PENDAHULUAN
2.1.1 Epidemiologi
Somatisasi adalah gangguan yang kerap ditemukan. Prevalensi seumur
hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum lebih banyak ditemukan
pada wanita daripada pria, yaitu diperkirakan sebanyak 0,2 sampai 2 persen
pada wanita, dan <0,2 persen pada pria, dengan perbandingan
5:1.Prevalensi somatisasi subklinis mencapai 100 kali lebih besar. 2
2.1.2 Etiologi
Faktor etiologi dari gangguan somatisasi masih belum diketahui. Tidak
terdapat penyebab tunggal dari gangguan somatisasi, sebagaimana
sebagian besar kasus psikiatri lainnya, gangguan ini merupakan hasil akhir
dari interaksi faktor genetik dengan berbagai peristiwa di kehidupan individu.
Teori terkini mengenai etiologi gangguan somatisasi dibagi 3, yaitu
psikososial, organic, dan genetik.3
1. Faktor Psikososial
Gejala somatik merupakan bentuk pertahanan psikologi terhadap
instabilitas mental. Pada somatisasi, serangan terhadap mental
seseorang menghasilkan kecemasan yang memobilisasi pertahanan
somatik, di mana terdapat perubahan dari sakit psikologis menjadi
sakit fisik.4 Gejala somatik yang timbul merupakan komunikasi sosial
seseorang untuk menghindari kewajiban (cnt : melakukan pekerjaan
yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (cnt: kemarahan terhadap
saudara), atau untuk simbolisasi perasaan atau kepercayaan (cnt : nyeri
perut).1
Pengalaman sakit merupakan faktor penting dari somatisasi. Anak
yang menjumpai orang tua atau saudara yang sakit (terutama penyakit
kronis atau berat) dapat mengalami gangguan somatoform ketika
dewasa. Etnik, pendidikan, dan gender juga merupakan faktor sosial
yang relevan terhadap somatisasi. Terdapat korelasi tinggi antara
somatisasi dan etnik, kelas sosial rendah dengan tingkat edukasi
minimal, dan jenis kelamin wanita.Selain itu, jenis kepribadian juga
diduga mempengaruhi gangguan somatisasi. Pasien gangguan
somatisasi yang memiliki ciri kepribadian kelompok B (dependen,
histrionic, agresif-sensitif) tampak sejumlah 2 kali lipat dari pasien
dengan anxietas atau depresi. 3
2. Faktor Organik
Beberapa penelitian menunjukkan dasar neuropsikologi pada
gangguan somatisasi. Beberapa studi mengaitkan antara gangguan
somatisasi dengan patologi otak, seperti epilepsy dan multiple sclerosis,
namun asosiasi ini ditemukan hanya pada 3% pasien. 6 Diduga juga
bahwa disfungsi atensi dan kognitif yang berhubungan dengan inhibisi
stimulasi aferen terdapat pada pasien (terutama pada lobus frontalis dan
hemisphere yang tidak dominan), menghasilkan persepsi yang tidak
tepat dan kesalahan penilaian input somatosensoris . 1 Ditemukan
hubungan antara somatisasi dan peningkatan level kortisol 24 jam
(rangsangan psikologis),sebagaimana juga ditemukan terdapat asosiasi
3
antara tekanan darah sistolik dengan somatisasi.
3. Faktor Genetik.
Terdapat pola keturunan yaitu sebesar 10-20% insidens terjadi pada
saudara perempuan derajat pertama dari penderita gangguan
2
somatisasi. Ditemukan bahwa saudara lelaki pasien gangguan
somatisai memiliki peningkatan prevalensi alkoholisme dan kepribadian
antisosial.7 Beberapa penelitian pada populasi kembar menemukan bukti
komponen genetik, namun lainnya menghasilkan kesimpulan sebaliknya.
Mai (2004) menyimpulkan bahwa terdapat peran faktor genetik dalam
3
gangguan somatisasi, namun efeknya terbatas.
A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum sia 30 tahun yang terjadi selama
suatu periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya
fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lain yang signifikan.
