Anda di halaman 1dari 25

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 42 tahun
Alamat : Tayemtimur RT 001/004 Karangpucung
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 25 Juni 2016
No. CM : 00244286

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : jari-jari tangan dan kaki menghitam
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan dari RSUD Majenang datang ke Klinik Kulit dan
Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada tanggal 24
Juni 2016 dengan keluhan jari-jari pada kedua tangan dan kaki
menghitam disertai dengan luka. Keluhan kehitaman pada jari-jari tangan
hingga sebatas pergelangan tangan, sedangkan pada jari-jari kaki hingga
sebatas tungkai bawah dan sedikit pada tungkai atas. Keluhan muncul
sejak 6 hari yang lalu dan semakin berat. Keluhan sangat mengganggu
pasien hingga pasien sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien
sudah menjalani pengobatan di RSUD Majenang selama 5 hari tetapi
keluhan tidak membaik.
Menurut keterangan pasien, pasien pernah menjadi tenaga kerja
wanita di Singapura 16 tahun yang lalu selama 2 tahun. Enam tahun yang
lalu pasien pernah mengalami demam tinggi disertai dengan munculnya
lenting-lenting pada kedua kulit kaki hingga tungkai dan kemudian
menyebar ke kedua tangan serta wajah. Lenting-lenting tidak terasa gatal
maupun nyeri. Sejak 6 tahun yang lalu, pasien mengalami kerontokan
pada kedua alisnya. Hidung pasien sempat membesar sebesar buah jambu
air kemudian mengempis dan timbul perdarahan. Demam kemudian turun
dan keluhan lain membaik.
Enam hari yang lalu pasien mengalami demam tinggi sehingga
dirawat di RSUD Majenang. Selama 5 hari perawatan, pasien mengaku
jari-jari pada keempat anggota geraknya menjadi biru dan kemudian

1
menghitam, disertai dengan luka. Pasien merasakan kulitnya terasa kebas
dari ujung kaki hingga paha, dan dari ujung tangan hingga lengan atas.
Namun terkadang pasien merasakan nyeri pada luka. Selain itu pasien
mengalami mual dan muntah darah, pusing, serta mimisan. Kemudian
pasien dirujuk ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Saat
ini pasien tidak merasakan adanya keluhan demam, pusing, mual,
maupun muntah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat keluhan yang sama disangkal
b. Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
c. Riwayat kencing manis disangkal
d. Riwayat penyakit jantung disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal disangkal
f. Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
a. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal
b. Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
c. Riwayat kencing manis disangkal
d. Riwayat penyakit jantung disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal disangkal
f. Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, 16 tahun yang lalu pasien
pernah menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja di
Singapura selama dua tahun.

C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Gizi : BB : 54 kg
TB : 150 cm
IMT : 24 kg/m2 (normoweight)
Vital sign : TD : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 oC
Kepala : Mesocephal, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor 3 mm/3 mm, madarosis silia
Hidung : Deformitas (+), bekas perdarahan (+)

2
Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut kering, sianosis(-)
Tenggorokan : T1-T1, tidak hiperemis
Thorax : Simetris, Retraksi (-)
Jantung : BJ I-II reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD Vesikuler (+/+), wh (-/-), rbh (-/-), rbk (-/-)
Abdomen : Datar, BU (+) N, timpani, supel
Kelenjar Getah Bening : Tidak terdapat pembesaran
Ekstremitas : deformitas ( ), akral hangat, edema ( )
baal ( )

Gambar 1.1. Klinis Wajah Ny. E

Status Dermatologis
Regio : manus dextra et sinistra, femur dextra et sinistra, cruris
dextra et sinistra, pedis dextra et sinistra
Efloresensi : makula hiperpigmentasi multiple, polimorfik, difus di atas
kulit yang eritem, disertai erosi, ekskoriasi, serta krusta
kekuningan

