Chapter I
Chapter I
PENDAHULUAN
Pelabuhan bukan saja tempat berlabuh dan terhindar dari terpaan angin,
ombak besar, dan badai secara langsung di lautan1, tetapi juga penghubung antara
jalur darat (pedalaman) dengan jalur maritim dan menghubungkan antarjalur maritim
antara wilayah satu dengan wilayah lain. Begitu juga dengan Pelabuhan Air Bangis
Pantai Barat Sumatera dan antar pusat-pusat produksi dengan pasar, serta
Sumatera.
pedagang Muslim (Arab, Persia, dan Gujarat) enggan untuk singgah di Bandar
mereka. Para pedagang Muslim pada akhirnya mengubah rute pelayaran dan
perdagangan mereka menyusuri Pantai Barat Sumatera dan masuk ke Pantai Utara
1
Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17, Jakarta:
Komunitas Bambu, 2008, hal. 95-96.
Selain pengertian di atas, pelabuhan juga diartikan sebagai suatu lingkungan yang terdiri dari
area daratan dan perairan yang dilengkapi dengan fasilitas untuk berlabuh dan bertambat kapal dan
dapat melakukan bongkar muat barang serta turun naik penumpang. Lihat tulisan dari Sartono
Kartodirdjo, et.al., Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1975, hal. 60. Baca juga Bambang Triadmodjo, Pelabuhan, Jakarta: Beta Offset, 1992, hal. 1.
1
Jawa melalui selat Sunda.2 Perubahan rute pelayaran ini sangat menguntungkan
Selama abad XVI sampai pertengahan abad XIX Pantai Barat Sumatera
berada dalam pengaruh Aceh. Kekuatan Aceh sangat dirasakan di setiap pelabuhan,
termasuk di Pelabuhan Air Bangis, dengan menempatkan wakil raja Aceh yang
pesisir barat Sumatera ditanggapi oleh penduduk setempat dengan sikap pro dan
kontra. Bagi yang pro, mereka mendukung keberadaan Syahbandar Aceh di setiap
pelabuhan, sebab sebagian dari orang Aceh memang telah menjadi penduduk
Selain Aceh, Air Bangis merupakan salah satu kota pantai di kawasan Pantai
Barat Sumatera yang pertama kali dikunjungi oleh armada dagang Belanda atau
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada abad XVII.3 Namun pada abad
2
Bandar Malaka mencapai puncak kejayaannya pada abad XV pada masa pemerintahan
Sultan Mansyur Syah. Bandar Malaka memiliki hubungan dagang yang baik dengan Arab, India,
Persia, Siam, Cina dan Majapahit. Hubungan luar negeri yang luas ini menjadikan Malaka tumbuh
sebagai Bandar Niaga Transito terbesar di Asia Tenggara. Memasuki akhir abad XV Sultan Mansyur
Syah wafat dan terjadi beberapa kali pergantian kepemimpinan. Namun kesultanan Malaka mengalami
kemunduran pada masa kepemimpinan Sultan Mahmud Syah yang berusia masih kecil. Krisis
kepemimpinan yang terjadi di Malaka dimanfaatkan oleh Portugis yang berada di Goa. Di bawah
pimpinan Alfonso d Albuquerque, Portugis menyerang Malaka pada tahun 1511. Lihat Tome Pires,
Suma Oriental: Perjalanan Dari Laut Merah Ke China & Buku Francisco Rodrigus, Yogyakarta:
Ombak, 2014, hal. 380-383.
3
Gusti Asnan, Pemerintahan Daerah Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi,
Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006, hal. 3.
2
XVIII seluruh kawasan Pantai Barat Sumatera dikuasai oleh Inggris, dan awal abad
yang melayani kegiatan ekspor dan impor barang perdagangan dan pelayaran
juga dijadikan sebagai pusat Pemerintahan Hindia Belanda dengan nama Residentie
Westkust (Gubernemen Sumatera bagian Barat). Pada masa inilah pelabuhan Air
seperempat pertama abad XIX, menyaingi Pelabuhan Natal dan Barus. Namun
4
Pada tahun 1685 bangsa Inggris telah menjejakkan kakinya di tanah Sumatera yakni di
Bengkulu. Namun Inggris baru dapat menjadi penguasa di daerah Sumatera Barat pada 30 November
1795, dikarenakan penguasa sebelumnya (VOC) di Sumatera Barat mengalami kemerosotan dan
hancur akibat serangan armada Le Ville de Bordeaux di bawah pimpinan Le Meme (bajak laut yang
diutus Prancis untuk memberi pelajaran terhadap daerah jajahan Belanda di kawasan timur), dan tahun
1814 Inggris menyerahkan kembali kawasan Pantai Barat Sumatera kepada Belanda melalui Konvensi
London seiring situasi politik yang mulai membaik di Eropa. Namun Raffles (Letnan Gubernur Inggris
di Sumatera Barat) saat itu enggan menyerahkan Sumatera Barat kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda baru mendapat penyerahan resmi Sumatera Barat pada tahun 1819 (tidak
termasuk Air Bangis, Natal dan Tapanuli). Ketiga daerah itu baru diserahkan oleh Inggris pada tahun
1825 setelah adanya Traktat London (1824). Lihat John Ball, Indonesian Legal History: British West
Sumatra 1685-1825, Sydney: Oughtershaw Press, 1984, hal. 1-2 dan 263.
