Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pelabuhan bukan saja tempat berlabuh dan terhindar dari terpaan angin,

ombak besar, dan badai secara langsung di lautan1, tetapi juga penghubung antara

jalur darat (pedalaman) dengan jalur maritim dan menghubungkan antarjalur maritim

antara wilayah satu dengan wilayah lain. Begitu juga dengan Pelabuhan Air Bangis

yang menjadi penghubung antarpusat-pusat produksi di pedalaman (hinterland)

Pantai Barat Sumatera dan antar pusat-pusat produksi dengan pasar, serta

penghubung antar pelabuhan-pelabuhan yang berada di kawasan Pantai Barat

Sumatera.

Jatuhnya Bandar Malaka ke tangan Portugis pada permulaan abad XVI,

menyebabkan terjadinya perubahan jalur pelayaran dan perdagangan. Pedagang-

pedagang Muslim (Arab, Persia, dan Gujarat) enggan untuk singgah di Bandar

Malaka karena monopoli perdagangan yang dilakukan Portugis sangat merugikan

mereka. Para pedagang Muslim pada akhirnya mengubah rute pelayaran dan

perdagangan mereka menyusuri Pantai Barat Sumatera dan masuk ke Pantai Utara

1
Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17, Jakarta:
Komunitas Bambu, 2008, hal. 95-96.
Selain pengertian di atas, pelabuhan juga diartikan sebagai suatu lingkungan yang terdiri dari
area daratan dan perairan yang dilengkapi dengan fasilitas untuk berlabuh dan bertambat kapal dan
dapat melakukan bongkar muat barang serta turun naik penumpang. Lihat tulisan dari Sartono
Kartodirdjo, et.al., Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1975, hal. 60. Baca juga Bambang Triadmodjo, Pelabuhan, Jakarta: Beta Offset, 1992, hal. 1.

1
Jawa melalui selat Sunda.2 Perubahan rute pelayaran ini sangat menguntungkan

kawasan Pantai Barat Sumatera, sehingga banyak bermunculan kota-kota pantai

dengan fasilitas pelabuhan seadanya di kawasan Pantai Barat Sumatera, dan

termasuklah Pelabuhan Air Bangis.

Selama abad XVI sampai pertengahan abad XIX Pantai Barat Sumatera

berada dalam pengaruh Aceh. Kekuatan Aceh sangat dirasakan di setiap pelabuhan,

termasuk di Pelabuhan Air Bangis, dengan menempatkan wakil raja Aceh yang

bergelar panglima Aceh (syahbandar) di sana. Kehadiran kekuatan Aceh di kawasan

pesisir barat Sumatera ditanggapi oleh penduduk setempat dengan sikap pro dan

kontra. Bagi yang pro, mereka mendukung keberadaan Syahbandar Aceh di setiap

pelabuhan, sebab sebagian dari orang Aceh memang telah menjadi penduduk

setempat dan berketurunan. Namun syahbandar sering berbuat semena-mena terhadap

penduduk dengan memonopoli perdagangan.

Selain Aceh, Air Bangis merupakan salah satu kota pantai di kawasan Pantai

Barat Sumatera yang pertama kali dikunjungi oleh armada dagang Belanda atau

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada abad XVII.3 Namun pada abad

2
Bandar Malaka mencapai puncak kejayaannya pada abad XV pada masa pemerintahan
Sultan Mansyur Syah. Bandar Malaka memiliki hubungan dagang yang baik dengan Arab, India,
Persia, Siam, Cina dan Majapahit. Hubungan luar negeri yang luas ini menjadikan Malaka tumbuh
sebagai Bandar Niaga Transito terbesar di Asia Tenggara. Memasuki akhir abad XV Sultan Mansyur
Syah wafat dan terjadi beberapa kali pergantian kepemimpinan. Namun kesultanan Malaka mengalami
kemunduran pada masa kepemimpinan Sultan Mahmud Syah yang berusia masih kecil. Krisis
kepemimpinan yang terjadi di Malaka dimanfaatkan oleh Portugis yang berada di Goa. Di bawah
pimpinan Alfonso d Albuquerque, Portugis menyerang Malaka pada tahun 1511. Lihat Tome Pires,
Suma Oriental: Perjalanan Dari Laut Merah Ke China & Buku Francisco Rodrigus, Yogyakarta:
Ombak, 2014, hal. 380-383.
3
Gusti Asnan, Pemerintahan Daerah Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi,
Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006, hal. 3.

