Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2014


UNIVERSITAS PATTIMURA

SKROFULODERMA

DisusunOleh:
Glen Sandi Saapang
(2008-83-008)

Pembimbing :

dr. Robby Kalew, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2014
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium

tuberculosis dan merupakan penyakit tersering pada negara-negara berkembang. Infeksi


tuberkulosis biasanya mengenai paru tapi juga mengenai bagian lain dari tubuh, salah

satunya adalah kulit. Infeksi tuberkulosis pada kulit disebut tuberkulosis kutis. 1 Faktor-

faktor predisposisi yang mempengaruhi infeksi tuberkulosis adalah kondisi lingkungan

yang buruk, kondisi ekonomi yang kurang, keadaan gizi yang buruk, serta infeksi HIV.

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah dunia. Sejak tahun 1993 WHO

sudah mendeklarasikan TB sebagai Global Healt Emergencies yang dikarenakan infeksi

TB yang semakin meningkat. WHO juga mengelompokan 22 negara masalah TB terbesar

(high burden countries) dan Indonesia merupakan negara high burden countries yang

menduduki urutan kelima didunia pada tahun 2010.

Infeksi tuberkulosis pada kulit (tuberkulosis kutis) sangat sulit didiagnosis karena

memiliki gambaran klinisnya yang mirip dengan penyakit kulit lainnya. 2 Diagnosis

tuberkulosis kutis bisa didapat dengan anemnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan

penunjang. Diagnosis yang terlambat dapat menyebabkan komplikasi yang berat.

Tuberkulosis kutis sering terjadi pada bayi dan orang dewasa dengan status

imunodisiensi. Frekuensinya sama pada pria maupun wanita. Di negara berkembang,

infeksi tuberkulosis merupakan masalah dan Indonesia sendiri merupakan negara kelima

dengan kasus tuberkulosis terbanyak didunia, tetapi jumlah infeksi tuberkulosis kutis

sudah sangat jarang ditemukan.1,3

Data insiden penyakit ini dari beberapa rumah sakit sekitar 1-4%. Di negara-

negara barat, frekuensi yang terbanyak terjadi adalah bentuk lupus vulgaris. Sedangkan

untuk daerah tropis seperti Indonesia, yang paling sering terjadi adalah skrofuloderma

dan tuberkulosis kutis verukosa.3 Skrofuloderma adalah jenis tuberkulosis kutis

multibasiler dan endogen yang berasal dari infeksi tulang, sendi dan limfe dibawah kulit. 2

Di daerah tropis, skrofuloderma lebih dominan. Lupus vulgaris lebih sering ditemukan

22
pada wanita, sedangkan tuberkulosis verukosa sering ditemukan pada laki-laki. 3

Tuberkulosis kutis yang sering ditemukan pada anak-anak adalah skrofuloderma. Di

Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) tuberkulosis kutis (skrofuloderma)

merupakan bentuk tersering dengan presentase kasus sebesar 84% disusul dengan

tuberkulosis verukosa sebesar 13%.2

BAB II

LAPORAN KASUS

23
I. Identitas Pasien
Nama : An. M.C.P
No. RM : 00-24-67
Tanggal lahir/Umur : 19 Juni 2013 / 1 tahun 4 Bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Anak ke : 1 dari 1 saudara
Alamat Orang Tua : Batu Gajah
Bangsa/suku : Indonesia
BBL/PBL : 9 Kg/77cm
Ruang perawatan : Poliklinik Anak BP4
Nama orang tua : Tn.GP dan Ny.WP
Jam periksa : 18.00 WIT

II. Status Umum


Pembuatan status didasarkan anamnesis langsung ke keluarga pasien dan dari status

pasien selama berkunjung ke poliklinik anak di BP4 yang dibuat pada tanggal 1

Oktober 2014 dan 31 Oktober 2014 pukul 18.00 WIT.


a) Keluhan utama : Luka pada leher
b) Keluhan tambahan : Benjolan pada daerah sekitar leher, batuk lendir.
c) Riwayat penyakit sekarang:
Seorang anak laki-laki diantar oleh keluarganya dengan keluhan luka pada leher

sebelah kiri yang dialami 1 minggu yang lalu sebelum datang ke poliklinik

anak. Keluhan ini awalnya hanya berupa benjolan pada leher kiri yang dialami

pasien selama 3 minggu sebelum datang ke poliklinik anak. Banjolan yang

dialami semakin hari semakin membesar dan kemudian pecah. Benjolan yang

24
pecah ini mengeluarkan cairan berwarna bening kecokelatan tanpa disertai

darah. Selain itu, pasien juga mengalami batuk sejak 2 minggu sebelum

datang ke poliklinik anak. Batuk yang dialami disertai lendir dan hilang timbul

serta tidak menentu waktu munculnya. Menurut keluarga pasien, sejak

mengalami batuk pasien tampak lemas dan kurang aktif bermain. Nafsu makan

pasien juga mulai menurun dan lebih suka minum susu.

