Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bovine Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang bersifat kronis

disebabkan oleh bakteri. Penyebaran penyakit ini secara global sudah meluas

hampir diseluruh dunia. Berdasarkan laporan WHO dan FAO pada tahun 2000

perkembangan Bovine Tuberculosis (BTB) dinegara berkembang sudah

mengkhawatirkan walaupun untuk mencari data yang konkrit masih sangat

langka. Afrika di 25 negara dilaporkan secara sporadis, dilaporkan hampir 15%

dari populasi sapi ditemukan adanya BTB melalui uji. Dari 36 negara di Asia, 16

negara melaporkan secara sporadis. Amerika latin ditemukan secara sporadis di

12 negara dari 34 negara yang ada. Di Indonesia BTB belum diketahui secara

jelas, namun tuberculosis pada manusia tercatat lebih kurang 1,5 juta penduduk

dan tiap tahun mengalami peningkatan sekitar 200.000 kasus baru. Sehingga

Tuberkulosis menjadi masalah yang cukup serius. Menurut OIE, menyebutkan

bahwa secara klinis belum pernah dilaporkan adanya BTB di Indonesia (OIE,

2010). Namun demikian pada tahun 1994 pernah dilaporkan adanya 3 kasus BTB

di Propinsi Jawa Barat (Akoso, 1996)

Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah lumbung ternak sapi di

Indonesia Timur. Saat ini populasi sapi di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar

1.129.732 Ekor (Data statisttik ternak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan

Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013). Jumlah ini akan terus ditingkatkan untuk

1
bisa mencapai swasembada daging pada tahun 2017. Pemerintah Provinsi

Sulawesi Selatan terus berupaya untuk mempertahankan daerah lumbung ternak

sapi diantaranya dengan program 2 (dua) juta ekor sapi pada tahun 2016. Banyak

faktor yang akan menjadi rintangan untuk bisa mewujudkan target tersebut,

diantaranya adalah kendala penyakit, khususnya penyakit yang berpotensi

zoonosis, diantaranya adalah Brucellosis, Anthraks dan Tuberkulosis. Penyakit-

penyakit tersebut merupakan penyakit yang tergolong dalam penyakit strategis,

yang berdampak sangat luas, selain pada kesehatan masyarakat veteriner,

ekonomi, politis dan kebijakan serta perundang-undangan.

Sebagai daerah lumbung ternak di Indonesia Timur, Propinsi Sulawesi

Selatan dituntut memiliki sebuah strategi yang konprehensif dan terintegrasi

dalam pengendalian penyakit hewan. Salah satu yang menjadi fokus adalah

pengendalian penyakit hewan strategis, khususnya penyakit yang bersifat

zoonosis. Dalam mengaplikasikan kegiatan terintegrasi pada penyakit zoonosis

maka pelibatan aspek kesehatan manusia menjadi bagian penting. Untuk itu sudah

mulai diinisiasi sebuah kegiatan yang terintegrasi dalam bentuk program one

health. One health merupakan sebuah pendekatan keterpaduan antara bidang

kesehatan hewan dengan kesehatan manusia, dapat direalisasikan dalam bentuk

surveylans bersama. Pilihan penyakit untuk uji coba telah dilakukan pada kejadian

wabah Anthraks di Kabupaten Maros pada akhir tahun 2013. Penyakit zoonosis

lainnya yang endemik di Sulawesi Selatan, seperti Rabies dan Flu burung sudah

juga dilakukan keterpaduan dalam penanganannya. Brucellosis menjadi tantangan

tersendiri bagi bidang kesehatan, karena pemerintah belum mengembangkan

2
definisi kasus ataupun panduan untuk surveylans dan penanganan kasus pada

aspek kesehatan manusia.

Bovine Tuberculosis (BTB) atau Tuberculosis pada sapi sebagai salah

satu penyakit zoonosis perlu dipertimbangkan untuk disurvey kejadiannya di

Sulawesi Selatan, mengingat penyakit ini sebarannya sangat luas. Studi distribusi

penyakit ini sudah pernah dilakukan di Kabupaten Enrekang oleh Sartika Juwita

dkk pada tahun 2012. Studi ini dilakukan pada sapi perah dan dilaporkan hasil

positif sebanyak 2 sampel (3,3%) dari 60 sampel yang diteliti. Gambaran ini

menunjukkan bahwa penyakit ini sudah menyebar di Sulawesi Selatan. Untuk itu

dibutuhkan surveylans yang lebih luas diseluruh kabupaten di Sulawesi Selatan

untuk memberikan keyakinan akan prevalensi dan sebaran penyakit BTB ini.

Selanjutnya dengan adanya prevalensi dan sebaran penyakit akan

dipertimbangkan untuk mengembangkan strategi pengendalian, khususnya

memasukkan dalam strategi terpadu One health.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dikembangkan adalah:

1) Berapa sebaran kabupaten yang terdeteksi sero positif BTB di Sulawesi

Selatan?

2) Seberapa besar seroprevalensi BTB pada sapi yang ada di Sulawesi

Selatan?

3) Apa saja faktor risiko BTB di Sulawesi Selatan?

3
1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini adalah:

1) Untuk mendapatkan data dasar seroprevalensi BTB pada sapi yang

ada di wilayah Sulsel, meliputi 24 kabupaten. Data dasar tentang BTB

sangat penting bagi tindak lanjut, seperti pencegahan, pemberantasan

dan penanggulangan penyakit zoonosis, khususnya BTB.

2) Memperolah gambaran faktor risiko BTB di Sulawesi Selatan.

1.4. Manfaat Penelitian

1) Mendapatkan data base tentang seroprevalensi dan gambaran faktor

risiko Bovine Tuberculocis (BTB) atau Tuberkulosis sapi sebagai

gambaran sebaran penyakit ini di Sulawesi Selatan.

2) Adanya referensi untuk pengusulan rencana tambahan dalam

pengendalian penyakit zoonosis yang baru muncul (emerging disease)

kepada pemerintah kabupaten dan propinsi di Sulsel.

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis

Kasus tuberkulosis pertama kali dikenal dan ditemukan pada tulang mummi

Mesir kuno, kira-kira lebih dari 2000 tahun lalu. (Manual Penyakit Hewan

Mamalia, 2012). Secara spesifik Tuberkulosis pada sapi disebabkan oleh bakteri

Mycobakterium tuberculosis bovis, yang umumnya disebut dengan M. bovis.

Tuberkulosis sapi ini bersifat zoonosis dan merupakan penyakit strategis yang

merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam perundang-undangan. . Bovine

Tubercullosis (BTB), termasuk dalam Mycobacterium tuberculosis Complex

(MTC) yang terdiri dari Mycobacterium bovis, M. tuberculosis, M. africanum, M.

microti, M. Canetti dan M. Caprae. (Cousins et al, (2003);. Michel et al., (2010)

Baik dan Duignan, (2011); Atkins dan Robinson, (2013). (Al-Saqur et al, 2009;

OIE, 2009).

Penularan BTB bisa terjadi secara horizontal dan vertikal dari induk sapi

yang tertular. Penyakit berjalan kronis dan mengakibatkan kerugian sosio

ekonomi yang sangat tinggi sekitar 10-25%.

Di Amerika Serikat banyak kasus Tuberkulosis pada manusia disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis. M. bovis merupakan salah satu Mycobacterium

yang dapat menyebabkan Tuberkulosis pada manusia (CDC, 2011), kemudian

telah dikembangkan vaksin aktif M.bovis dari Bacillus Calmette and Guerin

5
(BCG) yang merupakan isolat dari M.bovis dan vaksin ini telah banyak digunakan

secara luas diseluruh dunia (Elizabetf et al, 1997).

Hampir seluruh hewan mammalia rentan dengan M.bovis. Sapi merupakan

induk semang utama dari Tuberkulosis sapi. Selain itu kambing dan babi juga

merupakan mamalia yang sangat rentan terhadap serangan M.bovis.

Seluruh bangsa sapi yang ada di dunia rentan dengan M.bovis, namun

demikian sapi dewasa lebih tahan dibandingkan dengan anak sapi. Kejadian pada

manusia dan hewan memiliki perbedaan khusus yang belum diketahui.

Umumnya Tuberkulosis pada sapi muncul lebih kompleks yang

mengikutsertakan bermacam interaksi antara inang dan agen penyebabnya

(Tarmudji dan Supar, 2008).

Menurut Aphis Veterinary Services, (2002) M.bovis dibandingkan dengan

M.tuberculosis dan M.avium dapat menginfeksi induk semang atau hospes yang

paling luas karena dapat menginfeksi atau menulari hampir seluruh hewan

bertulang belakang (vertebrata) yang berdarah panas.

BTB mampu menyerang ungulata liar dan menulari spesies carnivora lainnya

serta menjadi masalah utama dibeberapa negara bagian afrika. Di Selandia Baru,

possum (Tricosurus vulpecia) dan di Eropa khususnya di Inggris bager (Meles

meles) sering sebagai reservoir dari M.bovis. Banyak kejadian hewan liar

penderita tuberkulosis menjadi penular di lingkungan peternakan khususnya di

padang rumput pengembalaan (Cooper, 2002).

6
Di India, berdasarkan penelitian Prasada dkk., (2005) ditemukan 8,7% dari sampel

manusia dan 35,7% telah teridentifikasi disebabkan oleh BTB.

Penelitian Oloya et al., (2007) di Uganda, dilaporkan bahwa telah diisolasi

berbagai Mycobacterium spp dari berbagai sampel organ sapi yang dipotong

sebanyak 61 sampel. Gambaran hasilnya ditemukan 37 sampel positif

mycobacteria yang terdiri 19 sampel terdeteksi BTB (51,4%) dan 18 sampel

terdeteksi mycobacteria lainnya (48,6%).