2
XVIII seluruh kawasan Pantai Barat Sumatera dikuasai oleh Inggris, dan awal abad

XIX Inggris menyerahkan kawasan ini kepada Pemerintah Hindia Belanda.4

Di bawah Pemerintahan Hindia Belanda, Pelabuhan Air Bangis dijadikan

sebagai salah satu pusat perekonomian terpenting di Pantai Barat Sumatera.

Pelabuhan Air Bangis kemudian dikembangkan oleh Belanda menjadi pelabuhan

yang melayani kegiatan ekspor dan impor barang perdagangan dan pelayaran

internasional.5 Selain sebagai pusat perkonomian, kawasan Pelabuhan Air Bangis

juga dijadikan sebagai pusat Pemerintahan Hindia Belanda dengan nama Residentie

Air Bangis (Keresidenan Air Bangis) di bawah Gouvernement van Sumatras

Westkust (Gubernemen Sumatera bagian Barat). Pada masa inilah pelabuhan Air

Bangis mencapai puncak kejayaannya.

Berkembang pesatnya Pelabuhan Air Bangis menjadikannya sebagai

pelabuhan terpenting di kawasan utara Gouvernement van Sumatras Westkust pada

seperempat pertama abad XIX, menyaingi Pelabuhan Natal dan Barus. Namun
4
Pada tahun 1685 bangsa Inggris telah menjejakkan kakinya di tanah Sumatera yakni di
Bengkulu. Namun Inggris baru dapat menjadi penguasa di daerah Sumatera Barat pada 30 November
1795, dikarenakan penguasa sebelumnya (VOC) di Sumatera Barat mengalami kemerosotan dan
hancur akibat serangan armada Le Ville de Bordeaux di bawah pimpinan Le Meme (bajak laut yang
diutus Prancis untuk memberi pelajaran terhadap daerah jajahan Belanda di kawasan timur), dan tahun
1814 Inggris menyerahkan kembali kawasan Pantai Barat Sumatera kepada Belanda melalui Konvensi
London seiring situasi politik yang mulai membaik di Eropa. Namun Raffles (Letnan Gubernur Inggris
di Sumatera Barat) saat itu enggan menyerahkan Sumatera Barat kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda baru mendapat penyerahan resmi Sumatera Barat pada tahun 1819 (tidak
termasuk Air Bangis, Natal dan Tapanuli). Ketiga daerah itu baru diserahkan oleh Inggris pada tahun
1825 setelah adanya Traktat London (1824). Lihat John Ball, Indonesian Legal History: British West
Sumatra 1685-1825, Sydney: Oughtershaw Press, 1984, hal. 1-2 dan 263.
5
Pelabuhan Air Bangis dinyatakan sebagai pelabuhan pelayaran internasional oleh
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1839 beserta Pelabuhan Singkil, Barus dan pada tahun 1847
disusul oleh Pelabuhan Muara Kumpeh (Jambi). Lihat Singgih Tri Sulistiyono, Java Sea Network:
Patterns In The Development Of Interregional Shipping And Trade In The Process Of National
Economic Integration In Indonesia 1870s-1970s, Amsterdam: Vrij University Amsterdam, 2003, hal.
84-85.

3
kejayaannya tidak berlangsung lama, karena Pemerintah Hindia Belanda menduduki

Tapanuli dan membuat reorganisasi pemerintahan baru. Tapanuli dijadikan sebagai

kresidenan baru dengan ibukotanya Sibolga, sedangkan Air Bangis menjadi ibukota

afdeling (kabupaten). Dikembangkannya Sibolga dan dibangunnya pelabuhan di sana

sangat berdampak terhadap Pelabuhan Air Bangis. Secara bertahap Pelabuhan Air

Bangis mulai sepi disinggahi kapal-kapal asing. Akibatnya aktivitas perdagangan dan

pelayaran di kawasan pelabuhan mengalami kemunduran, dan hal ini diperparah lagi

oleh banyaknya penduduk yang pindah ke Sibolga. Penyebab utama perpindahan

penduduk diakibatkan berjangkitnya penyakit malaria. Kemunduran aktivitas

perdagangan dan pelayaran di Pelabuhan Air Bangis juga disebabkan perkembangan

kawasan Pantai Timur Sumatera sebagai sentral ekonomi baru dan Pemerintah

Belanda pada abad XX lebih banyak terkonsentrasi di daratan Pulau Sumatera.