Riwayat pengobatan sebelumnya :


Sebelum ke poliklinik anak BP4, pasien sebelumnya pernah diantar keluarganya

ke poliklinik anak RSUD. Dr. M. Haulussy 6 hari sebelumnya dengan keluhan

benjolan pada leher yang baru pecah 1 hari sebelumnya. Oleh dokter spesialis

anak sebelumnya pasien dikonsul ke poliklinik bedah karena dicurigai

mengarah ke penyakit bedah. Sewaktu datang ke polklinik bedah pada hari yang

sama, pasien direncanakan untuk dilakukan debridement dan dianjurkan untuk

foto rontgen thorax tapi tidak sempat dilakukan karena sudah terlalu siang.

Riwayat keluarga :
Berdasarkan anamnesis yang dilakukan dengan ibu dan kakek pasien diketahui

bahwa dalam keluarga ada yang mengalami batuk-batuk lama yaitu paman

pasien, tapi intensitasnya tidak terlalu sering dan tidak pernah mendapat

pengobatan.

III. Status neonatologi dan tumbuh kembang


Pasien lahir di rumah sakit ditolong oleh bidan dilahirkan secara spontan dan air

ketubah berwarna jernih. BBL 3400 gr, PBL 50 cm. Diagnosis lahir BCB-SMK,

riwayat Pemberian vitamin K (+), riwayat ibu keguguran tidak ada. Riwayat berbalik

saat 3 bulan, duduk saat 7 bulan, berdiri saat 9 bulan, gigi pertama pasien muncul

25
saat berumur 10 bulan, dan mulai berbicara saat 12 bulan. Status ASI mulai dari 0-10

bulan, mulai makan makanan lunak pada usia 6 bulan.

IV. Status Gizi pada saat pertama datang ke poliklinik anak:


BB : 9 Kg
PB : 77 cm
IMT : 90%
Status Gizi : Gizi baik

Status Gizi setelah mendapatkan terapi:


BB : 10
PB : 77
IMT : 92%
Status Gizi : Gizi baik

V. Status Imunisasi :

Vaksin Jumlah Belum Tidak Vaksin Jumlah Belum Tidak Vaksin Jumlah Belum Tidak
Pernah Tahu Pernah
Tahu Pernah Tahu
BCG 1 Hib + Hep.A +
Hep.B 3 PVC + Varisela +
Polio 4 Influenza + HPV +
DPT 3 MMR + Lain- +

lain
Campak 1 Tifoid + Lengka +

VI. Pemeriksaan Fisik saat kunjungan di rumah


Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V54M6)
Tanda Vital: Nadi:112 x/menit, Pernapasan: 28 x/menit,
Suhu : 36,90C
Kulit : Pucat (-), Petekhie (-), Ikterus (-)

Pemeriksaan kepala dan wajah :


- Normosefal, rambut berwarna hitam, tipis, wajah tampak segar.
- Lingkar kepala : 49 cm
- Mata : cekung (+), palpebra edema -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,

refleks pupil +/+, isokor.


- Hidung : tidak tampak kelainan, rinorea (-/-)
- Bibir/Sel mulut : mukosa kering (+), pucat (+)

26
- Gigi : Intak
- Caries : (-)
- Tenggorokan : Edema (-), hiperemis (-)
- Leher : Sikatrik Skrofulderma regio cervikal sinistra (+). Pada saat pertama kali

datang ke poliklinik anak, ditemukan skrofuloderma pada regio cervikal

sinistra dengan ukuran kira-kira sebesar lingkaran bola pimpong.


- Telinga : Otohrea (-/-)
- Tonsil : T1=T2, hiperemis (-/-)
- Kelenjar limfa : pembesaran (-). Pada saat pertama datang ke poliklinik

terdapat pembesaran kelenjar getah bening multiple regio submandibula,

coli, dan servikal dextra dan sinistra berukuran > 2cm, konsistensi kenyal,

mobile, dan nyeri tekan (-).