2.2. Diagnosa

Diagnosis yang tepat adalah salah satu strategi yang sangat penting untuk

melakukan pencegahan dan penularan BTB. Pilihan paling tepat adalah dengan uji

serulogis. Beberapa metode serulogis yang sering dipakai untuk mendiagnosa BTB

adalah tuberculine yang sampai saat ini masih diterapkan OIE sebagai uji standar

dalam perdagangan international meskipun sering terjadi adanya positif palsu.

Diagnosa dengan uji tuberkulin akan dapat dilihat dari reaksi hipersensitivitas

dengan tipe tertunda (delayed hipersensitivity reaction). Metode uji reaksi

polimerase berantai (PCR), ujiproliferasi limfosit (lymphocyte proliferation assay)

dan uji gamma interferon assay (IFN-) dapat digunakan.(OIE, 2009). Konfirmasi

diagnosa dengan isolasi dan identifikasi organisme, dengan kultur biasanya dapat

diambil pada 4-8 minggu, atau dengan PCR dapat diperoleh dalam beberapa hari

(The Merck Veterinary Manual, 2011). Diagnosa pada hewan yang telah mati dapat

dilakukan dengan pemeriksaan post mortem, pemeriksaan bakteriologi dan

7
histopatologi. Isolasi bakteri dan pemeriksaan preparat mikroskopik serta

dilanjutkan dengan identifikasi bakteri yang ditemukan merupakan bagian dari

pemeriksaan bakteriologi. (Manual Penyakit Hewan Mamalia, 2012).

Dalam kondisi lapangan untuk membedakan infeksi TBC dan BTB sering

agak sulit diidentifikasi. Untuk membedakan antara M.tuberculosis dan M.bovis

dapat dievaluasi dengan menggunakan PCR dan restriction fragment length

polymorphism (RFLP) assay. A.Mirsha, dkk (2005) dalam penelitiannya melakukan

ujikorelasi identifikasi M.tuberculosis dan M.bovis dengan PCR-RFLP assay dan

Kultur standar techniques, diperoleh hasil 33 isolat diidentifikasi sebagai M. bovis, 7

sebagai M. tuberculosis, dan 15 mycobacteria sebagai nontuberculosis, dimana

isolat yang diambil secara makroskopis menunjukkan kesamaan.

ELISA merupakan salah satu pengujian yang dapat digunakan untuk

mendeteksi antibody. ELISA tampaknya yang paling cocok dari tes antibodi-deteksi

dan dapat menjadi pelengkap, bukan alternatif, untuk tes berdasarkan imunitas

seluler (OIE, 2009).

8
BAB III

KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP

3.1. Kerangka Berpikir

Berdasarkan gambaran latar belakang dan kajian pustaka, maka

pertimbangan kerangka pikir dalam usulan penelitian ini adalah;

Bovine Tuberculosis (BTB) merupakan penyakit yang sangat penting dengan

sebaran kasus yang cukup luas, yang perlu dipertimbangkan untuk dideteksi

penyebarannya di Sulawesi Selatan. Buktinya telah dideteksi adanya sero positif

pada sapi perah di Kabupaten Enrekang, namun serosurveilans menyeluruh di

seluruh kabupaten di Sulsel belum pernah dilakukan.

Sulawesi Selatan sebagai salah satu lumbung ternak di Indonesia Timur, tentu

juga menjadi barometer dalam pengelolaan layanan kesehatan hewan. Realisasi

dari barometer layanan adalah adanya strategi pengendalian penyakit hewan

strategis, termasuk didalamnya pengendalian penyakit hewan zoonosis yang baru

muncul (new emerging disease).

Permasalahan mendasar dari distribusi atau mutasi ternak di Indonesia dan

Sulawesi Selatan khususnya adalah sulitnya melakukan pengawasan lalu lintas

ternak, karena persepsi penerapan aturan masih beragam dalam era otonomi daerah

ini. Dengan kondisi seperti itu, potensi penyebaran penyakit hewan antar daerah

cukup besar, termasuk penyakit Bovine Tuberculocis (BTB) atau Tuberkulosis

Sapi.

9
Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan maupun kabupaten belum memiliki

rencana tindak maupun inisiasi untuk melakukan serosurvey terhadap Bovine

Tuberculocis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi.

Melalui penelitian ini diharapkan memberikan gambaran tentang sebaran

atau status seroepidemiologi terhadap Bovine Tuberculocis (BTB) atau

Tuberkulosis Sapi di Sulawesi Selatan. Penelitian ini akan dilakukan dalam bentuk

serosurveilans dengan menggunakan pengujian ELISA Bovine Tuberculocis (BTB)

diharapkan dapat memberikan hasil sero positif maupun negatif Bovine

Tuberculocis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi. Bila ditemukan sebaran seropositif

lebih dari 6 kabupaten dan 24 kabupaten di Sulawesi Selatan, maka peluang untuk

merekomendasikan pemerintah propinsi yang dalam hal ini adalah Dinas

Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Sulawesi Selatan untuk membuat

sebuah strategi pengendalian penyakit zoonosis yang baru muncul (emerging

disease).

10
3.2. Konsep

BTB merupakan penyakit Sulsel sebagai Gudang Ternak di


penting yang sebarannya cukup Indonesia Timur menuju
luas swasembada daging di Indonesia
Sulsel sebagai Barometer layanan
Deteksi BTB di Kabupaten kesehatan hewan di Indonesia
Enrekang Timur
Sulsel belum memiliki data
tentang serosurveilans BTB
Lalu lintas keluar masuk ternak
tidak dapat terkontrol

Serosurveilans dan faktor risiko


BTB di Wilayah Sulsel dengan 24
kabupaten Seropositif
Uji ELISA Seronegatif

11
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Penelitian Observasional study

yang dimaksudkan untuk mengetahui adanya antibodi (seropositif) terhadap

Bovine Tubercullosis atau Tuberkulosis pada sapi.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan diseluruh kabupaten di Sulawesi Selatan, sampel

akan diambil diseluruh kabupaten yang berjumlah 24 kabupaten. Uji diagnostiknya

akan dilakukan di laboratorium bakteriologi dan serologi Balai Besar Veteriner

Maros. Penelitian ini telah dilakukan mulai bulan Oktober 2014 sampai April 2015.

4.3. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari Penelitian ini adalah:

Sapi : Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah

sapi pedaging (dengan segala jenis yang

pelihara masyarakat) dan sapi perah (di dua

kabupaten; Enrekang dan Sinjai). Jenis

12
kelamin jantan dan atau betina yang berasal

dari 24 kabupaten di Sulawesi Selatan.

Serum : Merupakan bagian dari cairan darah yang

diperoleh dengan cara mengendapkan

selama beberapa menit yang tidak

menggunakan zat bekuan darah (anti

koagulan).

Sero positif : Merupakan penghitungan jumlah sampel

yang postif dari hasil pemeriksaan dengan

menggunakan ELISA.

Sero negatif : Merupakan penghitungan jumlah sampel

negatif dari hasil pemeriksaan dengan

menggunakan metode ELISA.

4.4. Penentuan Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan adalah data populasi ternak sapi yang

diperoleh dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Sulawesi Selatan

pada 24 kabupaten. Penghitungan jumlah sampel ditentukan berdasarkan detect

disease dengan tingkat konfidensi 95% prevalensi dibawah 1%. Rumus yang

digunakan untuk perhitungan detect disease (Budiharta dan Suardana, 2007;

Thrusfiled, 1986; Cannon and Roe, 1982) sebagai berikut;

13
n = [ 1- ( 1- a)1/D] [N - ( D -1)/2]

n = jumlah sampel yang dibutuhkan

N = populasi ternak

a = tingkat konfidensi

Dugaan Prevalensi = 1% 0,01

D = 0,01 x Populasi

Tabel 1. Data populasi sapi di Sulawesi Selatan tahun 2013


Sapi Potong
No Kabupaten/ Kota
dan Perah
1 Kab. Selayar 13.358
2 Kab. Bulukumba 62.203
3 Kab. Bantaeng 23.967
4 Kab. Jeneponto 25.490
5 Kab. Takalar 38.131
6 Kab. Gowa 102.399
7 Kab. Sinjai 84.572
8 Kab. Bone 307.437
9 Kab. Maros 69.945
10 Kab. Pangkep 42.474
11 Kab. Barru 62.040
12 Kab. Soppeng 30.250
13 Kab. Wajo 76.943
14 Kab. Sidrap 45.425
15 Kab. Pinrang 23.331
16 Kab. Enrekang 46.333
17 Kab. Tator 6.611
18 Kab. Palopo 2.943
19 Kab. Luwu 18.755
20 Kab. Luwu Utara 23.131
21 Kota Luwu Timur 14.145
22 Kota Makasar 3.259
23 Kota Pare-Pare 4.312
24 Kab. Toraja Utara 278
TOTAL 1.129.732

14
Kebutuhan sampel untuk penelitian ini sebesar 298 sampel, dengan perhitungan

sebagai berikut;

n = jumlah sampel yang dibutuhkan

N = populasi ternak sapi potong untuk tahun 2013 = 1.129.732 ekor

a = tingkat konfidensi adalah 95%

Dugaan Prevalensi = 1% 0,01

D = 0,01 x 1.129.732 = 11.297,32

n = [ 1- ( 1- a)1/D] [N - ( D -1)/2]

n = [1 (1- 0,95)1/11.297][1.1229.732 (11.297-1)/2]

n = 298

Besaran sampel untuk tiap-tiap kabupaten adalah;

