Anda di halaman 1dari 26

Tugas Sejarah Seni Rupa

Sejarah busana kimono

Oleh :
Family Daymara Winandya Putri
NIM 1610012222

JURUSAN KRIYA FAKULTAS SENI RUPA


INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2016
Kimono

Pengantin wanita mengenakan kimono yang disebut shiromuku

Uchikake bermotif burung jenjang

A. KIMONO

Kimono ( ?) adalah pakaian tradisional Jepang. kimono adalah baju atau sesuatu
yang dikenakan (ki berarti pakai, danmono berarti barang). Pada zaman sekarang, kimono
berbentuk seperti huruf "T", mirip mantel berlengan panjang dan berkerah. Bentuk dasar
kimono merupakan pengembangan dari bentuk kaftan, panjang kimono dibuat hingga
ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan, sementara pria
mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah
bagian kiri. Sabuk kain yang disebut obi dililitkan dibagian perut/pinggang, dan diikat di
bagian punggung. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono adalah zri atau geta. Catatan
sejarah mencatat ada beberapa kimono-kimono yang berlaku di masyarakat Jepang pada
waktu itu. Di Jepang sendiri memiliki bentuk-bentuk pakaian tradisional yang hampir mirip
dengan kimono, namun dengan berkembangnya zaman pakaian tersebut kini di klasifikasikan
menjadi bagian-bagian dari kimono.

B. SEJARAH KIMONO

I. Zaman Jomon dan zaman Yayoi

Pakaian wanita pada sekitar tahun 1870

Pada zaman ini bentuk dasar kimono masih kabur, banyak arkeolog yang beranggapan
pada masa 300SM masayarakat jepang mengolah kulit kayu dan serat sayur untuk di jadikan
sebuah busana, yang kemudian dilapis dua dan dihias dengan seutas tali yang diikat. Bentuk
kimono pada zaman ini sangat sederhana. Kimono zaman Jomon dan zaman Yayoi berbentuk
seperti baju terusan. Ditemukan dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang zaman
Jomon yang disebut haniwa. Pakaian atas yang dikenakan haniwa disebut kantoi ().
Dalam Gishiwajibden (buku sejarah Cina mengenai tiga negara) ditulis tentang pakaian
sederhana untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan secara horizontal pada tubuh pria
seperti pakaian biksu, dan sehelai kain dililitkan di kepala. Pakaian wanita dinamakan kantoi.
Di tengah sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali digunakan sebagai
pengikat di bagian pinggang.
Masih menurut Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan
zaman dulu untuk Jepang) "selalu mengenakan pakaian kantoi berwarna putih". Serat rami
merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa, sementara orang berpangkat mengenakan kain
sutra.

II. Zaman Kofun

Pakaian zaman kofun mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan terdiri dari dua potong
pakaian: pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa mengenakan baju atas seperti mantel yang
dipakai menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah beruparok yang dililitkan di pinggang. Dari
penemuan haniwa terlihat pakaian berupa celana berpipa lebar seperti hakama.
Pada zaman Kofun mulai dikenal pakaian yang dijahit. Bagian depan kantoidibuat
terbuka dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit agar mudah dipakai. Selanjutnya, baju
atas terdiri dari dua jenis kerah:
Kerah datar sampai persis di bawah leher (agekubi)
Kerah berbentuk huruf "V" (tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada.