B. Masing-masing criteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap gejala terjadi pada
waktu kapanpun selama perjalanan gangguan :
(1) empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya empat
tempat atau fungsi yag berbeda (cnt : kepala, abdomen, punggung, sendi,
ekstremitas, dada, rectum, selama menstruasi, selama hubungan sekdual, atau
selama berkemih)
(2) dua gejala gastrointestinal : riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain
nyeri (cnt: mual, kembung, muntah selain selama hamil, diare, atau intoleransi
terhadap beberapa makanan yang berbeda)
(3) satu gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau reproduksi
selain nyeri(cnt: ketidakpedulian terhadap seks, disfungsiereksi atau ejakulasi,
menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
hamil)
(4) satu gejala pseudoneurologis : riwayat sedikitnya satu gejala atau deficit yang
mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi
seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, atau kelemahan
lokal, kesulitan menela, atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urin,
halusinasi, hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli,
kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilang kesadaran selain pingsan)
C. Baik (1) atau (2) :
(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala Kriteria B tidak dapat dijelaskan
secara utuh dengan keadaan medis umum yang diketahui atau efek langsung
suatu zat (cnt : penyalahgunaan obat, pengobatan)
(2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya sosial atau
pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang diperkirakan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat seperti pada gangguan buatan
Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya telah mengunjungi
atau malingering
banyak praktik dokter, mlakukan banyak tes imaging dan laboratorium, yang
seluruhnya tidak memberikan hasil yang bermakna mengenai penyakit yang ia
rasakan. Sebagai contoh, seorang pasien mungkin memiliki keluhan abdominal
kronis (nyeri perut, diare) yang telah dievaluasi secara tuntas namun tidak
ditemukan penyebabnya. Hal ini biasanya didahului dengan riwayat gejala lain
yang tidak dapat dijelaskan, seperti anorgasmia, tinnitus telinga, dan nyeri kronis
pada bahu, leher, punggung, dan kaki. 5
Gambar 1.
Diagnosis Banding Gangguan Somatoform
2.1.5 PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan pasien dengan gangguan somatisasi
meliputi 2 hal, yaitu Cognitive and Behavioral Therapy (CBT) dan
Farmakoterapi.
Langkah pertama terapi adalah untuk memberi feedback diagnostik pada
pasien. Penjelasan dikategorikan menjadi 3 bagian : rejection, conclusion,
dan empowerment. Dengan rejection, dokter menyangkal kenyataan terdapat
gejala atau mengimplikasikan bahwa pasien memiliki sumber rasa sakit yang
imajiner. Pendekatan ini dapat diawali dengan kalimat Tenang, tidak ada
yang salah dengan Anda. Conclusion terjadi ketika dokter secara eksplisit
atau implicit menyetujui penjelasan pasien. Pada akhirnya, dengan
empowerment, dokter memberikan penjelasan yang nyatadan rasional untuk
gejala somatik, bersamaan dengan peluang untuk memanajemen diri. Dokter
mengetahui penderitaan pasien, tanpa rasa menuduh, dan membuat
kesepakatan terapeutik. Dengan demikian gejala dan emosi dapat
dihubungkan dengan baik. Manajemen gangguan somatoform dapat
3
diringkas pada gambar berikut.
2.2 Hipokondriasis
2.2.1 Definisi
Hipokondriasis adalah gangguan mental dimana pasien meyakini
bahwa dirinya sedang mengalami penyakit yang serius, mungkin suatu
penyakit yang mengancam jiwanya. Kriteria diagnosisnya ialah sekurang-
kurangnya 6 bulan pasien mengalami preokupasi pikiran berupa
ketakutan akan memiliki penyakit akibat dari interpretasi yang salah
terhadap gejala penyakit yang dialaminya. Istilah hipokondriasis
mengacu pada hipokondrium, dimana kebanyakan pasien mengeluh
nyeri pada daerah hipokondrium. 7
2.2.2 Etiologi
Menurut Klein, perkembangan di masa-masa awal kehidupan diyakini
merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya hipokondriasis atau jenis
somatoform lain di kemudian hari. Kegagalan proses splitting atau
kemampuan untuk membedakan objek baik dan buruk menyebabkan
ketidakmampuan otak untuk merepresi kecemasan yang dirasakan,
sehingga kelak timbul abnormal splitting mechanism yang membantu anak
untuk mengatasi confusional anxiety.7
Menurut Schilder, terjadi fiksasi hypochondriacal state pada fase narsistik
pada perkembangan anak, dimana pada masa itu terjadi perkembangan
awal pemikiran tentang tubuh. Fase oral, sadistic, dan sadomasokistik juga
turut mempengaruhi terjadinya hipokondriasis di kemudian hari karena
seluruh proses ini melibatkan sensasi nyeri dalam perkembangannya. 10
Proteksi yang berlebihan dari orang tua pada masa anak-anak juga
menjadi pencetus hipokondriasis. Di samping itu, penyakit yang pernah
diderita juga memunculkan kecemasan yang berlebihan terhadap
kekambuhan sehingga memunculkan gejala hipokondriasis. 8
2.2.3 Klasifikasi
DSM-V mengkategorikan hipokondriasis sebagai bagian dari kelainan
somatoform. Hipokondriasis, kelainan somatisasi (somatization disorder),
kelainan somatoform tak terdiferensiasi (undifferentiated somatoform), dan
kelainan nyeri (pain disorder) adalah termasuk ke dalam Somplex Somatic
Symptom Disorder/ CSSD. Sedangkan reaksi konversi diklasifikasikan
menjadi kelainan somatoform lain, BDD dklasifikasikan menjadi new anxiety
and obsessive-compulsive spectrum disorders.9
2.2.4 Gejala Klinis
Pasien hipokondriasis meyakini bahwa mereka memiliki penyakitserius
yang masih belum terdeteksi meskipun telah dilakukan hasil lab dengan hasil
yang negatif. Pada permulaan mungkin diawali dengan satu penyakit, namun
seiring berjalannya waktu, kayakinan ini dapat ditransfer ke penyakit yang
lain. Namun demikian, keyakinan mereka tidak seperti pada waham. Pada
umumnya ditemukan pula gangguan kecemasan dan depresi. 9
Meskipun kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah
sekurang-kurangnya 6 bulan, namun hypochondriacal-states juga dapat
terjadi setelah terjadi stress mayor, misalnya kematian orang terdekat pasien
akibat penyakit tertentu. Pada umumnya kondisi ini akan sembuh dengan
8
sendirinya, namun dapat pula menjadi kronis.