Populasi kabupaten x Besaran Sampel


n1 =
Populasi ternak

15
Tabel 2. Data besasaran sampel di kabupaten/kota Sulawesi Selatan
Sapi Potong Besaran Sampel
No Kabupaten/ Kota
dan Perah
1 Kab. Selayar 13.358 4
2 Kab. Bulukumba 62.203 15
3 Kab. Bantaeng 23.967 6
4 Kab. Jeneponto 25.490 7
5 Kab. Takalar 38.131 10
6 Kab. Gowa 102.399 27
7 Kab. Sinjai 84.572 23
8 Kab. Bone 307.437 82
9 Kab. Maros 69.945 18
10 Kab. Pangkep 42.474 11
11 Kab. Barru 62.040 16
12 Kab. Soppeng 30.250 8
13 Kab. Wajo 76.943 20
14 Kab. Sidrap 45.425 12
15 Kab. Pinrang 23.331 6
16 Kab. Enrekang 46.333 12
17 Kab. Tator 6.611 2
18 Kab. Palopo 2.943 1
19 Kab. Luwu 18.755 5
20 Kab. Luwu Utara 23.131 6
21 Kota Luwu Timur 14.145 4
22 Kota Makasar 3.259 1
23 Kota Pare-Pare 4.312 1
24 Kab. Toraja Utara 278 1
TOTAL 1.129.732 298

4.5. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini, identifikasi variabel yang akan dilihat adalah; variabel

bebas berupa sampel serum sapi yang berasal dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi

Selatan. Untuk variabel terikat berupa Titer Antibodi Bovine Tuberculoccis (BTB)

atau Tuberkulosis Sapi dari uji ELISA. Masing-masing variabel yang akan

digunakan didefinisikan sebagai berikut;

16
a. Sampel darah sapi diperoleh dari pengambilan sampel di seluruh kabupaten

di Sulawesi Selatan dengan memberikan kode sampel untuk seluruh sampel

yang serumnya telah ditempatkan pada microtube.

b. Titer antibodi Bovine Tuberculoccis diperoleh dari hasil Uji ELISA Bovine

Tuberculoccis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi dengan menggunakan AniGen

BTB Ab ELISA 2.0 produk Bionote.

4.6. Bahan Penelitian

Bahan uji ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi, yang

dibutuhkan adalah serum sapi dan KIT Bovine Tuberculoccis (BTB) atau

Tuberkulosis Sapi dengan AniGen BTB Ab ELISA 2.0 produk Bionote .

4.7. Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan untuk pengujian ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB)

atau Tuberkulosis Sapi adalah micropipet multichanner dan ELISA Reader.

4.8. Presedur Penelitian

Tahapan penelitian ini dengan mengikuti prosedur sebagai berikut;

menentukan asal sampel, menghitung besaran sampel yang dibutuhkan, mengambil

sampel di lapangan, melakukan labeling atau mengkode sampel, mengumpulkan

sampel, memisahkan serum dan menempatkan pada microtube dan kemudian

17
dilanjutkan dengan melakukan pengujian ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB) atau

Tuberkulosis Sapi. Disamping itu pemilik ternak diwawancarai dengan

menggunakan kuisioner (terlampir). Kuisioner ini merupakan pelengkap untuk

melihat gambaran tipe pemelihaaan dan epidemiologi terhadap BTB di Sulawesi

Selatan.

4.9. Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil uji ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB) atau

Tuberkulosis Sapi akan disajikan secara deskriptif dengan menjelaskan hasil

seropositif dan seronegatif.

Analisa data kuisioner juga dilakukan untuk menghubungkan antara hasil

seropositif bila ditemukan dengan gambaran epidemiologinya, sebagai pelengkap.

18
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Hasil Uji ELISA Bovine Tubekulosis

Berdasarkan hasil pengujian ELISA terhadap 298 sampel yang berasal dari 24

kabupaten di Sulawesi Selatan, diperoleh hasil 2 sampel positif. Hasil positif tersebut

diperoleh dari kabupaten Bone sebanyak 1 sampel pada sapi Bali dari 82 sampel dan di

Kabupaten Enrekang sebanyak 1 sampel pada sapi perah dari 12 sampel. Sampel

positif dari kabupaten Bone dengan kode sampel bon76 berasal dari desa Kalero

kecamatan Kajuara pada sapi bali yang berumur 3 tahun. Sedangkan sampel positif dari

kabupaten Enrekang dengan kode sampel enr13 berasal dari desa Tanete, kecamatan

Anggeraja pada sapi FH yang berumur 8 tahun. Seluruh sampel dari 22 kabupaten/kota

lainnya hasilnya negatif. Data rinci pada tabel 3. Kedua ternak yang diambil

sampelnya semuanya memiliki kandang dan memiliki tempat pakan dan minum, namun

penampung feses untuk sampel bon76 tidak ada, sedangkan untuk sampel enr13

memiliki penampung feses. Jarak kandang untuk sampel bon76 kurang dari 5 meter

dari rumahnya dan dibersihkan 2 kali seminggu sedangkan jarak kandang untuk sampel

enr13 berada di lahan lain dan setiap hari dibersihkan. Untuk tipe pengembalaan

sampel bon76 pada areal pengembalaan sendiri sedangkan sampel enr13 tidak

digembalakan. Bila dilihat dari berat badan atau performans ternak sampel bon76

agak kurus namun nampak sehat, sedangkan untuk sampel enr13 berat badannya

normal dan nampak sehat. Untuk aspek pemeliharaan dan pemeliharanya, kedua ternak

19
sampel tersebut dipelihara sendiri, sedangkan kondisi kesehatan pemelihara ternak

sampel bon76 pernah batuk 6 bulan lalu dan pemelihara ternak sampel enr13

kondisinya sehat. Sementara kesehatan pada lingkungan keluarganya semuanya sehat.

Hasil seroprevalensi yang diperoleh; untuk seluruh sapi (sapi potong dan perah)

07% (2/298), sapi potong 0,3% (1/293) dan sapi perah 20% (1/5).

Tabel 3. Hasil Uji ELISA


Hasil Uji
Jumlah Sampel ELISA (+) Prevalensi
No Kabupaten Total
Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi
potong perah Potong Perah Potong Perah Gabung
1 Selayar 4 - 4 - - - - -
2 Bulukumba 15 - 15 - - - - -
3 Bantaeng 6 - 6 - - - - -
4 Jeneponto 7 - 7 - - - - -
5 Kab. Takalar 10 - 10 - - - - -
6 Gowa 27 - 27 - - - - -
7 Sinjai 23 - 23 - - - - -
8 Bone 82 - 82 1 - 1,2 - 1,2
9 Maros 18 - 18 - - - - -
10 Pangkep 11 - 11 - - - - -
11 Barru 16 - 16 - - - - -
12 Soppeng 8 - 8 - - - - -
13 Wajo 20 - 20 - - - - -
14 Sidrap 12 - 12 - - - - -
15 Pinrang 6 - 6 - - - - -
16 Enrekang 7 5 12 - 1 - 20 8,3
17 Tator 2 - 2 - - - - -
18 Palopo 1 - 1 - - - - -
19 Luwu 5 - 5 - - - - -
20 Luwu Utara 6 - 6 - - - - -
21 Luwu Timur 4 - 4 - - - - -
22 Makasar 1 - 1 - - - - -
23 Pare-Pare 1 - 1 - - - - -
24 Toraja Utara 1 - 1 - - - - -
Total 293 5 298 1 1 0,3 20 0,7

20
Gambar 1. Peta Provinsi Sulawesi Selatan

Gambar 2. Peta Kabupaten Bone

21
Kec. Kajuara

Gambar 3. Peta Kabupaten Enrekang

Kec. Anggeraja

5.2. Hasil Analisis Kuisioner Pemilik Ternak Sampel sebagai faktor risiko

Dari hasil pengambilan kuisioner pemilik ternak yang diambil sampelnya

memberikan beberapa gambaran, antara lain; kepemilikan kandang, bahwa dari 298

sampel responden yang diambil, 267 yang memiliki kandang, 1 yang kandangnya

bergabung dengan spesies lainnya dan 30 yang tidak memiliki kandang. Dari 267 yang

22
dikandangkan 113 beralaskan semen dan 154 kandang yang tidak beralas, sedangkan 1

kandang gabung tidak beralas. Dari 267 yang dikandangkan 146 kandangnya beratap

seluruhnya, 86 beratap sebagian dan 35 yang tidak beratap. Jarak kandang dengan

rumah dari 267, ada 80 yang jaraknya kurang dari 5 meter, 68 lebih dari 5 meter, 43

yang menempel dengan rumah dan 76 kandangnya ada di lahan lain. Untuk kandang

gabung jaraknya menempel dengan rumah. Sedangkan untuk ternak yang tidak

dikandang, artinya ternak ditambatkan atau dilepas; dilahan lain 11, menempel dengan

rumah 7, 1 jaraknya kurang dari 5 meter, 3 jaraknya lebih dari 5 meter dan 5 yang

dilepas. Bila dilihat dari pembersihan kotoran dari 298 responden, ada 108 yang

membersihkan 2 kali seminggu, 101 membersihkan setiap hari, 44 yang membersihkan

2 bulanan dan 45 yang tidak membersihkan. Tipe pengembalaan dan waktu

pengembalaan cukup bervariasi, untuk pengembalaan pada kebun sendiri sebanyak 50

responden, lahan pengembalaan sendiri 75, kebun tetangga 12, pengembalaan umum

136 dan tidak digembalakan sebesar 25. Sedangkan waktu pengemblaannya yang paling

banyak dilakukan pada siang hari saja sebesar 174 responden. Untuk sumber bibit

sebagian besar memperolehnya dari ternak sendiri, maksudnya turunan dari ternak

sebelumnya, yaitu sebesar 243, dari desa sendiri 20, dari kecamatan lain sebesar 19, dari

kabupaten lain 14 dan lain desa dalam 1 kecamatan hanya 2. Bila dilihat dari aspek

berat badan atau performans ternaknya ada 177 yang agak kurus, normal 89, kurus

sekali 29 dan gemuk hanya 3. Kondisi ternak sebagian besar terlihat sehat yaitu 194,

pernah sakit pernafasan dibawah 6 bulan sebesar 3, pernah sakit pernafasan diatas 6

bulan 6, penurunan berat badan secara signifikan 35 dan dalam keadaan sakit sebesar 59

23
dengan berbagai diagnosa. Untuk aspek pemelihara dan kesehatannya, dipelihara

sendiri itu ada 193, dipelihara bersama keluarga 63 dan dipelihara orang lain sebesar 42.

