PENDAHULUAN
disebabkan oleh bakteri. Penyebaran penyakit ini secara global sudah meluas
hampir diseluruh dunia. Berdasarkan laporan WHO dan FAO pada tahun 2000
dari populasi sapi ditemukan adanya BTB melalui uji. Dari 36 negara di Asia, 16
12 negara dari 34 negara yang ada. Di Indonesia BTB belum diketahui secara
jelas, namun tuberculosis pada manusia tercatat lebih kurang 1,5 juta penduduk
dan tiap tahun mengalami peningkatan sekitar 200.000 kasus baru. Sehingga
bahwa secara klinis belum pernah dilaporkan adanya BTB di Indonesia (OIE,
2010). Namun demikian pada tahun 1994 pernah dilaporkan adanya 3 kasus BTB
Indonesia Timur. Saat ini populasi sapi di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar
1.129.732 Ekor (Data statisttik ternak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013). Jumlah ini akan terus ditingkatkan untuk
1
bisa mencapai swasembada daging pada tahun 2017. Pemerintah Provinsi
sapi diantaranya dengan program 2 (dua) juta ekor sapi pada tahun 2016. Banyak
faktor yang akan menjadi rintangan untuk bisa mewujudkan target tersebut,
dalam pengendalian penyakit hewan. Salah satu yang menjadi fokus adalah
maka pelibatan aspek kesehatan manusia menjadi bagian penting. Untuk itu sudah
mulai diinisiasi sebuah kegiatan yang terintegrasi dalam bentuk program one
surveylans bersama. Pilihan penyakit untuk uji coba telah dilakukan pada kejadian
wabah Anthraks di Kabupaten Maros pada akhir tahun 2013. Penyakit zoonosis
lainnya yang endemik di Sulawesi Selatan, seperti Rabies dan Flu burung sudah
2
definisi kasus ataupun panduan untuk surveylans dan penanganan kasus pada
Sulawesi Selatan, mengingat penyakit ini sebarannya sangat luas. Studi distribusi
penyakit ini sudah pernah dilakukan di Kabupaten Enrekang oleh Sartika Juwita
dkk pada tahun 2012. Studi ini dilakukan pada sapi perah dan dilaporkan hasil
positif sebanyak 2 sampel (3,3%) dari 60 sampel yang diteliti. Gambaran ini
menunjukkan bahwa penyakit ini sudah menyebar di Sulawesi Selatan. Untuk itu
untuk memberikan keyakinan akan prevalensi dan sebaran penyakit BTB ini.
Selatan?
Selatan?
3
1.3. Tujuan Penelitian
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kasus tuberkulosis pertama kali dikenal dan ditemukan pada tulang mummi
Mesir kuno, kira-kira lebih dari 2000 tahun lalu. (Manual Penyakit Hewan
Mamalia, 2012). Secara spesifik Tuberkulosis pada sapi disebabkan oleh bakteri
Tuberkulosis sapi ini bersifat zoonosis dan merupakan penyakit strategis yang
microti, M. Canetti dan M. Caprae. (Cousins et al, (2003);. Michel et al., (2010)
Baik dan Duignan, (2011); Atkins dan Robinson, (2013). (Al-Saqur et al, 2009;
OIE, 2009).
Penularan BTB bisa terjadi secara horizontal dan vertikal dari induk sapi
telah dikembangkan vaksin aktif M.bovis dari Bacillus Calmette and Guerin
5
(BCG) yang merupakan isolat dari M.bovis dan vaksin ini telah banyak digunakan
induk semang utama dari Tuberkulosis sapi. Selain itu kambing dan babi juga
Seluruh bangsa sapi yang ada di dunia rentan dengan M.bovis, namun
demikian sapi dewasa lebih tahan dibandingkan dengan anak sapi. Kejadian pada
M.tuberculosis dan M.avium dapat menginfeksi induk semang atau hospes yang
paling luas karena dapat menginfeksi atau menulari hampir seluruh hewan
BTB mampu menyerang ungulata liar dan menulari spesies carnivora lainnya
serta menjadi masalah utama dibeberapa negara bagian afrika. Di Selandia Baru,
meles) sering sebagai reservoir dari M.bovis. Banyak kejadian hewan liar
6
Di India, berdasarkan penelitian Prasada dkk., (2005) ditemukan 8,7% dari sampel
berbagai Mycobacterium spp dari berbagai sampel organ sapi yang dipotong
2.2. Diagnosa
Diagnosis yang tepat adalah salah satu strategi yang sangat penting untuk
melakukan pencegahan dan penularan BTB. Pilihan paling tepat adalah dengan uji
serulogis. Beberapa metode serulogis yang sering dipakai untuk mendiagnosa BTB
adalah tuberculine yang sampai saat ini masih diterapkan OIE sebagai uji standar
Diagnosa dengan uji tuberkulin akan dapat dilihat dari reaksi hipersensitivitas
dan uji gamma interferon assay (IFN-) dapat digunakan.(OIE, 2009). Konfirmasi
diagnosa dengan isolasi dan identifikasi organisme, dengan kultur biasanya dapat
diambil pada 4-8 minggu, atau dengan PCR dapat diperoleh dalam beberapa hari
(The Merck Veterinary Manual, 2011). Diagnosa pada hewan yang telah mati dapat
7
histopatologi. Isolasi bakteri dan pemeriksaan preparat mikroskopik serta
Dalam kondisi lapangan untuk membedakan infeksi TBC dan BTB sering
mendeteksi antibody. ELISA tampaknya yang paling cocok dari tes antibodi-deteksi
dan dapat menjadi pelengkap, bukan alternatif, untuk tes berdasarkan imunitas
8
BAB III
sebaran kasus yang cukup luas, yang perlu dipertimbangkan untuk dideteksi
Sulawesi Selatan sebagai salah satu lumbung ternak di Indonesia Timur, tentu
ternak, karena persepsi penerapan aturan masih beragam dalam era otonomi daerah
ini. Dengan kondisi seperti itu, potensi penyebaran penyakit hewan antar daerah
Sapi.