3
Gambar 1.2. Regio Manus Dextra et Sinistra

Gambar 1.3. Regio Cruris Dextra et Sinistra

4
Gambar 1.4. Regio Pedis Dextra et Sinistra

D. Resume
1. Pasien perempuan berusia 42 tahun dengan keluhan jari-jari pada kedua
tangan dan kaki menghitam sejak 6 hari yang lalu. Keluhan disertai
dengan luka yang terasa kebas, namun terkadang terasa nyeri. Keluhan
dirasakan sangat mengganggu hingga pasien sulit melakukan aktivitas
sehari-hari. Pasien sudah menjalani pengobatan di RSUD Majenang
selama 5 hari tetapi keluhan tidak kunjung membaik. Pasien memiliki
riwayat demam tinggi, muncul lenting-lenting pada keempat anggota
gerak dan wajah, muntah darah, hidung membesar disertai perdarahan,

5
pusing, dan juga kerontokan pada kedua alis. Pasien pernah menjadi
tenaga kerja wanita di Singapura selama 2 tahun sekitar 16 tahun yang
lalu.
2. Riwayat keluhan yang sama, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit
jantung, penyakit ginjal, maupun alergi disangkal.
3. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama, hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, maupun alergi disangkal.
4. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kelainan berupa madarosis silia,
deformitas dan bekas perdarahan pada hidung, terdapat deformitas pada
keempat ekstremitas disertai dengan edema dan perasaan baal.
5. Status dermatologis pada regio manus dextra et sinistra, femur dextra et
sinistra, cruris dextra et sinistra, serta pedis dextra et sinistra terdapat
makula hiperpigmentasi multiple, polimorfik, difus di atas kulit yang
eritem, disertai erosi, ekskoriasi, serta krusta kekuningan.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Tabel 1.1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 24 Juni 2016 di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Pemeriksaan Hasil Interpretasi
Hemoglobin 5,2 gr/dL Low
Leukosit 8340 U/L Normal
Hematokrit 17 % Low
Eritrosit 2,5.10^6/uL Low
Trombosit 81.000/uL Low
Total protein 8,37 gr/dL High
Globulin 6,64 gr/dL High
Albumin 1,73 gr/dL Low
SGOT 54 U/L High
SGPT 14 U/L Low
Ureum darah 70,6 mg/dL High
Kreatinin 1,16 U/L Normal

2. Pemeriksaan mikrobiologi (pada telinga kanan, telinga kiri, tangan kanan,


dan tangan kiri)
a) BTA (+)
b) Leukosit (+)
c) Epitel (+)

F. Diagnosis Kerja
Morbus Hansen tipe Multi Basiler

6
Anemia berat

G. Tatalaksana
1. Nonmedikamentosa
a. Bed rest
b. Memberikan edukasi kepada pasien tentang penyakit kusta.
c. Mencegah iritasi pada daerah yang hipestesi
d. Menjaga kebersihan kulit
e. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengonsumsi makanan yang
bergizi.
f. Menjelaskan kepada pasien tentang penularan, pengobatan dan
komplikasi penyakit kusta.
g. Meminta anggota keluarga pasien untuk memonitor pasien minum
obat.
2. Medikamentosa
a. IVFD RL 20 tpm
b. MDT MB selama 12-18 bulan
1) Hari ke-1
a) Rifampisin tablet 600 mg dosis tunggal (diminum 1x/bulan di
depan petugas kesehatan)
b) Dapsone tablet 100 mg dosis tunggal (diminum 1x/bulan di
depan petugas kesehatan)
c) Clofazimine kaplet 100 mg dosis tunggal (diminum 1x/bulan
di depan petugas kesehatan)
2) Hari ke 2-28 setiap bulan
a) Dapsone tablet 100 mg 1x1 tab
b) Clofazimine kaplet 50 mg 1x1 kaplet
c. Antibiotik sistemik : Injeksi ceftriaxone 2 x 1 ampul (iv)
d. Steroid sistemik : Injeksi metilprednisolone 125 mg 0 125 mg (iv)
e. Antiemetik : Injeksi ranitidine 2 x 1 ampul (iv)
f. Analgetik : Natrium diclofenac tablet 2 x 50 mg
g. Sulfas ferosus tablet 300 mg 3 x 1 tablet
h. Vitamin B1, B6, dan B12 (neurodex) 1x1 tablet
i. Perawatan luka :
1) Kompres NaCl 2x sehari pada luka di jari-jari tangan dan kaki.
2) Antibiotik topikal : asam fusilat krim 2% 2x sehari dioles pada
luka di jari-jari tangan dan kaki.
3) Kortikosteroid topikal : Desoksimetason salep 0,25% 2x sehari
dioles pada luka di jari-jari tangan dan kaki.

H. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam

7
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun
1874 menemukan kuman penyebab kusta, sehingga penyakit ini disebut
Morbus Hansen. Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous
kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae,
terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun dapat
juga terjadi pada sistem pernapasan bagian atas, mata,
kelenjar getah bening, testis dan sendi-sendi (Klauss et al.,
2007; Kosasih et al., 2011).

B. Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum
determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai
tipe, yaitu (Klauss et al., 2008):
1. TT: Tuberkuloid polar
2. Ti: Tuberkuloid indefinite
3. BT: Borderline Tuberculoid
4. BB: Mid Borderline
5. BL: Borderline Lepromatous

8
6. Li: Lepromatosa indefinite
7. LL: Lepromatosa polar
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid
100%, tipe yang stabil sehingga tidak mungkin berubah tipe.
Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%. Tipe antara Ti dan Li disebut tipe
borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak
lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang
labil, berarti dapat beralih tipe baik ke arah TT maupun LL
(Klauss et al., 2008).
Menurut WHO (1981 dan modifikasi tahun 1988), kusta
dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB).
Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks
biopsi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL,
dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar
mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari +2, yaitu
tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping (Klauss et al.,
2008).

C. Epidemiologi
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham
penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja (Lewis, 2010).
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan
karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau.
Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia
diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat.
Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang
diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk
menyebarkan agamanya dan berdagang (Kosasih et al., 2011; Lewis, 2010).

9
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di
Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini
membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai
eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh World Health Organisation
yaitu tahun 2000.

D. Etiologi dan Faktor Risiko


Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh G. A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Mycobacterium
leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 m x 0,5 m, tahan asam dan
alkohol, berjenis Gram positif. Di luar tubuh dapat hidup selama 2-9 hari.
Masa pembelahan atau generation time rata-rata 20 hari (Kosasih et al.,
2011).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit


kusta, antara lain (Smith, 2011):
1. Ras
Ras Asia terutama negara tropis seperti Indonesia merupakan daerah
endemik kusta.
2. Jenis Kelamin
Kusta pada umumnya lebih sering mengenai pria daripada wanita dengan
perbandingan 1,5 : 1.
3. Usia
Kusta dapat mengenai semua orang pada semua usia, tetapi pada
umumnya di negara berkembang termasuk Indonesia, anak-anak usia di
bawah 10 tahun lebih rentan terkena kusta. Kusta jarang mengenai
infants, namun dapat berisiko tinggi pada ibu hamil yang menderita kusta
pada tipe tertentu.

E. Patofisiologi
M. leprae masuk ke dalam lapisan kulit dimana terdapat
phenolicglycolipid-1 (PGL-1) PGL-1 + laminin 2 di lamina basalis pada
akson sel Schwann di SST demyelinisasi sel Schwann M.leprae
bergabung dengan ikatan demyelinisasi sel Schwann demyelinisasi
menjadi cepat kompleks cell-mediated immunity inflamasi sitokin
IL-2, IL-12, IFN manifestasi klinis lepra (Stephen et al., 2006).

