Referat Buat CD
Referat Buat CD
Oleh
Viona Natalia Sitohang 11.2015.407
Gloria Benthamy 11.2016.028
Alvan Aresto Djari 11.2016.070
Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan
2.2 Definisi 10
2.3 Etiologi
10
2.4 Patogenesis 11
2.6 Diagnosis 13
2.7 Penatalaksanaan
16
2.10 Prognosis 19
Bab 3 Kesimpulan
21
PENDAHULUAN
Jaras penglihatan terdiri dari serial sel dan sinaps yang membawa informasi visual
dari lingkungan hingga ke otak untuk kemudian diproses. Terdiri dari retina, saraf optik, optik
kiasma, traktus optik, nukleus geniculatum lateral (LGN), radiasi optik, dan korteks striae.i
Traumatic Optic Neuropathy (TON) merupakan suatu cedera akut pada saraf optik
oleh karena trauma.Akson-akson saraf optik dapat rusak secara langsung maupun tidak
langsung dan kehilangan penglihatan dapat parsial hingga komplit.Cedera tidak langsung
pada saraf optik terjadi akibat adanya transmisi tekanan ke kanal optik pada saat trauma
tumpul.Sebaliknya, cedera langsung yang mengakibatkan kerusakan anatomis saraf optik
terjadi pada luka tusuk orbital, adanya fragmen tulang dalam kanal optik, atau hematoma
pada pembungkus saraf.ii
Penyebab TON tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan sepeda, diikuti
oleh jatuh dan tindak kekerasan.TON terjadi sebanyak 1.5-5% pasien dengan trauma kepala
tertutup dan terjadi kerusakan pada jaras penglihatan (4-6/100.000 populasi/tahun.Laki-laki
penderita terkait TON mencapai 60-95% kasus (4:1 dibandingkan dengan wanita), dan
banyak pada dekade pertama hingga kedua usia hidup mereka. Di Amerika Serikat terjadi
sebanyak 0,5-5% pada pasien dengan trauma kepala tertutup dan 2.5% pada pasien dengan
fraktur midfasial. Angka kejadian TON oleh karena trauma kraniofasial dilaporkan sekitar
0.5-1.5%.Prevalensi internasional terhadap angka kejadian TON bervariasi di setiap negara,
tergantung pada angka kejadian kecelakaan atau tindak kekerasan.2,iii,iv
Berdasarkan perkembangannya, saraf optik merupakan bagian dari otak, dan lapisan fibernya
dikelilingi oleh lapisan glial, bukan sel Schwann.Panjang saraf optik bervariasi antara 35
sampai 55 millimeter. Bagian yang dapat dilihat dari pemeriksaan oftalmoskopi adalah saraf
optik regio intraokular.1,6
Gambar 2.1. Empat regio saraf optik(Dikutip dari : Steinsapir KD, Goldberg RA. Traumatic
Optic Neuropathies. In Miller NR, Newman NJ, editors. Walsh & Hoyt's Clinical Neuro-
Ophtalmology, 6th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 431 - 446.)
a. Regio Intraokular
Puncak saraf optik adalah tempat berawalnya penyakit kongenital maupun penyakit okular
yang didapat.Bagian anterior dapat dilihat dengan pemeriksaan oftalmoskopi sebagai optic
disc. Strukturnya berbentuk oval dengan ukuran horizontal 1,5 millimeter dan vertikal 1,75
millimeter. Berbentuk cekung dengan dua pembuluh darah yang melewati titik pusatnya,
yaitu arteri retina medial dan vena retina medial. Bagian ini dapat dibagi menjadi 4 bagian,
yaitu1 :
a. Lapisan fiber superfisial
b. Area prelaminar
c. Area laminar
d. Area retrolaminar
b. Regio Intraorbital
Regio intraorbital terdiri dari 2 bagian, yaitu1:
a. Annulus of Zinn
b. Meningeal Sheaths
Gambar 2.2.Meningeal Sheaths(Dikutip dari :Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Fundamentals
and Principles of Ophtalmology Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2012.)
c. Regio Intrakanalikular
Didalam kanal optik, suplai darah saraf optik berasal dari pembuluh pial yang merupakan
percabangan dari arteri oftalmika.Saraf optik dan araknoid yang mengelilinginya terhubung
ke kanalperiosteum.
d. Regio Intrakranial
Setelah melewati kanal optik, 2 saraf optik akan membentang di atas arteri oftalmika dan
arteri karotis interna. Arteri serebri anterior juga melintasi saraf optik dimana arteri
komunikans anterior juga akan saling berhubungan sehingga membentuk sirkulus Willisi.