9
Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan maupun kabupaten belum memiliki
Tuberkulosis Sapi di Sulawesi Selatan. Penelitian ini akan dilakukan dalam bentuk
lebih dari 6 kabupaten dan 24 kabupaten di Sulawesi Selatan, maka peluang untuk
disease).
10
3.2. Konsep
11
BAB IV
METODE PENELITIAN
Maros. Penelitian ini telah dilakukan mulai bulan Oktober 2014 sampai April 2015.
12
kelamin jantan dan atau betina yang berasal
koagulan).
menggunakan ELISA.
Sumber data yang akan digunakan adalah data populasi ternak sapi yang
diperoleh dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Sulawesi Selatan
disease dengan tingkat konfidensi 95% prevalensi dibawah 1%. Rumus yang
13
n = [ 1- ( 1- a)1/D] [N - ( D -1)/2]
N = populasi ternak
a = tingkat konfidensi
D = 0,01 x Populasi
14
Kebutuhan sampel untuk penelitian ini sebesar 298 sampel, dengan perhitungan
sebagai berikut;
n = [ 1- ( 1- a)1/D] [N - ( D -1)/2]
n = 298
15
Tabel 2. Data besasaran sampel di kabupaten/kota Sulawesi Selatan
Sapi Potong Besaran Sampel
No Kabupaten/ Kota
dan Perah
1 Kab. Selayar 13.358 4
2 Kab. Bulukumba 62.203 15
3 Kab. Bantaeng 23.967 6
4 Kab. Jeneponto 25.490 7
5 Kab. Takalar 38.131 10
6 Kab. Gowa 102.399 27
7 Kab. Sinjai 84.572 23
8 Kab. Bone 307.437 82
9 Kab. Maros 69.945 18
10 Kab. Pangkep 42.474 11
11 Kab. Barru 62.040 16
12 Kab. Soppeng 30.250 8
13 Kab. Wajo 76.943 20
14 Kab. Sidrap 45.425 12
15 Kab. Pinrang 23.331 6
16 Kab. Enrekang 46.333 12
17 Kab. Tator 6.611 2
18 Kab. Palopo 2.943 1
19 Kab. Luwu 18.755 5
20 Kab. Luwu Utara 23.131 6
21 Kota Luwu Timur 14.145 4
22 Kota Makasar 3.259 1
23 Kota Pare-Pare 4.312 1
24 Kab. Toraja Utara 278 1
TOTAL 1.129.732 298
Dalam penelitian ini, identifikasi variabel yang akan dilihat adalah; variabel
bebas berupa sampel serum sapi yang berasal dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi
Selatan. Untuk variabel terikat berupa Titer Antibodi Bovine Tuberculoccis (BTB)
atau Tuberkulosis Sapi dari uji ELISA. Masing-masing variabel yang akan
16
a. Sampel darah sapi diperoleh dari pengambilan sampel di seluruh kabupaten
b. Titer antibodi Bovine Tuberculoccis diperoleh dari hasil Uji ELISA Bovine
Bahan uji ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi, yang
dibutuhkan adalah serum sapi dan KIT Bovine Tuberculoccis (BTB) atau
17
dilanjutkan dengan melakukan pengujian ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB) atau
Selatan.
Data yang diperoleh dari hasil uji ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB) atau
18
BAB V
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil pengujian ELISA terhadap 298 sampel yang berasal dari 24
kabupaten di Sulawesi Selatan, diperoleh hasil 2 sampel positif. Hasil positif tersebut
diperoleh dari kabupaten Bone sebanyak 1 sampel pada sapi Bali dari 82 sampel dan di
Kabupaten Enrekang sebanyak 1 sampel pada sapi perah dari 12 sampel. Sampel
positif dari kabupaten Bone dengan kode sampel bon76 berasal dari desa Kalero
kecamatan Kajuara pada sapi bali yang berumur 3 tahun. Sedangkan sampel positif dari
kabupaten Enrekang dengan kode sampel enr13 berasal dari desa Tanete, kecamatan
Anggeraja pada sapi FH yang berumur 8 tahun. Seluruh sampel dari 22 kabupaten/kota
lainnya hasilnya negatif. Data rinci pada tabel 3. Kedua ternak yang diambil
sampelnya semuanya memiliki kandang dan memiliki tempat pakan dan minum, namun
penampung feses untuk sampel bon76 tidak ada, sedangkan untuk sampel enr13
memiliki penampung feses. Jarak kandang untuk sampel bon76 kurang dari 5 meter
dari rumahnya dan dibersihkan 2 kali seminggu sedangkan jarak kandang untuk sampel
enr13 berada di lahan lain dan setiap hari dibersihkan. Untuk tipe pengembalaan
sampel bon76 pada areal pengembalaan sendiri sedangkan sampel enr13 tidak
digembalakan. Bila dilihat dari berat badan atau performans ternak sampel bon76
agak kurus namun nampak sehat, sedangkan untuk sampel enr13 berat badannya
normal dan nampak sehat. Untuk aspek pemeliharaan dan pemeliharanya, kedua ternak
19
sampel tersebut dipelihara sendiri, sedangkan kondisi kesehatan pemelihara ternak
sampel bon76 pernah batuk 6 bulan lalu dan pemelihara ternak sampel enr13
Hasil seroprevalensi yang diperoleh; untuk seluruh sapi (sapi potong dan perah)
07% (2/298), sapi potong 0,3% (1/293) dan sapi perah 20% (1/5).