Kajian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu mendiskripsikan tentang aktivitas

perdagangan dan pelayaran, kuantitas ekspor dan impor serta posisi Pelabuhan Air

Bangis diantara pelabuhan-pelabuhan yang berada di kawasan Pantai Barat Sumatera,

sebelum kedatangan dan selama masa pemerintahan kolonial Belanda. Penelitian ini

juga menjabarkan faktor-faktor penyebab kemunduran Pelabuhan Air Bangis.

Dari uraian diatas, maka penelitian ini diberi judul Pelabuhan Air Bangis

Sumatera Barat Pada Abad XIX Hingga Awal Abad XX. Aspek spasial penelitian

ini adalah Pelabuhan Air Bangis masa kolonial. Penulis tertarik untuk mengkaji

Pelabuhan Air Bangis karena pelabuhan ini merupakan salah satu pelabuhan di

kawasan utara Pantai Barat Sumatera, yang pernah dijadikan sebagai pusat

4
perekonomian oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk kawasan tersebut. Ketertarikan

penulis menimbulkan keingintahuan lebih, mengapa Pelabuhan Air Bangis yang

dipilih oleh Belanda, padahal banyak pelabuhan-pelabuhan lain di kawasan ini yang

juga potensial dan ada faktor apa sebenarmya di wilayah Pelabuhan Air Bangis ini,

sehingga aktivitas perdagangan dan pelayaran ramai di wilayah ini, serta bagaimana

gambaran pelabuhan ini di masa lalu. Keingintahuan penulis ini belum ada hasil

penelitian yang menjawabnya, sehingga penulis merasa tertarik untuk mencari tahu

dan mengkaji Pelabuhan Air Bangis secara mendalam.

Penelitian ini mengambil skop abad XIX hingga awal abad XX, yang dimulai

tahun 1825 sebagai periode awal penelitian. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan

bahwa Air Bangis diserahkan Inggris kepada pemerintahan Hindia Belanda secara

resmi pada tahun tersebut. Walaupun batasan awal penelitian dimulai pada tahun

1825, namun untuk melihat proses perkembangan ataupun perubahan yang terjadi di

Pelabuhan Air Bangis perlu adanya perbandingan pada masa sebelumnya yang perlu

dikaji. Diberlakukannya berbagai pajak oleh Pemerintah Belanda di akhir abad XIX,

keluarnya Tapanuli dari Gouvernement van Sumatras Westkust pada tahun 1905,

berkembangnya kawasan Pantai Timur Sumatera diawal abad XX, dan

dihapuskannya administratif Gouvernement van Sumatras Westkust tahun 1913

merupakan batasan akhir penelitian ini. Dalam rentang waktu akhir abad XIX dan

awal abad XX, telah terlihat kemunduran di Pelabuhan Air Bangis. Hal ini ditandai

dengan merosotnya produk ekspor dari daerah hinterland pelabuhan ini, yang

mengakibatkan aktivitas perdagangan dan pelayaran stagnan.

5
1.2 Rumusan Masalah

Secara teoritik, hubungan antara daerah hinterland (pedalaman), foreland

(seberang), dan market (pasar) dapat terjalin erat karena keberadaan pelabuhan.

Aktivitas perdagangan di sini muncul karena saling membutuhkan. Suatu wilayah

tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri, sehingga perlu berdagang dengan

wilayah lain. Dari sinilah pelabuhan memainkan peranannya sebagai pintu masuk dan

keluar bagi komoditi-komoditi perdagangan. Begitu pula dengan Pelabuhan Air

Bangis yang berperan menghubungkan pusat-pusat produksi (komoditi) daerah

hinterland dengan pasar. Dengan demikian neraca perdagangan menjadi hal yang

sangat penting bagi pertumbuhan Pelabuhan Air Bangis. Neraca perdagangan yang

dimaksud adalah kegiatan ekspor-impor dari dan ke Pelabuhan Air Bangis. Sejak

ditetapkan sebagai pelabuhan bebas dan terbuka oleh Pemerintah Hindia Belanda

pada tahun 1839, tidak hanya kapal pribumi dan pemerintah, namun juga kapal-kapal

berbendera asing mulai ramai singgah di Pelabuhan Air Bangis. Hal tersebut tentu

tidak bisa dilepaskan dari kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang ingin

menjadikan Pelabuhan Air Bangis pusat ekonomi dan politik di kawasan utara

Gouvernement Sumatras Westkust pada masa itu.