2.2.5 DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sebagai berikut
2.2.7 Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan fisik secara komprehensif
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik berkala untuk mengetahui diagnosis
lain yang menjadi perancu hipokondriasis. Informasi kesehatan yang
normal dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis hipokondriasis. 9
2. Pendekatan fungsional:
Bertujuan untuk mengumpulkan data-data tentang penyakit yang
menjadi sumber kecemasan dan untuk mengetahui respon pasien
terhadap penyakitnya. Melalui cara ini, dokter dapat mengetahui apa
yang membuat pasien menganggap penyakitnya sangat serius.
Karena belum adanya skala khusus untuk pengukuran derajat
keparahan penyakit yang dirasakan, pasien dapat menggunakan skala
0 (rendah) sampai 10 (ekstrim) untuk menggambarkannya. 8
3. Terapi farmakologis :
a. Anti-depresan (trisiklik, SSRI): dapat menstabilkan mood,
mengatasi kecemasan pada hipokondriasis
b. Plasebo: beberapa penelitian membandingkan efek placebo dan
pemberian obat-obatan anti-depresan dimana perbedaan respon
pasien terhadap kedua obat tidak signifikan. Hal ini menunjukkan
keberhasilan penggunaan placebo.8
4. Psikoterapi:
a. Cognitive-Behavioral Therapy/CBT menggunakan model terapi
tertentu untuk membantu pasien mengenali dan merubah
kepercayaan yang salah pada kesehatan dirinya.
b. Formulation of an Idiosyncratic Model patient-spesific blue-print
ialah suatu bentuk diagram yang dikerjakan bersama-sama dengan
pasien berkaitan dengan mekanisme penyakit dan kecemasan
yang timbul. Dengan metode ini, pasien merasa dokter memahami
perasaan sehingga meningkatkan penerimaan pasien terhadap
pengobatan.
c. Psikoedukasimemberikan pemahaman pasien terhadap
mekanisme fisiologis tubuh manusia yaitu fight or flight dan
ansietas. Pasien juga diberikan pemahaman tentang sensasi tubuh
sekaligus dengan mekanisme fisiologisnya jika memungkinkan.
d. Modifying erroneous belief membantu pasien untuk mengadopsi
kepercayaan yang rasional berdasarkan mekanisme fisiologis
tubuh.8
2.2.8 Prognosis
Hipokondriasis cenderung menjadi suatu penyakit kronis yang
berlangsung mungkin sepanjang hidup dengan gejala yang hilang timbul
selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Pasien mungkin akan
mengalami remisi parsial namun demikian masih membuat pasien mencari
bantuan dokter. Remisi total sangat jarang terjadi. Faktor sosial-ekonomi,
tidak adanya kelainan perilaku lain, dan tidak adanya kondisi medis lain yang
menyertai dapat memungkinkan hipokondriasis remisi total. 7
2.2.9 Komplikasi
Hipokondriasis seringkali menyebabkan pasien enggan melakukan
aktivitas atau bepergian jauh. Dokter yang tidak mengenali gejala hipokondriasis
sejak awal akan menyarankan apsien untuk melakukan berbagai macam tes
laboratorium untuk membantu penegakan diagnosis. 10
2.3.1 Epidemiologi
Insiden gangguan konversi mencapai 11-48 setiap 100.000 jiwa.
Gangguan konversi tidak berkaitan denga usia, ras, etnis, atau latar
belakang sosial. Akan tetapi, beberapa penelitian melaporkan adanya angka
kejadian yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki. Ada
kecenderungan insiden yang lebih tinggi pada pasien yang memiliki first-
degree relative dengan gangguan psikiatri. Telah ditemukan juga asosiasi
antara gangguan konversi dengan riwayat sexual abuse dan physical
abuse.11,12
2.3.2 Etiologi
Etologi dari reaksi konversi melibatkan faktor-faktor psikologis, biologis
dan neurologis. Patofisiologi gejala dari gangguan konversi dimulai dengan
adanya gangguan psikiatripaling sering diseabkan oleh depresiyang
menyebabkan ketidak stabilan dari fungsi mental. Pertahanan somatic,
kepercayaan menetap bahwa Saya sakit secara fisik terbentuk secara tidak
sadar dan muncul sebagai adanya malfungsi neurologis tertentu.
