral fasial, sublabial, dan endoskopi.4,9

Pada hematoma pembungkus saraf optik dapat dievakuasi dengan orbiotomi medial atau
lateral tergantung pada letak hematoma. Kriteria intervensi bedah pada pasien dengan TON
antara lain :

1. Kontraindikasi absolut pembedahan


a. Adanya avulsi saraf optik pada pemeriksaan CT.
2. Kontraindikasi relative pembedahan
a. Pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri.
b. Hilang total fungsi penglihatan dan respon pupil.
3. Indikasi relative pembedahan
a. Jika penurunan fungsi penglihatan meskipun dengan terapi steroid.
b. Jika terjadi penurunan fungsi penglihatan pada pengurangan dosis steroid.
c. Jika terdapat fraktur kanal optik disertai dengan adanya penekanan oleh
fragmen tulang.
d. Jika terdapat hematoma pada pembungkus saraf.
e. Jika respon visual evoked potential (VEP) memburuk seiring waktu.3

Pada dasarnya, pencapaian penanganan TON dapat diurutkan sebagai berikut :


1. Pada keadaan tidak terdapat kontraindikasi, pasien dapat diberikan kortikosteroid
sistemik, metilprednisolone 30mg/kg sebagai loading dose, 5,4mg/kg/jam sebagai
maintanance selama 48 jam.
2. Kegagalan perbaikan keadaan.
3. Pasien yang membaik dapat dilakukan pengurangan dosis yang bertahap.
4. Jika keadaan pasien relaps ketika kortiosteroid dihentikan, pertimbangkan bedah
dekompresi.
5. Pada umunya, pasien dengan ketajaman penglihatan 20/40 atao lebih buruk
membutuhkan dekompresi bedah.
6. Pasien tidak sadar tidak seharusnya dilakukan bedah dekompresi kecuali bersangkutan
dengan prosedur operasi lain.
7. Kombinasi steroid intervensi awal bedah dapat dipertimbangkan pada anak-anak.4,7,xii

Perbaikan fungsi visual setelah TON dapat dinilai dengan penilaian berkesinambungan
fungsi visual. Follow up harian harus dilakukan selama fase akut setelah trauma, segera
setelah terapi bedahm dan selama periode pemberian terapi kortikosteroid mega-dosis.
Observasi jangka panjang dilakukan 3 bulan atau lebih sejak terjadinya cedera untuk menilai
keadaan final fungsi visual.4

PROGNOSIS

Secara umum cedera langsung memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
dengan cedera tidak langsung saraf optik. Berdasarkan studi, ada 4 variabel yang dianggap
sebagai faktor prognosis yang buruk untuk perbaikan fungsi visual, antara lain :
1. Adanya darah dalam rongga ethmoid posterior
2. Usia diatas 40 tahun
3. Kehilangan kesadaran diikuti dengan TON
4. Tidak adanya perbaikan setelah 48 jam pemberian terapi steroid.3,4,xiii

Selain itu, fraktur orbita posterior menyebabkan penglihatan yang lebih buruk
dibandingkan dengan fraktur anterior.Pasien dengan tidak adanya persepsi terhadap cahaya
kemungkinan besar tidak akan terjadi perbaikan dalam kemampuan melihat. Hingga saat ini,
terdapat berbagai konsensus menyatakan pilihan terapi terbaik TON adalah cukup observasi
tanpa terapi saja. Perbaikan penglihatan dapat terjadi meskipun dengan perbaikan yang
minimal, dan rata-rata perbaikan secara spontan berkisar antara 20-57% pada berbagai studi.
2,4,10