Kemudian saraf optik melintas kearah posterior melewati sinus kavernosus dan mencapai
kiasma optikum.
Kiasma optikum dibagi menjadi dua yaitu jalur kanan dan kiri yang berakhir di korpus
genikulatum lateralis.Dari daerah ini keluar jalur genikulokalkarin yang melewati setiap
korteks penglihatan primer.Kiasma optikum dilapisi oleh pia dan araknoid dan memiliki
vaskularisasi yang sangat banyak.Ukuran kiasma optikum diperkirakan memiliki lebar 12
millimeter dan panjang 8 millimeter pada daerah anteroposterior dengan ketebalan 4
millimeter.
Gambar 2.3. Kiasma Optikum(Dikutip dari : Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan &
Asbury's General Ophtalmology. 17th ed. New York: Lange; 2007.)
FISIOLOGI PENGLIHATAN
Saraf optik merupakan indera khusus untuk penglihatan.Cahaya dideteksi oleh sel-sel
batang dan kerucut di retina, yang dapat dianggap sebagai end-organ sensorik khusus untuk
penglihatan.Badan sel dari reseptor-reseptor ini mengeluarkan tonjolan (prosesus) yang
bersinaps dengan sel bipolar, neuron kedua di jalur penglihatan.Sel-sel bipolar kemudian
bersinaps dengan sel-sel ganglion retina.Akson-akson sel ganglion membentuk lapisan serat
saraf pada retina dan menyatu membentuk saraf optikus.Saraf keluar dari bagian belakang
bola mata dan berjalan ke posterior di dalam kerucut otot untuk masuk ke dalam rongga
tengkorak melalui kanal optik.
Di dalam tengkorak, dua saraf optikus menyatu membentuk kiasma optikum. Di kiasma,
lebih dari separuh serat mengalami dekusasio dan menyatu dengan serat-serat temporal
yang tidak menyilang dari saraf optikus sisi lain untuk membentuk traktus optikus. Masing-
masing traktus optikus berjalan ke nukleus genikulatum lateral.Dengan demikian, semua
serat yang menerima impuls dari separuh kanan lapang pandang masing-masing mata
membentuk traktus optikus kiri dan berproyeksi ke hemisfer serebrum kiri dan separuh kiri
lapang pandang berproyeksi ke hemisfer serebrum kanan.Dua puluh persen serat di traktus
melayani fungsi pupil. Serat-serat ini menuju ke nukleus pretektalis otak tengah, sementara
serat lainnya bersinaps di nukleus genikulatum lateral membentuk traktus genikulo-
kalkarina. Traktus ini berjalan melalui tungkai posterior kapsula interna dan kemudian
menyebar ke dalam radiasi optikus yang melintasi lobus temporalis dan parietalis dalam
perjalanan ke korteks oksipitalis (korteks kalkarina).v
ETIOLOGI
TON dikaitkan dengan kecelakaan dengan momentum tinggi dan trauma wajah.Kecelakaan
sepeda motor, kekerasan, luka tumpul, luka tusuk, luka tembak, dan pembedahan endoskopi
sinus merupakan penyebab TON.Luka tumpul umumnya terjadi akibat deselerasi cedera pada
region antefrontal kepala.Keparahan trauma tidak selalu terkait dengan derajat penurunan
penglihatan.4
KLASIFIKASI
Cedera saraf optik dapat diklasifikasikan menjadi cedera langsung dan tidak langsung
berdasarkan jenis cedera.