Kepercayaan ini secara sadar mengatur tingkah laku, mengakibatkan
temuan nonorganic yang aneh dan tidak lazim pada pemeriksaan
neurologis.12
Menurut pandangan psikodinamika, gangguan konversi
merepresentasikan konversi dari energy seksual atau agresi yang terrepresi
menjadi gejala fisik. Secara klasik, gejala tersebut dianggap sebagai akibat
dari konflik tak sadar antara keinginan terlarang dari seseorang dengan hati
nuraninya. Gejala konversi secara simbolis merepresen pemenuhan
keinginan secara parsial tanpa kesadaran penuh individu terhadap hasrat
yang tidak dapat diterima. 11,13
Menurut Freud, pengalaman yang tidak dapat diterima direpresikan
kedalam unconscious, akan tetapi represi tersebut menyebabkan adanya
konversi kepada gejala fisik. Meskipun represi tersebut dilakukan dengan
sengaja untuk menghilangkan distress (disebut juga primary gain), konversi
tersebut tidak dilakukan secara sengaja. Gejala fisik tersebut dapat juga
bertujuan menghindarkan pasien dari konflik atau hasil akhir yang tidak
diinginkan (secondary gain). Misalnya seseorang yang tiba-tiba mengalami
parese pada tangannya karena adanya keinginan unconscious untuk
memukul istrinya. Kondisi tersebut mencegah dirinya bertindak sesuai
keinginannya. 14
Pada gangguan konversi, tidak selalu ditemukan adanya stressor spesifik
tidak lama sebelum munculnya gejala. Penelitian menunjukkan adanya
stressor tertentu pada sebagian kasus, seperti masalah pekerjaan dan relasi,
13
yang berkorelasi dengan beratnya keluhan.
Penelitian menggunakan imaging menunjukkan adanya peran dari
conscious active inhibition pada defisit psikogenik. Contohnya, jika pasien
yang mengalami parese ekstremitas bawah kiri mencoba menggerakkan
ekstremitas tersebut, hasil imaging menunjukkan adanya bagian tertentu dari
otak yang aktif dan menyebabkan inhibisi dari korteks motorik sehingga
pasien mengalami parese. Sedangkan pada saat istirahat , aktivitas pada
kedua sisi korteks motorik tidak berbeda secara signifikan. Temuan ini
menjelaskan mengapa defisit neurologis psikogenik lebih ringan jika pasien
mengalami distraksi dan memberat jika pasien memikirkan masalah yang
mereka alami.11
Temuan dari pemeriksaan neurologis juga konsisten dengan adanya
inhibisi kortikal dan subkortikal yang dikontrol oleh higher-order brain centres.
Misalnya, defisit neurologis yang disebabkan gangguan dari korteks
menyebabkan pola tipikal, seperti distribusi pyramidal pada pasien dengan
parese. Akan tetapi, temuan fisiknya tidak mengikuti pola organik tipikal
tersebut. Sebaliknya, secara psikologis dan anatomically naive beliefs yang
diaplikasikan secara sadar dan dimediasi oleh higher-order brain centres
menginhibisi jalur kortikal dan subkortikal, yang menyebabkan pola
neurologis nonorganic yang atipikal. 11
2.3.3 Gambaran Klinis
Defisit yang paling sering muncul adalah kelumpuhan, kebutaan, dan
mutisme. Gejala lainnya antara lain anesthesia, paresthesia (terutama pada
ekstremitas), tuli, abnormalitas motoris, gangguan gait, tremor, dan kejang
(disebut juga pseudoseizures). Presentation dan hasil pemeriksaan fisik tidak
konsisten dengan patologi neurologis, anatomis, maupun fisiologis yang
diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa manifestasi neurologis bersifat
idiopatik dan berasal dari kepercayaan pasien bagaimana gejala neurologis
seharusnya terjadi. Dapat ditemukan adanya La belle indifference (pasien
tidak peduli meskipun defisit yang muncul tampak sangat berat). 14
Pada umumnya, tanda yang munculseperti hemiparese ataupun
kebutaan- menjadi jauh lebih buruk jika dievaluasi secara formal atau ketika
pasien berada dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pasien
memperhatikan defisit tersebut. Akan tetapi, meskipun sedang diobservasi
maupun tidak, gejala neurologis tetap ada dan mengganggu fungsi pasien:
gejala tersebut konsisten dengan kepercayaan pasien. 14
Berikut beberapa gejala dan hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan
pada penderita:
Gejala Pemeriksaan Fisik Hasil
Anesthesia Pemeriksaan dermatome Gangguan sensoris tidak
sesuai dermatom
Afonia Minta pasien untuk batuk Suara batuk normal
(menunjukkan tidak
adanya parese korda
vokalis)
2.3.4 Diagnosis
Penelitian menunjukkan bahwa 25-50 persen pasien dengan gangguan
konversi pada akhirnya ditemukan memiliki kondisi medis yang menyebabkan
gejala tersebut. Oleh karena itu pemeriksaan medis dan neurologis menyeluruh
harus dilakukan. Kondisi patologis yang menyerupai konversi antara lain tumor
otak, multiple sclerosis, myasthenia gravis, basal ganglia disease, optic neuritis,
Guillain-Barre, dan AIDS.15
Bedakan juga gangguan konversi dengan factitious disorder dan
malingering. Pada factitious disorder, seseorang secara sadar membuat penyakit
yang bertujuan untuk berperan sebagai orang sakit. Malingerers secara sadar
berpura-pura untuk mencapai secondary gain (misalnya untuk menghindari
kerja , penjara, wajib militer, atau mendapat kompensasi). 11
Kriteria Diagnosis menurut DSM IV:
A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mempengaruhi sistem motorik volunter
atau
fungsi sensorik yang merujuk pada kondisi neurologis atau medis umum
lainnya .