Guna memudahkan dalam pembahasan maka permasalahan tersebut

dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian, yakni:

1. Bagaimana kondisi Pelabuhan Air Bangis pada abad XVII dan XVIII?

2. Mengapa Pemerintah Belanda menjadikan Pelabuhan Air Bangis sebagai

pusat kegiatan ekonomi di kawasan utara Pantai Barat Sumatera?

6
3. Bagaimana perkembangan Pelabuhan Air Bangis dari tahun 1837 hingga

1890?

4. Mengapa Pelabuhan Air Bangis mengalami kemunduran?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan suatu cara untuk menjawab masalah yang dirumuskan.

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah menjelaskan kondisi Pelabuhan

Air Bangis pada abad XVII dan XVIII. Menjelaskan alasan Pemerintah Belanda

menjadikan Pelabuhan Air Bangis sebagai pusat ekonomi di kawasan utara Pantai

Barat Sumatera. Menjelaskan perkembangan Pelabuhan Air Bangis dari tahun 1837

hingga 1890, serta menjelaskan penyebab kemunduran Pelabuhan Air Bangis

Sumatera Barat, yang titik fokusnya pada neraca perdagangan dan pelayaran

(aktivitas ekspor dan impor), sehingga dapat diungkapkan apa saja yang telah dicapai

Pelabuhan Air Bangis selama abad XIX hingga awal abad XX.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu: diharapkan akan

memperkaya perbendaharaan historiografi Indonesia, khususnya yang berkaitan

dengan sejarah ekonomi-maritim pada era kolonial. Lebih jauh lagi manfaat

penelitian ini adalah untuk menggambarkan peta jaringan perdagangan dan pelayaran

dari dan ke Pelabuhan Air Bangis pada periode tersebut, sehingga dapat digunakan

untuk menganalisis struktur dan alur perdagangan dan pelayaran di Pelabuhan Air

Bangis untuk percepatan kemajuan masyarakat pelabuhan pada masa sekarang ini dan

juga untuk mengkaji potensi-potensi yang ada di Pelabuhan Air Bangis selanjutnya.

7
1.4 Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai sejarah pelabuhan Air Bangis sudah pernah ada sebelumnya.

Informasi mengenai sejarah pelabuhan Air Bangis ditulis dalam Balai Kajian Sejarah

dan Nilai Tradisional Padang oleh suatu tim di bawah M. Nur dkk., Dinamika

Pelabuhan Air Bangis dalam Lintasan Sejarah Lokal Pasaman Barat (2004). Buku

ini menggambarkan dinamika Pelabuhan Air Bangis secara luas yang dimulai dari

asal-usul pelabuhan dan penduduk Air Bangis, Pelabuhan Air Bangis pada masa

kolonial Belanda hingga Air Bangis dewasa ini. Buku ini mencoba mengambarkan

peranan Pelabuhan Air Bangis pada abad XIX hingga kontemporer di Pantai Barat

Pasaman yang dilihat dari perdagangan dan dinamikanya. Meskipun lingkup

permasalahan buku ini hampir sama dengan fokus penelitian penulis, namun buku ini

tidak menjawab isu yang penulis bahas. Buku ini tidak melihat perkembangan

Pelabuhan Air Bangis dalam aspek perdagangan dan pelayaran pada abad XIX secara

mendalam, padahal pada kurun waktu inilah masa kejayaan pelabuhan tersebut.

Penulisan buku ini juga kurang kronologis, sehingga menyulitkan pembaca

memahami inti permasalahan. Meskipun demikian buku karya M. Nur dkk. ini

penulis jadikan sebagai acuan awal dalam memahami Pelabuhan Air Bangis dan

sebagai perbandingan dalam menulis dan meneliti.

Dalam kajian sejarah maritim, peranan pelabuhan sangat penting sebagai

pusat aktivitas kegiatan kemaritiman. Untuk mengkaji aktivitas perdagangan dan

pelayaran di suatu pelabuhan, maka diperlukan konsep-konsep dan teori kemaritiman.