III. Zaman Nara


Aristokrat zaman Asuka bernama Pangeran shotoku menetapkan dua belas strata jabatan
dalam istana kaisar (kan-i jnikai). Pejabat istana dibedakan menurut warna hiasan penutup
kepala (kanmuri). Dalam kitab hukum Taiho Ritsutryo imuat peraturan tentang busana resmi,
busana pegawai istana, dan pakaian seragam dalam istana. Pakaian formal yang dikenakan
pejabat sipil (bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak. Pejabat militer mengenakan pakaian
formal yang tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar pemakainya bebas bergerak. Busana
dan aksesori zaman Nara banyak dipengaruhi budaya Cina yang masuk ke Jepang. Pengaruh
budaya Dinasti Tang ikut memopulerkan baju berlengan sempit yang disebut kosode untuk
dikenakan sebagai pakaian dalam.
Pada zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan kimono. Kimono pada
zaman ini memiliki bentuk ptongan yang lurus dengan kerah lembut yang lebar sehingga saat
di pakai akan jatuh dengan lembut dari bahu hingga pergelangan tangan. Pemakaian kimono
juga mulai berubah, yang sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerah bagian
kanan, pada zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Cara
mengenakan kimono dari zaman Nara terus dipertahankan hingga kini. Hanya orang
meninggal dipakaikan kimono dengan kerah kiri berada di bawah kerah kanan.
IV. Zaman Heian
Menurut aristokrat Sugawara Michizane, penghentian pengiriman utusan Jepang untuk
Dinasti Tang (kentoshi) memicu pertumbuhan budaya lokal. Pada masa ini para bangsawan
jepang berinisiatif menciptakan gaya berbusana senidiri, terutama para bangsawan wanita.
Tata cara berbusana dan standardisasi protokol untuk upacara-upacara formal mulai
ditetapkan secara resmi. Ketetapan tersebut berakibat semakin rumitnya tata busana zaman
Heian. Wanita zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis sbanyak 12 lapis yang
disebut jnihitoe. Masa ini kimono masih bentuk mengikuti potongan kotak tapi dengan
ukuran yang ekstra besar, ditambah dengan lipatan ekor yang panjang dengan rambut yang
digerai sehingga memberikan kesan anggun. Pada masa ini muncul asosiasi pengadilan
kimono untuk mengkritisi kimono pada masa itu agar mendapatkan keharmonisan warna
yang pas. Tidak hanya wanita zaman Heian, pakaian formal untuk militer pada masa ini juga
menjadi tidak praktis.
Ada tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:
Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)
I-kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan
dari sokutai)
Noshi (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan).
Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut suikan atau kariginu ( ), arti
harafiah: baju berburu). Di kemudian hari, kalangan aristokrat menjadikan kariginu sebagai
pakaian sehari-hari sebelum diikuti kalangan samurai.
Pada zaman Heian terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan samurai, dan
bangsawan istana dijauhkan dari dunia politik. Pakaian yang dulunya merupakan simbol
status bangsawan istana dijadikan simbol status kalangan samurai.
V. Zaman Kamakura dan zaman Muromachi
Pada zaman Sengoku, kekuasaan pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai
mengenakan pakaian yang disebut suikan. Pakaian jenis ini nantinya berubah menjadi
pakaian yang disebut hitatare. Pada zaman Muromachi,hitatare merupakan pakaian resmi
samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang disebut su ( ), yakni
sejenis hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas su adalah lambang
keluarga dalam ukuran besar di delapan tempat.
Pakaian wanita juga makin sederhana. Rok bawah yang disebut mo ( ) makin pendek
sebelum diganti dengan hakama. Setelan mo dan hakama akhirnya hilang sebelum diganti
dengan kimono model terusan, dan kemudian kimono wanita yang disebut kosode. Wanita
mengenakan kosode dengan kain yang dililitkan di sekitar pinggang (koshimaki)
dan/atau yumaki. Mantel panjang yang disebut uchikake dipakai setelah memakai kosode.
VI. Awal zaman Edo
Penyederhaan pakaian samurai berlanjut hingga zaman Edo. Pakaian samurai zaman Edo
adalah setelan berpundak lebar yang disebut kamishimo ( ). Satu setel kamishimo terdiri
dari kataginu ( ) dan hakama. Di kalangan wanita,kosode menjadi semakin populer
sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren busana.
Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung sandiwara kabuki. Penemuan cara
penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut nishiki-e atau ukiyo-emendorong makin
banyaknya lukisan pemeran kabuki yang mengenakan kimono mahal dan gemerlap. Pakaian
orang kota pun cenderung makin mewah karena iking meniru pakaian aktor kabuki.
Kecenderungan orang kota berpakaian semakin bagus dan jauh dari
normakonfusianisme ingin dibatasi oleh Kenshogunan Edo. Secara bertahap pemerintah
keshogunan memaksakan kenyaku-rei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas.
Pemaksaan tersebut gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa
dibendung. Tradisi upacara minum teh menjadi sebab kegagalankenyaku-rei. Orang
menghadiri upacara minum teh memakai kimono yang terlihat sederhana namun ternyata
berharga mahal.