20
Gambar 1. Peta Provinsi Sulawesi Selatan
21
Kec. Kajuara
Kec. Anggeraja
5.2. Hasil Analisis Kuisioner Pemilik Ternak Sampel sebagai faktor risiko
memberikan beberapa gambaran, antara lain; kepemilikan kandang, bahwa dari 298
sampel responden yang diambil, 267 yang memiliki kandang, 1 yang kandangnya
bergabung dengan spesies lainnya dan 30 yang tidak memiliki kandang. Dari 267 yang
22
dikandangkan 113 beralaskan semen dan 154 kandang yang tidak beralas, sedangkan 1
kandang gabung tidak beralas. Dari 267 yang dikandangkan 146 kandangnya beratap
seluruhnya, 86 beratap sebagian dan 35 yang tidak beratap. Jarak kandang dengan
rumah dari 267, ada 80 yang jaraknya kurang dari 5 meter, 68 lebih dari 5 meter, 43
yang menempel dengan rumah dan 76 kandangnya ada di lahan lain. Untuk kandang
gabung jaraknya menempel dengan rumah. Sedangkan untuk ternak yang tidak
dikandang, artinya ternak ditambatkan atau dilepas; dilahan lain 11, menempel dengan
rumah 7, 1 jaraknya kurang dari 5 meter, 3 jaraknya lebih dari 5 meter dan 5 yang
dilepas. Bila dilihat dari pembersihan kotoran dari 298 responden, ada 108 yang
responden, lahan pengembalaan sendiri 75, kebun tetangga 12, pengembalaan umum
136 dan tidak digembalakan sebesar 25. Sedangkan waktu pengemblaannya yang paling
banyak dilakukan pada siang hari saja sebesar 174 responden. Untuk sumber bibit
sebagian besar memperolehnya dari ternak sendiri, maksudnya turunan dari ternak
sebelumnya, yaitu sebesar 243, dari desa sendiri 20, dari kecamatan lain sebesar 19, dari
kabupaten lain 14 dan lain desa dalam 1 kecamatan hanya 2. Bila dilihat dari aspek
berat badan atau performans ternaknya ada 177 yang agak kurus, normal 89, kurus
sekali 29 dan gemuk hanya 3. Kondisi ternak sebagian besar terlihat sehat yaitu 194,
pernah sakit pernafasan dibawah 6 bulan sebesar 3, pernah sakit pernafasan diatas 6
bulan 6, penurunan berat badan secara signifikan 35 dan dalam keadaan sakit sebesar 59
23
dengan berbagai diagnosa. Untuk aspek pemelihara dan kesehatannya, dipelihara
sendiri itu ada 193, dipelihara bersama keluarga 63 dan dipelihara orang lain sebesar 42.
Dari kesehatan pemeliharnya nampaknya 254 yang sehat, batuk dibawah 6 bulan 30,
diduga sakit pernafasan 6, batuk diatas 6 bulan 1, dalam keadaan sakit 7. Untuk
kesehatan keluarga dari pemelihara ada 257 yang nampaknya sehat, batuk diatas 6
bulan 19, sedang sakit 12, diduga sakit pernafasan 9 dan batuk dibawah 6 bulan 1.
24
BAB VI
PEMBAHASAN
sampel, dari 298 sampel yang diperiksa. Sampel positip dengan kode enr13 memiliki
nilai rata-rata OD 2,745 dan S/P sebesar 1,193 pada plate 3 (10-04-2015) well F1. Nilai
ini cukup tinggi dibandingkan standar yang disyaratkan untuk memvalidasi dengan
positif kontrol diatas 1,500 untuk OD dan diatas atau sama dengan 0,5 untuk S/P. Bila
dibandingkan dengan positif kontrol, untuk rata-rata nilai OD sebesar 2,259 dan nilai
S/P nya 1, ini menunjukkan jauh diatas positif kontrol. Artinya deteksi antibodynya
cukup tinggi. Sedangkan untuk sampel dengan kode bon76 pada plate 5 (09-04-2015)
well B1 nilai rata-rata OD-nya sebesar 1,361 dan nilai S/P sebesar 0,516. Bila
dibandingkan dengan positif kontrol sebesar 2,557 untuk nilai rata-rata OD dan 1 untuk
nilai S/P namun demikian untuk interpretasi hasil positif sesuai dengan standar validasi
Dalam beberapa penelitian terhadap deteksi anti body M.bovis khususnya dalam
Bovine Tuberculosis bahwa tidak ada uji yang benar-benar memberikan hasil yang
paling baik. Kombinasi tes sangat perlu dilakukan untuk mendiagnosa BTB, karena
tidak ada tes tunggal yang mampu mendeteksi semua hewan yang terinfeksi dan juga
tidak ada tes yang memiliki sensitivitas dan spesivitas 100% (Neeraja et al, 2014).