Dalam bukunya Singgih Tri Sulistiyono yang berjudul Pengantar Sejarah Maritim

8
Indonesia (2004) menggambarkan dengan jelas tentang konsep maritim dengan

menggunakan konsep dan teori ekonomi khususnya mengenai neraca perdagangan,

konsep maritim dengan menggunakan konsep-konsep dan teori sosiologi perkotaan

khususnya mengenai kota pelabuhan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini kegiatan

pelayaran dan perdagangan yang berlangsung di pelabuhan mempunyai pengaruh

yang besar terhadap berkembangnya kota pelabuhan. Perkembangan suatu pelabuhan

maupun kota itu sendiri tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan pelayaran dan

perdagangan.

Perdagangan sangat erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat yang

bersangkutan. Semakin kompleks suatu masyarakat maka semakin beragam pula

modus dan tata cara perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Pola

perdagangan di sini adalah proses tukar menukar barang antara pedagang dengan

pembeli baik itu pribumi lokal, pribumi dari pulau lain, timur asing maupun

mancanegara. Dalam bukunya Gusti Asnan berjudul Dunia Maritim Pantai Barat

Sumatera (2007) menggambarkan peranan penting Pantai Barat Sumatera dari

berbagai aspek sosial, politik, budaya, dan ekonomi dalam pelayaran dan

perdagangan di kawasan Pantai Barat Sumatera pada masa kolonial Belanda. Dalam

bukunya ini juga dijelaskan bagaimana pelabuhan-pelabuhan yang ada di Pantai Barat

Sumatera tumbuh dan berkembang, serta aktivitas ekspor dan impor yang terjadi di

sana dalam kurun waktu abad XIX. Pelabuhan Air Bangis pun tidak absen dalam

kajiannya sebagai pelabuhan yang ramai dikunjungi di kawasan utara Gouvernement

van Sumatras Westkust pada masa Hindia Belanda, walaupun hanya sebatas

9
penjelasan, bukan kajian secara mendalam tentang Pelabuhan Air Bangis. Akan tetapi

buku ini dapat memberikan informasi bagi peneliti mengenai pelayaran dan

perdagangan di Pantai Barat Sumatera, untuk mengetahui bagaimana pola

perdagangan, hubungan antara daerah pantai dengan daerah pedalaman ataupun

wilayah lainnya.

Kegiatan pelayaran dan perdagangan melalui sarana pelabuhan tentunya

melibatkan banyak pelaku baik individu maupun golongan. Orang-orang yang terlibat

dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan dikupas secara detail oleh Adrian B.

Lapian dalam bukunya yang berjudul Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah

Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (2011). Dalam buku ini digambarkan tentang

hubungan proses timbal balik antara yang disebut sebagai orang laut, bajak laut, dan

raja laut dalam perdagangan dan pelayaran di kawasan laut Sulawesi. Menurut Adrian

B. Lapian munculnya ketiga istilah golongan tersebut merupakan perbedaan

perspektif yang menganggap bahwa dirinya mempunyai kekuasaan atas suatu

kawasan laut, baik itu dalam hal perniagaan maupun pelayaran pada suatu kawasan

laut, dan hal ini sebenarnya juga terjadi hampir diseluruh kawasan laut nusantara, dan

tidak menutup kemungkinan untuk Pelabuhan Air Bangis. Buku ini penulis jadikan

acuan dalam melihat bagaimana aktivitas orang-orang atau kelompok yang terlibat

dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran di Pelabuhan Air Bangis.

Selain kegiatan pelayaran dan perdagangan, perlu juga dilihat aspek

pemerintahan kota Air Bangis untuk melihat dinamika pemerintahan yang terjadi dan

akibatnya terhadap perkembangan Pelabuhan Air Bangis tersebut. Dalam karya yang

10
ditulis oleh Gusti Asnan yang berjudul Pemerintahan Daerah Sumatera Barat Dari

VOC Hingga Reformasi (2006) dapat kita ketahui bagaimana dinamika pergantian

kepemimpinan di daerah Sumatera Barat termasuk di Air Bangis. Buku ini juga

menggambarkan bagaimana proses reorganisasi administratif pemerintahan seiring

perluasan-perluasan wilayah yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda ke kawasan

utara Pantai Barat Sumatera. Buku ini dapat memberikan pemahaman bagi peneliti

bagaimana pergantian kepala pemerintahan yang mengakibatkan terjadinya

perubahan kebijakan-kebijakan terhadap keberlangsungan perkembangan Pelabuhan

Air Bangis ke depannya.