B. Faktor psikologis dinilai terkait dengan gejala atau defisit karena konflik atau
stres lainnya mendahului inisiasi atau eksaserbasi dari gejala atau defisit.
C. Pasien tidak pura-pura atau sengaja memproduksi gejala atau defisitnya.
D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penyelidikan yang tepat, sepenuhnya
dijelaskan oleh kondisi medis umum, dengan efek langsung dari zat, atau
sebagai perilaku atau pengalaman yang dilarang oleh budaya.
E. Gejala atau defisit menyebabkan distress atau gangguan yang signifikan
secara klinis pada fungsi social atau okupasional, atau area penting lainnya
atau yang memerlukan evaluasi medis.
F. Gejala ini tidak terbatas pada rasa sakit atau adanya gangguan pada fungsi
seksual dan tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan mental
lain.
2.3.5 Penatalaksanaan
Pada dasarnya, tatalaksana dari gangguan konversi adalah
menggunakan penjelasan dan sugesti. Setelah dilakukan diagnosis, dokter
sebaiknya menginformasikan kepada pasien, secara lembut dan tidak
menghakimi, tetapi cukup tegas, bahwa pemeriksaan atau tes diagnostic
tidak menunjukkan adanya kelainan. Lalu dokter dapat menjelaskan bahwa
meskipun ilmu medis tidak dapat menjelaskan penyebab gejala tersebut,
biasanya pasien akan pulih dalam beberapa minggu. Dengan dukungan dan
keyakinan tersebut, mayoritas pasien akan mengalami remisi selama berada
di rumah sakit, dan remisi ini lebih mungkin terjadi jika onset gejala bersifat
14
akut dan durasinya singkat, diikuti oleh pencetus yang jelas.
Pada berapa kasus, beberapa sesi bersama terapis fisik dapat
membantu perbaikan gejala. Terapis harus menghindari pernyataan seperti
Tidak ada yang salah dengan diri anda, karena dapat merusak hubungan
dokter-pasien. Jika langkah-langkah tersebut gagal, teknik alternatif dapat
digunakan. Hipnosis dapat menyebabkan remisi, akan tetapi cenderung
terjadi relaps. 14
Dapat juga dilakukan cognitive-behavioral therapy untuk meningkatkan
cara adaptif pasien untuk menghadapi stress dan kecemasan. Dapat juga
dilakukan terapi psikodinamik untuk mendapatkan insight dari konflik
unconscious yang mendasari keluhannya. 14,15
2.4.1 Epidemilogi
Gangguan dismorfik tubuh adalah keadaan yang sediki dipelajari
sebagian karena pasien lebih cenderung pegi ke dermatologis, interni, atau
ahli bedah plastik daripada pergi ke psikiater. Satu studi pada satu kelompok
mahasiswa perguruan tinggi menemukan bahwa lebih dari 50% mahasiswa
sedikitnya memiliki beberapa preokupasi terhadap aspek tertentu
penampilan mereka dan pada 25% mahasiswa, permasalahan tersebut
memiliki sekurangnya mempengaruhi secara bermakna pada perasaan dan
fungsi mereka. Walaupun 25% jelas merupakan suatu perkiraan yang
berlebihan (overestimate), gangguan dismorfik tubuh atau suatu varian
subsindromal mungkin sering ditemukan. Penelitian lain pada pasien yang
datang ke klinik bedah plastik menemukan bahwa hanya 2% pasien tersebut
memenuhi kriteria diagnostik, jadi yang menyatakan bahwa pasien dengan
20
kriteria diagnostik lengkap mungkin sangat jarang ditemukan.
Data yang ada menyatakan bahwa usia yangpaling sering untuk onset
terjadinya gangguan dismorfik tubuh adalah antara 15 dan 20 tahun, dan
wanita agak lebih sering terkena dibandingkan laki-laki. Pasien yang terkena
juga kemungkinan tidak menikah. Gangguan dismorfik tubuh sering kali
ditemukan bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Satu penelitian
menemukan bahwa lebih dari 90% pasien dengan gangguan dismorfik tubuh
pernah mengalami depresif berat didalam hidupnya; kira-kira 70% pernah
mengalami suatu gangguan kecemasan dan kira-kira 30% pernah menderita
suatu gangguan psikotik.20
2.4.2 Etiologi
Penyebab gangguan dismorfik tubuh saat ini masih tidak diketahui.