Neurologi
- Refleks pupil : +/+
- Nervus Kranialis : Normal
- Refleks cahaya : +/+

Toraks :

- Inspeksi : simetris ka = ki, pergeseran simetris, retraksi dada(-)


- Palpasi : sela iga ka = ki, vocal fremitus +/+, nyeri tekan (-)
- Perkusi : sonor +/+
- Auskultasi : vesiculer +/+, Rh -/-, Wh -/-. Saat pertama datang ke poliklinik

pasien terdengar batuk berlendir.


- Lingkar dada : 51 cm

Jantung :

- Inspeksi : simetris ka = ki
- Palpasi : Batas jantung kiri linea midclavicularis kiri Batas jantung

kanan parasternalis kanan, batas jantung atas ICS III kiri, Ictus

kordis (-), Thrill (-), shouffle (-).

- Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni, reguler

27
Abdomen :

- Inspeksi : Datar
- Palpasi : Supel , nyeri tekan (-)
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Hepar : Tidak teraba
- Lien : Tidak teraba
- Lingkar perut : 53 cm

Genitalia : tidak ada kelainan

Ekstremitas :

- Col. Vertebralis : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-), gibus (-)
- KPR : +/+ Normal
- APR : +/+ Normal
- Refleks Patologis : Babinski (-)
- Refleks Fisiologis : +/+ Normal
- Kekuatan : 5555
- Tonus : Eutonis
- Lingkar lengan atas : 25 cm
- Edema : (-)
Tabel Skoring TB pada Pasien An. M.C.P saat datang ke poliklinik

Parameter 0 1 2 3 Hasil
Kontak TB Tidak jelas BTA (-) Lapora Kontak
n dengan
keluar pasien BTA
ga (+)
kontak 0
dengan
pasien
BTA
(-)
Uji Negatif Positif ( Belum

28
tuberkulin 10mm atau
5mm pd
dilakuk
keadaan
an
imunosupre
si)
Status gizi BB/TB Klinis
<90% atau Gizi
BB/U < 80% Buruk
atau
BB/TB 0
<70%
atau
BB/U
<60%
Demam 2 minggu
tanpa sebab 0
jelas
Batuk 3 minggu 0
Pembesaran 1 cm,
kelenjar jumlah >1, 1
limfe tidak nyeri
Pembengkak Ada
an Pembengkak 0
tulang/sendi an
Foto toraks Normal/tid Sugestif TB
0
ak jelas
Jumlah 1

Pada kasus ini skoring TB tidak perlu dilakukan karena sudah ditemukan adanya

Sklufoderma.

VII. Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

29
VIII. Diagnosis kerja
Skrofuloderma

IX. Resume
Seorang anak laki-laki 1,2 tahun dengan BB 9 kg diantar oleh keluarganya

dengan keluhan luka pada leher sebelah kiri yang dialami 1 hari yang lalu

sebelum datang ke poliklinik anak. Keluhan ini awalnya hanya berupa benjolan

pada leher kiri yang dialami pasien selama 2 minggu sebelum datang ke

poliklinik anak. Banjolan yang dialami semakin hari semakin membesar dan

kemudian pecah. Benjolan yang pecah ini mengeluarkan cairan berwarna

bening kecokelatan tanpa disertai darah. Selain itu, pasien juga mengalami

batuk sejak 2 minggu sebelum datang ke poliklinik anak. Batuk yang dialami

disertai lendir dan hilang timbul serta tidak menentu waktu munculnya.

Menurut keluarga pasien, pasien terlihat lemas dan kurang aktif serta nafsu

makan pasien juga mulai menurun dan lebih suka minum susu. Riwayat

pengobatan sebelumnya pasien pernah diantar keluarganya ke poliklinik anak

RSUD. Dr. M. Haulussy 6 hari sebelumnya dengan keluhan benjolan pada

leher yang baru pecah 1 hari sebelumnya. Oleh dokter spesialis anak

sebelumnya pasien dikonsul ke poliklinik bedah karena dicurigai mengarah ke

penyakit bedah. Sewaktu datang ke polklinik bedah pada hari yang sama, pasien

direncanakan untuk dilakukan debridement dan dianjurkan untuk foto rontgen

thorax tapi tidak sempat dilakukan karena sudah terlalu siang. Pada riwayat

dalam keluarga ditemukan ada yang mengalami batuk-batuk lama yaitu paman

pasien, tapi intensitasnya tidak terlalu sering dan tidak pernah mendapat

pengobatan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, N : 112 x/ menit P : 28x/ menit, suhu

36,9C. Pada saat pertama kali datang ke poliklinik anak BP4 ditemukan

30
skrofuloderma daerah cervikal sinistra. Pada palpasi didapatkan Pembesaran

kelenjar getah bening multipel regio submandibula, coli, dan servikal dextra dan

sinistra, konsistensi kenyal, mobile dan tidak nyeri.