5
Pelabuhan Air Bangis dinyatakan sebagai pelabuhan pelayaran internasional oleh
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1839 beserta Pelabuhan Singkil, Barus dan pada tahun 1847
disusul oleh Pelabuhan Muara Kumpeh (Jambi). Lihat Singgih Tri Sulistiyono, Java Sea Network:
Patterns In The Development Of Interregional Shipping And Trade In The Process Of National
Economic Integration In Indonesia 1870s-1970s, Amsterdam: Vrij University Amsterdam, 2003, hal.
84-85.
3
kejayaannya tidak berlangsung lama, karena Pemerintah Hindia Belanda menduduki
kresidenan baru dengan ibukotanya Sibolga, sedangkan Air Bangis menjadi ibukota
sangat berdampak terhadap Pelabuhan Air Bangis. Secara bertahap Pelabuhan Air
Bangis mulai sepi disinggahi kapal-kapal asing. Akibatnya aktivitas perdagangan dan
pelayaran di kawasan pelabuhan mengalami kemunduran, dan hal ini diperparah lagi
kawasan Pantai Timur Sumatera sebagai sentral ekonomi baru dan Pemerintah
perdagangan dan pelayaran, kuantitas ekspor dan impor serta posisi Pelabuhan Air
sebelum kedatangan dan selama masa pemerintahan kolonial Belanda. Penelitian ini
Dari uraian diatas, maka penelitian ini diberi judul Pelabuhan Air Bangis
Sumatera Barat Pada Abad XIX Hingga Awal Abad XX. Aspek spasial penelitian
ini adalah Pelabuhan Air Bangis masa kolonial. Penulis tertarik untuk mengkaji
Pelabuhan Air Bangis karena pelabuhan ini merupakan salah satu pelabuhan di
kawasan utara Pantai Barat Sumatera, yang pernah dijadikan sebagai pusat
4
perekonomian oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk kawasan tersebut. Ketertarikan
dipilih oleh Belanda, padahal banyak pelabuhan-pelabuhan lain di kawasan ini yang
juga potensial dan ada faktor apa sebenarmya di wilayah Pelabuhan Air Bangis ini,
sehingga aktivitas perdagangan dan pelayaran ramai di wilayah ini, serta bagaimana
gambaran pelabuhan ini di masa lalu. Keingintahuan penulis ini belum ada hasil
penelitian yang menjawabnya, sehingga penulis merasa tertarik untuk mencari tahu
Penelitian ini mengambil skop abad XIX hingga awal abad XX, yang dimulai
tahun 1825 sebagai periode awal penelitian. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan
bahwa Air Bangis diserahkan Inggris kepada pemerintahan Hindia Belanda secara
resmi pada tahun tersebut. Walaupun batasan awal penelitian dimulai pada tahun
1825, namun untuk melihat proses perkembangan ataupun perubahan yang terjadi di
Pelabuhan Air Bangis perlu adanya perbandingan pada masa sebelumnya yang perlu
dikaji. Diberlakukannya berbagai pajak oleh Pemerintah Belanda di akhir abad XIX,
keluarnya Tapanuli dari Gouvernement van Sumatras Westkust pada tahun 1905,
merupakan batasan akhir penelitian ini. Dalam rentang waktu akhir abad XIX dan
awal abad XX, telah terlihat kemunduran di Pelabuhan Air Bangis. Hal ini ditandai
dengan merosotnya produk ekspor dari daerah hinterland pelabuhan ini, yang
5
1.2 Rumusan Masalah
(seberang), dan market (pasar) dapat terjalin erat karena keberadaan pelabuhan.
tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri, sehingga perlu berdagang dengan
wilayah lain. Dari sinilah pelabuhan memainkan peranannya sebagai pintu masuk dan
hinterland dengan pasar. Dengan demikian neraca perdagangan menjadi hal yang
sangat penting bagi pertumbuhan Pelabuhan Air Bangis. Neraca perdagangan yang
dimaksud adalah kegiatan ekspor-impor dari dan ke Pelabuhan Air Bangis. Sejak
ditetapkan sebagai pelabuhan bebas dan terbuka oleh Pemerintah Hindia Belanda
pada tahun 1839, tidak hanya kapal pribumi dan pemerintah, namun juga kapal-kapal
berbendera asing mulai ramai singgah di Pelabuhan Air Bangis. Hal tersebut tentu
tidak bisa dilepaskan dari kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang ingin
menjadikan Pelabuhan Air Bangis pusat ekonomi dan politik di kawasan utara
1. Bagaimana kondisi Pelabuhan Air Bangis pada abad XVII dan XVIII?
6
3. Bagaimana perkembangan Pelabuhan Air Bangis dari tahun 1837 hingga
1890?
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah menjelaskan kondisi Pelabuhan
Air Bangis pada abad XVII dan XVIII. Menjelaskan alasan Pemerintah Belanda
menjadikan Pelabuhan Air Bangis sebagai pusat ekonomi di kawasan utara Pantai
Barat Sumatera. Menjelaskan perkembangan Pelabuhan Air Bangis dari tahun 1837
Sumatera Barat, yang titik fokusnya pada neraca perdagangan dan pelayaran
(aktivitas ekspor dan impor), sehingga dapat diungkapkan apa saja yang telah dicapai
Pelabuhan Air Bangis selama abad XIX hingga awal abad XX.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu: diharapkan akan
dengan sejarah ekonomi-maritim pada era kolonial. Lebih jauh lagi manfaat
penelitian ini adalah untuk menggambarkan peta jaringan perdagangan dan pelayaran
dari dan ke Pelabuhan Air Bangis pada periode tersebut, sehingga dapat digunakan
untuk menganalisis struktur dan alur perdagangan dan pelayaran di Pelabuhan Air
Bangis untuk percepatan kemajuan masyarakat pelabuhan pada masa sekarang ini dan
juga untuk mengkaji potensi-potensi yang ada di Pelabuhan Air Bangis selanjutnya.
7
1.4 Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai sejarah pelabuhan Air Bangis sudah pernah ada sebelumnya.
Informasi mengenai sejarah pelabuhan Air Bangis ditulis dalam Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Padang oleh suatu tim di bawah M. Nur dkk., Dinamika
Pelabuhan Air Bangis dalam Lintasan Sejarah Lokal Pasaman Barat (2004). Buku
ini menggambarkan dinamika Pelabuhan Air Bangis secara luas yang dimulai dari
asal-usul pelabuhan dan penduduk Air Bangis, Pelabuhan Air Bangis pada masa
kolonial Belanda hingga Air Bangis dewasa ini. Buku ini mencoba mengambarkan
peranan Pelabuhan Air Bangis pada abad XIX hingga kontemporer di Pantai Barat
permasalahan buku ini hampir sama dengan fokus penelitian penulis, namun buku ini
tidak menjawab isu yang penulis bahas. Buku ini tidak melihat perkembangan
Pelabuhan Air Bangis dalam aspek perdagangan dan pelayaran pada abad XIX secara
mendalam, padahal pada kurun waktu inilah masa kejayaan pelabuhan tersebut.
memahami inti permasalahan. Meskipun demikian buku karya M. Nur dkk. ini
penulis jadikan sebagai acuan awal dalam memahami Pelabuhan Air Bangis dan
Dalam bukunya Singgih Tri Sulistiyono yang berjudul Pengantar Sejarah Maritim
8
Indonesia (2004) menggambarkan dengan jelas tentang konsep maritim dengan
khususnya mengenai kota pelabuhan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini kegiatan
maupun kota itu sendiri tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan pelayaran dan
perdagangan.
modus dan tata cara perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Pola
perdagangan di sini adalah proses tukar menukar barang antara pedagang dengan
pembeli baik itu pribumi lokal, pribumi dari pulau lain, timur asing maupun
mancanegara. Dalam bukunya Gusti Asnan berjudul Dunia Maritim Pantai Barat
berbagai aspek sosial, politik, budaya, dan ekonomi dalam pelayaran dan
perdagangan di kawasan Pantai Barat Sumatera pada masa kolonial Belanda. Dalam
bukunya ini juga dijelaskan bagaimana pelabuhan-pelabuhan yang ada di Pantai Barat
Sumatera tumbuh dan berkembang, serta aktivitas ekspor dan impor yang terjadi di
sana dalam kurun waktu abad XIX. Pelabuhan Air Bangis pun tidak absen dalam
van Sumatras Westkust pada masa Hindia Belanda, walaupun hanya sebatas
9
penjelasan, bukan kajian secara mendalam tentang Pelabuhan Air Bangis. Akan tetapi
buku ini dapat memberikan informasi bagi peneliti mengenai pelayaran dan
wilayah lainnya.
melibatkan banyak pelaku baik individu maupun golongan. Orang-orang yang terlibat
dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan dikupas secara detail oleh Adrian B.