10
Prinsip transmisi dari kusta adalah lewat udara yang
tersebar dari sekresi nasal yang terinfeksi ke mukosa nasal
dan mulut. Kusta secara umum tidak disebabkan oleh kontak
langsung dari kulit yang intak. Periode inkubasi dari kusta
adalah 6 bulan hingga 40 tahun atau lebih, dengan rata-rata
4 tahun untuk tipe tuberkuloid dan 10 tahun untuk tipe
lepromatous (Lewis, 2010).
Area yang sering terkena kusta adalah saraf perifer
superfisial, kulit, membran mukosa dari saluran napas atas,
ruang anterior mata, dan testis. Area-area tersebut
merupakan bagian yang dingin dari tubuh (Lewis, 2010).
Kerusakan jaringan tergantung pada sistem imunitas seluler,
tipe penyebaran bakteri, adanya komplikasi reaksi kusta, dan
kerusakan saraf. Afinitas pada sel Schwann, mycobacteria
berikatan dengan Domain G rantai alpha laminin 2 yang
ditemukan pada saraf perifer di lamina basal. Replikasi di
dalam sel ini menyebabkan respon sistem imunitas seluler
yang menyebabkan reaksi inflamasi, antara lain
pembengkakan perineureum, iskemia, fibrosis, dan kematian
akson (Kosasih et al., 2011).
Kekuatan dari sistem imun hospes mempengaruhi
manifestasi klinis dari kusta. Cell-mediated immunity
(interferon-gamma, interleukin (IL)-2) yang kuat dengan
respon humoral yang lemah akan menyebabkan bentuk yang
ringan dari penyakit ini, sedangkan respon humoral yang
kuat (IL-4, IL-10) dengan cellmediated immunity yang lemah
atau tidak ada akan menyebabkan bentuk lepromatous
dengan lesi yang luas, mengenai kulit dan saraf secara
ekstensif, dan kadar bakteri yang banyak (Kosasih et al.,
2011). Sistem imunitas selular (SIS) yang baik akan tampak
gambaran ke arah tuberkuloid, sedangkan SIS rendah
memberikan gambaran lepromatosa (Klauss et al., 2008).

11
Pada kusta tipe LL atau pada kelompok kusta MB, terjadi
kelumpuhan sistem imunitas seluler sehingga makrofag tidak
mampu menghancurkan kuman kemudian kuman
bermultiplikasi dengan bebas dan merusak jaringan. Pada
kusta tipe TT atau pada kelompok PB terjadi sebaliknya,
kemampuan imunitas selular tinggi sehingga makrofag
mampu menghancurkan kuman. Setelah kuman difagositosis,
makrofag berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu
membentuk sel datia Langhans. Massa epiteloid dapat
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya
(Kosasih et al., 2011).

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ada pada penyakit kusta, antara lain:
1. Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi)
yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa. Gejala
pada kulit, penderita kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol kecil
berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar
berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul
di hidung hingga menyebabkan perdarahan (Lewis, 2010).
2. Penebalan saraf tepi. Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada
anggota badan atau bagian tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat
radang syaraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan tangan berubah
bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat serangan penyakit ini. Penderita
merasa demam akibat reaksi penyakit tersebut (Lewis, 2010).
Selain itu, terdapat tiga tanda utama (Cardinal Sign) pada penyakit
kusta, antara lain (Depkes RI, 2007):
1. Kelainan pada kulit pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih
(hipopigmentasi) atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa.
2. Penebalan saraf tepi dengan gangguan sensasi di area lesi
3. Pada pemeriksaan apusan kulit (skin smear) ditemukan adanya Basil
Tahan Asam (BTA)
Keluhan utama biasanya sebagai akibat dari kelainan saraf tepi berupa
bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot
dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis

12
yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang,
mata, dan testis. Gambaran klinis berdasarkan klasifikasi kusta menurut
Ridley dan Jopling:
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf, jumlah lesi bisa satu
atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan
pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central
healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat
disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan
sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya
respon imun host yang adekuat terhadap kuman kusta (Kosasih et al.,
2011; Lewis, 2010).

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)


Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau
plakatyang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu
ataubeberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau
skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT
dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
perifer yang menebal (Kosasih et al., 2011; Lewis, 2010).
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai
bentuk dismorfik danjarang dijumpai.Lesisangat bervariasi, dapat
berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas
lesi kurang jelas.Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi
hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas (Kosasih et
al., 2011; Lewis, 2010).
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan
dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul
dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan
beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian
tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa

13
tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat
muncul dibandingkan dengan tipe LL (Kosasih et al., 2011; Lewis, 2010).
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus,
lebih eritematus, mengkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini
tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di
daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di
badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung
tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan
kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis,
iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan
orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang
luas menyebabkan gejala stocking and gloves anesthesia dan pada
stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin
atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan
kaki (Kosasih et al., 2011; Lewis, 2010).
Ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan
Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe
Intermediate (I). Lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit
sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor
ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula
hipestesia atau sedikit penebalan saraf (Kosasih et al., 2011; Lewis, 2010).
Deformitas dapat terjadi pada kusta, dibagi berdasarkan
patofisiologinya, yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai
akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.
leprae yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa
traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder
terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan
keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf (Kosasih et al., 2011;
Lewis, 2010).
Gejala kerusakan saraf pada n. ulnaris adalah anestesia pada ujung jari
anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan
atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.

14
Kerusakan n. medianus mengakibatkan anestesia pada ujung jari bagian
anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari,
clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi
otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral. Gejala kerusakan n. radialis
adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan
tangan. Gejala pada kerusakan n. poplitea lateralis adalah anestesi tungkai
bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan
kelemahan otot peroneus. Gejala pada kerusakan n. tibialis posterior adalah
anestesi telapak kaki, claw toes dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps
arkus pedis. Gejala pada kerusakan n. fasialis adalah cabang temporal dan
zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta
servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir. Gejala pada kerusakan n. trigeminus adalah anestesi kulit
wajah, kornea dan konjungtiva mata (Kosasih et al., 2011; Lewis, 2010).
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya n. facialis yang
menyebabkan paralisis orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan
bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri atau bersama-sama akan
menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang
terdiri atas kelenjar keringat, minyak dan folikel rambut dapat mengakibatkan
kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia
akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus seminiferus testis (Kosasih et al., 2011; Lewis,
2010).
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang
titandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk
nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif
tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape resistent.
Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan

15
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena
kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak
adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya (Kosasih et al., 2011; Lewis,
2010).
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam
yang tidak begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple
small satellite skin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf.
Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat. Pada reaksi
kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ
tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat
(Kosasih et al., 2011; Lewis, 2010).
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk
tidak teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura,
bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan
terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan nekrosis
epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak
basil M. leprae di endotel kapiler (Kosasih et al., 2011; Lewis, 2010).
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang
nyeri tekann dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan
selama satua atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat
terjadi demam, limfadenopati, dan arthralgia (Kosasih et al., 2011; Lewis,
2010).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Histopatologi
Pemeriksaan ini membutuhkan potongan jaringan yang didapat
dengan cara biopsi dengan pisau atau punch. Jaringan yang telah
dipotong dimasukkan ke dalam larutan fiksasi (formalin 10% atau
formalin buffer) supaya menjadi keras dan sel-selnya mati. Selanjutnya
dikirim ke laboratorium untuk dilakukan pengolahan dan pemeriksaan
(Kosasih et al., 2011).
2. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari

16
kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan
Ziehl Nielson. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae (Kosasih et al.,
2011).
Pemeriksaan bakteriologi untuk menentukan indeks bakteriologi
(IB) dan indeks morfologi (IM). Pemeriksaan ini penting untuk
menentukan pengobatan dan adanya resistensi pengobatan (Siregar,
2005).
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri /IB) dengan nilai dari 0
sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang
pandang (LP):
a. 1+ Bila 1-10 BTA dalam 100 LP
b. 2+ Bila 1-10 BTA dalam 100 LP
c. 3+ Bila 1 10 BTA rata-rata dalam 1 LP
d. 4+ bila 11 100 BTA rata-rata dalam 1 LP
e. 5+ Bila 101 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
f. 6+ Bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak
emersi pada perbesaran lensa objektif 100 x. IB seseorang adalah IB rata-
rata semua lesi yang dibuat sediaan (Kosasih et al., 2011). Indeks
Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid (Kosasih et al., 2011).
3. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi
antiphenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35
kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoatabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.
tuberculosis (Kosasih et al., 2011).
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah (Kosasih et al.,
2011):
a. Uji MLPA (Mycobacterium leprae Particle Agglutination)
b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay)
c. ML dipstick (Mycobacterium leprae dipstick)
4. Tes lepromin