X. Riwayat Poliklinik

Tanggal Subjektive (S), objective (O), Planning

Assasement (A)
25 06 2014 S: Bengkak pecah, batuk (+) > 2 P: OAT FDC tahap awal

minggu 1 tablet/hari
O: BB : 9 Kg, limfadenopati Metronidazole tab 3 x

multiple regio 100 mg


Cefixim syrup 2x1/2cth
submandibula,coli, dan cervikal Puyer batuk (epexol 4,5

(+). Skrofuloderma regio mg + salbutamol 1mg)

cervikal sinistra (+) 3x1


A : Skrofuloderma
02 07 2014 S: Batuk berkurang, luka mulai P: OAT FDC tahap awal

mengering, bengkak pada leher 1tablet/hari


Metronidazole tab 3 x
berkurang, nafsu makan
100 mg
membaik. Cefixim syrup 2 x
O: BB : 9 kg, limfadenopati regio
1/2cth
submandibula, coli, cervikal,

skrofuloderma regio cervical

sinistra (+) berkurang.


A: Skrofuloderma.
6 8 2014 S: Luka mengering, nafsu makan P: OAT FDC tahap awal

membaik, batuk (-) 1 tablet/hari


O: BB : 9 kg, limfadenopati (-),

skrofuloderma regio cervikal

31
sinistra mulai mengering.
A: Skrofuloderma
30 08 2014 S: Nafsu makan baik , batuk (-) P: OAT FDC tahap

O: BB : 10 Kg (meningkat), lanjutan 1 tablet/hari

skrofuloderma mengering

(jaringan sikatrik sinistra mulai

muncul).
A: Skrofuloderma
10 09 2014 S: nafsu makan baik, batuk (-) P: OAT FDC tahap
O: BB : 10 Kg, skrofuloderma
lanjutan 1 tablet/hari
menutup (jaringan sikatrik regio

cervikal sinistra).
A: Skrofuloderma
01 10 2014 S: nafsu makan baik, batuk (-) P: OAT FDC tahap
O: BB : 10 Kg, jaringan sikatrik
lanjutan 1 tablet/hari
regio cervikal sinistra
A: Skrofuloderma perbaikan

Gambar 2. Gambaran skrofuloderma pada saat pasien pertama kali berobat ke poliklinik
anak BP4.

32
Gambar 3. Skrofuloderma yang mulai mengering pada pengobatan OAT bulan pertama.

Gambar 4. Gambaran jaringan sikatrik dari skrofuloderma yang sudah sembuh setelah
pengobatan bulan ke-4.

BAB III

DISKUSI

Seorang anak laki-laki diantar oleh keluarganya dengan keluhan luka pada leher

sebelah kiri yang dialami 1 hari yang lalu sebelum datang ke poliklinik anak. Keluhan ini

awalnya hanya berupa benjolan pada leher kiri yang dialami pasien selama 2 minggu

sebelum datang ke poliklinik anak. Banjolan yang dialami semakin hari semakin

membesar dan kemudian pecah. Benjolan yang pecah ini mengeluarkan cairan berwarna

33
bening kecokelatan tanpa disertai darah. Selain itu, pasien juga mengalami batuk sejak

2 minggu sebelum datang ke poliklinik anak. Batuk yang dialami disertai lendir dan

hilang timbul serta tidak menentu waktu munculnya. Menurut keluarga pasien, pasien

terlihat lemas dan kurang aktif bermain serta nafsu makan pasien juga mulai menurun dan

lebih suka minum susu. Pada kasus ini pasien langsung didiagnosis dengan

Skrofuloderma atas beberapa alasan sebagai berikut:

1. Menurut teori, tempat predileksi tersering pada skrofuloderma adalah regio

cervikal. Skrofuloderma pada cervikalis biasanya berasal dari paru dan tonsil

yang merupakan port dentry-nya. Aliran getah bening dari daerah hidung, faring,

dan tonsil ditampung oleh kelenjar getah bening submandibularis kemudian ke

servikalis profunda, karena itu bagi skrofuloderma dileher kuman dapat masuk

dari tonsil. Demikian pula aliran getah bening paru akan menuju ke kelenjar

getah bening tersebut. Sedangkan skrofuloderma yang terjadi di daerah axila dan

inguinal masing-masing berasal dari apex paru dan ekstremitas bawah.