Sementara itu, Christine Dobbin dalam bukunya yang berjudul Kebangkitan

Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847

(1992) menggambarkan kehidupan masyarakat pedalaman (hinterland) Pantai Barat

Sumatera. Dalam bukunya ini diulas peranan masyarakat pedalaman (niaga kaum

Paderi) yang sangat mengancam monopoli perdagangan Belanda. Karena kaum

Paderi memboikot hasil-hasil komoditi pedalaman dalam perdagangan mereka,

sehingga keberadaan Paderi sangat merugikan Pemerintah Hindia Belanda. Di

pelabuhan Air Bangis juga pecah perang Paderi melawan Belanda. Selain itu

Christine Dobbin juga menjelaskan tentang budidaya tanaman kopi mulai digalakkan

sebagai komoditas ekspor utama kawasan ini setelah gerakan Paderi dapat ditumpas

kolonial Belanda. Buku ini dapat menjadi acuan bagi peneliti untuk mengetahui liku-

liku perdagangan masyarakat di pedalaman Pantai Barat Sumatera dengan segala

masalah yang ditimbulkannya.

11
1.5 Metode Penelitian

Setiap penelitian diwajibkan menggunakan metode, terutama metode

penelitian. Metode penelitian adalah suatu cara atau aturan yang sistematis yang

digunakan sebagai proses untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip untuk

mencari kebenaran dari sebuah permasalahan. Dalam menulis peristiwa sejarah pada

masa lampau yang direalisasikan dalam bentuk penulisan sejarah (historiografi),

tentu harus menggunakan metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji

dan menganalisis secara kritis rekaman dan jejak-jejak peninggalan sejarah.6 Dalam

penerapannya, metode sejarah menggunakan empat tahapan pokok, yaitu heuristik,

kritik, interpretasi, dan historiografi.

Tahap pertama adalah heuristik merupakan proses mengumpulkan dan

menemukan sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Metode yang dilakukan dalam heuristik adalah studi arsip, dan studi pustaka. Dalam

pengumpulan arsip-arsip tentang Pelabuhan Air Bangis, penulis telah mengunjungi

Badan Arsip Daerah Sumatera Barat di Kota Padang dan Arsip Nasional Republik

Indonesia (ANRI) di Jakarta. Dalam melakukan studi pustaka penulis juga telah

mengunjungi Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Tengku

Lukman Sinar di Medan, Perpustakaan Universitas Negeri Padang, Perpustakaan

Daerah Sumatera Barat, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta.

6
Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI
Press, 1985, hal. 39.

12
Proses heuristik awal dilakukan di Kota Padang, Sumatera Barat pada tanggal

25 Januari 2015 30 Januari 2015. Hal pertama yang penulis lakukan di Kota Padang

yaitu mengunjungi Badan Arsip Daerah Sumatera Barat. Arsip-arsip yang tersedia

tergolong sedikit, karena telah banyak arsip daerah ini yang dibawa ke badan

pengelola arsip di Jakarta. Dalam studi arsip di Padang, penulis berhasil menemukan

beberapa arsip yang berkaitan dengan penelitian. Salah satu arsip ini adalah Senarai

Arsip Nationaal Archief Belanda, No. 69 a. Adapun keterkaitan arsip ini dengan

penelitian yaitu penulis mendapatkan anggaran biaya-biaya (transportasi) dan pajak

yang diberlakukan di Pelabuhan Air Bangis.

Selain mengunjungi badan arsip, penulis juga mengunjungi Perpustakaan

Daerah Sumatera Barat dan Perpustakaan Universitas Negeri Padang untuk mencari

sumber-sumber sekunder yang kiranya bisa dijadikan sebagai daftar referensi, namun

sumber-sumber yang penulis cari di kedua perpustakaan ini tidak diketemukan

sumber-sumber yang dapat mendukung penelitian penulis.

Tahap berikutnya dalam heuristik, adalah mengunjungi badan Arsip Nasional

Republik Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Pusnas

RI) yang berada di Jakarta. Penulis melakukan penelitian di Jakarta selama 15 hari

yang dimulai pertengahan bulan April 2015. Adapun proses pertama yang penulis

jalani selama pengumpulan sumber di Jakarta yaitu mencari sumber-sumber arsip di

ANRI.

