Anda di halaman 1dari 4

Dokter Senior Pun Pernah Mengeluh Menjadi Korban

Malpraktek RS Omni
Posted on 4 Juni 2009 by M Shodiq Mustika

Pasien yang pernah mengeluhkan dirinya menjadi korban malpraktek RS Omni


bukan hanya Prita Mulyasari. Malah, tahun lalu, seorang dokter senior yang
berobat ke RS Omni Medical Center (yang satu grup dengan RS Omni
International Hospital) telah mengajukan gugatan ganti rugi. Ini dia berita
selengkapnya dari hukumonline.com:

Ketika Dokter Menjadi Korban Malpraktek


[29/5/08]

Lantaran keliru dalam menjalankan metode TUNA Trans Urethal Needle


Ablation RS Omni Medical Center digugat oleh Salman, dokter senior yang
berobat ke RS tersebut. Selain ganti rugi Rp35 juta, Salman juga meminta rekam
medis penyakitnya.

Lazimnya yang menjadi korban malpraktek adalah pasien. Kali ini, justru
seorang dokter senior yang menjadi korban malpraktek. Jangan kaget dulu.
Dokter yang menjadi korban ini memang sedang pindah posisi sebagai pasien.
Namanya, dokter Salman. Pria yang pernah berpraktek di Rumah Sakit (RS)
Harapan Kita ini terpaksa menggugat rekan seprofesinya karena
dianggap melakukan malpraktek.

Syahdan, Salman mengidap penyakit pembesaran prostat jinak dengan gejala


sangat ringan. Pria berusia 74 tahun ini pun mendatangi RS Omni Medical
Center untuk mengobati penyakitnya dengan metode Trans Urethal Needle
Ablation (TUNA). Metode TUNA merupakan terapi yang diperkenalkan di
Indonesia sejak 2004. Cara kerjanya adalah menusuk prostat dengan jarum yang
diberi energi gelombang radio sehingga menghasilkan energi panas yang
mengarah langsung ke prostat.

Tertarik dengan keampuhan metode TUNA melalui iklan di media massa, Salman
berminat untuk menjajalnya. Singkat cerita, Salman mulai cari info soal metode
TUNA itu di RS Omni Medical Center. Di tempat itu, ia ditangani oleh dokter
Johan R. Wibowo. Belakangan, bukan kesembuhan yang ia terima, tapi malah
kesakitan yang luar biasa. Salman mengaku mengalami pendarahan hebat, susah
kencing, dan kencing berdarah.

Merasa dirugikan, Salman lantas menempuh jalur hukum. Melalui pengacaranya


Virza Roy Hizzal, Salman mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum ke
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur. Ia menggugat dokter Johan, PT Sarana
Meditama Metropolitan (pemilik RS Omni Medical Center) dan Soekendro
(Presdir RS Omni Medical Center). Para tergugat, kata Salman, telah lalai dan
melakukan kesalahan dalam menjalankan metode TUNA.

Dalam gugatannya, Salman meminta para tergugat mengganti kerugian materil


yang dialaminya sebesar Rp35 juta. Sedangkan kerugian immateril sebesar
Rp300 juta.

Selain meminta ganti rugi, Salman meminta haknya yang lain, yakni fotocopy
rekam medis (medical record). Virza mencatat ada dua hal penting terkait
kehadiran rekam medis itu. Pertama, isi rekam medis sangat penting bagi
penggugat untuk mengetahui informasi penyakit yang dideritannya demi
keberlangsungan proses perawatan atau pengobatan atas diri penggugat.
UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran

Pasal 47

1. Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik
pasien

2. Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

Pasal 52 huruf a

Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: a. mendapatkan
penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)

Dan kedua, isi rekam medis juga diperlukan untuk kepentingan proses
pemeriksaan perkara maupun pembuktian dalam perkara. Rekam medis ini
sangat penting, jelas Virza ketika ditemui hukumonline di PN Jakarta Timur,
Rabu (28/5). Untuk itu, Virza memohon Majelis Hakim agar bisa menghadirkan
bukti tersebut, sebagai tindakan pendahuluan.

Namun, Majelis menolak permintaan tersebut. Apalagi, perkara ini baru sidang
awal. Permintaan itu sudah masuk substansi perkara, ujar Ketua Majelis
Hakim Firdaus seraya mempersilahkan para pihak untuk melewati tahap mediasi
terlebih dahulu.

Sementara itu, Kuasa Hukum RS Omni Medical Centre, Susi Tan, menolak
berkomentar tentang kasus yang menimpa kliennya. Ia berdalih, perkara ini
masih proses mediasi. Ini kan belum masuk pokok perkara. Masih mediasi.
Nantilah, elaknya ketika dicegat hukumonline.

Pernah Dilaporkan ke Polisi

Ternyata, gugatan ini bukan yang pertama. Tahun lalu, Salman pernah
melaporkan dokter Johan ke Polres Jakarta Timur. Kami laporkan karena ada
unsur penipuan dan kelalaian, ujar Salman. Laporan itu sendiri kabarnya
mandeg di Kepolisian. Kasus itu katanya di SP3 (Surat Perintah Pemberhentian
Penyidikan,-red), ungkap Virza.

Meski mendapat kabar bahwa kasus tersebut telah di SP3, namun Salman sendiri
mengaku belum menerima surat tersebut. Akibatnya, Salman kesulitan dalam
mengajukan permohonan praperadilan. Apalagi, Salman menduga ada
permainan dalam penghentian kasus ini. Makanya kami adukan penyidiknya
ke Propam, tegas Salman.

Dihubungi secara terpisah, Dedy Kurniadi, Penasehat Hukum dokter Johan,


menjelaskan penyidik Polres Jakarta Timur tidak menemui unsur pidana apapun
dalam kasus itu. Memang tak ada malpraktek berdasarkan penyidikan, ujarnya
melalui telepon.

Ia menegaskan polisi tidak sembarangan dalam mengeluarkan SP3. Tetapi,


setelah melewati pemeriksaan beberapa saksi dan ahli. Ahli yang dihadirkan
berasal dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDK) Indonesia.
Diceritakan Dedy, kala itu MKDK berpendapat, jika seseorang diobati lalu ada
efek pendarahan yang lebih dari yang diduga sebelumnya bukan berarti sebagai
kelalaian. Karena daya tahan tubuh masing-masing orang kan berbeda.
Kesimpulannya tak ada yang memberatkan dokter Johan, jelasnya.

Yang jelas, Salman sudah telanjur tak percaya dengan penjaga kode etik korpsnya
itu. Makanya, gugatan perbuatan melawan hukum merupakan langkah
selanjutnya yang diambil oleh dokter senior ini.

Anda mungkin juga menyukai