Tali pinggang kumihimo dan gaya mengikat obi di punggung mulai dikenal sejak zaman
Edo. Hingga kini, keduanya bertahan sebagai aksesori sewaktu mengenakan kimono.
VII. Akhir zaman Edo
Politik isolasi (sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra. Kimono mulai dibuat
dari benang sutra produksi dalam negeri. Pakaian rakyat dibuat dari kain sutra
jenis crape lebih murah. Setelah terjadi kelaparan zaman Temmei(1783-1788), Keshogunan
Edo pada tahun 1785 melarang rakyat untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian orang
kota dibuat dari kain katun atau kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk
awal dari furisodepopuler di kalangan wanita.
VIII. Zaman Meiji dan zaman Taisho
Industri berkembang maju pada zaman Meiji. Produksi sutra meningkat, dan Jepang
menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal
berjenis-jenis kain sutra. Peraturan pemakaian benang sutra dinyatakan tidak berlaku.
Kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain sutra.
Industri pemintalan sutra didirikan di berbagai tempat di Jepang. Sejalan dengan pesatnya
perkembangan industri pemintalan, industri tekstil benang sutra ikut berkembang. Produknya
berupa berbagai kain sutra, mulai dari kain krep, rinzu, omeshi, hingga meisen.
Tersedianya beraneka jenis kain yang dapat diproses menyebabkan berkembangnya
teknik pencelupan kain. Pada zaman Meiji mulai dikenal teknikyuzen, yakni menggambar
dengan kuas untuk menghasilkan corak kain di atas kain kimono.
Sementara itu, wanita kalangan atas masih menggemari kain sutra yang bermotif garis-
garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus. Mereka mengenakan kimono dari
model kain yang sudah populer sejak zaman Edo sebagai pakaian terbaik sewaktu menghadiri
acara istimewa. Hampir pada waktu yang bersamaan, kain sutra hasil tenunan benang
berwarna-warni hasilpencelupan mulai disukai orang.
Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai masuk ke Jepang, penjahitlokal mulai
bisa membuat pakaian Barat. Sejak itu pula, istilah wafuku dipakai untuk membedakan
pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Ketika pakaian
Barat mulai dikenal di Jepang, kalangan atas memakai pakaian Barat yang dipinjam dari toko
persewaan pakaian Barat.
Di era modernisasi Meiji, bangsawan istana mengganti kimono dengan pakaian Barat
supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang kota yang ingin melestarikan tradisi
estetika keindahan tradisional tidak menjadi terpengaruh. Orang kota tetap berusaha
mempertahankan kimono dan tradisi yang dipelihara sejak zaman Edo. Sebagian besar pria
zaman Meiji masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Setelan jas sebagai busana
formal pria juga mulai populer. Sebagian besar wanita zaman Meiji masih mengenakan
kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak
perempuan.
Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer. Seragam tentara
angkatan darat menjadi model untuk seragam sekolah anak laki-laki. Seragam anak sekolah
juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak
(stand-up collar) persis model kerah seragam tentara. Pada akhir zaman Taisho, pemerintah
menjalankan kebijakan mobilisasi. Seragam anak sekolah perempuan diganti dari
andonbakama (kimono dan hakama) menjadi pakaian Barat yang disebut serafuku (sailor
fuku), yakni setelan blus mirip pakaian pelaut dan rok.
IX. Zaman Showa
Semasa perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki.
Pakaian seragam untuk laki-laki disebut kokumin fuku (seragam rakyat). Wanita dipaksa
memakai monpei yang berbentuk seperti celana panjang untuk kerja dengan karet di bagian
pergelangan kaki.
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II wanita Jepang mulai kembali mengenakan
kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena tuntutan modernisasi. Dibandingan kerumitan
memakai kimono, pakaian Barat dianggap lebih praktis sebagai pakaian sehari-hari.
Hingga pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai wanita Jepang sebagai
pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono terangkat kembali setelah
diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol. Wanita zaman itu menyukai
kimono dari wol sebagai pakaian untuk kesempatan santai.
Setelah kimono tidak lagi populer, pedagang kimono mencoba berbagai macam strategi
untuk meningkatkan angka penjualan kimono. Salah satu di antaranya dengan mengeluarkan
"peraturan mengenakan kimono" yang disebut yakusoku. Menurut peraturan tersebut, kimono
jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan aksesori tertentu. Maksudnya untuk mendikte
pembeli agar membeli sebanyak mungkin barang. Strategi tersebut ternyata tidak disukai
konsumen, dan minat masyarakat terhadap kimono makin menurun. Walaupun pedagang
kimono melakukan promosi besar-besaran, opini "memakai kimono itu ruwet" sudah
terbentuk di tengah masyarakat Jepang.
Hingga tahun 1960-an, kimono masih dipakai pria sebagai pakaian santai di rumah.
Gambar pria yang mengenakan kimono di rumah masih bisa dilihat dalam
berbagai manga terbitan tahun 1970-an. Namun sekarang ini, kimono tidak dikenakan pria
sebagai pakaian di rumah, kecuali samue yang dikenakan para perajin.
C. JENIS KIMONO
1. Kimono wanita