Ciri dari skrofuloderma adalah biasanya muncul pada kelenjar getah bening

yang mengalami pembesaran (ada juga pada sendi yang biasanya berasal dari

tulang dibawahnya dan pada epididimis yang berasal dari vaksin BCG) secara

lambat. Pembesaran kelenjar getah bening ini akan pecah dan membentuk seperti

ulkus dengan tepi yang berwarna kebiruan, tidak terdapat radang, sekeret

biasanya dari bening hingga purulen, dan tidak nyeri. Skrofuloderma sering

terjadi pada anak dan dewasa muda, apalagi pada negara-negara berkembang

dimana presentase skrofuloderma tinggi.3,5


Pada kasus An. M.C.P dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemui,

skrofuloderma pada regio cervikal dengan ciri tepi yang berwarna kebiruan,

tidak ada tanda radang, tidak nyeri, dan sekret berwarna bening

kecokelatan. Pada pasien sebelumnya didahului oleh pembengkakan kelenjar

34
getah bening 2 minggu sebelumnya dan kemudian pecah. Dari gejala klinisnya,

daignosis skrofuloderma sesuai dengan literatur yang ada.

Pasien Tb anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada: (1)

anak yang kontak dengan pasien Tb menular (tinggal serumah) dan (2) anak yang

mempunyai gejala klinis yang sesuai dengan Tb anak. Gejala klinis penyakit ini berupa

gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu diingat bahwa gejala tuberkulosis

pada anak tidak khas karena mirip dengan gejala dari penyakit lain. Gejala

sistemik/umum pada anak yaitu berupa:5

1. Berat badan menurun tanpa penyebab yang jelas atau tidak meningkat setelah

perbaikan gizi yang adekuat selama 1 bulan.


2. Demam lama (2 minggu) dan atau berulang tanpa penyebab yang jelas. Keringat

pada malam hari bukan gejala klinis yang khas pada anak jika tidak disertai

dengan gejala sistemik lainnya.


3. Batuk lama 3minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau

intensitasnya semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat

disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang disertai dengan gagal tumbuh.
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten / menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan

baku diare.

Pada kasus An. M.C.P, dari anamnesis yang dilakukan pada ibu dan kakeknya

ditemukan bahwa ada orang yang mengalami batuk-batuk lama yang tinggal

serumah dengan pasien, yaitu paman pasien. Meskipun belum diketahui apakah paman

pasien merupakan penderita Tb atau bukan (karena belum dilakukan pemeriksaan dan

belum pernah menjalani pengobatan), sudah bisa dicurigai bahwa pasien bisa saja tertular

Tb dari pamannya dan merupakan pertimbangan untuk mendirikan diagnosis Tb paru

pada pasien. Ditambah lagi dengan keadaan klinis pasien yang mengarah pada Tb paru

35
yaitu batuk-batuk lama yaitu sejak 2 minggu sebelum diperiksa di poliklinik anak

(meskipun standarnya harus 3 minggu), penurunan nafsu makan (meskipun tidak

disertai gagal tumbuh), pasien cenderung lemas atau kurang aktif bermain, serta

ditemukannya skrofuloderma yang memperkuat diagnosis pasien sebagai penderita Tb

paru.

Cara infeksi dari kuman M. Tuberculosis ini ada 6 macam yaitu:

1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai

penyakit tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.


2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit

tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.


3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris.
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit

tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris dan,


6. Kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah menurun atau jika

ada kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.

Bila terjadi infeksi oleh kuman M. Tuberculosis ini, maka kuman ini akan masuk

jaringan dan mengadakan multiplikasi intraseluler. Hal ini akan memicu terjadinya reaksi

jaringan yang ditandai dengan datang dan berkumpulnya sel-sel leukosit dan dan sel-sel

mononuklear serta terbentuknya granuloma epiteloid disertai dengan adanya nekrosis

kaseasi ditengahnya. Granuloma yang terbentuk pada tempat infeksi paru disebut

ghonfocus dan bersamaan kelenjar getah bening disebut kompleks primer adalah

tuberculous chancre. Bila kelenjar getah bening pecah timbul skrofuloderma .