Hal pertama yang penulis kumpulkan adalah arsip-arsip dari Inventaris Arsip

Sumatras Westkust. Arsip Sumatras Westkust yang penulis pakai dalam tulisan ini

13
seperti Swk., No. 151/2, Vraagpunten over het Ayer Bangies, 1839, yang isinya

menggambarkan perdebatan mengenai pemilihan wilayah Air Bangis sebagai

pelabuhan dagang skala besar di bagian utara Pantai Barat Sumatera. Arsip lainnya

seperti Swk. 125/7 tentang laporan umum Air Bangis, Swk. 125/6 tentang laporan

umum Sumatras Westkust, dan inventaris Swk. lainnya seperti laporan tahunan,

laporan politik, laporan bulanan, laporan administratif Sumatras Westkust dan

Tapanuli dengan kisaran waktu antara tahun 1853 sampai 1865.

Selain arsip dari inventaris Swk. penulis juga menemukan beberapa besluit

seperti Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsch-Indie van 4 Februari

1839, No. 1. Adapun isi dari besluit ini adalah Pembukaan Pelabuhan Air Bangis

sebagai pelabuhan yang melayani perdagangan besar dengan menutup Pelabuhan

Natal. Penulis juga menemukan arsip Algemene Secretarie: Grote Bundel Besluit

1891-1942, No. 1341, di dalam arsip ini ada rute jalan-jalan yang dibuat Pemerintah

Hindia Belanda dari Air Bangis ke daerah hinterland. Selain itu ada juga arsip

Departement van Burgelijke Openbare Werken (BOW), Kolonial Verslag van

Nederlandsch Oost-Indie, dan Staatsblad van Nederlandsch-Indie dari beberapa

tahun dan nomor. Di perpustakaan nasional penulis juga mendapat banyak referensi

buku dan jurnal dalam kategori langka. Adapun referensi yang penulis kumpulkan

rata-rata terbitan abad XIX.

Tahap heuristik selanjutnya penulis lakukan di Kota Medan. Selain

Perpustakaan Universitas Sumatera Utara yang menyediakan buku-buku sekunder,

penulis juga mengunjungi Perpustakaan Tengku Lukman Sinar. Di perpustakaan yang

14
terakhir ini penulis menemukan beberapa jurnal yang penulis tidak dapatkan di

Perpustakaan Nasional Jakarta, seperti karya E. B. Kielstra, Sumatras Westkust dari

tahun 1825-1835 yang terdiri dari beberapa tahun terbit dalam jurnal BKI.

Dalam penelusuran sumber-sumber lainnya penulis juga mendapatkan

dokumen dan buku elektronik dari koleksi Perpustakaan KITLV-Leiden yang dapat

diakses melalui laman www.kitlv.nl. Sumber-sumber ini banyak penulis pakai karena

sejaman dengan temporal penelitian. Sumber-sumber ini seperti Overzigt van den

Handel en de Scheepvaart in de Nederlandsche Bezettingen in de Oost-Indie Buiten

Java en Madura (dari tahun 1846-1868); M. D. Teenstra, Beknopte Beschrijving van

de Nederlandsch Overzeesche Bezittingen, dan lain sebagainya.

Setelah pengumpulan sumber, maka tahap selanjutnya adalah kritik sumber,

baik secara intern dan ekstern. Kritik ekstern dilakukan untuk menguji sumber guna

mengetahui otentisitas sumber. Dalam hal ini kritik menyangkut arsip atau dokumen

dengan cara memilah apakah dokumen itu diperlukan atau tidak serta menganalisis

apakah dokumen yang telah dikumpulkan asli atau tidak dengan mengamati tulisan,

gaya bahasa, ejaan maupun jenis kertas yang digunakan. Kritik intern merupakan

suatu langkah untuk menilai isi dari sumber-sumber yang telah dikumpulkan.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari

sumber tersebut.7 Proses kritik sumber ini dilakukan seiring dengan proses

menerjemahkan, karena sebagian besar sumber primer berbahasa asing seperti bahasa

7
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995, hal.
99-100.

15
Belanda, Inggris, dan ada juga bahasa Jerman. Untuk sumber sekunder sendiri sudah

banyak yang berbahasa Indonesia.

Tahapan selanjutnya adalah interpretasi yaitu memuat analisis dan sintesis

terhadap sumber yang telah dikritik dan diverifikasi. Tahapan ini dilakukan dengan

cara menafsirkan fakta, dan membandingkannya sehingga akan diperoleh data yang

objektif untuk diceritakan kembali ke dalam suatu tulisan.