PATOFISIOLOGI
TON terjadi secara multifaktorial, beberapa penelitian menyimpulkan adanya mekanisme
primer dan sekunder dari cedera yang terjadi.Cedera langsung terjadi pada trauma tajam,
fraktur orbita dengan fraktur midfasial. Cedera tidak langsung umumnya disebabkan oleh
adanya gaya tekanan pada cedera kepala yang ditransmisikan hingga ke saraf optik. Baik
cedera langsung maupun tidak langsung menyebabkan kerusakan mekanis ataupun iskemia
pada saraf optik.Terkadang cedera okuli sangat kecil hingga tidak terlihat adanya penyebab
eksternal.Edema pada rongga tertutup, nekrosis akibat kontusio, robekan serabut saraf, dan
infark oleh karena thrombus dan spasme berpotensial menyebabkan cedera saraf optik.2,ix
a. Primer
Mekanisme primer menyebabkan kerusakan permanen pada akson saraf optik pada saat
terjadinya cedera.Kontusio pada akson saraf optik menyebabkan iskemia dan edema lokal
saraf optik, selanjutnya menyebabkan kompresi neural dalam rongga kanal
optik.Abnormalitas axon fokal terangsang, dengan karakteristik gangguan transpor
aksonal, hingga terjadi apoptosis sel. Robekan pada mikrovaskular dan cedera akson
menyebabkan terjadinya perdarahan dalam saraf optik dan pembungkusnya.4,6,8
b. Sekunder
Mekanisme sekunder menyebabkan pembengkakan saraf optik setelah terjadi cedera
akut.Gangguan homeostasis selular disekitar area kerusakan saraf optik yang ireversibel,
melalui mekanisme yang berbeda namun saling berhubungan yang menyebabkan
kerusakan akson.Meskipun nantinya pembengkakan atau kontusio pada saraf dapat
membaik, kerusakan pada akson merupakan kerusakan permanen.4,x
Mekanisme ini antara lain :
1. Iskemia dan cedera reperfusi - iskemia parsial oleh karena berkurangnya aliran darah.
Tetapi reperfusi pada area iskemik transien menyebabkan peroksidasi lipid membran
sel dan pelepasan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan jaringan.
2. Bradikinin : diaktivasi setelah terjadinya trauma, dan menyebabkan pelepasan asam
arakhidonat dari neuron. Prostaglandin yang dihasilkan dari metabolisme asam
arakhidonat, radikal bebas dan lipid peroksidase menyebabkan edema pada kanal
optik.
3. Ion kalsium : setelah terjadinya iskemia saraf optik, ion kalsium masuk ke intraselular.
Meningkatnya konsentrasi kalsium intrasel berperan menjadi toksin metabolik dan
menyebabkan kematian sel.
4. Proses inflamasi : sel polimorfonuklear (PMN) banyak pada 2 hari pertama setelah
trauma, kemudian digantikan oleh makrofag dalam 5-7 hari. PMN menyebabkan
kerusakan yang cepat, sementara makrofag menunda kerusakan jaringan, demielinasi
dan gliosis.2,4,8
GAMBARAN KLINIS
TON posterior terkadang sulit dinilai terutama pada pasien dengan cedera multipel, terutama
pada pasien tidak sadarkan diri.Pemeriksaan teliti harus dilakukan secepat mungkin,
kemungkinan hanya diperoleh defek aferen pupil pada pemeriksaan. Defisit penglihatan
bervariasi dari penglihatan normal dengan defek lapangan pandang hingga kehilangan total
terhadap persepsi cahaya.3
DIAGNOSIS
Diagnosis TON berdasarkan klinis, dengan adanya trauma kepala dan wajah yang
menyebabkan gangguan penglihatan.Pasien mengalami kehilangan penglihatan yang
mendadak, berat, dan unilateral. Kondisi ini dapat bermanifestasi segera atau dalam hitungan
jam hingga hari setelah trauma. Riwayat penyakit perlu ditanyakan apakah adanya defisit
penglihatan sebelum trauma, riwayat penyakit sebelumnya, obat-obatan dan alergi obat.2,4
PEMERIKSAAN FISIK
Pada situasi akut, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar dan penilaian ketajaman
penglihatan tidak dapat dilakukan, penegakan diagnosis TON dapat terhambat. Pada pasien
sadar, dapat dilakukan berbagai tes untuk membantu penegakan diagnosis , antara lain:
2. Relative afferent pupillary defect (RAPD) :dinilai dengan swinging flashlight test.
Cahaya yang masuk ke mata normal akan merangsang pupil konstriksi dan juga
merangsang pupil mata lain ikut berkonstriksi. Terjadi penurunan stimulasi
pupilomotor yang mencapai batang otak ketika cahaya masuk ke mata pada cedera
saraf optik dibandingkan pada bagian yang tidak cedera, sehingga respon pupil
menurun. RAPD tidak ada pada TON bilateral.
3. Penglihatan warna. Pasien diminta untuk melihat objek berwarna merah dengan
sebelah mata. Objek akan dipersepsikan berwarna hitam, coklat, atau merah buram
pada mata yang cedera.
4. Lapangan pandang. Meskipun tidak ada tanda patognomonic defek lapangan pandang
dalam mendiagnosa trauma saraf optik, lapangan pandang harus dinilai pada pasien
sadar dan kooperatif sebagai informasi kemungkinan lokasi kerusakan saraf optik.
6. Adneksa okuli. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur tepi atau dinding orbita,
edema orbita, proptosis atau enopthalmus, atau disfungsi otot ekstra okuli.