Demikian juga menurut Marassi 2013, mengatakan bahwa rentang tes yang saat ini
25
tersedia tidak cukup efektif untuk digunakan secara tunggal dan tidak akan mendeteksi
semua sapi yang terinfeksi dalam semua tahap infeksi. Oleh karena itu, pendekatan
multidisiplin untuk diagnosis dan pengendalian tuberkulosis akan lebih efektif untuk
mengidentifikasi semua hewan yang terinfeksi hewan terlepas dari tahap penyakitnya.
Prevalensi untuk sapi potong dan sapi perah terjadi perbedaan yang mencolok,
sapi potong ditemukan 1 positif dari 293 sampel sehingga prevalensinya sebesar 0,3%
untuk sapi perah ditemukan 1 positif dari 5 sampel sehingga prevalensinya menjadi
20%, sedangkan prevalensi keseluruhan untuk sapi perah dan sapi potong menjadi
0,7%. Perbedaan mencolok ini terjadi karena jumlah sampel yang diambil antara sapi
perah dengan sapi potong sangat jauh. Dalam beberapa penelitian bahwa ras sapi sapi
sapi sebagai faktor risiko untuk tes kulit positif. Pada tahun 1998, sebuah studi cross-
sectional dilakukan pada 1 813 hewan (494 peternakan intensif) dari Eritrea
daerah tropis, mungkin kurang tahan terhadap BTB dibandingkan dengan keturunan
Temuan Hasil positif pada 2 sampel di Bone kode sampel bon76 dan Enrekang
dengan kode sampel enr13 dapat dikaitkan dengan beberapa temuan pada
26
atau performans ternaknya, kesehatan ternak, kondisi kesehatan pemilihara dan
Asal bibit sapi sangat terkait dengan perpindahan ternak dari satu tempat ke
tempat lainnya. Perpindahan ternak ini akan sangat berhubungan dengan penyebaran
penyakit dari satu tempat ketempat lainnya. Perpindahan hewan terbukti menjadi faktor
risiko penting, dalam sebuah penelitian untuk menganalisa perpindahan ternak antara
tahun 1985 dan 2003 di Britania Raya. Gambaran temuan tipe molekul menunjukkan
bahwa perpindahan hewan yang sangat bertanggung jawab untuk sebagian besar wabah
yang dilaporkan di NE Inggris antara tahun 2002 dan 2004, seperti yang ditunjukkan di
31 kawanan yang mengalami wabah BTB selama periode tersebut (Humblet et al,
2004). Berrian et al. (2012) melakukan penelitian untuk menentukan risiko BTB dengan
perpindahan hewan dari ternak yang telah dikontrol perpindahannya pada tahap tertentu
selama tahun 2005 (hewan positif), dibandingkan dengan hewan yang tidak terinfeksi.
Risiko keseluruhan diagnosis BTB selama periode 2 tahun setelah hewan dipindahkan
adalah 0,69%, dengan hewan 'terinfeksi' kawanan menjadi 1,91 (1,76-2,07) kali lebih
mungkin untuk hasil uji positif dibandingkan dengan hewan dari kawanan yang 'tidak
terinfeksi'.
Asal bibit kedua sampel positif hasil penelitian berasal dari pengembang biakan
sapi yang telah ada sebelumnya yaitu dari induk yang dipelihara sebelumnya. Ada
27
kemungkinan penularan atau paparan M.bovis diperoleh dari induknya. Kedua sapi
yang diambil sampelnya tersebut berjenis kelamin betina, artinya peluang penularan
akan kembali terjadi pada anak-anak yang dilahirkan, terutama pemularan saat
menyusui. Mengkonsumsi air susu sapi yang terinfeksi tuberculosis merupakan cara
penularan yang paling efektif. Bacil penyebab tuberculosis yang teremulsi pada lemak
susu akan masuk melalui jaringan mukosa yang ada pada saluran cerna (Masniari et al,
2004). Disamping itu penularan secara vertikal dapat terjadi (Tarmudji dan Supar,
2008).
Ternak sapi seropositif yang ada di Enrekang dan Bone bila tidak dikontrol
menjadi sumber penularan. Asal ternak bibit merupakan salah satu potensi faktor risiko.