Lapian dalam bukunya yang berjudul Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah
Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (2011). Dalam buku ini digambarkan tentang
hubungan proses timbal balik antara yang disebut sebagai orang laut, bajak laut, dan
raja laut dalam perdagangan dan pelayaran di kawasan laut Sulawesi. Menurut Adrian
kawasan laut, baik itu dalam hal perniagaan maupun pelayaran pada suatu kawasan
laut, dan hal ini sebenarnya juga terjadi hampir diseluruh kawasan laut nusantara, dan
tidak menutup kemungkinan untuk Pelabuhan Air Bangis. Buku ini penulis jadikan
acuan dalam melihat bagaimana aktivitas orang-orang atau kelompok yang terlibat
pemerintahan kota Air Bangis untuk melihat dinamika pemerintahan yang terjadi dan
akibatnya terhadap perkembangan Pelabuhan Air Bangis tersebut. Dalam karya yang
10
ditulis oleh Gusti Asnan yang berjudul Pemerintahan Daerah Sumatera Barat Dari
VOC Hingga Reformasi (2006) dapat kita ketahui bagaimana dinamika pergantian
kepemimpinan di daerah Sumatera Barat termasuk di Air Bangis. Buku ini juga
utara Pantai Barat Sumatera. Buku ini dapat memberikan pemahaman bagi peneliti
Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847
Sumatera. Dalam bukunya ini diulas peranan masyarakat pedalaman (niaga kaum
pelabuhan Air Bangis juga pecah perang Paderi melawan Belanda. Selain itu
Christine Dobbin juga menjelaskan tentang budidaya tanaman kopi mulai digalakkan
sebagai komoditas ekspor utama kawasan ini setelah gerakan Paderi dapat ditumpas
kolonial Belanda. Buku ini dapat menjadi acuan bagi peneliti untuk mengetahui liku-
11
1.5 Metode Penelitian
penelitian. Metode penelitian adalah suatu cara atau aturan yang sistematis yang
mencari kebenaran dari sebuah permasalahan. Dalam menulis peristiwa sejarah pada
tentu harus menggunakan metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji
dan menganalisis secara kritis rekaman dan jejak-jejak peninggalan sejarah.6 Dalam
Metode yang dilakukan dalam heuristik adalah studi arsip, dan studi pustaka. Dalam
Badan Arsip Daerah Sumatera Barat di Kota Padang dan Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI) di Jakarta. Dalam melakukan studi pustaka penulis juga telah
6
Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI
Press, 1985, hal. 39.
12
Proses heuristik awal dilakukan di Kota Padang, Sumatera Barat pada tanggal
25 Januari 2015 30 Januari 2015. Hal pertama yang penulis lakukan di Kota Padang
yaitu mengunjungi Badan Arsip Daerah Sumatera Barat. Arsip-arsip yang tersedia
tergolong sedikit, karena telah banyak arsip daerah ini yang dibawa ke badan
pengelola arsip di Jakarta. Dalam studi arsip di Padang, penulis berhasil menemukan
beberapa arsip yang berkaitan dengan penelitian. Salah satu arsip ini adalah Senarai
Arsip Nationaal Archief Belanda, No. 69 a. Adapun keterkaitan arsip ini dengan
Daerah Sumatera Barat dan Perpustakaan Universitas Negeri Padang untuk mencari
sumber-sumber sekunder yang kiranya bisa dijadikan sebagai daftar referensi, namun
RI) yang berada di Jakarta. Penulis melakukan penelitian di Jakarta selama 15 hari
yang dimulai pertengahan bulan April 2015. Adapun proses pertama yang penulis
ANRI.