Dari kesehatan pemeliharnya nampaknya 254 yang sehat, batuk dibawah 6 bulan 30,

diduga sakit pernafasan 6, batuk diatas 6 bulan 1, dalam keadaan sakit 7. Untuk

kesehatan keluarga dari pemelihara ada 257 yang nampaknya sehat, batuk diatas 6

bulan 19, sedang sakit 12, diduga sakit pernafasan 9 dan batuk dibawah 6 bulan 1.

Seluruh informasi tersebut tertera dalam tabel pada lampiran.

24
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Pengujian ELISA Tuberculosis

Hasil pengujian ELISA terhadap sampel diperoleh hasil positif sebanyak 2

sampel, dari 298 sampel yang diperiksa. Sampel positip dengan kode enr13 memiliki

nilai rata-rata OD 2,745 dan S/P sebesar 1,193 pada plate 3 (10-04-2015) well F1. Nilai

ini cukup tinggi dibandingkan standar yang disyaratkan untuk memvalidasi dengan

positif kontrol diatas 1,500 untuk OD dan diatas atau sama dengan 0,5 untuk S/P. Bila

dibandingkan dengan positif kontrol, untuk rata-rata nilai OD sebesar 2,259 dan nilai

S/P nya 1, ini menunjukkan jauh diatas positif kontrol. Artinya deteksi antibodynya

cukup tinggi. Sedangkan untuk sampel dengan kode bon76 pada plate 5 (09-04-2015)

well B1 nilai rata-rata OD-nya sebesar 1,361 dan nilai S/P sebesar 0,516. Bila

dibandingkan dengan positif kontrol sebesar 2,557 untuk nilai rata-rata OD dan 1 untuk

nilai S/P namun demikian untuk interpretasi hasil positif sesuai dengan standar validasi

yang disyaratkan yaitu 0,5 untuk nilai S/P.

Dalam beberapa penelitian terhadap deteksi anti body M.bovis khususnya dalam

Bovine Tuberculosis bahwa tidak ada uji yang benar-benar memberikan hasil yang

paling baik. Kombinasi tes sangat perlu dilakukan untuk mendiagnosa BTB, karena

tidak ada tes tunggal yang mampu mendeteksi semua hewan yang terinfeksi dan juga

tidak ada tes yang memiliki sensitivitas dan spesivitas 100% (Neeraja et al, 2014).

Demikian juga menurut Marassi 2013, mengatakan bahwa rentang tes yang saat ini

25
tersedia tidak cukup efektif untuk digunakan secara tunggal dan tidak akan mendeteksi

semua sapi yang terinfeksi dalam semua tahap infeksi. Oleh karena itu, pendekatan

multidisiplin untuk diagnosis dan pengendalian tuberkulosis akan lebih efektif untuk

mengidentifikasi semua hewan yang terinfeksi hewan terlepas dari tahap penyakitnya.

Prevalensi untuk sapi potong dan sapi perah terjadi perbedaan yang mencolok,

sapi potong ditemukan 1 positif dari 293 sampel sehingga prevalensinya sebesar 0,3%

untuk sapi perah ditemukan 1 positif dari 5 sampel sehingga prevalensinya menjadi

20%, sedangkan prevalensi keseluruhan untuk sapi perah dan sapi potong menjadi

0,7%. Perbedaan mencolok ini terjadi karena jumlah sampel yang diambil antara sapi

perah dengan sapi potong sangat jauh. Dalam beberapa penelitian bahwa ras sapi sapi

dapat membedakan prevalensi, Studi yang dilakukan di Afrika mengidentifikasi jenis

sapi sebagai faktor risiko untuk tes kulit positif. Pada tahun 1998, sebuah studi cross-

sectional dilakukan pada 1 813 hewan (494 peternakan intensif) dari Eritrea

menyarankan bahwa keturunan diimpor, digunakan untuk meningkatkan industri susu di

daerah tropis, mungkin kurang tahan terhadap BTB dibandingkan dengan keturunan

sapi potong lokal (Humblet et al, 2004).

6.2. Keterkaitan hasil Pengujian ELISA dengan hasil Kuisioner

Temuan Hasil positif pada 2 sampel di Bone kode sampel bon76 dan Enrekang

dengan kode sampel enr13 dapat dikaitkan dengan beberapa temuan pada

pengambilan kuisioner. Terutama yang berhubungan dengan perkandangan, berat badan

26
atau performans ternaknya, kesehatan ternak, kondisi kesehatan pemilihara dan

keluarganya serta sumber bibit ternak.

6.2.1. Keterkaitan seropositif dengan Asal bibit Sapi.

Asal bibit sapi sangat terkait dengan perpindahan ternak dari satu tempat ke

tempat lainnya. Perpindahan ternak ini akan sangat berhubungan dengan penyebaran

penyakit dari satu tempat ketempat lainnya. Perpindahan hewan terbukti menjadi faktor

risiko penting, dalam sebuah penelitian untuk menganalisa perpindahan ternak antara

tahun 1985 dan 2003 di Britania Raya. Gambaran temuan tipe molekul menunjukkan

bahwa perpindahan hewan yang sangat bertanggung jawab untuk sebagian besar wabah

yang dilaporkan di NE Inggris antara tahun 2002 dan 2004, seperti yang ditunjukkan di

31 kawanan yang mengalami wabah BTB selama periode tersebut (Humblet et al,

2004). Berrian et al. (2012) melakukan penelitian untuk menentukan risiko BTB dengan

melihat perpindahan hewan selama tahun 2005. Perbandingan dibuat antara

perpindahan hewan dari ternak yang telah dikontrol perpindahannya pada tahap tertentu

selama tahun 2005 (hewan positif), dibandingkan dengan hewan yang tidak terinfeksi.

Risiko keseluruhan diagnosis BTB selama periode 2 tahun setelah hewan dipindahkan

adalah 0,69%, dengan hewan 'terinfeksi' kawanan menjadi 1,91 (1,76-2,07) kali lebih

mungkin untuk hasil uji positif dibandingkan dengan hewan dari kawanan yang 'tidak

terinfeksi'.

Asal bibit kedua sampel positif hasil penelitian berasal dari pengembang biakan

sapi yang telah ada sebelumnya yaitu dari induk yang dipelihara sebelumnya. Ada

27
kemungkinan penularan atau paparan M.bovis diperoleh dari induknya. Kedua sapi

yang diambil sampelnya tersebut berjenis kelamin betina, artinya peluang penularan

akan kembali terjadi pada anak-anak yang dilahirkan, terutama pemularan saat

menyusui. Mengkonsumsi air susu sapi yang terinfeksi tuberculosis merupakan cara

penularan yang paling efektif. Bacil penyebab tuberculosis yang teremulsi pada lemak

susu akan masuk melalui jaringan mukosa yang ada pada saluran cerna (Masniari et al,

2004). Disamping itu penularan secara vertikal dapat terjadi (Tarmudji dan Supar,

2008).

Ternak sapi seropositif yang ada di Enrekang dan Bone bila tidak dikontrol

perpindahannya, maka besar kemungkinannya bila berpindah ke daerah baru akan

menjadi sumber penularan. Asal ternak bibit merupakan salah satu potensi faktor risiko.

Seropositif BTB yang berasal dari wilayah kabupaten Enrekang diperoleh dari

keseluruhan sapi sebesar 8,3% (1/12) dan khusus untuk sapi perah ras FH sebesar 20%

(1/5). Berdasarkan penelitian di wilayah Oromia, Ethiopia dilaporkan; dari 13 koperasi

susu, dua memiliki setidaknya satu reaktor BTB positif dan lima memiliki hewan positif

brucellosis Prevalensi hewan individu adalah 0,3% (95% CI 0,1% menjadi 1,3%) untuk

BTB, 1,7% (95% CI 0,8% menjadi 3,5%) untuk brucellosis dan 8,9% (95% CI 6,8% ke

11,5%) untuk MAC (Mycobacterium avium Compleks) (Tschopp et al, 2013). Bila

dibandingkan dengan prevalansi BTB tercatat dalam penelitian lain, 3,85% dilaporkan

di Malawi; 1,3% di Tanzania; 1,4% dilaporkan di Uganda, prevalensi ini tampaknya

sedikit tinggi dan harus meningkatkan masalah kesehatan masyarakat (Muma et al,

2013). Laporan dari sebuah penelitian di Mozambik hasil di Distrik Govuro, Mozambik

28
Tenggara menunjukkan bahwa BTB sangat lazim di distrik tersebut, dengan tingkat

prevalensi keseluruhan 39,6% (Moiane et al, 2014). Bila dibandingkan dengan kejadian

seropositif dari hasil penelitian tersebut, maka prosentase kejadian seropositif di

wilayah Enrekang cukup tinggi.