Seropositif BTB yang berasal dari wilayah kabupaten Enrekang diperoleh dari
keseluruhan sapi sebesar 8,3% (1/12) dan khusus untuk sapi perah ras FH sebesar 20%
susu, dua memiliki setidaknya satu reaktor BTB positif dan lima memiliki hewan positif
brucellosis Prevalensi hewan individu adalah 0,3% (95% CI 0,1% menjadi 1,3%) untuk
BTB, 1,7% (95% CI 0,8% menjadi 3,5%) untuk brucellosis dan 8,9% (95% CI 6,8% ke
11,5%) untuk MAC (Mycobacterium avium Compleks) (Tschopp et al, 2013). Bila
dibandingkan dengan prevalansi BTB tercatat dalam penelitian lain, 3,85% dilaporkan
sedikit tinggi dan harus meningkatkan masalah kesehatan masyarakat (Muma et al,
2013). Laporan dari sebuah penelitian di Mozambik hasil di Distrik Govuro, Mozambik
28
Tenggara menunjukkan bahwa BTB sangat lazim di distrik tersebut, dengan tingkat
prevalensi keseluruhan 39,6% (Moiane et al, 2014). Bila dibandingkan dengan kejadian
umumnya merupakan sistem perkandangan semi intensive, yang dibuat dengan atap
29
seng atau alang-alang dan berlantai. Jarak kandang untuk sampel bon76 kurang dari 5
meter dari rumahnya, tidak memiliki penampung feses dan untuk sampel enr13
kandangnya berada di lahan lain, ada penampung fesesnya. Kebuanya memiliki tempat
pakan dan minum. Kandang pada sampel bon76 dibersihkan 2 kali seminggu dan
kandang enr13 dibersihkan setiap hari. Prevalensi tinggi BTB diamati di hampir
semua bidang peternakan skala kecil, dengan sistim kandang dan manajemen yang
terbatas, sangat kontras dengan apa yang diamati di peternakan sektor komersial (hanya
di wilayah Luido) di Mozambik Tenggara, di mana tidak ada SCITT hewan positif
terdeteksi. Sementara pada hewan sektor komersial biasanya diuji untuk BTB akan
lain maupun manusia melalui aerosol pada lingkungan yang terkontaminasi M.bovis dan
kandang dengan baik. Disinfeksi menggunakan senyawa phenol 2-3%, kresol 2-3% atau
ortophenil 1% merupakan disinfektan yang paling efektif untuk membunuh bakteri TBC
(Masniari et al 2004). Penularan dapat terjadi pada saat berkumpulnya ternak penderita
pengembalaan sendiri dan digembalakan hanya pada siang hari saja, sedangkan untuk
sampel sapi enr13 tidak digembalakan, selalu berada di kandang. Tipe pengembalaan
30
ternak sapi yang seropositif di Enrekang dan Bone, kecil peluangnya untuk menyebar
Berat badan pada sampel sapi bon76 agak kurus dengan kondisinya sehat dan
berat badan sampel sapi bon13 normal, nampak kondisinya sehat. Tanda klinis dari
BTB sangatlah sulit dideteksi. Tanda klinis BTB sangat sulit dideteksi karena sifatnya
kronis. Pada stadium awal sering terjadi penurunan berat badan secara signifikan. Pada
kasus stadium yang lanjut BTB ditandai dengan granuloma nodular atau pembentukan
tuberkel dengan kaseosa yang dihasilkan di banyak organ vital terutama di paru-paru,
kelenjar getah bening, usus dan ginjal kecuali otot skeletal (Hardstaff et al, 2013; Le
Roex et al, 2013). Beberapa penelitian melaporkan korelasi antara kondisi tubuh dan
BTB. Pada hewan penelitian kami di daerah Mozambik Tenggara dalam kondisi tubuh
yang agak kurus dan kurus atau sangat kurus menunjukkan hasil tes kulit lebih positif
daripada hewan dalam kondisi tubuh yang baik, namun perbedaan ini tidak bermakna
faktor risiko.
31
6.2.4. Keterkaitan seropositif dengan pemeliharaan dan kesehatan pemelihara
Sampel seropositif ditemukan pada peternakan sapi yang dikelola oleh peternak
dengan tingkat pendidikan SMA untuk Bone dan S1 untuk Enrekang, relatif akan lebih
informasi tentang tuberculosis sangat minim oleh petugas pelayan kesehatan, maka
pemahaman tentang risiko BTB juga terbatas. Peternak yang mempunyai riwayat
kesehatan menderita batuk-batuk lebih dari 6 bulan dan memiliki sarana sanitasi minim,
kondisi kesehatan pemeliharanya, untuk sapi sampel bon76 pernah batuk 6 bulan lalu
sapi sampel enr13 kondisi pemeliharnya nampak sehat demikian juga halnya dengan
lingkungan keluarganya. Salah satu gejala klinis TBC pada manusia adalah batuk terus
menerus. Bila dilihat dari tanda klinis pada ternak dan hasil positif ELISA dari sampel
bon76 ada kemungkinan atau kecurigaan telah terjadi saling menularkan. Namun
Kuisioner yang diambil dari pemilik ternak bertujuan untuk melihat gambaran
terjadinya BTB. Faktor risiko yang dapat dikaitkan terhadap peluang penyebaran
32
maupun kejadian BTB di Sulawwesi Selatan, antara lain tingkat pendidikan, sumber
pengetahuan dalam bidang tata kelola peternakan termasuk penularan penyakit. Dari
hasil kuisioner, nampaknya sebagian besar peternak yang menjadi responden 82,3%
atau 275 orang telah mengecap dunia pendidikan dan hanya 23 orang (7,7%) tidak
bersekolah. Dari 275 responden yang bersekolah ada 101 orang (33,7% dari total
pendidikan.
33
6.3.2. Sumber bibit sebagai faktor risiko
Sumber bibit sebagai sumber risiko sangat terkait dengan disrtibusi ternak
dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Bila dalam distribusi tidak ada pengawasan
mengamanatkan bahwa setiap ternak keluar daerah harus disertai dengan sertifikat
kesehatan hewan (Manual Penyakit Hewan, 2012). Dalam penelitian ini ada 4,7% (14)
sumber bibitnya dari kabupaten lain, 6,4% (19) dari kecamatan lain dalam kabupaten,
0,7% (2) dari desa lain dalam kecamatan dan 6,7% (20) dari desa sendiri. Dari
gambaran ini ada peluang penyebaran penyakit baik dari kecamatan lain, desa lain dan
termasuk dari desa sendiri, sangatlah besar karena dalam sistim distribusi ternak di
Sulawesi Selatan untuk dalam kabupaten sendiri tidak ada pengawasan khususnya
dalam pemberian surat keterangan kesehatan hewan dari dinas yang berwenang.