Hal pertama yang penulis kumpulkan adalah arsip-arsip dari Inventaris Arsip
Sumatras Westkust. Arsip Sumatras Westkust yang penulis pakai dalam tulisan ini
13
seperti Swk., No. 151/2, Vraagpunten over het Ayer Bangies, 1839, yang isinya
pelabuhan dagang skala besar di bagian utara Pantai Barat Sumatera. Arsip lainnya
seperti Swk. 125/7 tentang laporan umum Air Bangis, Swk. 125/6 tentang laporan
umum Sumatras Westkust, dan inventaris Swk. lainnya seperti laporan tahunan,
Selain arsip dari inventaris Swk. penulis juga menemukan beberapa besluit
1839, No. 1. Adapun isi dari besluit ini adalah Pembukaan Pelabuhan Air Bangis
Natal. Penulis juga menemukan arsip Algemene Secretarie: Grote Bundel Besluit
1891-1942, No. 1341, di dalam arsip ini ada rute jalan-jalan yang dibuat Pemerintah
Hindia Belanda dari Air Bangis ke daerah hinterland. Selain itu ada juga arsip
tahun dan nomor. Di perpustakaan nasional penulis juga mendapat banyak referensi
buku dan jurnal dalam kategori langka. Adapun referensi yang penulis kumpulkan
14
terakhir ini penulis menemukan beberapa jurnal yang penulis tidak dapatkan di
tahun 1825-1835 yang terdiri dari beberapa tahun terbit dalam jurnal BKI.
dokumen dan buku elektronik dari koleksi Perpustakaan KITLV-Leiden yang dapat
diakses melalui laman www.kitlv.nl. Sumber-sumber ini banyak penulis pakai karena
sejaman dengan temporal penelitian. Sumber-sumber ini seperti Overzigt van den
baik secara intern dan ekstern. Kritik ekstern dilakukan untuk menguji sumber guna
mengetahui otentisitas sumber. Dalam hal ini kritik menyangkut arsip atau dokumen
dengan cara memilah apakah dokumen itu diperlukan atau tidak serta menganalisis
apakah dokumen yang telah dikumpulkan asli atau tidak dengan mengamati tulisan,
gaya bahasa, ejaan maupun jenis kertas yang digunakan. Kritik intern merupakan
suatu langkah untuk menilai isi dari sumber-sumber yang telah dikumpulkan.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari
sumber tersebut.7 Proses kritik sumber ini dilakukan seiring dengan proses
menerjemahkan, karena sebagian besar sumber primer berbahasa asing seperti bahasa
7
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995, hal.
99-100.
15
Belanda, Inggris, dan ada juga bahasa Jerman. Untuk sumber sekunder sendiri sudah
terhadap sumber yang telah dikritik dan diverifikasi. Tahapan ini dilakukan dengan
cara menafsirkan fakta, dan membandingkannya sehingga akan diperoleh data yang
bentuk tulisan yang kritis, analitis dan bersifat ilmiah sehingga tahap akhir dalam
penulisan ini dapat dituangkan dalam bentuk skripsi dengan terlebih dahulu menulis
Hasil penelitian ini berupa skripsi yang terdiri atas beberapa bab, yang
spasial dan temporal. Selain itu terdapat juga tujuan dan manfaat dari skripsi ini, serta
penulisan skripsi ini. Skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan empat tahapan
16
pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi, dan terdapat pula
Bab Kedua membahas tentang kondisi Pelabuhan Air Bangis Sumatera Barat
Pada Abad XVII dan XVIII. Bab ini menggambarkan kondisi geografis pelabuhan
dan menjelaskan komposisi penduduk yang menetap di Pelabuhan Air Bangis. Bab
ini juga melihat hubungan antara Pelabuhan Air Bangis dengan daerah
penyangganya, baik daerah hinterland maupun foreland. Selain itu, bab ini juga
Aceh melakukan monopoli dagang di kawasan ini. Tidak hanya Kesultanan Aceh,
kawasan Pelabuhan Air Bangis, sehingga pergesekan antara Kesultanan Aceh, VOC,
Pelabuhan Air Bangis sebagai pusat ekonomi untuk kawasan utara Pantai Barat
Sumatera, yang digambarkan dalam hegemoni Belanda dalam aktivitas pelayaran dan
dan Pelabuhan Air Bangis dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi untuk
Bab Keempat merupakan bab inti dari penelitian ini. Bab ini membahas
tentang perkembangan Pelabuhan Air Bangis dari tahun 1837 hingga 1890.
17
Perkembangan ini bisa dilihat dalam pembangunan fasilitas pelabuhan untuk
pajak yang diberlakukan pemerintah untuk mendapat keuntungan yang besar dan juga
melihat peran pengusaha dalam pelayaran dan perdagangan di wilayah tersebut baik
dalam dunia pelayaran dan perdagangan Pantai Barat Sumatera. Proses kemunduran
ini dijabarkan dalam beberara faktor seperti pengaruh topografi Pelabuhan Air
Bab Keenam merupakan bab akhir dari penelitian ini. Bab ini memaparkan
kesimpulan dari uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, serta terdapat
saran dari penulis dalam pengembangan Pelabuhan Air Bangis untuk masa
mendatang.
18