7. Tekanan intraokuli. Tonometri harus dilakukan pada orbita yang intak. Peningkatan
tekanan intraokuli dapat bersamaan pada hematom orbital, perdarahan orbital,
emfisema orbital, atau edema jaringan lunak.4,8
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Visual evoked potential (VEP)
Karena sulitnya penilaian neuro-oftalmologi pada fungsi jaras visual pada
pasien cedera berat atau selama rekonstruksi kraniomaksilofasial, VEP dan
elektroretinogram (ERG) diyakini sebagai metode elektrofisiologis untuk
mengumpulkan informasi apakah fungsi penglihatan intak ataupun patologis.VEP
juga digunakan sebagai alat diagnostik pada pasien yang diduga cedera saraf optik
bilateral.
Evaluasi elektrofisiologi dengan multiplanar CT penting pada identifikasi
segera pada trauma saraf optik.Hasil evaluasi memberikan informasi apakah
dibutuhkan intervensi bedah dan/atau terapi konservatif untuk mencegah kerusakan
sekunder saraf optik.4
2. Imaging
Pada pasien politrauma dengan penurunan kesadaran, CT scan dengan
eksplorasi klinis merupakan metode penting untuk menilai TON pada keadaan darurat
yang akut. Hasil pemeriksaan dapat menunjukkan tanda patologi saraf optik, berupa
hematoma pembungkus saraf optik, fraktur pada greater atau lesser wing sphenoid,
hematoma superiosteal, perdarahan hingga apeks orbital, sinus ethmoid dam
sphenoid, dan pneumoencephalus.3,4
PENATALAKSANAAN
Berbagai kontroversial muncul dalam penanganan TON.Sebagian besar penanganan
pada TON meliputi observasi, steroid dan dekompresi bedah.
1. Medikamentosa.
Pada kasus TON dimana tidak terdapat kontraindikasi pemberian kortikosteroid, dosis
awal metilprednisolone diberikan sebanyak 30mg/kg/IV, dilanjutkan 15mg/kgBB pada 2 jam
kemudian, dan 15 mg/kgBB setiap 6 jam. Jika terdapat perbaikan visual, dosis steroid
dilanjutkan hingga hari ke-5, kemudian diturunkan secara cepat.Jika tidak terdapat perbaikan
dalam 48-72 jam, pemberian steroid langsung dihentikan tanpa penurunan dosis sebelumnya.
Pemberian kortikosteroid mega dosis dalam 8 jam pertama setelah cedera kemungkinan dapat
memperbaiki pembengkakan saraf optik.Apakah terapi metilprednisolone memiliki efek yang
samadibandingkan hanya observasi dalam penatalaksanaan TON belum terbukti, dan
keterlambatan penanganan terapi dan derajat kehilangan penglihatan belum jelas terbukti
mempengaruhi prognosis.3,4,6,xi
2. Pembedahan
Dekompresi bedah optik kanal dan pembungkus saraf optik digunakan sebagai terapi
TON indirek. Tetapi tidak terdapat konsensus waktu optimum untuk intervensi optimum.
Peningkatan tekanan intrakanalikuli dapat menyebabkan gangguan vaskular dengan iskemia
hingga kebutaan, dan dekompresi saraf optik secara teori membebaskan strangulasi dan
memngembalikan fungsi saraf. Prosedur ini ditambah dengan pemberian steroid untuk
mengurangi inflamasi dan edema. Berbagai metode bedah yang digunakan berupa kraniotomi
trans nasalis, extra-nasal trans-ethmoidalis, lateral fasial, sublabial, dan endoskopi.4,9
Pada hematoma pembungkus saraf optik dapat dievakuasi dengan orbiotomi medial atau
lateral tergantung pada letak hematoma. Kriteria intervensi bedah pada pasien dengan TON
antara lain :
Perbaikan fungsi visual setelah TON dapat dinilai dengan penilaian berkesinambungan
fungsi visual. Follow up harian harus dilakukan selama fase akut setelah trauma, segera
setelah terapi bedahm dan selama periode pemberian terapi kortikosteroid mega-dosis.