Berbeda dalam distribusi ternak keluar kabupaten pemberian surat keterangan kesehatan
hewan harus disertakan, yang diatur oleh Peraturan Daerah (Perda) masing-masing
dilakukan untuk uji RBT bagi sapi betina dan pemeriksaan fisik. Seperti diketahui
bahwa BTB diagnosanya sangatlah komplek dan tanda klinisnya tidak menciri sehingga
dibutuhkan pemeriksaan dengan uji yang tepat (Oloya et al, 2007 dan Manual Penyait
Menular, 2012). Disamping itu sumber bibit sebagai sumber risiko juga dapat terjadi
pada ternak yang bersumber dari ternak sendiri (induk sebelumnya), biasanya banyak
34
terjadi pada hewan betina yang terinfeksi penyakit tertentu (misalnya BTB) dapat
menular secara vertikal dari induk ke anaknya (Tarmudji dan Supar, 2008).
ternak. Namun kandang ternak haruslah memenuhi syarat-syarat yang sangat erat
hubungannya dengan kesehatan, produksi dan reproduksi. Tidak adanya kandang dan
dalam penularan atau penyebaran penyakit. Jarak antar kandang baik sesama spesies
maupun spesies yang berbeda, termasuk jarak kandang dengan rumah pemeliharnya,
atap kandang, alas kandang, kepadatan dan kebersihan kandang. Adanya atap kandang,
alas kandang dan kepadatan kandang sangat terkait dengan kualitas lingkungan. Hasil
memiliki kandang yang digabung antara beberapa spesies. Variasi antara yang beralas
dan beratap. Bila dilihat dari waktu membersihkan kandang, ada 45 (15,1%) tidak
seminggu, 101 (33,9%) dibersihkan setiap hari. Kelembaban udara kandang akan
respirasi (Panjono dkk, 2009). Sanitasi kandang yang tidak baik akan meningkatkan
nilai rata-rata Total Plate Count susu (3,7x107) sehingga akan mempengaruhi kualitas
susu, ada (46,88%) tidak memenuhi standar (Galang dkk, 2013). Kita ketahui salah satu
cara penularan dari BTB melalui susu yang tidak dikeloka dengan baik. Ternak sapi
selama masa pengandangan, jenis kandang, lantai kandang dan ketersediaan saluran
35
kotoran akan memberikan pengaruh terhadap nilai emisi ammonia rate (Avolelis, 2006).
Ammonia akan memberikan pengaruh terhadap kualitas udara yang dihirup, sehingga
jarak kandang dengan rumah akan memberi pengaruh juga kepada pemilik ternak dan
penularan kepada pemilik dan penghuni rumah yang lainnya, khususnya untuk penyakit
yang bersifat zoonosis. Semakin dekat dengan rumah semakin besar kemungkinan
terjadinya penularan. Sebuah studi di Irlandia dilakukan pada tahun 1993 menunjukkan
hubungan antara kejadian BTB dan adanya bilik perumahan, yang berhubungan dengan
peternakan sapi perah intensif. Bilik perumahan dianggap membuat ternak lebih stres,
36
6.3.4. Pengembalaan sebagai faktor risiko
spesies maupun spesies lainnya dalam satu areal. Bertemunya ternak dalam sebuah
penyakit dari ternak yang sakit ke ternak yang sehat. Disamping padang pengembalaan
itu sendiri, waktu pengembalaan juga perlu dipertimbangkan sebagai faktor yang
pengembalaan umum, pengembalaan milik sendiri, kebun sendiri dan kebun tetangga.
pengembalaan umum, yaitu 45,6% (136), 25,2% (75) digembalakan pada lahan sendiri,
16,8% (50) kebun sendiri, 4,0% (12) kebun tetangga dan 8,4% (25) tidak digembalakan.
Dalam penelitian Bugweza (2013), bahwa ada perbedaan prevalensi BTB yang relatif
tinggi dari sistim peternakan semi nomaden pada padang pengembalaan umum di
Maasai.
37
Tabel 10. Data Waktu pengembalaan
1-3 3
Kab/kota seminggu seminggu sepanjang hari siang tidak Total
Bone 1 8 69 4 82
Enrekang 5 1 6 12
Kab lain 5 12 47 104 36 204
Jumlah 5 13 60 174 46 298
% 1,7 4,4 20,1 58,4 15,4
penyebarannya yang meluas diseluruh dunia, walaupun data yang akurat untuk itu
belum ada. Berdasarkan hasil kuisioner ada 193 (64,8%) yang dipelihara sendiri, 42
(14,1%) yang dipelihara orang lain dan 63 (21,1%) dipelihara bersama keluarga. Dari
dipelihara sendiri ada 87,6% (169/193) yang sehat, 2,6% (5/193) yang sedang sakit dan
yang batuk dibawah 6 bulan ada 9,8% (19/193). Untuk yang dipelihara oleh orang lain
ada 76,2% (32/42) yang sehat, 2,4% (1/42) yang sedang sakit, 19% (8/42) yang batuk
dibawah 6 bulan dan yang batuk diatas 6 bulan ada 2,4% (1/42). Untuk yang
pemeliharaannya bersama keluarga ada 84,1% (53/63) yang sehat, 1,6% (1/63) yang
sedang sakit, 4,8% (3/63) yang batuk dibawah 6 bulan dan ada 9,5% (6/63) yang diduga
sakit pernafasan. Penularan kepada manusia dilaporkan jarang terjadi di negara maju.
