Mal Nutri Si
Mal Nutri Si
Rahajeng)
Gambar 1.
Pemberian makanan tambahan sebagai pendamping ASI dimulai saat anak berusia
6 bulan dengan tetap memberikan ASI. Pemberian makanan tambahan ASI
dinaikkan bertahap dari segi jumlah, frekuensi pemberian, dan jenis dan
konsistensi makanan yang diberikan. Untuk anak yang mendapatkan ASI, rata-
rata makanan tambahan yang harus diberikan 2-3 kali/hari untuk usia 6-8 bulan,
3-4 kali/hari untuk usia 9-11 bulan dan 4-5 kali/hari usia 12-24 bulan.[4] Jika
densitas dalam makanan rendah atau anak tidak lagi mendapatkan ASI mungkin
diperlukan frekuensi makan yang lebih sering. Variasi makanan diberikan untuk
memenuhi kebutuhan nutrien. Daging, ayam, ikan atau telur harus diberikan
setiap hari atau sesering mungkin. Demikian pula buah dan sayuran, sebaiknya
diberikan setiap hari. Kegagalan untuk menyediakan asupan makanan sesuai
angka kebutuhan ini secara terus-menerus akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan.[5]
Cara pemberian makanan yang salah dapat dapat disebabkan karena ibu tidak
memiliki pengetahuan yang cukup, misalnya mengenai pemberian ASI eksklusif
maupun cara pemberian makanan pendamping ASI. Ibu seharusnya mendapatkan
informasi yang lengkap dan obyektif mengenai cara pemberian makanan yang
bebas dari pengaruh komersial. Mereka perlu mengetahui masa pemberian ASI
yang dianjurkan; waktu dimulainya pemberian makanan tambahan; jenis makanan
apa yang harus diberikan, berapa banyak dan berapa sering makanan diberikan,
dan bagaimana cara memberikan makanan dengan aman.[6]
Kematian akibat penyakit dapat disebabkan salah satu atau kombinasi dari
berbagai penyebab lain seperti rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan,
kurangnya suplai air bersih dan fasilitas sanitasi, kurangnya kebersihan makanan
serta pengasuhan anak yang tidak memadai. Pengasuhan anak yang tidak
memadai sendiri dapat dikarenakan ibu bekerja sehingga ibu juga memiliki lebih
sedikit waktu untuk memberi makan anaknya.
Secara klinis, malnutrisi dinyatakan sebagai gizi kurang dan gizi buruk. Gizi
kurang belum menunjukkan gejala khas, belum ada kelainan biokimia, hanya
dijumpai gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan dapat terjadi dalam
waktu singkat dan dapat terjadi dalam waktu yang cukup lama. Gangguan
pertumbuhan dalam waktu yang singkat sering terjadi pada perubahan berat badan
sebagai akibat menurunnya nafsu makan, sakit seperti diare dan ISPA, atau karena
kurang cukupnya makanan yang dikonsumsi. Sedangkan gangguan pertumbuhan
yang berlangsung lama dapat terlihat pada hambatan pertambahan panjang badan.
Pada gizi buruk disamping gejala klinis didapatkan pula kelainan biokimia yang
khas sesuai bentuk klinis. Pada gizi buruk didapatkan 3 bentuk klinis yaitu
kwashiorkor, marasmus,dan marasmus kwashiorkor. Kwashiorkor adalah
gangguan gizi karena kekurangan protein biasa sering disebut busung lapar. Gejala
yang timbul diantaranya adalah edema di seluruh tubuh terutama punggung kaki,
wajah membulat dan sembab, perubahan status mental: rewel kadang apatis,
menolak segala jenis makanan (anoreksia), pembesaran jaringan hati, rambut
kusam dan mudah dicabut, gangguan kulit yang disebut crazy
pavement,pandangan mata tampak sayu. Pada umumnya penderita sering rewel
dan banyak menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran
yang menurun.[9],[10]
[3] Hardinsyah, Tambunan V. Angka kecukupan energi, protein, lemak dan serat
makanan. Dalam: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta; 2004.
[4] Michaelsen KF. What is known? Short term and long term effects of
complementary feeding. Nestle Nutr Workshop Ser Pediatr Program. 2005;
(56):h.185.
[6] WHO. Global Strategy for Infant and Young Child Feeding. Geneva: 2003.
Hal: 12.
[9] Depkes RI. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta: Depkes RI. 2002.
[12] Depkes RI. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta: Depkes RI.
2003. Hal: 2.
http://dokterblog.wordpress.com/2009/05/19/malnutrisi/
a. Penilaian secara langsung
a.1. Antropometri
a.2. Klinis
a.3. Biokimia
http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/335-3-
penilaian-status-gizi.html
a.4. Biofisik
b.3. Ekologi