Komoriditas yang tinggi dengan gangguan depresif, riwayat keluarga adanya
gangguan mood dan gangguan obsesif-komplusif yang lebih tinggi daripada
yang diharapkan, dan responsivitas gangguan yang dilaporkan terhadap obat
spesifik serotonin menyatakan bahwa, sekurangnya pada beberapa pasien,
patofisiologi gangguan yang terjadi mungkin melibatkan serotonin dan
mungkin berhbungan dengan gangguan mental lainnya. Mungkin juga dapat
terpengaruh kultural atau sosial yang bermakna pada pasien dengan
gangguan dismorfik tubuh karena penekanan konsep tentang kecantikan
yang sterotipik yang mungkin ditekankan pada keluarga tertentu dan didalam
sebagian besar kultur. Didalam odel psikodinamika, gangguan dismorfik
tubuh dipandang sebagai pengalihan konflik seksual atau emosional ke
dalam bagian tubuh yang tidak berhubungan. Asosiasi tersebut terjai melalui
mekanisme pertahanan represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi dan proyeksi. 1
2.4.3 Diagnosis
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan dismorfik tubuh
mengharuskan suatu preokupasi dengan kecacatan dalam penampilan yang
tidak nyata (dikhayalkan) atau penekanan yang berlebihan (overemphasis)
terhadap kecacatan ringan. Preokupasi menyebabkan penderitaan
emosional pada pasien atau jelas mengganggu kemampuan pasien untuk
berfungsi dalam bidang yang penting. 19
*aTotal adalah lebih dari 100%karena sebagaian pasien memiliki "defek" pada lebih dari
satu tempat
*bTermasuk rambut kepala pada 15 kasus, pertumbuhan jenggot pada dua kasus, dan
rambut tubuh laim pada tiga kasus
c
* Termasuk Jerawat pada tujuh kasus, garis wajah pada tiga kasus, dan termasuk
masalah kulit lain pada tujuh kasus
* dTermasuk masalah bentuk pada lima kasus dan ukursn pada satu kasus
(K.A. Phillips,S.L. McElroy,P.E.Keck Jr., H.G.Pope, J.I. Hudson : Body Dysmorphic
Disorder:30 Cases of Imagined Ugliness. Am J Psychiatry 150:303,1993)
2.4.6 Penatalaksanaan
Pengobatan pasien gangguan dismorfik tubuh dengan prosedur bedah,
dermatologis, dental dan prosedur medis lainnya untuk menyelesaikan defek
yang dideritanya hampir selalu tidak mendapatkan hasil. Adapun obat
tetrasiklik, inhibitor monamin oksidase, dan pimozide telah dilaporkan
berguna pada kasus individual, dan semakin banyak data yang menyatakan
bahwa obat spesifik serotonin sebagai contoh : clomipramine (Anafranil) dan
fluoxetine (Prozac) dapat efektif dalam menurunkan gejala sekurang-
kurangnya 50% pasien. Pada tiap pasien dengan gangguan mental penyerta,
seperti gangguan depresif atau ganggauan kecemasan, maka gangguan
penyerta harus diobati dengan farmakoterapi dan psikoterapi yang sesuai.
Berapa lamanya pengobatan harus dilanjutkan jika gejala gangguan
dismorfik tubuh telah menghilang masih belum diketahui.
2.5.1 Epidemiolog
Nyeri mungkin merupakan keluhan tersering didalam praktik medis dan
sndrom nyeri yang sulit dikendalikan lazim ditemukan. Nyeri punggung
bawah menyebabkan 7 juta orang di Amerika serikat mengalami hendaya
dan bertanggung jawab untuk lebih dari 8juta kunjungan ke ruang praktik
dokter setiap tahun. Gangguan nyeri didiagnosis dua kali lebih sering pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Usia puncak awitan adalah dekade
keemapat dan kelima, mungkin karena toleransi terhadap nyeri berkurang
seiring dengan pertambahan usia. Gangguan nyeri paling lazim ditemukan
pada orang dengan pekerjaan industri, mungkin karena kecenderungan
mendapatkan cedera terkait pekerjaan meningkat. Kerabat derajat pertama
pasien dengan gangguan nyeri memiliki gangguan yang sama; oleh sebab
itu, penurunan genetik atau mekanisme perilaku mungkin terlibat didalam
transmisinya. Gangguan depresif, gangguan ansietas, dan penyalahgunaan
zat juga lebih lazim ditemukan didalam keluarga pasien dngan gangguan
nyeri dibandingkan populasi umum.1
2.5.2 Etiologi
1. Faktor Psikodinamika.
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri pada tubuhnya tanpa
penyebab fisik yang dapat diidentifikasi secara adekuat mungkin
merupakan ekspresi simbolik dari konflik intrapsikis melalui tubuh.