Tahapan terakhir yaitu historiografi atau penulisan merupakan proses

menceritakan rangkaian fakta (penulisan sejarah) secara kronologis dalam suatu

bentuk tulisan yang kritis, analitis dan bersifat ilmiah sehingga tahap akhir dalam

penulisan ini dapat dituangkan dalam bentuk skripsi dengan terlebih dahulu menulis

rancangan isi skripsi.

1.6 Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini berupa skripsi yang terdiri atas beberapa bab, yang

menjelaskan bagian-bagian khusus mengenai aktivitas perdagangan dan pelayaran di

Pelabuhan Air Bangis. Untuk menjelaskan bagian-bagian tersebut maka disusunlah

sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang berisi tentang alasan

pemilihan tema penelitian, dengan rumusan permasalahan yang dibatasi secara

spasial dan temporal. Selain itu terdapat juga tujuan dan manfaat dari skripsi ini, serta

dicantumkan beberapa tinjauan pustaka sebagai acuan dan perbandingan dalam

penulisan skripsi ini. Skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan empat tahapan

16
pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi, dan terdapat pula

sistematika penulisan yang menjelaskan poin-poin isi dari setiap bab.

Bab Kedua membahas tentang kondisi Pelabuhan Air Bangis Sumatera Barat

Pada Abad XVII dan XVIII. Bab ini menggambarkan kondisi geografis pelabuhan

dan menjelaskan komposisi penduduk yang menetap di Pelabuhan Air Bangis. Bab

ini juga melihat hubungan antara Pelabuhan Air Bangis dengan daerah

penyangganya, baik daerah hinterland maupun foreland. Selain itu, bab ini juga

memaparkan penguasaan Kesultanan Aceh di Pelabuhan Air Bangis dan bagaimana

Aceh melakukan monopoli dagang di kawasan ini. Tidak hanya Kesultanan Aceh,

armada dagang Belanda (VOC) dan Inggris juga menanamkan pengaruhnya di

kawasan Pelabuhan Air Bangis, sehingga pergesekan antara Kesultanan Aceh, VOC,

dan Inggris kerap kali terjadi.

Bab Ketiga membahas tentang alasan-alasan pemerintah Belanda menjadikan

Pelabuhan Air Bangis sebagai pusat ekonomi untuk kawasan utara Pantai Barat

Sumatera, yang digambarkan dalam hegemoni Belanda dalam aktivitas pelayaran dan

perdagangan di Pelabuhan Air Bangis. Alasan-alasan tersebut seperti ekpansi politik

Belanda dalam memperluas wilayah jajahannya ke kawasan utara Pantai Barat

Sumatera, penghancuran monopoli dagang Paderi di daerah hinterland Air Bangis,

dan Pelabuhan Air Bangis dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi untuk

kawasan utara Pantai Barat Sumatera.

Bab Keempat merupakan bab inti dari penelitian ini. Bab ini membahas

tentang perkembangan Pelabuhan Air Bangis dari tahun 1837 hingga 1890.

17
Perkembangan ini bisa dilihat dalam pembangunan fasilitas pelabuhan untuk

menampung aktivitas pelayaran dan perdagangan (ekspor dan impor), penerapan

pajak yang diberlakukan pemerintah untuk mendapat keuntungan yang besar dan juga

melihat peran pengusaha dalam pelayaran dan perdagangan di wilayah tersebut baik

pengusaha eropa, timur asing, maupun pribumi (penduduk setempat).

Bab Kelima membahas tentang proses kemunduran Pelabuhan Air Bangis

dalam dunia pelayaran dan perdagangan Pantai Barat Sumatera. Proses kemunduran

ini dijabarkan dalam beberara faktor seperti pengaruh topografi Pelabuhan Air

Bangis, berjangkitnya penyakit malaria, kebijakan-kebijan pemerintah Belanda dalam

arus perdagangan dan pelayaran di Pelabuhan Air Bangis, perkembangan (jalan)

darat, dan perkembangan kawasan Pantai Timur Sumatera.

Bab Keenam merupakan bab akhir dari penelitian ini. Bab ini memaparkan

kesimpulan dari uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, serta terdapat

saran dari penulis dalam pengembangan Pelabuhan Air Bangis untuk masa

mendatang.

18

Anda mungkin juga menyukai