36
Gambar 1. Susunan kelenjar getah bening di kepala dan leher.

Skrofuloderma sering muncul pada kelenjar getah bening meskipun kadang juga

dapat berasal dari sendi dan tulang dan epididimis. Untuk itu sangat penting mengetahui

susunan kelenjar getah bening. Aliran getah bening dari daerah hidung, faring, dan tonsil

ditampung oleh kelenjar getah bening submandibularis kemudian ke servikalis profunda,

karena itu bagi skrofuloderma dileher kuman dapat masuk dari tonsil. Demikian pula

aliran getah bening paru akan menuju ke kelenjar getah bening tersebut.

Pada skrofuloderma di lipat paha yang diserang ialah kelenjar getah bening

inguinalis lateralis dan femoralis karena port dentree biasanya terletak di ekstremitas

bawah. Kelenjar getah bening inguinalis medialis merupakan kelenjar regional bagi

genitalia eksterna karena itu pada skrofuloderma biasanya tidak membesar. Pada stadium

lanjut dapat membesar akibat penjalaran dari kelenjar getah bening ingunalis lateralis.

Sedangkan kelenjar getah bening aksila merupakan kelenjar regional untuk ekstramitas

bagian atas.2

Pada daerah sendi dan tulang biasanya didahului dengan infeksi tuberkulosis pada

tulang yang berada dibawah jaringan kulit yang terdapat skrofuloderma. Sedangkan pada

daerah epididimis sering dicetus oleh vaksin BCG. 5

Gejala klinis pada skrofuloderma, lesi awal yang terbentuk adalah limfadenitis

tuberkulosis berupa nodus subkutan yang keras, berbatas tegas, mudah digerakan tanpa

37
disertai tanda infiltrasi. Seiring bertambah besarnya infiltrat, nodus ini akan menjadi

lunak. Jumlah limfadenitis pada awalnya hanya hanya terjadi pada beberapa kelenjar

getah bening yang semakin lama semakin banyak dan sebagian berkonfluensi. Dengan

bertambah besarnya limfadenitis maka terjadi periadenditis yang meyebabkan perlekatan

kelenjar getah bening tersebut dengan jaringan sekitarnya dan kemudian akan terjadi

perlunakan. Perlunakan yang terjadi tidak serentak sehingga menyebabkan konsistensinya

menjadi lunak dan kenyal (abses dingin). Abses dingin ini membutuhkan waktu berbulan-

bulan hingga mencair dan pecah. Abses akan memecah dan membentuk fistel serta

muaranya akan meluas dan menjadi ulkus yang mengeluarkan cairan bening hingga

purulen dan jaringan-jaringan kaseosa. Ulkus ini mempunyai sifat yang khas, yaitu

bentuknya memanjang dan tidak teratur, yang sekitarnya berwarna merah kerbiru-biruan

(livid), dinding bergaung; jaringan granulasinya tertutup oleh pus sero-purulen serta jika

mengering akan menjadi krusta berwarna kuning. Terowongan dan celah penghubung

(skin bridge) tergali di bawah kulit dan menghubungkan antara jaringan subkutan dengan

nodus yang sudah lunak.2,5

Gambaran klinik sikatrik dan skin bridge yang berbentuk tali dapat dilihat jika

skrofuloderma yang terjadi sudah menahun. Sehingga gambaran klinik keseluruhan

tergantung dari lamamya penyakit. Gambaran klinik skrofuloderma yang menahun akan

didapat kelainan sebagai berikut:2

a. Pembesaran banyak kelenjar getah bening. Dengan konsistensi kenyal dan

lunak tanpa tanda inflamasi.


b. Periadenitis
c. Abses dan fistel multiple
d. Ulkus dengan sifat yang khas
e. Sikatrik yang memanjang dan teratur
f. Jembatan kulit (skin bridge).