Badan Perlindungan Kesehatan Inggris (HPA) pada tahun 2012; menyatakan bahwa
dalam 17 tahun 1994-2011 ada 570 kasus manusia yang dilaporkan terjadinya infeksi
Mycobacterium bovis, sebagian besar terjadi pada orang yang berusia 45 atau lebih .
BTB pada manusia dilaporkan lebih umum di negara berkembang, sebuah studi tahun
38
2006 diperkirakan ada 7.000 kasus BTB tahun di Amerika Latin (Bazian, 2012).
Demikian juga studi di Ethiopia menjelaskan, walaupun sampai saat ini masih belum
diketahui gambaran yang tepat tentang penularan M.bovis dari hewan ke manusia,
khususnya didaerah urban yang memiliki prevalensi BTB yang tinggi, peluang
39
BAB VII
7.1. Kesimpulan
Bone 1,2%, Kabupaten Enrekang 8,3%. Yang berpotensi menjadi faktor risiko adalah
7.2. Saran
seropositif.
40
DAFTAR PUSTAKA
Al-Saqur, I.M, Al-Thwani, A.N, Al-Attar, I.M. 2009. Detection of Mycobacterium spp
in cows milk using conventional methods and PCR. Iraqi Journal of Veterinary
Science, vol 23, supplement II (259-262). (http://www.vetmedmosul.org/ijvs),
Anonim. 2010. Merck Veterinary Manual Tenth Edition, Merck & Co Inc Rahway.
New Jersey USA, (1318-1321).
Bugwesa, Z. K., Mbugi, E. V., Karimuribo, E. D., Keyyu, J. D., Kendall, S., Gibson S
Kibiki, Peter Godfrey-Faussett, Anita L Michel, Rudovick R Kazwala, Paul van
Helden and Mecky I Matee, 2013; Prevalence and risk factors for infection of
bovine tuberculosis in indigenous cattle in the Serengeti ecosystem, Tanzania.
BMC Veterinary Research 2013, 9:267.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Sulawesi Selatan. 2013. Data
Populasi Ternak Tahun 2012.
EFSA Panel on Animal Health and Welfare (AHAW) 2012; Scientific Opinion on the
use of a gamma interferon test for the diagnosis of bovine tuberculosis. EFSA
Journal 2012:10(12): 2975.
41
Elizabeth, A. Talbot, Diana L Williams, and Richard Frothingham. 1997. PCR
Identification of Mycobacterium bovis BCG. Journal of Clinical Microbiology
Vol. 35 No. 3 p566-569,
Elise, A. Lamont, Joo Ribeiro-Lima, Wade Ray Waters, Tyler Thacker, and Srinand
Sreevatsan. 2014; Mannosylated lipoarabinomannan in serum as abiomarker
candidate for subclinical bovinetuberculosis. BMC Research Notes 2014.7:559.
Folitse, R.D., Boi-Kikimoto, B.B., Emikpe, B.O., Atawalna, J., 2014; The prevalence of
Bovine tuberculosis and Brucellosis in cattle from selected herds in Dormaa and
Kintampo Districts, Brong Ahafo region, Ghana. iMedPub Journals. Vol. 5 No.
2:1, 2014. doi: 10.3823/280.
Galang Kharis Pradana, Ambarwati, Astirka Friski. 2013; Pengaruh Higienitas Dan
Sanitasi Sapi Perah Terhadap Kualitas Susu Secara Mikrobiologis Di Peternakan
Sapi Di Desa Butuh Kecamatan Mojosongo Boyolali. Naskah Publikasi
Universitas Muhamadyah Surakarta, Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Ilmu Kesehatan.
Konyha, L.D., Hirnes, E.M. and Thoen, C.O. 1980. Bovine Tyuberculosis In CRE
Handbook Series Zoonoses. Section A , Vol 11: 109-139. Stoenener H, Kaplan
W, Torten T Edition, CRE Press, Inc. Boca Raton, Florida,
Masniari Poeloengan, Iyep Komala dan Susan M Noor. 2004; Bahaya penanganan
Tuberculisis. Dalam Lokakarya Penyakit Zoonosis, Balai Penelitian Veteriner
Bogor.
Marassi, C.D., Medeiros, L., Figueiredo, D., Fonseca, L.S., Duarte, R., Paschoalin,V.,
Walter, M.R. Oelemann and Walter Lilenbaum. 2013; A multidisciplinary
approach to diagnose naturally occurring bovine tuberculosis in Brazil. Tesquisa
42
Veerinaria Brasileira. Vol. 33. No.1. Rio de Janeiro. Jan 2013. ISSN 0100-736x.
10.1590/ SO100-736x2013000100004.
Neeraja, D., Veeregowda, B.M., Sobha Rani, M., Rathnamma, D., Bhaskaran, R.,
Leena, G., Somshekhar S.H., Saminathan M., Dhama K. and Chakraborty S.
2014; Comparison of Single Intradermal Test, Gamma Interferon Assay and
Indirect ELISA for the Diagnosis of Tuberculosis in a Dairy Farm.Asian Journal
of Animal and Veterinary Advances 9(9): 593-598, 2014. ISSN 1683-9919/
DOI: 10.3923/ajava. 2014.593.598
Neill, S.D., Hanna, J., OBrien, J.J., McCracken, R.M. 1988. Excretion of
Mycobacterium bovis by experimentally infected cattle. Vet. Rec. 1988, Sep 24;
123 (13); 340-3.
OIE. 2009. Bovine Tuberculosis. OIE Terrestrial Manual. www.oie.int/ disease_cards/
Bovine_TB_EN. pdf. Version Adopted by The World Assembly of Delegates of
The OIE in May 2009.