jenis kimono yang tepat memerlukan pengetahuan mengenai simbolisme dan isyarat
terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas kimono wanita
ditentukan oleh pola tenunan dan warna, mulai dari kimono paling formal hingga kimono
santai. Berdasarkan jenis kimono yang dipakai, kimono bisa menunjukkan umur pemakai,
status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.

Kurotomesode

Tomesode adalah kimono paling formal untuk wanita yang sudah menikah. Bila
berwarna hitam, kimono jenis ini disebut kurotomesode (arti harfiah: tomesode hitam).
Kurotomesode memiliki lambang keluarga (kamon) di tiga tempat: 1 di punggung, 2 di dada
bagian atas (kanan/kiri), dan 2 bagian belakang lengan (kanan/kiri). Ciri khas kurotomesode
adalah motif indah pada suso(bagian bawah sekitar kaki) depan dan belakang. Kurotomesode
dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan dan acara-acara yang sangat resmi.
Irotomesode

Tomesode yang dibuat dari kain berwarna disebut irotomesode (arti harfiah: tomesode
berwarna). Bergantung kepada tingkat formalitas acara, pemakai bisa memilih jumlah
lambang keluarga pada kain kimono, mulai dari satu, tiga, hingga lima buah untuk acara yang
sangat formal. Kimono jenis ini dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah.
Kimono jenis irotomesode dipakai untuk menghadiri acara yang tidak memperbolehkan tamu
untuk datang memakai kurotomesode, misalnya resepsi di istana kaisar. Sama halnya seperti
kurotomesode, ciri khas irotomesode adalah motif indah pada suso.
Furisode

Furisode adalah kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan
berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian kain. Ciri khas furisode
adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Furisode dikenakan sewaktu
menghadiri upacara seijin shiki, menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda,
atau hatsumode. Pakaian pengantin wanita yang disebut hanayome ish termasuk salah satu
jenis furisode.
Homongi

Hmon-gi ( ), arti harfiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk
wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk memakai
bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas homongi adalah motif di
seluruh bagian kain, depan dan belakang. Homongi dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi
pernikahan, upacara minum teh, atau merayakan tahun baru.
Iromuji

Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut
memiliki lambang keluarga (kamon). Sesuai dengan tingkat formalitas kimono, lambang
keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada).
Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah
jambu, biru muda, ataukuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan lambang
keluarga di 5 tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan. Bila menghadiri
upacara minum teh, cukup dipakai iromuji dengan satu lambang keluarga.

Tsukesage

Tsukesage adalah kimono semiformal untuk wanita yang sudah atau belum menikah.
Menurut tingkatan formalitas, kedudukan tsukesage hanya setingkat dibawah homongi.
Kimono jenis ini tidak memiliki lambang keluarga. Tsukesage dikenakan untuk menghadiri
upacara minum teh yang tidak begitu resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan
tahun baru.