17
Tes lepromin adalah tes nonspesifik untuk klasifikasi dan prognosis
kusta tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan
sistem imun penderita terhadap M. leprae. Sebanyak 0,1 ml lepromin
dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.
Kemudian dibaca setelah 48 jam/2hari (reaksi Fernandez) atau 3-4
minggu (reaksi Mitsuda). Pada kusta tipe tuberkuloid didapatkan hasil tes
lepromin positif kuat sedangkan pada kusta tipe lepromatose didapatkan
hasil tes lepromin negatif (Graham-Brown & Tony, 2005; Kosasih et al.,
2011).

H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding kusta pada lesi makula antara lain vitiligo, pitiriasis
versikolor, ptiriasis alba, tinea korporis. Diagnosis banding kusta pada lesi
papul antara lain granuloma annulare, lichen planus, dan sebagainya.
Diagnosis banding kusta pada lesi plak antara lain tinea korporis, pitiriasis
rosea, psoriasis, dan sebagainya. Diagnosis banding kusta pada lesi nodul
antara lain acne vulgaris neurofibromatosis dan sebagainya. Lesi saraf juga
terdapat pada amyloidosis diabetes, trachoma, dan sebagainya (Kosasih et
al., 2011; Zulkifli, 2003).

I. Penatalaksanaan
1. Nonmedikamentosa (Kosasih et al., 2011)
a. Beristirahat selama sakit mengingat perjalanan penyakit yang dialami
pasien dapat mengarah ke kondisi yang lebih buruk
b. Menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan.
c. Makan makanan dengan gizi seimbang secara teratur.
d. Lindungi kaki dengan memakai sepatu/sandal yang wajar, karena
telapak kaki adalah tempat yang khas untuk penyakit kusta.
e. Perlunya ketaatan dalam pengobatan oleh pasien.
f. Perlunya kontrol penyakit secara teratur di Puskesmas atau Klinik
Penyakit Kulit dan Kelamin.
g. Edukasi terhadap pasien dan keluarga.
2. Medikamentosa
Pengobatan yang direkomendasikan WHO pada penderita kusta
Multi-Basiler ( MB ) dengan menggunakan regimen MDT. MDT atau
multi drug therapy adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta yang
bersifat bakteriostatik dan bakteriosida (Santoso, 2011).

18
a. Tujuan MDT adalah:
1) Memutus mata rantai penularan
2) Kesembuhan pasien
3) Mencegah kecacatan atau cacat lanjutan
b. Menurut WHO, dosis pada lepra multibasiler ini dibedakan
berdasarkan usia :
1) Dewasa
a) Dipakai secara bulanan, yaitu :
- 2 kapsul rifampisin 300 mg
- 3 tablet lampren 100 mg
- 1 tablet dapsone 100 mg
b) Harian (hari ke 2-28), yaitu:
- 1 tablet lampren 50 mg
- 1 tablet dapsone 100 mg
- 1 blister
2) Anak, dosis berdasarkan BB anak
a) Rifampisin 10 mg/kgBB
b) DDS 2 mg/kgBB
c) Clofamizin 1mg/kgBB
3) Obat penunjang lainnya, adalah
a) Sulfat ferosus untuk mengatasi anemia sebagai efek samping
obat dapsone.
b) Vitamin A
c) Vitamin C
d) Vitamin B complex
e) Neurotropik
3. Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh
ialah antara lain dengan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak
sempurna, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara
lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan kerja yang sesuai
cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa
percaya diri, selain itu dapat pula dilakukan terapi psikologik (kejiwaan)
(Kosasih et al., 2011).

J. Pengobatan Reaksi Kusta


1. Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara
lain prednison. Dosisnya bergantung pada berta ringannya reaksi,
biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat
reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu
ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya

19
diturunka secara bertahap samapai berhenti sama sekali (Kosasih et al.,
2011).
2. Pengobatan reaksi reversal
Reaksi reversal yang tidak disertai dengan neuritis didak perlu
pengobatan tambahan. Jika ada neuritis akut, obatpilihan pertama adalah
kortikosteroid dengan dosis yang disesuaikan dengan berat ringannya
neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian
diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang terkena neuritis akut
harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa dapat diberikan apabila
diperlukan (Kosasih et al., 2011).

