Anda di halaman 1dari 5

Syok kardiogenik masih merupakan suatu kondisi dengan angka mortalitas yang

tinggi, angka kematian tersebut bervariasi dari 30% sampai 90%.


Meskipun dengan kemajuan terapi trombolitik, pengembangan metode bantuan
sirkulasi total atau sebagian dan transplantasi jantung pada pengobatan penyakit
jantung dalam 2 dekade terakhir.

Data terbaru yang diterbitkan dari 36 pusat yang berpartisipasi dalam Trial Registry
Shock di seluruh dunia melaporkan bahwa 1.380 pasien yang mengalami Infark
miokard akut (AMI) mempunyai angka kematian 63% di Rumah Sakit.

Sindrom klinis yang kompleks ini kemungkinan memiliki berbagai macam penyebab,
seperti kejadian akut atau merupakan tahap lanjut dari perjalanan penyakit disfungsi
ventrikel kiri(Gagal jantung kiri). Data terbaru menyebutkan bahwa telah diobservasi
terjadinya peningkatan jumlah pasien disfungsi ventrikel yang berhubungan langsung
dengan peningkatan usia rata-rata dari populasi. Pengenalan terapi baru seperti
penggunaan trombolisis pada AMI, Ace Inhibitors dan beta-blocker untuk pasien
dengan gagal jantung juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan jumlah
pasien tersebut.

DEFINISI

Syok kardiogenik adalah kondisis dimana terjadinya hipoperfusi jaringan


sistemik akibat ketidakmampuan jantung untuk memberikan output yang
adekuat bagi kebutuhan organ. Syok kardiogenik terjadi ketika penyebab
utamanya adalah kegagalan fungsi jantung. Gejala klinis syok kardiogenik
ditegakkan ketika munculnya hipotensi (TD Sistolik <90mmHg atau 30 mmHh
dibawah nilai basal) dan jaringan perifer yang mengalami hipoperfusi mulai terlihat
seperti oligouria, sianosis, akral dingin, dan perubahan tingkat kesadaran.
Menetapnya keadaan syok setelah dilakukan perbaikan dari faktor-faktor miokardial
dan ekstrakardial yang berkontribusi terhadap penurunan perfusi ke jaringan tubuh,
seperti hipovolemik, aritmia, hipoksia, gangguan keseimbangan asam basa metabolic
juga dapat menjadi tanda penegakan diagnosis syok kardiogenik. Ketika pemantauan
hemodinamik invasive tersedia maka diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan
beberapa perubahan berikut ini; TD Sistolik<90 mmHg, tekanan kapiler pulmoner
>18mmHg, cardio indx <1,81/mim/m2, sistemik vascular resistance index .2000
dyne.s/cm5/m2, peningkatan arteriovenous oxygen content difference>5,5ml.dL.
ETIOLOGI

Meskipun pada beberapa situasi klinis ditemukan penyebab seperti kegagalan


otot jantung akibat sepsis atau pancreatitis, ruptur cordae tendinious atau infeksi
katup sekunder pada endokarditis, reaksi penolakan transplantasi jantung, rupture
atau thrombosis katup buatan(prosthesis) dan aritmia ventrikel-supraventrikel yang
menghasilkan cardiac output rendah namun etiologi utama dari kondisi ini adalah
insufisiensi dari otot jantung akibat AMI. Pada tahun 70-an, mirowski et al, di
sebuah Rumah Sakit masyarakat mengamati bahwa, dari 1.246 pasien yang dirawat
secara berurutan dengan diagnosis AMI, 12% dari jumlah tersebut berkembang
menjadi syok kardiogenik, dengan angka kematian di rumah sakit 87%.
Perbandingan pasien dengan AMI yang berkomplikasi(berlanjut) menjadi syok
kardiogenik dan yang tidak sampai menjadi syok kardiogenik adalah pada pasien
yang memiliki usia lanjut dengan infark pada dinding anterior serta memiliki infark,
angina dan gagal jantung pada riwayat penyakit sebelumnya. Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa pasien yang mengalami syok kardiogenik setelah masuk rumah
sakit pada umumnya menderita diabetes, usia lanjut, berjenis kelamin wanita, dan
memiliki riawayat infark sebelumnya dengan peningkatan tinggi enzim jantung
terutama CKMB dan infark pada dinding anterior. Wanita menunjukkan predisposisi
yang lebih besar untuk terjadinya syok kardiogenik di dalam data terbaru Shock Trial
Registry.