PENUTUP

Traumatic Optic Neuropathy merupakan kasus yang jarang tetapi sangat signifikan
dalam menyebabkan kehilangan penglihatan. Cedera langsung dan tidak langsung dengan
mekanisme primer dan sekunder, keduanya menyebabkan kerusakan akson saraf optik, yang
kemudian mengakibatkan gangguan penglihatan. Dokumentasi klinis yang cermat pada
pasien dengan keadaan sadarkan diri dalam penilaian ketajaman penglihatan, fungsi pupil,
hingga CT-scan perlu dilakukan untuk menilai adanya abnormalitas struktural seperti avulsi
saraf optik, hematoma pembungkus saraf, hematoma orbital, atau fraktur kanal optik.
Berdasarkan data dari International Optik Nerve Trauma, pilihan penangan berupa
observasi tanpa intervensi. Pemberitahuan kepada pasien dan keluarga penting terkait dengan
terapi kortikosteroid mega-dosis. Jika ketajaman penglihatan menurun, dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid. Jika ditemui kelainan struktural yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi saraf optik (hematoma atau fragmen tulang), atau tajam
penglihatan memburuk pada terapi kortikosteroid, dapat dipertimbangkan tindakan
dekompresi kanal optik. Penanganan untuk kelainan ini masih kontroversial. Keikutsertaan
dokter ahli lain dan diskusi dengan keluarga penting dilakukan untuk memaksimalkan
perbaikan fungsi penglihatan. Hingga saat ini, terdapat berbagai konsensus menyatakan
pilihan terapi terbaik TON adalah cukup observasi tanpa terapi saja. Perbaikan penglihatan
dapat terjadi meskipun dengan perbaikan yang minimal, dan rata-rata perbaikan secara
spontan berkisar antara 20-57% pada berbagai studi.
Cedera langsung umumnya memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
dengan cedera tidak langsung. Prognosis buruk muncul pada keadaan dimana tidak ada
persepsi cahaya dan pada pasien-pasien dengan berbagai faktor resiko lainnya, seperti adanya
darah dalam rongga ethmoid, usia diatas 40 tahun, kehilangan kesadaran diikuti TON, dan
tidak respon terhadap terapi kortikosteroid setelah 48 jam.

Daftar Pustaka

1. Remington, Lee Ann. 2005. Visual Pathway. In: Remington, Lee Ann. Clinical
Anatomy Of The Visual System, Second Edition. USA: Elsevier. P:232-253.

2. Zoumalan, Christopher. 2012. Traumatic Optic Neuropathy. Available in :


[http://emedicine.medscape.com/article/868129-overview]. Accessed at Desember 16,
2016.
3. Cockerham, Kimberly. 2005. Traumatic Optic Neuropathy. In: Thach, Allen B.
Ophthalmic Care Of The Combat Casualty. Washington: Office Of The Surgeon
General at TMM Publications. P: 395-403.

4. Srinivasan, Renuka, Chaitra. Traumatic Optik Neuropathy [TON] A Review.


Available in :[ksos.in/ksosjournal/jounalsub/jounal_article_11_138.pdf]. Accessed at
Desember 16, 2016.

5. Tsai, et al. 2011. Neuro-Ophthalmology. In :Oxford American Handbook of


Ophthalmology. Oxford:University Press. P:514-521.

6. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Neuro-Oftalmologi. In : Vaughan, Daniel


G. Asbury, Taylor. Oftalmologi umum (General Ophthalmology)edisi 14. EGC:
Jakarta: Widya Medika.

7. Awan, Ayyaz Hussain. 2007. Traumatic Optic Neuropathy. Available in:


[www.pjo.com.pk]. Accessed at Desember 16, 2016.

8. Liesegang, et al. 2007. Optic Neuropathy. In :Neuro-Ophthalmology, American


Academy of Ophthalmology. San Francisco : AAO, The Eye MD Association. P:153-
155.

9. Girkin, Christopher A dan Kline, Lanning B. 2002. Optic Nerve and Visual Pathway.
In: Kuhn, Ferenc. Ocular Trauma, Principles and Practice. Italy:Thieme. P:392-404

10. Sarkies, N. 2003. Traumatic Optic Neuropathy. Available in :


[http://www.nature.com/eye/journal/v18/n11/full/6701571a.html]. Accessed at
Desember 16, 2016.

11. Boughton, Barbara. 2009. Traumatic Optik Neuropathy:Previous Therapies Now


Questioned or Shelved. Available in:
[http://www.aao.org/publications/eyenet/200911/trauma.efm]. Accessed at Desember
16, 2016.

12. Man, Yu Wai dan Griffiths. 2011. Steroids for Traumatic Optic Neuropathy. Available
in : [www.ncni.nlm.nih.gov/pubmed/21249673]. Accessed at Desember 16, 2016.

13. Yogiantoro, Siti Moesbadiany. 2005. Traumatic Optik Neuropathy In The Division Of
Neuro-Ophthalmology, Department of Ophthalmology, Dr. Soetomo Teaching
Hospital, Surabaya. Available in: [journal.unair.ac.id/filerpdf/FMI-41-1-09.pdf].
Accessed at Desember 16, 2016.

14. Carta et al. 2003. Visual Prognosis After Indirect Traumatic Optik Neuropathy.
Available in : [jnnp.bmj.com Volume 74, Issue 2]. Accessed at Desember 16, 2016
i

ii

iii

iv

vi

vii

viii

ix

xi

xii

xiii

Anda mungkin juga menyukai