Komon

Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas
kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil-kecil yang berulang. Komon
dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau
menonton pertunjukan di gedung.
Tsumugi

Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang
sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk
keluar rumah seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain
hasil tenunan sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan
kasar. Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.

Yukata

Yukata adalah kimono santai yang dibuat dari kain katun tipis tanpa pelapis untuk
kesempatan santai di musim panas.
Maiko Hikizuri

Susohiki adalah kimono-kimono yang dipakai khusus oleh para geisha dan maiko.
2. Kimono pria

Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti hijau tua, coklattua, biru tua,
dan hitam.

Kimono paling formal berupa setelan montsuki hitam dengan hakama danhaori

Bagian punggung montsuki dihiasi lambang keluarga pemakai. Setelan montsuki yang
dikenakan bersama hakama dan haori merupakan busana pengantin pria tradisional. Setelan
ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi pemberian
penghargaan dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.
Kimono santai kinagashi

Pria mengenakan kinagashi sebagai pakaian sehari-hari atau ketika keluar rumah pada
kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki mengenakannya ketika berlatih. Kimono jenis ini tidak
dihiasi dengan lambang keluarga.
D. Aksesori dan Pelengkap
1. Hakama
Hakama adalah celana panjang pria yang dibuat dari bahan berwarna gelap.
Celana jenis ini berasal dari daratan Cina dan mulai dikenal sejak zaman Asuka.
Selain dikenakan pendeta Shinto, hakama dikenakan pria dan wanita di bidang
olahraga bela diri tradisional seperti kendo atau kyudo.

2. Geta
Geta adalah sandal berhak dari kayu. Maiko memakai geta berhak tinggi dan
tebal yang disebut pokkuri

3. Kanzashi
Kanzashi adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut
sewaktu memakai kimono.
4. Obi

Obi adalah sabuk dari kain yang dililitkan ke tubuh pemakai sewaktu mengencangkan
kimono. Obi untuk kimono biasanya terbuat dari kain sutra. Cara pemakaian Obi sangat
sederhana, Obi dililitkan seperti halnya memakai setagen. Kimono wanita dipakai bersama
obi berhiaskan corak tenun atau bordir-an. Obi wanita dibagi menjadi 4 :

Fukuro Obi digunakan untuk kimono formal (Tomesode, Furisode, Iromuji,


Tsukesage). Terbuat dari kain bercorak yang mewah dan hasil tenunan.
Nagoya Obi digunakan untuk Komon dan Tsumugi. Terbuat dari kain bercorak di dua
tempat (depan dan belakang) hasil pencelupan atau tenun.

Hanhaba Obi digunakan untuk Yukata dan Tsumugi. Terbuat dari kain berwarna
bercorak sepanjang kain hasil tenunan atau tanpa corak.

Heko Obi untuk kimono santai dirumah. Terbuat dari kain lentur dan tipis. Caranya
diikat dibelakang seperti ikatan kupu-kupu, juga sewaktu anak laki-laki dan perempuan
mengenakan Yukata.
Maru Obi, Obi yang paling formal. Dengan motif yang panjang. Maru Obi Klasik
mempunyai lebar 30cm.

Obi pria dibedakan menjadi 2:

Kaku Obi = untuk kimono formal (Montsuki)

Heko Obi = untuk kimono santai dirumah. Terbuat dari kain lentur dan tipis. Caranya
diikat dibelakang seperti ikatan kupu-kupu, juga sewaktu anak laki-laki dan perempuan
mengenakan Yukata.
5. Tabi
Tabi adalah kaus kaki sepanjang betis yang dipakai sewaktu memakai sandal.

6. Waraji
Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.

7. Zri
Zri adalah sandal tradisional yang dibuat dari kain atau anyaman.
Referensi

https://id.wikipedia.org/wiki/Kimono

Makalah tugas program studi pendidikan dan sastra bahasa jepang Fakultas ilmu budaya
Universitas brawijaya

Mata kuliah sejarah fashion Perkembangan Bentuk Dasar Busana Dinegara Timur Esther
Mayliana

Anda mungkin juga menyukai