38
Skrofuloderma di daerah leher umumnya memiliki gambaran yang khas, sehingga

mungkin tidak perlu dibandingkan dengan diagnosis lain.5

Pemeriksaan panunjang untuk membantu mendiagnosis skrofuloderma yang

paling efektif adalah dengan BAJAH (biopsi aspirasi jarum halus)/ FNAB (fine needle

aspiration biopsy).6 Pemeriksaan ini merupakan kriteria diagnosis definitif. Pada

pemeriksaan tersebut dicari adanya M. Tuberculosis dengan cara biakan dan pemeriksaan

histopatologis jaringan. Hasil patologi anatomi dapat berupa tuberkel granuloma dengan

nekrotik dibagian tengahnya, terdapat sel datia Langerhans, sel epiteloid, limfosit, serta

BTA.1,6

Pada pasien ini tidak dilakukan lagi pemeriksaan penunjang seperti tes mantoux

ataupun skoring Tb untuk membantu mendiagnosis pasien sebagai penderita Tb paru dan

skrofuloderma karena pada saat datang ke dokter spesialis anak, pasien langsung

didiagnosis berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik. Alasan tidak dilakukannya

pemeriksaan penunjang adalah:5

1. Pada bulan Juli 2014 (saat pasien datang ke poliklinik anak BP4) tes tuberkulin

atau Mantoux tidak dapat dilakukan karena kehabisan serum.


2. Foto thoraks tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis Tb pada anak karena

gambaran Tb paru pada anak mirip dengan gambaran pada penyakit lain.
3. Sistim skoring Tb anak tidak terlalu berarti karena sudah ditemukan adanya

skrofuloderma. Menurut literatur, sistim skoring Tb pada anak dilakukan jika

adanya keterbatasan sarana pelayanan kesehatan dan jika pada anak telah

ditemukan adanya skrofuloderma, maka anak tersebut bisa langsung dilakukan

terapi sesuai dengan penatalaksanaan Tb paru.

Pada kasus ini pesien An. M.C.P diterapi dengan OAT 3 FDC 1 tablet/hari,

Metronidazole tab 3 x 100 mg, Cefixim syrup 2x1/2cth, Puyer batuk (epexol +

39
salbutamol) pada awal pengobatan. Terapi pada pasien ini sesuai dengan yang ada di

literatur yaitu pasien yang baru pertama kali terinfeksi mendapat regimen pengobatan

obat anti tuberkulosis (OAT) kategori 1. 2 Regimen ini diberikan selama enam bulan,

terdiri dari dua bulan fase intensif dan empat bulan fase lanjutan. Pengobatan fase intensif

adalah isoniazid (H), ethambutol (E), rimfapisin (R), dan pirazinamid (Z), sedangkan

pada fase lanjutan diberikan isoniazid (H) dan rifampisin (R). 2 Pasien hanya mendapat 1

tablet FDC per harinya, sedangkan menurut literatur seharusnya pasien dengan berat

badan 8-10 kg harus mendapat 2 tablet FDC perharinya.

Tabel 1. Dosis kombinasi pada Tb anak.5

FDC (fix drug combination)/ KDT (kombinasi dosis tetap) digunakan untuk

mempermudah pasien meminum obat sehingga meningkatkan ketaatan minum obat.

Pemberian metronidazole dan cefixime syrup bertujuan untuk mencegah terjadi infeksi

sekunder dan saat diberikan karena skrofuloderma pada pasien cukup diragukan karena

ukurannya yang sangat besar.

Cefixime bersifat bakterisid dan berspektrum luas terhadap mikroorganisme gram

positif dan gram negatif, seperti sefalosporin oral yang lain, cefixime mempunyai

aktivitas yang poten terhadap mikroorganisme gram positif seperti Streptococcus sp.,

Streptococcus pneumoniae, dan gram negatif seperti Branhamella catarrhalis, Escherichia

40
coli, Proteus sp., Haemophilus influenzae. Dosis cefixime untuk anak adalah 1,5 3

mg/kg BB/kali, 2 kali sehari. Sedangkan Metronidazole adalah antibakteri dan

antiprotozoa sintetik derivat nitroimidazoi yang mempunyai aktifitas bakterisid, amebisid

dan trikomonosid. Dalam sel atau mikroorganisme metronidazole mengalami reduksi

menjadi produk polar. Hasil reduksi ini mempunyai aksi antibakteri dengan jalan

menghambat sintesa asam nukleat. Metronidazole efektif terhadap Trichomonas

vaginalis, Entamoeba histolytica, Gierdia lamblia. Metronidazole bekerja efektif baik

lokal maupun sistemik. Dosis untuk anak adalah 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. 6

Pada kunjungan bulan pertama setelah pengobatan, kondisi pasien menunjukan

perbaikan dimana batuk yang sudah sangat berkurang dan skrofuloderma yang mulai

menutup. Terapi tetap dilanjutkan (puyer batuk dihentikan karena batuk yang sudah

sangat berkurang) sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa terapi dilanjutkan

jika ada perbaikan.

