Dengan menilik sejarah pembentukan lahirnya Pasal 340 KUHP, Prof. Eddy
mengutip pandangan Jan Remmelink, guru besar dan mantan Jaksa Agung
Belandabahwa motif justru dijauhkan dari rumusan delik. Remmelink
menulis pembuat Pasal 340 KUHP Belanda menempatkan motif pelaku
sejauh mungkin di luar perumusan delik.
Motif tak perlu. Ia justru meminta ahli pidana yang menyebut motif harus
dibuktikan dalam perkara pembunuhan berencana untuk kembali belajar
sejarah pembentukan KUHP Belanda. Kalau ada ahli pidana yang
mengatakan (pembunuhan berencana) harus ada motif, suruh baca ulang
sejarah pembentukan KUHP Belanda,
Namun, kata Prof. Eddy, bukan berarti tak ada rumusan yang menghendaki
motif. Anasir motif penting dalam pembuktian 378 KUHP. Pasal ini
menyebutkan barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
PENJELASAN MENGENAI MOTIF
Motif adalah hal yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan atau
alasan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Motif dalam kaitannya dengan
Kejahatan berarti dorongan yang terdapat dalam sikap batin pelaku untuk melakukan kejahatan.
Dalam kriminologi (diluar konteks hukum pidana), dikenal bermacam-macam motif kejahatan,
bahkan ada kriminolog yang mengelompokkan kejahatan berdasarkan motif pelaku, seperti yang
dikemukakan oleh Bonger (Soedjono Dirdjosisworo, 1984:47) menggolongkan (mengklasifikasi)
kejahatan dalam empat golongan yakni:
(4). Kejahatan politik seperti makar untuk menggulingkan pemerintahan atau pemberontakan.
Menurut A.S. Alam (2010:21) bahwa penggolongan kejahatan yang dilakukan oleh Bonger ini
adalah penggolongan berdasarkan motif pelaku.
Jika berbicara motif dalam sudut pandang kriminologi, maka pelaku kejahatan dalam melakukan
perbuatan jahatnya, selalu disertai dengan motif. Selalu ada alasan mengapa pelaku melakukan
kejahatan. Namun jika kita berbicara tentang rumusan Pasal KUHP atau unsur delik, (dari sudut
pandang yuridis hukum pidana), maka tidak semua rumusan pasal KUHP itu memiliki motif
sebagai unsur delik, bahkan hanya beberapa pasal saja yang mengadung unsur motif.
(Kebanyakan Penulis Indonesia menggunakan istilah unsur delik seperti Moeljatno, Andi Zainal
Abidin Farid, Wirdjono Prodjodikoro dll. Istilah elemen oleh Bambang Poernomo, istilah anasir
oleh Utrecht, istilah Bagian inti delik = delicts bestanddelen oleh Andi Hamzah, dan ada yang
membedakan istilah Bestanddelen/bestandeel dengan elemen/elementen yaitu Eddy O.S.
Hiariej).