K. Prognosis dan Komplikasi


Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit
adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada
tangan dan kaki. Hal ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis,
ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan
rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary myloidosis dengan gagal
ginjal dapat menjadi komplikasi.
Kusta adalah penyakit dapat disembuhkan dengan inisiasi dan
penyelesaian MDT (Multi Drug Therapy). Pengobatan dengan MDT dapat
mencegah kerusakan dan kecacatan neurologis yang berhubungan dengan
kusta. Prognosis tergantung pada stadium penyakit pada saat diagnosis, serta
pada inisiasi dan sesuai dengan MDT, perubahan warna kulit dan kerusakan
pada kulit umumnya bertahan bahkan setelah pengobatan dengan MDT.
Perkembangan gangguan neurologis dapat dibatasi dengan MDT. Secara
umum, bagaimana pun, ada pemulihan parsial atau tidak dari kerusakan
neurologis sudah menderita (kelemahan otot dan hilangnya sensasi). Relapse
atau kambuhnya kembali kusta setelah pengobatan dengan MDT biasanya
jarang terjadi, dan jarang juga berakhir dengan kematian. Namun bila tidak
ditangani lebih dini maka bisa terjadi komplikasi seperti :
1. Kulit borok (ulkus)
2. Infeksi sekunder pada ulkus
3. Kerusakan mata (kebutaan, katarak)

20
BAB III
PEMBAHASAN

A. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis penyakit kusta pada kasus ini didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan
anamnesis diketahui bahwa pasien adalah seorang perempuan berusia 42
tahun yang datang ke Klinik Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo dengan keluhan jari-jari pada kedua tangan dan kaki menghitam
sejak 6 hari yang lalu. Keluhan disertai dengan luka yang terasa kebas,
namun terkadang terasa nyeri. Keluhan dirasakan sangat mengganggu hingga
pasien sulit melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien sudah menjalani
pengobatan di RSUD Majenang selama 5 hari tetapi keluhan tidak kunjung
membaik. Pasien memiliki riwayat demam tinggi, muncul lenting-lenting
pada keempat anggota gerak dan wajah, muntah darah, hidung membesar
disertai perdarahan, pusing, dan juga kerontokan pada kedua alis. Pasien

21
pernah menjadi tenaga kerja wanita di Singapura selama 2 tahun sekitar 16
tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya kelainan berupa
konjungtiva anemis pada kedua mata, kerontokan pada alis kedua mata,
deformitas pada hidung yang disertai dengan bekas perdarahan, dan adanya
deformitas serta edema pada keempat ekstremitas. Adapun kelainan kulit
yang didapatkan pada regio manus dextra et sinistra, femur dextra et sinistra,
cruris dextra et sinistra, serta pedis dextra et sinistra berupa makula
hiperpigmentasi multiple, polimorfik, difus di atas kulit yang eritem, disertai
erosi, ekskoriasi, serta krusta kekuningan. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah dan mikrobiologi pada pasien. Hasil
pemeriksaan darah menunjukkan bahwa pasien memiliki hemoglobin yang
rendah (5,2 gr/dL) atau < 6,0 gr/dL sehingga diklasifikasikan ke dalam
anemia berat. Hasil pemeriksaan mikrobiologi pada telinga kanan dan kiri,
serta tangan kanan dan kiri didapatkan hasil BTA (+).
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, dapat ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah morbus
Hansen. Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat diketahui tipe
morbus Hansen yang diderita oleh pasien ini adalah tipe multibasiler.