Bbeberapa pasien menderita alekstimia, dimana mereka tidak mampu
mengartikulasikan kata-kata, sehingga tubuh mengekspresikan
perasaanny. Pasien lain mungkin secara tidak disadari memangdang
nyeri emosional sebagai kelemahan dan bagaimanapun tidak ada dalam
kekuasaan. Dengan mengalihkan masalah ke tubuh, mereka merasa
bahwa mereka memiliki kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan mereka. Arti simbolik dari ganggguan tubuh mungkin
juga berhubungan dengan penebusan ata dosa yang dirasakan,
penebusan kesalahan, atau agresi yang ditekan. Banyak pasien
mengalami nyeri yang sukar disembuhkan dan tidak responsif karena
mereka berkeyakinan bahwa mereka pantas untuk menderita.
Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk mendapatkan cinta, suatu
hukuman karena kesalahan, dan cara untuk menebus kesalahn dan
baertobat akan keburukan. Mekanisme pertahanan yang digunakan oleh
pasien dengan gangguan nyeri adalah pengalihan, substitusi, dan
represi. Identifikasi memainkan peranan jika pasien mengambil peranan
objek cinta yang ambivalen yang juga mengalami nyeri seperti orang tua.
2. Faktor Perilaku.
Perilaku sakit adalah didorong jika disenangi dan dihambat jika
diabaikan atau dihukum. Sebagai contoh, gejala nyeri sedang mungkin
menjadi kuat jika diikuti oleh perlakuan cemas dan penuh perhatian dari
orang lain, oleh tujuan keuangan, atau oleh kebehasilan dalam
menghindari aktivitas yang tidak disenangi.
3. Faktor Interpersonal
Nyeri yang sukar disembuhkan telah dipandang sebagai cara untuk
memanipulasi dan mendapatkan keuntungan dalam hubungan interpersonal,
sebagai contoh, untuk menjadi kesayangan anggota keluarga atau untuk
menstabilkan perkawinan yang rapuh,. Tujuansekunder tersebut adalah paling
penting bagi pasien dengan gangguan nyeri.
4. Faktor biologis
Korteks serebaral dapat menghampat pemicuan serabut nyeri
aferen. Serotonin kemungkinan merupakan suatu neurotransmiter utama
didalam jalur inhibitor desenden, dan endorfin juga berperan dalam
modulasi nyeri oleh sistem saraf pusat.. Defisiensi endorfin tampaknya
berhubungan dengan penguatan stimuli sensorik yang datang. Beberapa
pasien mungkin memiliki gangguan nyeri, bukannya gangguan mental
lain, karena struktural sensorik dan limbik atau kelaian kimiawi yang
mepredisposisiskan mereka mengalami nyeri.
2.5.3 Diagnosis
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan nyeri mengahruskan adanya
keluhan nyeri yang bermakna secara klinis. Keluhan nyeri harus diaanggap
secar bermakna dipengaruhi oleh faktor psikologis, dan gejala harus
menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna atau gangguan
fungsional (sebagai contoh, sosial atau pekerjaan) bagi pasien. DSM-IV
mengahruskan bahwa gangguan nyeri didefinisikan lebih jauh sebagai
berhubungan terutama dengan faktor psikologis atau sebagai hubungandari
faktor psikologis dan suatu kondisi medis umum. DSM-IV lebih lanjut
menyebutkan bahwa gangguan nyeri semata-mata berhubungan dengan
kondisi medis umum didiagnosis sebagai kondisi Aksis III. DSM-IV juga
memungkinkan klinisi menyebutkan apakah gangguan nyeri adalah akut atau
kronis, tergantung pada apakah gejala telah berlangsung enam bulan atau
lebih lama.
Kriteria Diagnostik DSM IV-TR : GANGGUAN NYERI
A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis adalah fokus dominan gambaran
klinis dan ckup parah sehingga memerkukan perhatian klinis.
B. Nyeri menimbulkan distress yang secara klinis bermakna hendaya fungsi sosial ,
pekerjaan dan area fungsi penting lain.
C. Faktor psikologis dinilai memiliki peranan penting dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi atau menetapnya nyeri.
D. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau malingering)
E. Nyeri sebaiknya tidak disebabkan oleh gangguan mood, ansietas, atau gangguan
psikotik dan tidak memenuhi kriteria diagnostik disapereunia)
Beri kode seperti berikut :
Gangguan nyeri terkait faktor psikologis: Dinilai memiliki peran utama dalam
awitan, keparahan, eksaserbasi, atau menetpanya nyeri. (Jika terdapt keadaan
medis umum, keadaaan ini tidak memiliki peran utama dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau menetapnya nyeri). Jenis gangguan nyeri ini tidak didiagnosis jika
gangguan somatosasi juga terpenuhi.