Tabel 4. Data sampel Kab. Enrekang


Kode Jenis Hasil
Sampel sapi Sex Umum Desa Kec Kab ELISA
enr1 Bali Jt 2 Kalosi Alla enrekang negatif
enr2 Bali Bt 4 Sumillan Alla enrekang negatif
enr3 Bali Jt 1 Sumillan Alla enrekang negatif
enr4 Bali Bt 3 Sumillan Alla enrekang negatif
enr5 Bali Jt 2 Tanete anggeraja enrekang negatif
enr6 Bali Jt 2 Saruran anggeraja enrekang negatif
enr7 Fh Bt 4 Lakawan anggeraja enrekang negatif
enr8 Fh Bt 5 Lakawan anggeraja enrekang negatif
enr9 Bali Bt 4 Tanete anggeraja enrekang negatif
enr11 Fh Bt 8 Tanete anggeraja enrekang negatif
enr12 Fh Bt 6 Lakawan anggeraja enrekang negatif
enr13 Fh Bt 8 Tanete anggeraja enrekang positif

Tabel 5. Data asal Bibit Sapi


Desa Ds lain 1 Kab Kec
Kab/Kota sendiri kec lain lain Sendiri Jumlah
Bone 9 1 72 82
Enrekang 12 12
Kab Lain 11 1 14 19 159 204
Total 20 2 14 19 243 298
% 6,7 0,7 4,7 6,4 81,5

6.2.2. Keterkaitan seropositif dengan perkandangan

Sistem perkandangan sapi di wilayah Sulsel khususnya di Bone dan Enrekang

umumnya merupakan sistem perkandangan semi intensive, yang dibuat dengan atap

29
seng atau alang-alang dan berlantai. Jarak kandang untuk sampel bon76 kurang dari 5

meter dari rumahnya, tidak memiliki penampung feses dan untuk sampel enr13

kandangnya berada di lahan lain, ada penampung fesesnya. Kebuanya memiliki tempat

pakan dan minum. Kandang pada sampel bon76 dibersihkan 2 kali seminggu dan

kandang enr13 dibersihkan setiap hari. Prevalensi tinggi BTB diamati di hampir

semua bidang peternakan skala kecil, dengan sistim kandang dan manajemen yang

terbatas, sangat kontras dengan apa yang diamati di peternakan sektor komersial (hanya

di wilayah Luido) di Mozambik Tenggara, di mana tidak ada SCITT hewan positif

terdeteksi. Sementara pada hewan sektor komersial biasanya diuji untuk BTB akan

dikarantina sebelum didistribusikan atau diperdagangkan (Moiane et al 2014).

Menurut laporan Indiana State Departement of Health, (2008), kandang dan

kebersihannya sangat penting sebagai predisposisi penularan. Penularan BTB ke hewan

lain maupun manusia melalui aerosol pada lingkungan yang terkontaminasi M.bovis dan

lingkungan penderita (infected environment). Salah satu cara untuk melakukan

pencegahan dalam penyebaran adalah dengan melakukan pembersihan dan disinfeksi

kandang dengan baik. Disinfeksi menggunakan senyawa phenol 2-3%, kresol 2-3% atau

ortophenil 1% merupakan disinfektan yang paling efektif untuk membunuh bakteri TBC

(Masniari et al 2004). Penularan dapat terjadi pada saat berkumpulnya ternak penderita

pada padang pengembalaan. Sapi sampel bon76 digembalakan pada tanah

pengembalaan sendiri dan digembalakan hanya pada siang hari saja, sedangkan untuk

sampel sapi enr13 tidak digembalakan, selalu berada di kandang. Tipe pengembalaan

30
ternak sapi yang seropositif di Enrekang dan Bone, kecil peluangnya untuk menyebar

ke ternak lain karena diluar kawanannya.

Kandang dalam aspek kebersihan, kepadatan dan jarak kandang dengan

perumahan berpotensi sebagai faktor risiko BTB di Bone dan Enrekang.

6.2.3. Keterkaitan seropositif dengan performans dan kesehatan ternak

Berat badan pada sampel sapi bon76 agak kurus dengan kondisinya sehat dan

berat badan sampel sapi bon13 normal, nampak kondisinya sehat. Tanda klinis dari

BTB sangatlah sulit dideteksi. Tanda klinis BTB sangat sulit dideteksi karena sifatnya

kronis. Pada stadium awal sering terjadi penurunan berat badan secara signifikan. Pada

kasus stadium yang lanjut BTB ditandai dengan granuloma nodular atau pembentukan

tuberkel dengan kaseosa yang dihasilkan di banyak organ vital terutama di paru-paru,

kelenjar getah bening, usus dan ginjal kecuali otot skeletal (Hardstaff et al, 2013; Le

Roex et al, 2013). Beberapa penelitian melaporkan korelasi antara kondisi tubuh dan

BTB. Pada hewan penelitian kami di daerah Mozambik Tenggara dalam kondisi tubuh

yang agak kurus dan kurus atau sangat kurus menunjukkan hasil tes kulit lebih positif

daripada hewan dalam kondisi tubuh yang baik, namun perbedaan ini tidak bermakna

secara statistik (Moiane et al, 2014).

Kondisi ternak dan kesehatannya belum dapat dikatakan berpotensi sebagai

faktor risiko.

31
6.2.4. Keterkaitan seropositif dengan pemeliharaan dan kesehatan pemelihara

Sampel seropositif ditemukan pada peternakan sapi yang dikelola oleh peternak

dengan tingkat pendidikan SMA untuk Bone dan S1 untuk Enrekang, relatif akan lebih

memudahkan dalam memberikan pengetahuan tuberkulosis. Namun karena pemberian

informasi tentang tuberculosis sangat minim oleh petugas pelayan kesehatan, maka

pemahaman tentang risiko BTB juga terbatas. Peternak yang mempunyai riwayat

kesehatan menderita batuk-batuk lebih dari 6 bulan dan memiliki sarana sanitasi minim,

sebaiknya perlu diberikan pemahaman tentang BTB secara komprehensif. Aspek

pemiliharaan, kedua sapi tersebut dipelihara sendiri oleh pemiliknya. Sedangkan

kondisi kesehatan pemeliharanya, untuk sapi sampel bon76 pernah batuk 6 bulan lalu

dan kesehatan dilingkungan keluarganya semuanya nampak sehat. Sedangkan untuk

sapi sampel enr13 kondisi pemeliharnya nampak sehat demikian juga halnya dengan

lingkungan keluarganya. Salah satu gejala klinis TBC pada manusia adalah batuk terus

menerus. Bila dilihat dari tanda klinis pada ternak dan hasil positif ELISA dari sampel

bon76 ada kemungkinan atau kecurigaan telah terjadi saling menularkan. Namun

demikian dibutuhkan pemeriksaan dan pengawasan atau kajian secara mendalam

terhadap kondisi kesehatan pemeliharanya serta ternak dan lingkungannya.

6.3. Analisis hasil kuisioner sebagai faktor risiko.

Kuisioner yang diambil dari pemilik ternak bertujuan untuk melihat gambaran

epidemiologi khususnya faktor risiko yang mempengaruhi dalam penyebaran ataupun

terjadinya BTB. Faktor risiko yang dapat dikaitkan terhadap peluang penyebaran

32
maupun kejadian BTB di Sulawwesi Selatan, antara lain tingkat pendidikan, sumber

bibit, perkandangan, pengembalaan, pemeliharaan dan kesehatan pemeliharanya.

6.3.1. Tingkat Pendidikan sebagai faktor risiko

Tingkat pendidikan biasanya sangat terkait dengan kapasitas dalam menerima

inovasi dan kemampuan untuk mengembangkan wawasan. Dalam sistim pemeliharaan

ternak tingkat pendidikan juga akan memberikan pengaruh terhadap penerimaan

pengetahuan dalam bidang tata kelola peternakan termasuk penularan penyakit. Dari

hasil kuisioner, nampaknya sebagian besar peternak yang menjadi responden 82,3%

atau 275 orang telah mengecap dunia pendidikan dan hanya 23 orang (7,7%) tidak

bersekolah. Dari 275 responden yang bersekolah ada 101 orang (33,7% dari total

responden) yang tamatan SMA. Gambaran tingkat pendidikan ini menunjukkan

peternak berpeluang lebih mudah diberikan pemahaman terkait dengan pengetahuan

kesehatan hewan. Bugweza et al, (2013), dalam penelitiannya mengatakan bahwa

pengetahuan BTB di ekosistem Sarangeti Afrika, juga dipengaruhi oleh tingkat

pendidikan.

Tabel 6. Data Tingkat Pendidikan


Kab/Kota D3 S1 SD SMA SMP Tidak Jumlah
Bone 33 19 30 82
Enrekang 3 8 1 12
Tab lain 1 17 47 74 42 23 204
Total 1 20 80 101 73 23 298
% 0,7 6,7 26,8 33,9 24,5 7,7

33
6.3.2. Sumber bibit sebagai faktor risiko

Sumber bibit sebagai sumber risiko sangat terkait dengan disrtibusi ternak

dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Bila dalam distribusi tidak ada pengawasan

khususnya dalam pemeriksaan kesehatannya, tentu akan berpeluang akan terjadinya

perpindahan penyakit dari satu daerah ke adaerah lainnya. Dalam UU No 16 th 1992

mengamanatkan bahwa setiap ternak keluar daerah harus disertai dengan sertifikat

kesehatan hewan (Manual Penyakit Hewan, 2012). Dalam penelitian ini ada 4,7% (14)

sumber bibitnya dari kabupaten lain, 6,4% (19) dari kecamatan lain dalam kabupaten,

0,7% (2) dari desa lain dalam kecamatan dan 6,7% (20) dari desa sendiri. Dari

gambaran ini ada peluang penyebaran penyakit baik dari kecamatan lain, desa lain dan

termasuk dari desa sendiri, sangatlah besar karena dalam sistim distribusi ternak di

Sulawesi Selatan untuk dalam kabupaten sendiri tidak ada pengawasan khususnya

dalam pemberian surat keterangan kesehatan hewan dari dinas yang berwenang.

