Force majeure atau dikenal dengan force majeure atau dikenal
dalam hukum Indonesia dengan overmacht merupakan salah satu konsep
dalam hukum perdata dan diterima sebagai prinsip dalam hukum. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa force majeure atau vis major dapat diterima sebagai suatu alasan untuk tidak memenuhi pelaksanaan kewajiban karena hilangnya/lenyapnya objek atau tujuan yang menjadi pokok perjanjian. Keadaan ini ditujukan terhadap pelaksanaan secara fisik dan hukum, bukan dikarenakan hanya kesulitan dalam melaksanakan kewajiban.
Force majeure pengaturannya di Indonesia terdapat dalam Pasal
1244 dan 1245 KUHPerdata, namun apabila dikaji lebih lanjut ketentuan tersebut lebih menekankan bagaimana tata cara penggantian biaya, rugi dan bunga akan tetapi dapat dijadikan acuan sebagai pengaturan force majeure.
Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai keadaan
memaksa merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Adapun macam-macam keadaan memaksa, yaitu: keadaan memaksa yang absolut (absolut onmogelijkheid) dan keadaan memaksa yang relatif (relatieve onmogelijkheid)
A. Keadaan memaksa yang absolut
Keadaan memaksa yang absolut merupakan suatu keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Sedangkan keadaan memaksa yang relatif, merupakan suatu keadaan yang menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Pada pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar.
B. Keadaan memaksa yang relatif
Keadaan memaksa yang relatif merupakan suatu keadaan dimana Debitur dikatakan dalam keadaan Overmacht, apapbila pemenuhan prestasi itu bagi Debitur itu sendiri memang tidak dapat dilakukan, tetapi orang lain mungkin masih bisa melakukan. Menurut ajaran Inspanning Leer dari F.J.Houwing menyatakan bahwa Debitur dinyatakan bahwa tidak dapat melakukan prestasinya karena Overmacht yang subjektif, dengan satu ketentuan yaitu Debitur harus berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi prestasi tersebut.
C. Syarat terjadinya Force majeure
Pertama, peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah tidak terduga oleh para pihak, atau tidak termasuk dalam asumsi dasar (basic assumption) pada saat para pihak membuat kontrak itu (Pasal 1244 KUHPerdata); Kedua, peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan presentasi (pihak debitur) tersebut (Pasal 1244 KUHPerdata); Ketiga, peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure itu diluar kesalahan pihak debitur, (Pasal 1244 KUHPerdata); Keempat, peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh Debitur. Ini merupakan perumusan yang kurang tepat, sebab yang semestinya tindakan tersebut diluar kesalahan para pihak (Pasal 1545 KUHPerdata), bukan tidak sengaja. Sebab, kesalahan para pihak baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun yang tidak sengaja, yakni dalam bentuk kelalaian (negligence); Kelima, para pihak tidak dalam keadaan itikat buruk (Pasal 1244 KUHPerdata); Keenam, jika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan seperti seolaholah tidak pernah dilakukan perjanjian(Pasal 1545 KUHPerdata); Ketujuh, jika terjadi force majeure, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi. Vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUHPerdata. Akan tetapi karena kontrak yang bersangkutan menjadi gugur karena adanya force majeure, maka untuk menjaga terpenuhinya unsur-unsur keadilan, pemberian restitusi atau quantum merit tentu masih dimungkinkan; Kedelapan, resiko sebagai akibat dari force majeure, beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUHPerdata). Pasal 1460 KUHPerdata mengatur hal ini secara tidak tepat (di luar sistem).
D. Ajaran membatasi Force Majeure
Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum. Klausula eksonerasi mempunyai tujuan utama, yaitu mencegah pihak konsumen merugikan kepentingan pelaku usaha. Agar dapat menghindari kerugian yang dialami oleh kepentingan pelaku usahanya maka, pelaku usaha menciptakan syarat baku yang disebut eksonerasi. Dalam perjanjian standar, dapat dirumuskan klausula eksonerasi karena keadaan memaksa, karena perbuatan pihak-pihak dalam perjanjian. Dengan demikian, ada tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian, yaitu : Eksonerasi karena keadaan memaksa, Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab pihak-pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen, pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak kedua Kerugian yang timbul karena kesalahan pelaku usaha seharusnya menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai melaksanakan kewajiban terhadap pihak kedua. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak ketiga Kerugian yang timbul karena kesalahan pelaku usaha seharusnya menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian yang timbul dibebankan pada pihak kedua yang ternyata menjadi beban pihak ketiga.
Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula-klausula baku
yang mengandung klausula eksonerasi tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.