Di dalam penelitian MILIS(Multicenter Investigation of Limitation of Infarct


Size -1989). Study 13(13 penelitian/13 orang) yang dilakukan prethrombolitik, usia
>65 tahun, fraksi ejeksi <35%, CKMB puncak lebih besar dari 160 IU/I, diabetes
mellitus dan sebelumnya mengalami infark dianggap sebagai faktor prediksi dan
independen untuk terjadinya syok kardiogenik. Kesempatan untuk terjadinya syok
kardiogenik dari semua faktor yang muncul tersebut bisa mencapai 54%. Dalam
penelitian ini, insiden terjadinya syok kardiogenik setelah rawat inap adalah 7,1%.
Data yang didapatkan dari penelitian multicenter ini menunjukkan bahwa pasien
dengan AMI, 1,5% sampai 2,5% tiba di rumah sakit dengan syok kardiogenik dan
7,1% terjadi selama hari pertama rawat inap. Beberapa lembaga peneltian seperti
ISIS-3 (International Study of Infarct Survival 3), TIMI IIIB (Thrombolysis in
Myocardial Infarction IIIB Study) dan GUSTO (Global Use Strategies to Open
Occluded Arteries in Acute Coronary Syndromes) studies melaporkan kejadian
serupa yakni syok kardiogenik yang terjadi pada pasien dengan AMI (masing-masing
7,0%, 5,0% dan 6,1%). Secara umum, syok kardiogenik terjadi pada 5% sampai
10% dari kasus AMI
PATOFISIOLOGI

Dari oklusi arteri koroner utama dan hilangnya massa miokardium, jika
rangkaian tersebut dibiarkan maka akan berujung pada syok, kegagalan beberapa
sistem dan organ serta kematian (gambar.1). hipotensi yang disebabkan oleh
hilangnya massa otot miokardioum mungkin menyebabkan hipoperfusi dari area
miokardium yang masih bagus, dan berkontribusi terhadap insufisiensi ventrikel. Ini
diperkirakan akan membuat kerusakan minimal 40% dari massa ventrikel kiri is
necessary for genesis of cardiogenic syok. Hilangnya massa ventrikel tersebut
mungkin dikarenakan dari besarnya infark pada pasien yang sebelumnya normal.
Dari pasien yang sebelumnya memiliki infark pada daerah otot jantung yang kecil
kemudian membesar dengan sedikit nekrosis pada pasien dengan penyakit
aterosklerosis koroner lanjut. Mechanisme kompensasi seperti aktivasi saraf otonom
dan sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan meningkatkan denyut jantung, refleks
vasokonstriksi, retensi cairan dan natrium sehingga akan meningkatkan kebutuhan
konsumsi oksigen untuk miokardium. Menetapnya curah jantung yang rendah akan
mengakibatkan hipoksia dengan akumulasi sisa metabolism, asidosis dan kerusakan
endotel dan sel. Mekanisme ini juga akan membuat aritmia pada jantung yang bahkan
akan memperberat kerja jantung dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Kegagalan dari beberapa organ adalah titik akhir dari patofisiologi kondisi ini. Pasien
yang mengalami syok kardiogenik di fase akut dari AMI, 10-30% terjadi pada 24 jam
pertama dan syok kardiogenik tersebut berkaitan dengan hilangnya massa otot
jantung. Pada pasien yang mengalaminya setelah 1 hari kemudian, menunjukkan
hubungan yang kompleks antara nekrosis dan and viable areas accounts for a
sequence of events. Perpanjangan, perluasan dan pembentukan aneurisma
merubah volume venntrikel dan geometrinya, sehingga meningkatkan stress jaringan
dan konsumsi oksigen pada miokardium serta membahayakan perfusi
koroner(tabel.1). pengamatan kurva Frank-Starling dalam kelompok pasien ini,
mengungkapkan bahwa tekanan pengisian ventrikel kiri adalah sama(tetap).
Pengembangan Indeks jantung jauh lebih rendah daripada pasien yang tidak
mengalami kehilangan massa ventrikel. Selain itu, adanya komplians yang rendah
dari ventrikel, sehingga terjadi peningkatan kecil dalam volume diastolik ventrikel
kiri yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan diastolik akhir, ekstravasasi
cairan kedalam intestisium paru dan sedikit kenaikan indeks jantung.

GEJALA KLINIS

Pasien menunjukkan tanda dan gejala cardiac output rendah yang


berhubungan dengan derajar kongesti paru. Berkeringat dingin, kebingungan,
oliguria, takikardi, dan pulsasi filiformis serta hipotensi dengan sistolik dan diastolik
tekanan darah yang mencerminkan output yang rendah.