Tentukan jika:
Akut : durasinya kurang dari 6 bulandalam
Kronik : durasinya 6 bulan atau lebi
Gangguan nyeri terkait psikologis dan keadaan medis umum:Faktor
psikologis dan keadaan umum dinilai memiliki peranan penting dalam
awitan,keparahan, eksaserbasi atau menetapnya nyeri. Keadaan medis umum
terkaitatau tempat anatomis nyeri ( lihat bawah) diberi kode pada aksis III
Tentukan Jika:
Akut : durasinya kurang dari 6 bulan
Kronik : durasinya lebih dari 6 bulan
Catatan : Berikut ini tidak dianggap sebagai gangguan jiwa dan dicantumkan disini
untuk mempermudah diagnosis banding.
Gangguan nyeri terkait keadaan medis umum :Keadaan medis umum memiliki
peranan utama dalam awitan, keparahan,eksaserbasi, atau menetapnya nyeri. (Jika
ada faktor psikologis, faktor psikologis tidak dinilai memiliki peran utama dalam
awitan,keparahan, eksaserbasi, atau meneptapnya nyeri). Kode diagnostik yeri
dipilih berdasarkan keadaan medis terkait jika terlah ditegakkan atau berdasarkan
lokasi anatomis nyeri jika keadaan medis umum yang mendasari belum jelas
ditegakkan contohnya punggung bawah, iskiadika, pelvis, sakit kepala, wajah, dada,
2.5.4 Penatalaksanaan
Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut:
Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada
dalam pikiran penderita.
Relaxation training
Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang
yang mengalami rasa nyeri
Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa
yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya,
tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress,
mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan
kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang
penderita rasakan.
BAB 3
LAPORAN KASUS
C. Keluhan utama
Sakit kepala sejak satu bulan yang lalu.
Riwayat Pekerjaan
Pedagang
Riwayat Perkawinan
Menikah
Hubungan Sosial
Baik
Thoraks
Inspeksi : dalam batas normal
Palpasi : dalam batas normal
Perkusi : dalam batas normal
Auskultasi : dalam batas normal
Abdomen
Inspeksi : dalam batas normal
Palpasi : dalam batas normal
Perkusi : dalam batas normal
Auskultasi : dalam batas normal
Ekstremitas
Inspeksi : dalam batas normal
Palpasi : dalam batas normal
I. Pemeriksaan Fisik (Status Neurologis)
GCS :456
Meningeal sign : KK (-), K (-), B I/II (-)
Nervus kranialis : dalam batas normal
Refleks fisiologis : BPR +2 | +2
TPR +2 | +2
KPR +2 | +2
APR +2 | +2
Refleks patologis : -
Motorik : dalam batas normal
Sensorik : dalam batas normal
Arus : koheren
Isi : memadai
Persepsi : halusinasi auditorik (-), halusinasi visual (-)
Ingatan : baik
Intelegensi : baik
Psikomotor : tenang
K. Diagnosis Multiaksial
Aksis I : F. 45.0 Gangguan Somatisasi
Aksis II : Z.03.2 Tidak ada Diagnosis Aksis II
Aksis III : Tidak ada diagnosis
Aksis IV : Masalah dengan "primary support group" (keluarga)
Aksis V : 90-81 (Gejala Ringan, disabilitas ringan)
L. Penatalaksanaan
Lansoprazol 1x30mg
Alprazolam 1x 0,5mg
Multivitamin 1x1
Pasien disarankan konsul ke dokter spesialis kejiwaan
M. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Quo ad Fuctional : Dubia Ad Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
BAB 4
PEMBAHASAN
BAB 5
KESIMPULAN
(1) Sadock BJ and Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadocks Concise Textbook of
Clinical Psychiatry. New York, Lippincott Williams & Wilkins Inc
(2) American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 4th ed. rev. Washington D.C, American Psychiatric
Association
(3) Mai F. 2004. Somatization Disorder : A Practical Review. Canadian Journal of
Psychiatry Vol. 49 (10) : 652 662
(4) Huwitz T. 2004. Somatization and Conversion Disorder. Canadian Journal of
Psychiatry 2003;49:172178
(11) Cognitive Behavioral Therapy for Woolfolk, R dan Lesley A. Allen. 2012.
Somatoform Disorders. Standard and Innovative Strategies in Cognitive
Behavior Therapy. 2012.
(12) Advanced Hypnotherapy: Hypnodynamic Techniques. John G. Watkins 2007
(13) K.A. Phillips,S.L. McElroy,P.E.Keck Jr., H.G.Pope, J.I. Hudson : Body Dysmorphic
Disorder:30 Cases of Imagined Ugliness. Am J Psychiatry 150:303,1993
(14) Thompson JK. Assessing body image disturbance; measures, methodology, and
implementation. In: Thompson JK, ed. Body Image, Eating Disorders, and
Obesity. Washington, DC: American Psychological Association, 1996:80.
(15) American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric Associations,
1994:5395550, 729.
(16) Zimmerman, M & Mattia, J.I. (1998) Body Disorder in psychiatric outpatients;
recognation, prevelance, comorbidity, demorgraphic and clinical disorder.
Compr Psychiatry,39(5),265-70
(17) Davidson, Gerald, dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada Press