E. Akibat force majeuire
Untuk kontrak sepihak yakni yang prestasinya hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja, maka memang terdapat ketentuan dalam bagian umum dari pengaturan kontrak, yaitu dalam pasal 1237 KUH Perdata, yakni pengaturannya mengenai resiko. Sebagaimana diketahui bahwa akibat penting dari adanya force majeure adalah siapakah yang harus menanggung resiko dari adanya peristiwa yang merupakan force majeure tersebut. Pasal 1237 KUH Perdata tersebut selengkapnya, menyatakan : dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, maka sejak perikatan-perikatan dilahirkan, benda tersebut menjadi tanggungan pihak kreditur. Dari ketentuan dalam pasal 1237 KUH Perdata tersebut diatas jelaslah bahwa jika terjadi force majeure atas kontrak sepihak, maka resikonya ditanggung oleh pihak penerima prestasi (kreditur). Kecuali jika pihak debitur lalai dalam memberikan prestasi, dimana sejak kelalaian tersebut menjadi resiko pihak pemberi prestasi (debitur). Lihat pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata.
Pengaturan force majeure dalam hubungan ganti rugi.
Ketentuan KUH Perdata yang mengatur mengenai force majeure ini dalam hubungan dengan ganti rugi adalah pasal 1244 dan pasal 1245 KUH Perdata. Lebih lengkapnya, pasal 1244 dan pasal 1245 KUH Perdata menentukan sebagai berikut : Pasal 1244 debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepat waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya. Pasal 1245 tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bungan, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya. Seperti telah dijelaskan bahwa dari rumusan-rumusan dalam pasal KUH Perdata seperti tersebut diatas dapat dilihat bentuk-bentuk force majeure menurut KUH Perdata, yaitu sebagai berikut : a. Force majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga, b. Force majeure karena keadaan memaksa. c. Force majeure karena perbuatan tersebut dilarang.
untuk kontrak-kontrak tertentu (kontrak bernama) memang terdapat
pasal-pasal khusus dalam KUH Perdata yang merupakan pengaturan tentang force majeure, khususnya pengaturan resiko sebagai akibat dari peristiwa force majeure tersebut, yaitu sebagai berikut:
Force majeure dalam kontrak jual-beli
Force majeure untuk kontrak jual beli, khususnya mengenai resiko sebagai akibat dari force majeure tersebut diatur dalam pasal 1460 KUH Perdata. Pasal 1460 KUH Perdata tersebut menyatakan : jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan sipembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan sipenjual berhak menuntut harganya. Dengan demikian, menurut pasal 1460 tersebut maka setelah kontrak jual beli tersebut ditandatangani resiko beralih kepada pihak penjual, sungguhpun benda tersebut belum diserahkan atau belum masanya diserahkan.
Force majeure dalam kontrak tukar-menukar
Untuk kontrak tukar-menukar, soal resiko sebagai akibat dari peristiwa force majeure diatur dalam pasal 1545 KUH Perdata. Pasal 1545 KUH Perdata tersebut menentukan : jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah diluar salah pemiliknya, maka kontrak dianggap gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi kontrak, dapat menuntut kembali barang yang telah dia berikan dalam tukar-menukar. Dari ketentuan dalam pasal 1545 KUH Perdata tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam suatu kontrak timbal balik, maka resiko akibat dari force majeure ditanggung bersama oleh para pihak. Jika ada para pihak telah terlanjur berprestasi dapat memintakan kembali prestasinya tersebut. Jadi kontrak tersebut dianggap gugur. Force majeure dalam kontrak sewa-menyewa Pengaturan force majeure untuk kontrak sewa-menyewa terdapat dalam pasal 1553 KUH Perdata. Pasal 1553 KUH Perdata tersebut selengkapnya berbunyi: jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka kontrak sewa-menyewa tersebut gugur demi hukum, jika barangnya hanya sebagian musnah, maka pihak penyewa dapat memilih menurut keadaan apakah dia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah dia akan meminta pembatalan sewa-menyewa. Dalam kedua hal tersebut, dia tidak berhak untuk meminta ganti rugi. Ketentuan resiko dalam kontrak sewa menyewa spreti terlihat dalam pasal 1553 KUH Perdata tersebut diatas menempatkan kedua belah pihak untuk menanggung resiko dari keadaan force majeure, tanpa adanya hak dari pihak yang merasa dirugikan untuk meminta ganti rugi. Ini juga merupakan ketentuan yang dapat dicontoh bagi penafsiran resiko dan force majeure untuk kontrak timbal balik lain selain dari kontrak sewa menyewa tersebut.