Kongesti paru menyebakan hipoksemia dan retensi CO2, dan karenanya akan
membuat oksigenasi miokardium dan otak memburuk mengakibtkan penurunan
kesadaran, dan aritmia jantung. Munculnya bunyi jantung ke-3, bunyi jantung
teredam, distensi vena jugularis dan variable degrees of pulmonary rales juga sering
ditemukan pada pemeriksaan fisik. Munculnya murmur yang awalnya tidak ada
adalah hal yang penting untuk menegakkan diagnosis AMI dengan defek/disfungsi
mekanis jantung (defek septum ventrikel, disfungsi otot papilaris) dan pada
komplikasi dengan infeksi endokarditis. Echocardiogram akan membantu
memberikan data lengkap dan regional dari fungsi ventrikel, integritas fungsi katup,
dan adanya shunt intracardial dan efusi pericardial.

Monitoring metabolic-hemodinamik dan invasive

Pemantauan invasive dengan kateter Swan-Ganz memungkinkan diagnosis


diferensial dengan situasi lainnya dengan output yang rendah, terutama cepat dan
evaluasi yang tepat untuk maneuver-manuver terapi yang digunakan. Penggunaan
vasodilator dan diuretic dalam dosis tinggi dpada pasien dengan AMI dapat
menyebabkan gejala output yang rendah dengan tekanan pengisian yang rendah.
Beberapa pasien awalnya di diagnose memiliki syok kardiogenik dengan respon
perbaikan volume, mencirikan kondisi hipovolemik. Evaluasi klinis dan
hemodinamik mungkin berbeda pada setiap pasien berdasarkan klasifikasi gagal
jantung killip-kimball dan forrester et al yang memiliki implikasi terapi dan
prognosis (Tabel.II)

Penentuan pH intramucosal lambung(pHi) (atau. Lebih tepat, pCO2 gap) oleh


gastrointestinal tonometer memungkinkan vealuasi regional dari kecukupan
oksigenasi tissular dan deteksi iskemik mukosa, sebelum perkembangan lesi besarnya
lesi iskemik yang cukup untuk memungkinkan perpindahan bakteri enterik dan
toksinnya. Urutan kejadian ini dipicu oleh pengurangan yang selektif dalam
transportasi oksigen ke organ-organ splanknikus dalam situasi syok yang cenderung
memprioritaskan organ vital seperti jantung dan otak. Banyak pasien dengan syok
kardiogenik setelah perbaikan dan pemulihan jantung mungkin memiliki evidence of
compromise dari daerah splanknik karena hipoperfusi berkepanjangan.

Iskemik mesenterika yang memungkinkan perpindahan bakteri, meningkatkan


proses morbid(kesakitan) dengan mempromosikan pengurangan lebih lanjut dalam
transportasi oksigen, baik melaluo hipovolemik, depresi miokardium, hipoksemia,
permintaan peningkatan metabolism atau dengan menekankan distribusi aliran yang
tidak memadai, sehingga mengakibatkan penurunan kapasitas jaringan ekstrasi O2.
Stabilisasi pHi normal (7,32) (I.e pCO2 gap) sebagai tujuan utama dalam resusitasi
pasien dengan syok dan mungkin dapat berkontribusi untuk pengganti volume darah
yang memadai atau alterations in vasoactive drugs

Pemberian obat inotropik seperti dobutamin telah digunakan untuk


mengoptimalkan transportasi O2. Bukti terbaru menunjukkan bahwa pemberian dosis
yang jauh lebih tinggi dari biasanya diperlukan untuk memperbaiki keadaan iskemik
intramukosa. Tonometeri dapat membantu dalam titrasi obat ini. Dalam beberapa
keadaan, aksentuasi asidosis intramucosa ditunjukkan dengan infuse dobutamin, yang
memungkinan mengalirkan kembali kedaerah lain dari area splanknikus sebelumnya.

Studi metabolism aerobic perhitungan sumplai oksigen dengan cara tidak


langsung (DO2) dan konsumsi (VO2) dapat dilakukan disamping tempat tidur,
dengan menggunakan kateter Swan-Ganz dan kalorimetri tidak langsung. Profil yang
ditemukan dalam situasi ini menunjukkan tingkat ekstrasi oksigen yang tinggi(EO2)
(karena pengurangan di pasokan O2 (output rendah) dan peningkatan konsumsi
karena situasi stress. Tindak lanjut sekuensial metabolism oksigen memungkinkan
kecukupan evaluasi dari terapi yang dilakukan.

Perfusi jaringan yang tidak memadai menyebabkan asidosis metabolic


terdeteksi melalui analisis gas darah segera atau sebelumnya melalui tingginya kadar
serum laktat. Situasi ini berpotensi berbahaya karena menyebabkan pengurangan
kontraktilitas jantung, indeks jantung dan respon dari pembuluh darih perifer. Hal ini
juga akan menimbulkan ventrikel aritmia yang sudah ada menjadi aritmia yang lebih
sulit untuk dikontrol.

Anda mungkin juga menyukai