Berbeda dalam distribusi ternak keluar kabupaten pemberian surat keterangan kesehatan

hewan harus disertakan, yang diatur oleh Peraturan Daerah (Perda) masing-masing

daerah. Namun demikian dalam pemberian surat keterangan tersebut pemeriksaan

dilakukan untuk uji RBT bagi sapi betina dan pemeriksaan fisik. Seperti diketahui

bahwa BTB diagnosanya sangatlah komplek dan tanda klinisnya tidak menciri sehingga

dibutuhkan pemeriksaan dengan uji yang tepat (Oloya et al, 2007 dan Manual Penyait

Menular, 2012). Disamping itu sumber bibit sebagai sumber risiko juga dapat terjadi

pada ternak yang bersumber dari ternak sendiri (induk sebelumnya), biasanya banyak

34
terjadi pada hewan betina yang terinfeksi penyakit tertentu (misalnya BTB) dapat

menular secara vertikal dari induk ke anaknya (Tarmudji dan Supar, 2008).

6.3.3. Perkandangan sebagai faktor risiko

Kandang merupakan salah satu bagian penting dalam sistim pemeliharaan

ternak. Namun kandang ternak haruslah memenuhi syarat-syarat yang sangat erat

hubungannya dengan kesehatan, produksi dan reproduksi. Tidak adanya kandang dan

mengabaikan syarat-syarat kesehatan dalam perkandangan akan menjadi faktor risiko

dalam penularan atau penyebaran penyakit. Jarak antar kandang baik sesama spesies

maupun spesies yang berbeda, termasuk jarak kandang dengan rumah pemeliharnya,

atap kandang, alas kandang, kepadatan dan kebersihan kandang. Adanya atap kandang,

alas kandang dan kepadatan kandang sangat terkait dengan kualitas lingkungan. Hasil

kuisioner menunjukkan, 267 (89,6%) memiliki kandang, 28 (9,4%) dan 1 (0,3%)

memiliki kandang yang digabung antara beberapa spesies. Variasi antara yang beralas

dan beratap. Bila dilihat dari waktu membersihkan kandang, ada 45 (15,1%) tidak

dibersihkan, 44 (14,8%) dibersihkan 2 bulan sekali, 108 (36,2%) dibersihan 2 kali

seminggu, 101 (33,9%) dibersihkan setiap hari. Kelembaban udara kandang akan

memberikan pengaruh terhadap kenyamanan ternak dan dapat mempengaruhi tingkat

respirasi (Panjono dkk, 2009). Sanitasi kandang yang tidak baik akan meningkatkan

nilai rata-rata Total Plate Count susu (3,7x107) sehingga akan mempengaruhi kualitas

susu, ada (46,88%) tidak memenuhi standar (Galang dkk, 2013). Kita ketahui salah satu

cara penularan dari BTB melalui susu yang tidak dikeloka dengan baik. Ternak sapi

selama masa pengandangan, jenis kandang, lantai kandang dan ketersediaan saluran

35
kotoran akan memberikan pengaruh terhadap nilai emisi ammonia rate (Avolelis, 2006).

Ammonia akan memberikan pengaruh terhadap kualitas udara yang dihirup, sehingga

jarak kandang dengan rumah akan memberi pengaruh juga kepada pemilik ternak dan

keluarganya. Jarak kandang dengan rumah peternaknya memiliki peluang terhadap

penularan kepada pemilik dan penghuni rumah yang lainnya, khususnya untuk penyakit

yang bersifat zoonosis. Semakin dekat dengan rumah semakin besar kemungkinan

terjadinya penularan. Sebuah studi di Irlandia dilakukan pada tahun 1993 menunjukkan

hubungan antara kejadian BTB dan adanya bilik perumahan, yang berhubungan dengan

peternakan sapi perah intensif. Bilik perumahan dianggap membuat ternak lebih stres,

sehingga meningkatkan kerentanan terhadap BTB (Humble et al, 2004).

Tabel 7. Data Kandang dan alas kandang


Kandang Tidak
Ada Kandang Gabung ada Total
Alas Tdk
Kab/Kota semen dialas Tdk dialas Kandang
Bone 24 50 1 7 82
Enrekang 6 3 3 12
Kab lain 83 101 18 204
Jumlah 113 154 1 28 298
% 89,6 0,7 9,4

Tabel 8. Data jarak kandang


kandang
Ada Kandang gabung Tdk ada kandang
Total
Krg lahan lebih menempel menempel Krg lahan lebih menempel
Kab/Kota 5m lain 5m rmh rmh 5m lain 5m rmh
Bone 40 3 21 10 1 1 1 82
Enrekang 1 6 2 1 1 1 12
Kab lain 39 67 45 33 10 1 7 204
Jumlah 80 76 68 43 1 2 11 3 7 298
% 30,0 28,5 25,5 16,1 100,0 6,7 36,7 10,0 23,3

36
6.3.4. Pengembalaan sebagai faktor risiko

Padang pengembalaan merupakan tempat bertemunya ternak baik sesama

spesies maupun spesies lainnya dalam satu areal. Bertemunya ternak dalam sebuah

kawasan perumputan akan memberikan pengaruh yang peluang terhadap transmisi

penyakit dari ternak yang sakit ke ternak yang sehat. Disamping padang pengembalaan

itu sendiri, waktu pengembalaan juga perlu dipertimbangkan sebagai faktor yang

memberikan peluang terhadap penularan penyakit. Dalam penelitian ini pada

pengembalaan yang biasa dimanfaatkan oleh peternak dikelompokkan menjadi padang

pengembalaan umum, pengembalaan milik sendiri, kebun sendiri dan kebun tetangga.

Dari hasil kuisioner, nampaknya sebagian peternak digembalakan pada padang

pengembalaan umum, yaitu 45,6% (136), 25,2% (75) digembalakan pada lahan sendiri,

16,8% (50) kebun sendiri, 4,0% (12) kebun tetangga dan 8,4% (25) tidak digembalakan.

Dalam penelitian Bugweza (2013), bahwa ada perbedaan prevalensi BTB yang relatif

tinggi dari sistim peternakan semi nomaden pada padang pengembalaan umum di

Maasai.

Tabel 9. Data Tipe pengembalaan


kebun padg gbl pdg gbl tidak pdg gbl
Kab/Kota sendiri sendiri tetangga digembala umum Total
Bone 12 33 8 4 25 82
Enrekang 5 1 6 12
Kab.lain 33 41 4 15 111 204
Jumlah 50 75 12 25 136 298
% 16,8 25,2 4,0 8,4 45,6

37
Tabel 10. Data Waktu pengembalaan
1-3 3
Kab/kota seminggu seminggu sepanjang hari siang tidak Total
Bone 1 8 69 4 82
Enrekang 5 1 6 12
Kab lain 5 12 47 104 36 204
Jumlah 5 13 60 174 46 298
% 1,7 4,4 20,1 58,4 15,4

6.3.5. Pemeliharaan dan kesehatan pemelihara sebagai faktor risiko

BTB merupakan penyakit zoonosis yang perlu mendapat perhatian, karena

penyebarannya yang meluas diseluruh dunia, walaupun data yang akurat untuk itu

belum ada. Berdasarkan hasil kuisioner ada 193 (64,8%) yang dipelihara sendiri, 42

(14,1%) yang dipelihara orang lain dan 63 (21,1%) dipelihara bersama keluarga. Dari

masing-masing cara pemeliharaannya, beberapa hasil sebagai berikut; dari yang

dipelihara sendiri ada 87,6% (169/193) yang sehat, 2,6% (5/193) yang sedang sakit dan

yang batuk dibawah 6 bulan ada 9,8% (19/193). Untuk yang dipelihara oleh orang lain

ada 76,2% (32/42) yang sehat, 2,4% (1/42) yang sedang sakit, 19% (8/42) yang batuk

dibawah 6 bulan dan yang batuk diatas 6 bulan ada 2,4% (1/42). Untuk yang

pemeliharaannya bersama keluarga ada 84,1% (53/63) yang sehat, 1,6% (1/63) yang

sedang sakit, 4,8% (3/63) yang batuk dibawah 6 bulan dan ada 9,5% (6/63) yang diduga

sakit pernafasan. Penularan kepada manusia dilaporkan jarang terjadi di negara maju.

Badan Perlindungan Kesehatan Inggris (HPA) pada tahun 2012; menyatakan bahwa

dalam 17 tahun 1994-2011 ada 570 kasus manusia yang dilaporkan terjadinya infeksi

Mycobacterium bovis, sebagian besar terjadi pada orang yang berusia 45 atau lebih .

BTB pada manusia dilaporkan lebih umum di negara berkembang, sebuah studi tahun

38
2006 diperkirakan ada 7.000 kasus BTB tahun di Amerika Latin (Bazian, 2012).

Demikian juga studi di Ethiopia menjelaskan, walaupun sampai saat ini masih belum

diketahui gambaran yang tepat tentang penularan M.bovis dari hewan ke manusia,

khususnya didaerah urban yang memiliki prevalensi BTB yang tinggi, peluang

penularan ke manusia sangatlah tinggi karena penanganan susu yang diminum

masyarakat sangat rendah (Tschopp, 2013).