Observasi jangka panjang dilakukan 3 bulan atau lebih sejak terjadinya cedera untuk menilai
keadaan final fungsi visual.4
PROGNOSIS
Secara umum cedera langsung memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
dengan cedera tidak langsung saraf optik. Berdasarkan studi, ada 4 variabel yang dianggap
sebagai faktor prognosis yang buruk untuk perbaikan fungsi visual, antara lain :
1. Adanya darah dalam rongga ethmoid posterior
2. Usia diatas 40 tahun
3. Kehilangan kesadaran diikuti dengan TON
4. Tidak adanya perbaikan setelah 48 jam pemberian terapi steroid.3,4,xiii
Selain itu, fraktur orbita posterior menyebabkan penglihatan yang lebih buruk
dibandingkan dengan fraktur anterior.Pasien dengan tidak adanya persepsi terhadap cahaya
kemungkinan besar tidak akan terjadi perbaikan dalam kemampuan melihat. Hingga saat ini,
terdapat berbagai konsensus menyatakan pilihan terapi terbaik TON adalah cukup observasi
tanpa terapi saja. Perbaikan penglihatan dapat terjadi meskipun dengan perbaikan yang
minimal, dan rata-rata perbaikan secara spontan berkisar antara 20-57% pada berbagai studi.
2,4,10
PENUTUP
Traumatic Optic Neuropathy merupakan kasus yang jarang tetapi sangat signifikan
dalam menyebabkan kehilangan penglihatan. Cedera langsung dan tidak langsung dengan
mekanisme primer dan sekunder, keduanya menyebabkan kerusakan akson saraf optik, yang
kemudian mengakibatkan gangguan penglihatan. Dokumentasi klinis yang cermat pada
pasien dengan keadaan sadarkan diri dalam penilaian ketajaman penglihatan, fungsi pupil,
hingga CT-scan perlu dilakukan untuk menilai adanya abnormalitas struktural seperti avulsi
saraf optik, hematoma pembungkus saraf, hematoma orbital, atau fraktur kanal optik.
Berdasarkan data dari International Optik Nerve Trauma, pilihan penangan berupa
observasi tanpa intervensi. Pemberitahuan kepada pasien dan keluarga penting terkait dengan
terapi kortikosteroid mega-dosis. Jika ketajaman penglihatan menurun, dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid. Jika ditemui kelainan struktural yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi saraf optik (hematoma atau fragmen tulang), atau tajam
penglihatan memburuk pada terapi kortikosteroid, dapat dipertimbangkan tindakan
dekompresi kanal optik. Penanganan untuk kelainan ini masih kontroversial. Keikutsertaan
dokter ahli lain dan diskusi dengan keluarga penting dilakukan untuk memaksimalkan
perbaikan fungsi penglihatan. Hingga saat ini, terdapat berbagai konsensus menyatakan
pilihan terapi terbaik TON adalah cukup observasi tanpa terapi saja. Perbaikan penglihatan
dapat terjadi meskipun dengan perbaikan yang minimal, dan rata-rata perbaikan secara
spontan berkisar antara 20-57% pada berbagai studi.
Cedera langsung umumnya memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
dengan cedera tidak langsung. Prognosis buruk muncul pada keadaan dimana tidak ada
persepsi cahaya dan pada pasien-pasien dengan berbagai faktor resiko lainnya, seperti adanya
darah dalam rongga ethmoid, usia diatas 40 tahun, kehilangan kesadaran diikuti TON, dan
tidak respon terhadap terapi kortikosteroid setelah 48 jam.
Daftar Pustaka
1. Remington, Lee Ann. 2005. Visual Pathway. In: Remington, Lee Ann. Clinical
Anatomy Of The Visual System, Second Edition. USA: Elsevier. P:232-253.
9. Girkin, Christopher A dan Kline, Lanning B. 2002. Optic Nerve and Visual Pathway.
In: Kuhn, Ferenc. Ocular Trauma, Principles and Practice. Italy:Thieme. P:392-404
12. Man, Yu Wai dan Griffiths. 2011. Steroids for Traumatic Optic Neuropathy. Available
in : [www.ncni.nlm.nih.gov/pubmed/21249673]. Accessed at Desember 16, 2016.
13. Yogiantoro, Siti Moesbadiany. 2005. Traumatic Optik Neuropathy In The Division Of
Neuro-Ophthalmology, Department of Ophthalmology, Dr. Soetomo Teaching
Hospital, Surabaya. Available in: [journal.unair.ac.id/filerpdf/FMI-41-1-09.pdf].
Accessed at Desember 16, 2016.
14. Carta et al. 2003. Visual Prognosis After Indirect Traumatic Optik Neuropathy.
Available in : [jnnp.bmj.com Volume 74, Issue 2]. Accessed at Desember 16, 2016
i
ii
iii
iv
vi
vii
viii
ix
xi
xii
xiii