Panjono, Budi Prasetyo Widyobroto, Bambang Suhartanto, Dan Endang Baliarto, 2009;
Pengaruh Penjemuran Terhadap Kenyamanan Dan Kinerja Produksi Sapi
43
Peranakan Ongole. Journal.ugm.ac.id/ buletinpeternakan/ article/view/129.
ISSN:2407-876x.
Prasada, H.K., Singhala, A., Mishraa, A., Shaha, N.P., Katochb, V.M., Thakralc S.S.,
Singhc, D.V., Chumberd, S., Bald, S., Aggarwale, S., Padmaf, M.V., Kumarg,
S., Singh, M.K., Acharya, S.K.. 2005; Bovine tuberculosis in India :
Potential basis for zoonosis. ELSEVIER Journal. 1472-9792. Doi.10.1066/
J.tube.2005.08.005.
Sam, A., Strain, J., McNair, J., Stanley, W. J., McDowell. 2012; Bovine tuberculosis: A
review of diagnostic tests for M.bovis infection in cattle. Bacteriology Branch
Veterinary Sciences Division Agri-Food and Biosciences Institute.
www.dardni.gov.uk/ afbi-literature-review-tb-review-diagnostic-tests-
badgers.pdf
Tarmudji dan Supar. 2008. Tuberkulosis pada Sapi, Suatu Penyakit Zoonosis; Balai
Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No 30, Bogor 16114. Wartazoa,
Vol.18 No.4 Th 2008.
Tschopp Rea, Hathendoury Jan, Roth Felix, Choudhousy Adnan, Aseffa Abraham,
Shaw Alexandra, Zinsstag, 2013; Cost Estimate of Bovine Tuberculosis to
Ethiopia. BMC. Veterinary Research 2013.9: 163.doi: 10.1186/1746 6148
9163.
Wati Sitohang, Wirsal Hasan, Devi Nuraini Santi, 2013; Hubungan Jarak Kandang Dan
Pengolahan Limbah Ternak Babi Serta Kepadatan Lalat Dalam Rumah Dengan
Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Sabulan Kecamatan Sitiotio Kabupaten
Samosir. Jurnal.usu.ac.id/ index.php/ article.3289-8342-1-PB.pdf.
44
Widiarsa Putra, P.G., Kerta Besung, N., Mahatmi, H. 2013. Deteksi Antibodi
Mycobacterium tuberculosa bovis pada Sapi di Wilayah Kabupaten Buleleng,
Bangli dan Karang Asem Provinsi Bali, Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan,
Pebruari 2013. Vol.1. No. 1:1-6.
45
LAMPIRAN 1
a. Prinsip test
Anigen BTB Ab ELISA merupakan direct ELISA untuk mendeteksi kualitatif dari
Anigen BTB Ab ELISA berisi mikroplate, yang mana mikroplate tersebut telah
dilapisi dengan antigen BTB yang murni dalam setiap lubangnya. Untuk testing
plate ELISA yang dilapisi dengan antigen diinkubasi dengan campuran yang sama
dengan serum dan konjugat (1:100 pengenceran dalam larutan pengencer konjugat)
untuk 60 menit pada suhu 370C. Selama diinkubasi, antibodi M bovis yang ada
dalam sampel akan mengikat antigen pre-coated M.bovis yang dimurnikan didalam
lubang dan kunjugat. Dalam inkubasi ini, semua material yang terikat akan terpisah
Aktivitas sisa enzim ditemukan di dalam lubang plate sehingga akan berbanding
lurus dengan konsentrasi konjugat dalam specimen dan dibuktikan melalui inkubasi
phase padat dengan larutan substrat. Reaksi ini akan dihentikan oleh penambahan
46
1) Mikroplate yang dilapisi BTB Ag murni: 5 plate (96 lubang/plate)
2) Serum kontrol negatif standar: 1 vial (2,5 ml/vial) dari serum sapi yang normal
3) Serum kontrol positif standar: 1 vial (2,5 ml/vial) dari serum sapi anti-BTB
dan diisi dengan 1.000 ml air suling. Agar tidak larut, larutan dalam botol
menit.
47
1) Sentrifius seluruh darah untuk mendapatkan serum.
2) Jika spesimen tidak segera diuji, maka seluruh spesimen ditempatkan dalam
sebelum digunakan.
d. Persiapan Reagen
digunakan
diencerkan 1:9 dengan air suling sebelum digunakan. (contoh: tambahkan 100ml
larutan pencuci untuk 900 ml air suling) dan campurkan dengan baik. Jika
e. Prosedur Tes
1) Menyiapkan lubang strip untuk negatif control sebanyak 3 lubang, serum positif
48
3) Tambahkan 50 l antigen HRP dari M.bovis untuk masing-masing lubang.
4) Tutup mikroplate dengan sealer perekat plate dan campur dengan baik
6) Cuci lubang plate sebanyak 6 kali dengan 350 l dengan larutan pencuci yang
7) Tambahkan 100 l larutan substrat yang dicampur (siap pakai) untuk masing-
masing lubang.
lubang
f. Interpretasi Tes
1) Validasi tes
49
Jika salah satu dari nilai OD ini tidak sampai pada range-nya, Anigen
BTB Ab ELISA harus dianggap tidak layak/baik dan sampel harus diuji
ulang
2) S/P
S/P =
Setelah mengkalkulasi nilai S/P, nilai posotif dan negatif harus dideterminasi
50