B. Penatalaksanaan
1. Nonmedikamentosa
a. Bed rest
b. Memberikan edukasi kepada pasien tentang penyakit kusta.
c. Mencegah iritasi pada daerah yang hipestesi
d. Menjaga kebersihan kulit
e. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengonsumsi makanan yang
bergizi.
f. Menjelaskan kepada pasien tentang penularan, pengobatan dan
komplikasi penyakit kusta.
g. Meminta anggota keluarga pasien untuk memonitor pasien minum
obat.
2. Medikamentosa
a. IVFD RL 20 tpm
b. MDT MB selama 12-18 bulan
1) Hari ke-1
a) Rifampisin tablet 600 mg dosis tunggal (diminum 1x/bulan di
depan petugas kesehatan)

22
b) Dapsone tablet 100 mg dosis tunggal (diminum 1x/bulan di
depan petugas kesehatan)
c) Clofazimine kaplet 100 mg dosis tunggal (diminum 1x/bulan
di depan petugas kesehatan)
2) Hari ke 2-28 setiap bulan
a) Dapsone tablet 100 mg 1x1 tab
b) Clofazimine kaplet 50 mg 1x1 kaplet
c. Antibiotik sistemik : Injeksi ceftriaxone 2 x 1 ampul (iv)
d. Steroid sistemik : Injeksi metilprednisolone 125 mg 0 125 mg (iv)
e. Antiemetik : Injeksi ranitidine 2 x 1 ampul (iv)
f. Analgetik : Natrium diclofenac tablet 2 x 50 mg
g. Sulfas ferosus tablet 300 mg 3 x 1 tablet untuk mengatasi anemia
sebagai efek samping obat dapsone.
h. Vitamin B1, B6, dan B12 (neurodex) 1x1 tablet sebagai
neuroprotektor.
i. Perawatan luka :
1) Kompres NaCl 2x sehari pada luka di jari-jari tangan dan kaki.
2) Antibiotik topikal : asam fusilat krim 2% 2x sehari dioles pada
luka di jari-jari tangan dan kaki.
3) Kortikosteroid topikal : Desoksimetason salep 0,25% 2x sehari
dioles pada luka di jari-jari tangan dan kaki.

C. Prognosis
Umumnya penyakit kusta tidak menimbulkan kematian. Pada kasus ini
prognosis penyakit kusta :
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : dubia ad malam

23
BAB IV
KESIMPULAN

1. Morbus Hansen atau lepra atau kusta adalah suatu penyakit infeksi
granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang
terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun juga dapat terjadi
pada sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening, testis,
dan sendi-sendi.
2. Diagnosis morbus Hansen tipe multibasiler dan anemia berat pada pasien
E ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan.
3. Tatalaksana pada pasien E meliputi tatalaksana nonmedikamentosa dan
medikamentosa sesuai dengan pedoman penatalaksanaan kusta tipe
multibasiler.
4. Umumnya kusta tidak menimbulkan kematian, namun apabila penyakit ini
tidak dideteksi dan ditatalaksana sejak dini, akan menimbulkan suatu
kecacatan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI

Graham-Brown, R., Tony B. 2005. Infeksi Bakteri dan Virus dalam


Dermatologi: Catatan Kuliah Edisi 8. Jakarta: Erlangga

Klauss, W., Doldsmith S., Barbara. 2008. Fitzpatricks


Dermatology in General Medicine 7th ed. USA: McGraw Hill
p.1788-96

Klauss, W., Johnson RA., Suurmond D. 2007. Fitzpatrick's Color


Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5 th ed. USA:
McGraw-Hill p.665-671

Kosasih, A., Wisnu IM., Sjamsoe-Daili ES., Menaldi SL. 2011. Kusta dalam Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia hlm. 73-88

Lewis, FS. 2010. Leprosy. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview

Santoso, B. 2011. Hubungan Faktor Kepadatan Hunian, Perilaku Kesehatan,


Sosial Ekonomi dengan Penderita Penyakit Kusta di Kecamatan Tirto.
Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang

Siregar, RS. 2005. Dermatitis Numularis dalam Atlas Berwarna Saripati Penyakit
Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC

Smith, DS. 2011. Leprosy. America: Stanford University Refference WebM


WebMD LCC, MedScape. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/220455-overview#showall

Stephen, T., Omar L., Ulrich R. 2006. Leprosy dalam Tropical Dermatology.
China: Elsevier inc.

Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. Medan:


Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

25

Anda mungkin juga menyukai