Tabel 11. Data pemelihara


orang
Kab/kota keluarga lain sendiri Total
Bone 23 4 55 82
Enrekang 2 10 12
Kab lain 38 38 128 204
Jumlah 63 42 193 298
% 21,1 14,1 64,8

Tabel 12. Kondisi Kesehatan pemelihara


diduga batuk <
Kab/kota batuk > 6 bl pernafasan Sakit 6bln sehat Total
Bone 17 6 1 58 82
Enrekang 12 12
Kab lain 13 6 1 184 204
Jumlah 30 6 7 1 254 298
% 10,1 2,0 2,3 0,3 85,2

39
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan; bahwa sero

prevalensi Bovine Tuberculosis (BTB) di Sulawesi Selatan sebesar 0,7%, di Kabupaten

Bone 1,2%, Kabupaten Enrekang 8,3%. Yang berpotensi menjadi faktor risiko adalah

asal bibit, perkandangan dan pengembalaan.

7.2. Saran

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini:

1. Penelitian ini merupakan penelitian awal tentang Bovine Tuberculosis, di

Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Bone dan Enrekang sehingga masih

dibutuhkan penelitan lebih lanjut.

2. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, khususnya Kabupaten Bone dan Enrekang

perlu mengembangkan strategi pengendalian pada ternak sapi yang ditemukan

seropositif.

40
DAFTAR PUSTAKA

Al-Saqur, I.M, Al-Thwani, A.N, Al-Attar, I.M. 2009. Detection of Mycobacterium spp
in cows milk using conventional methods and PCR. Iraqi Journal of Veterinary
Science, vol 23, supplement II (259-262). (http://www.vetmedmosul.org/ijvs),

Anonim. 2010. Merck Veterinary Manual Tenth Edition, Merck & Co Inc Rahway.
New Jersey USA, (1318-1321).

Aphis Veterinary Service. 2011. Guidance Biologic Regulation and Guidance; VB


Manuals Tuberculosis and Brucellosis Progrgam of Future.

Avolelis, B. K, 2006. Impact of Animal Housing Systems on Ammonia Emission


Rates. Journal of Environmental Studies, ISO Abbrev. Title: Pol. J.
Environ.Stud. Vol.15. No.5 (2006). 739-745.

Bazian, 2012; NHS Choices: Analizes Of Bovine Tuberculosis case on Animal to


Human Transmission. www.nhs.uk/news/2013/07july/pages/concerns - raised-
about-bovine-TB-infected-meat.aspx.

Bugwesa, Z. K., Mbugi, E. V., Karimuribo, E. D., Keyyu, J. D., Kendall, S., Gibson S
Kibiki, Peter Godfrey-Faussett, Anita L Michel, Rudovick R Kazwala, Paul van
Helden and Mecky I Matee, 2013; Prevalence and risk factors for infection of
bovine tuberculosis in indigenous cattle in the Serengeti ecosystem, Tanzania.
BMC Veterinary Research 2013, 9:267.

Cooper, R., Karolemeas, K., Ricardo de la Rua-Domenech, , Anthony V. Goodchild,


Richard S. Clifton-Hadley, Andrew J. K. Conlan, Andrew P. Mitchell, R. Glyn
Hewinson, Christl A. Donnelly, James L. N. Wood, Trevelyan J. McKinley mail
Published: August 21. 2012.Estimation of the Relative Sensitivity of the
Comparative Tuberculin Skin Test in Tuberculous Cattle Herds Subjected to
Depopulation, DOI: 10.1371/ journal. pone.0043217.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Sulawesi Selatan. 2013. Data
Populasi Ternak Tahun 2012.

EFSA Panel on Animal Health and Welfare (AHAW) 2012; Scientific Opinion on the
use of a gamma interferon test for the diagnosis of bovine tuberculosis. EFSA
Journal 2012:10(12): 2975.

41
Elizabeth, A. Talbot, Diana L Williams, and Richard Frothingham. 1997. PCR
Identification of Mycobacterium bovis BCG. Journal of Clinical Microbiology
Vol. 35 No. 3 p566-569,

Elise, A. Lamont, Joo Ribeiro-Lima, Wade Ray Waters, Tyler Thacker, and Srinand
Sreevatsan. 2014; Mannosylated lipoarabinomannan in serum as abiomarker
candidate for subclinical bovinetuberculosis. BMC Research Notes 2014.7:559.

Folitse, R.D., Boi-Kikimoto, B.B., Emikpe, B.O., Atawalna, J., 2014; The prevalence of
Bovine tuberculosis and Brucellosis in cattle from selected herds in Dormaa and
Kintampo Districts, Brong Ahafo region, Ghana. iMedPub Journals. Vol. 5 No.
2:1, 2014. doi: 10.3823/280.

Galang Kharis Pradana, Ambarwati, Astirka Friski. 2013; Pengaruh Higienitas Dan
Sanitasi Sapi Perah Terhadap Kualitas Susu Secara Mikrobiologis Di Peternakan
Sapi Di Desa Butuh Kecamatan Mojosongo Boyolali. Naskah Publikasi
Universitas Muhamadyah Surakarta, Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Ilmu Kesehatan.

Humblet Marie-France, Boschiroli Maria Laura, Saegerman Claude. 2004.


Classification of worldwide bovine tuberculosis risk factors in cattle: a stratified
approach. National Center for Biotechnology Information, U.S. National Library
of Medicine 8600 Rockville Pike, Bethesda MD, 20894 USA.

Ignacio Garca-Bocanegra, Bernat Prez de Val, Antonio Arenas-Montes, Jorge


Paniagua, Mariana Boadella, Christian Gortzar, Antonio Arenas, 2012;
Seroprevalence and Risk Factors Associated to Mycobacterium bovis in Wild
Artiodactyl Species from Southern Spain, 20062010. Research Article. DOI:
10.1371/journal.pone.0034908.

Konyha, L.D., Hirnes, E.M. and Thoen, C.O. 1980. Bovine Tyuberculosis In CRE
Handbook Series Zoonoses. Section A , Vol 11: 109-139. Stoenener H, Kaplan
W, Torten T Edition, CRE Press, Inc. Boca Raton, Florida,

Masniari Poeloengan, Iyep Komala dan Susan M Noor. 2004; Bahaya penanganan
Tuberculisis. Dalam Lokakarya Penyakit Zoonosis, Balai Penelitian Veteriner
Bogor.

Marassi, C.D., Medeiros, L., Figueiredo, D., Fonseca, L.S., Duarte, R., Paschoalin,V.,
Walter, M.R. Oelemann and Walter Lilenbaum. 2013; A multidisciplinary
approach to diagnose naturally occurring bovine tuberculosis in Brazil. Tesquisa

42
Veerinaria Brasileira. Vol. 33. No.1. Rio de Janeiro. Jan 2013. ISSN 0100-736x.
10.1590/ SO100-736x2013000100004.

Mishra, A. , Singhal1,A., Chauhan, D. S., Katoch, V. M., K. Srivastava, S. S. Thakral,


S. S. Bharadwaj, V. Sreenivas and H. K. Prasad. 2005. Direct Detection and
Identification of Mycobacterium tuberculosis and Mycobacterium bovis in
Bovine Samples by a Novel Nested PCR Assay: Correlation with Conventional
Techniques.
Moiane, I., Machado, A., Santos, N., Nhambir, A., Inlamea, O., Hattendorf, J.,
Kllenius, G., Zinsstag, J., Correia-Neves, M.; 2014; Prevalence of Bovine
Tuberculosis and Risk Factor Assessment in Cattle in Rural Livestock Areas of
Govuro District in the Southeast of Mozambique. Researcg Article DOI:
10.1371/ journal.pone.0091527
More, S. J. , Good Margaret , 2015; Understanding and managing bTB risk:
Perspectives from Ireland. Veterinary Microbiology (Impact Factor: 2.73).
02/2015; 176(3-4). DOI: 10.1016/j.vetmic.2015.01.026
Muma, J.B., Syakalima, M., Munyeme, M., Zulu, V.C., Simuunza, M., Kurata, M.
2013. Bovine Tuberculosis and Brucellosis in Traditionally Managed Livestock
in Selected Districts of Southern Province of Zambia. Veterinary Medicine
International. Article ID 730367, 7 pages.

Neeraja, D., Veeregowda, B.M., Sobha Rani, M., Rathnamma, D., Bhaskaran, R.,
Leena, G., Somshekhar S.H., Saminathan M., Dhama K. and Chakraborty S.
2014; Comparison of Single Intradermal Test, Gamma Interferon Assay and
Indirect ELISA for the Diagnosis of Tuberculosis in a Dairy Farm.Asian Journal
of Animal and Veterinary Advances 9(9): 593-598, 2014. ISSN 1683-9919/
DOI: 10.3923/ajava. 2014.593.598

Neill, S.D., Hanna, J., OBrien, J.J., McCracken, R.M. 1988. Excretion of
Mycobacterium bovis by experimentally infected cattle. Vet. Rec. 1988, Sep 24;
123 (13); 340-3.
OIE. 2009. Bovine Tuberculosis. OIE Terrestrial Manual. www.oie.int/ disease_cards/
Bovine_TB_EN. pdf. Version Adopted by The World Assembly of Delegates of
The OIE in May 2009.