Pada kunjungan pasien bulan kedua dalam pengobatan, kondisi pasien

menunjukan perbaikan yang signifikan dimana sudah tidak ditemukan lagi batuk,

skrofuloderma yang mengering disertai limfadenopati yang berkurang serta adanya

perbaikan dari nafsu makan pasien. Pada kunjungan ketiga ini pasien masih tetap

diberikan terapi yang sama tapi dosis OAT menjadi FDC tahap lanjutan 1 tablet/hari

sesuai dengan fase lanjutan dan terapi yang lain dihentikan. Pada kunjungan terakhir

pasien yaitu pada pengobatan bulan ke tiga keadaan klinis pasien sudah sangat membaik

diman sudah tidak ada lagi keluhan dan terapi OAT fase lanjutan tetap diteruskan.

Menurut keluarga pasien, dirumah pasien teratur minum obat. Sesuai dengan literatur,

prognosis dari Tb paru dan skrofuloderma akan membaik jika pasien taat dan teratur

mengikuti pengobatan serta menjaga higienitas lingkungan. 5

41
BAB IV

KESIMPULAN

Seorang anak laki-laki 1,2 tahun dengan BB 9 kg diantar oleh keluarganya

dengan keluhan luka pada leher sebelah kiri yang dialami 1 hari yang lalu sebelum datang

ke poliklinik anak. Keluhan ini awalnya hanya berupa benjolan pada leher kiri yang

dialami pasien selama 2 minggu sebelum datang ke poliklinik anak. Banjolan yang

dialami semakin hari semakin membesar dan kemudian pecah. Benjolan yang pecah ini

mengeluarkan cairan berwarna bening kecokelatan tanpa disertai darah. Selain itu, pasien

juga mengalami batuk sejak 2 minggu sebelum datang ke poliklinik anak. Batuk yang

dialami disertai lendir dan hilang timbul serta tidak menentu waktu munculnya. Menurut

keluarga pasien, pasien terlihat lemas dan kurang aktif serta nafsu makan pasien juga

mulai menurun dan lebih suka minum susu. Pada riwayat dalam keluarga ditemukan ada

yang mengalami batuk-batuk lama yaitu paman pasien, tapi intensitasnya tidak terlalu

sering dan tidak pernah mendapat pengobatan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan, N :

112 x/ menit P : 28x/ menit, suhu 36,9C. Pada saat pertama kali datang ke poliklinik

anak BP4 ditemukan skrofuloderma daerah cervikal sinistra. Pada palpasi didapatkan

Pembesaran kelenjar getah bening multipel regio submandibula, coli, dan servikal dextra

dan sinistra, konsistensi kenyal, mobile dan tidak nyeri. Pasien didiagnosis Tb paru dan

42
Skrofuloderma serta mendapat pengobatan sesuai literatur dengan prognosis yang baik

karena ketaatan dan keteraturan pasien dalam mengikuti pengobatan.

1. Pasien didiagnosis TB paru dengan Skrofuloderma karena sesuai kriteria dimana

pada skrofuloderma terdapat ulkus yg berasal dari limfadenopati yang pecah,

tidak ada tanda radang, mobile, tidak ada nyeri tekan. Tb paru didiagnosis karena

adanya skrofuloderma pada area cervikal.


2. Terapi pada kasus ini adalah OAT/FDC, antibiotik untuk mencegah sekunder

infeksi dan mukolitik+bronkodilator sebagai pengobatan simptomatik.


3. Prognosis pada kasus ini baik, karena skrofuloderma sembuh dengan cepat.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Andriani Putu Indah: Pendekatan Klinis Infeksi Tuberkulosis Pada Kulit. CDK-219/

vol. 41, no. 8. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah;

2014.
2. Djuanda A. Tuberkulosis Kutis. dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.p 649.


3. Setiawan kayan: Tuberkulosis Kutis. Denpasar. Universitas Udayana From:

http://kasetjah.wordpress.com/2010/01/05/tuberkulosis-kutis/ [Accessed 2 Oktober

2014].
4. Nurman J, Setyanto DB. Skrofuloderma pada anak: penyakit yang terlupakan.

Laporan kasus. Sari Pediatri, Vol. 12, No. 2. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan

Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS. Dr. Cipto Mangunkusumo;

Agustus 2010.
5. Dinihari TN, Dewi RK. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Katalog Dalam

Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.
6. Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI. (2007). Farmakologi dan Terapi. Ed. 5.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 585.

44

Anda mungkin juga menyukai