Panjono, Budi Prasetyo Widyobroto, Bambang Suhartanto, Dan Endang Baliarto, 2009;
Pengaruh Penjemuran Terhadap Kenyamanan Dan Kinerja Produksi Sapi

43
Peranakan Ongole. Journal.ugm.ac.id/ buletinpeternakan/ article/view/129.
ISSN:2407-876x.

Prasada, H.K., Singhala, A., Mishraa, A., Shaha, N.P., Katochb, V.M., Thakralc S.S.,
Singhc, D.V., Chumberd, S., Bald, S., Aggarwale, S., Padmaf, M.V., Kumarg,
S., Singh, M.K., Acharya, S.K.. 2005; Bovine tuberculosis in India :
Potential basis for zoonosis. ELSEVIER Journal. 1472-9792. Doi.10.1066/
J.tube.2005.08.005.

Sam, A., Strain, J., McNair, J., Stanley, W. J., McDowell. 2012; Bovine tuberculosis: A
review of diagnostic tests for M.bovis infection in cattle. Bacteriology Branch
Veterinary Sciences Division Agri-Food and Biosciences Institute.
www.dardni.gov.uk/ afbi-literature-review-tb-review-diagnostic-tests-
badgers.pdf

Sartika Juwita, Hatta, M, Muslimin, L, Nadif, A. .2012. The Analysis of Distribution of


Mycobacterium bovis wiyh Conventional Technique Polymerase Chain
Reaction (PCR) and Geographical Information System (GIS) in Dairy Cow
Catle in Enrekcang Regency,

Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktur Jenderal


Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012); Manual Penyakit Hewan Mamalia,

Tarmudji dan Supar. 2008. Tuberkulosis pada Sapi, Suatu Penyakit Zoonosis; Balai
Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No 30, Bogor 16114. Wartazoa,
Vol.18 No.4 Th 2008.

Thrusfield, M. 1988; Veterinary Epidemiology. Departement of Animal Royal (Dick)


School of Veterinary Studies University of Edinburg. Halley Court Jordan Hill.
Oxford OX2-8EJ. SF780.9.748.1986. 636.0894. 86-11758. ISBN 0-7506-1496

Tschopp Rea, Hathendoury Jan, Roth Felix, Choudhousy Adnan, Aseffa Abraham,
Shaw Alexandra, Zinsstag, 2013; Cost Estimate of Bovine Tuberculosis to
Ethiopia. BMC. Veterinary Research 2013.9: 163.doi: 10.1186/1746 6148
9163.

Wati Sitohang, Wirsal Hasan, Devi Nuraini Santi, 2013; Hubungan Jarak Kandang Dan
Pengolahan Limbah Ternak Babi Serta Kepadatan Lalat Dalam Rumah Dengan
Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Sabulan Kecamatan Sitiotio Kabupaten
Samosir. Jurnal.usu.ac.id/ index.php/ article.3289-8342-1-PB.pdf.

44
Widiarsa Putra, P.G., Kerta Besung, N., Mahatmi, H. 2013. Deteksi Antibodi
Mycobacterium tuberculosa bovis pada Sapi di Wilayah Kabupaten Buleleng,
Bangli dan Karang Asem Provinsi Bali, Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan,
Pebruari 2013. Vol.1. No. 1:1-6.

45
LAMPIRAN 1

1. METODE KERJA ANIGEN BTB Ab ELISA 2.0

a. Prinsip test

Anigen BTB Ab ELISA merupakan direct ELISA untuk mendeteksi kualitatif dari

antibodi Mycobacterium bovis dalam serum.

Anigen BTB Ab ELISA berisi mikroplate, yang mana mikroplate tersebut telah

dilapisi dengan antigen BTB yang murni dalam setiap lubangnya. Untuk testing

plate ELISA yang dilapisi dengan antigen diinkubasi dengan campuran yang sama

dengan serum dan konjugat (1:100 pengenceran dalam larutan pengencer konjugat)

untuk 60 menit pada suhu 370C. Selama diinkubasi, antibodi M bovis yang ada

dalam sampel akan mengikat antigen pre-coated M.bovis yang dimurnikan didalam

lubang dan kunjugat. Dalam inkubasi ini, semua material yang terikat akan terpisah

(dihapus) melalui aspirasi dan pencucian sebelum ditambahkan larutan substrat.

Aktivitas sisa enzim ditemukan di dalam lubang plate sehingga akan berbanding

lurus dengan konsentrasi konjugat dalam specimen dan dibuktikan melalui inkubasi

phase padat dengan larutan substrat. Reaksi ini akan dihentikan oleh penambahan

larutan penghenti dan pembacaan colorimetrik akan nampak melalui penggunaan

spektrofotometer dalam 450nm dengan referensi panjang gelombang pada 620nm.

Antigen M.bovis yang terseleksi khusus digunakan sebagai bahan penangkap

didalam tes. Anigen BTB Ab ELISA ini menungkinkan untuk mengidentifikasi

antibody M.bovis dalam specimen, dengan tingkat akurasi yang tinggi.

b. Material yang tersedia

46
1) Mikroplate yang dilapisi BTB Ag murni: 5 plate (96 lubang/plate)

dikonfigurasikan dalam duabelas 1x8 strip.

2) Serum kontrol negatif standar: 1 vial (2,5 ml/vial) dari serum sapi yang normal

yang mendapat perlakuan dengan kalsium. Ditambahkan dengan asam sodium

(0,01%) sebagai pengawet.

3) Serum kontrol positif standar: 1 vial (2,5 ml/vial) dari serum sapi anti-BTB

postif kuat yang mendapat perlakukan dengan calsium. Ditambahkan asam

sodium (0,01%) sebagai pengawet.

4) Larutan pencuci (konsentasi 10x): 1 botol (250ml/botol) dari PBS-tween 20.

Pengawet: Thimorosal (0,01%). Catatan: sebelum digunakan, ambil satu botol,

dan diisi dengan 1.000 ml air suling. Agar tidak larut, larutan dalam botol

dihambat melarutnya dengan menempatkan pada suhu 370C untuk beberpa

menit.

5) Konjugat enzim: 1 botol (40 ml/botol) dari antigen-HRP M.bovis, posfat

buffered saline. Pengawet: proclin (0,06%).

6) Substrat (siap pakai): 1 botol (60 ml/botol) dari tetramethyl-benzidine dengan

citrat posfat buffer yang berisi H2O2.

7) Larutan Penghenti (stopping solution): 1 botol (80ml/botol) dari asam 1 N

sulfuric. Siap untuk digunakan.

8) Sealer perekat plate: 10 EA

c. Koleksi Spesimen dan Penyimpanan

47
1) Sentrifius seluruh darah untuk mendapatkan serum.

2) Jika spesimen tidak segera diuji, maka seluruh spesimen ditempatkan dalam

refrigator pada suhu 2 0C baik untuk selama 3 hari, pembekuan

direkomendasikan. Seluruh spesimen harus ditempatkan pada suhu kamar

sebelum digunakan.

3) Spesimen yang mengandung endapan dapat menghasilkan hasil tes tidak

konsisten. Spesimen tersebut harus diklarifikasi sebelum pengujian.

d. Persiapan Reagen

1) Menyiapkan seluruh reagen pada temperatur kamar (180-250C) sebelum

digunakan

2) Larutan pencuci (konsentrasi 10x): Larutan pencuci terkonsentrasi, harus

diencerkan 1:9 dengan air suling sebelum digunakan. (contoh: tambahkan 100ml

larutan pencuci untuk 900 ml air suling) dan campurkan dengan baik. Jika

muncul gumpalan-gumpalan Kristal, maka dapat dilarutkan kembali dengan

memanaskan botol pada suhu 370C untuk beberapa menit.

e. Prosedur Tes

1) Menyiapkan lubang strip untuk negatif control sebanyak 3 lubang, serum positif

kontrol 3 lubang dan masing-masing untuk setiap lubang sampel.

2) Tambahkan 50 l masing-masing untuk primer positif, serum negative control 3

lubang dan 50 l sampel untuk masing-masing lubang.

48
3) Tambahkan 50 l antigen HRP dari M.bovis untuk masing-masing lubang.

4) Tutup mikroplate dengan sealer perekat plate dan campur dengan baik

menggunakan mixer getar, mencampur merupakan hal yang sangat penting

untuk memperoleh hasil yang reproduksibel.

5) Inkubasi plate dengan suhu 370C selama 60 menit.

6) Cuci lubang plate sebanyak 6 kali dengan 350 l dengan larutan pencuci yang

telah dicampur. Keringkan/aspirasi seluruh cairan dari lubang plate.

7) Tambahkan 100 l larutan substrat yang dicampur (siap pakai) untuk masing-

masing lubang.

8) Inkubasi lubang plate selama 15 menit pada suhu kamar (18-250C)

9) Tambanhkan 100 l larutan penghenti (stoping solution) untuk masing-masing

lubang

10) Membaca absorbansi dari lubang plate dengan bikromati spectrophotometer

dengan 450 nm dengan referensi panjang gelombang 620nm. Pembacaan harus

dilakukan 1 jam setelah uji selesai dengan komplit.

f. Interpretasi Tes

1) Validasi tes

Nilai OD standar kontrol serum negatif harus di bawah 0.150

Nilai OD standar kontrol serum positif harus di atas 1.500

49
Jika salah satu dari nilai OD ini tidak sampai pada range-nya, Anigen

BTB Ab ELISA harus dianggap tidak layak/baik dan sampel harus diuji

ulang

2) S/P

(sampel OD Rata2 OD dari Serum negative kontrol)

S/P =

(rata2 OD dari serum positif control rata2 OD serum negative kontrol)

3) Interpretasi dari serum

Setelah mengkalkulasi nilai S/P, nilai posotif dan negatif harus dideterminasi

berdasarkan kriteria, sebagai berikut:

Positif : S/P sampel 0.5

Negatif: S/P sampel < 0.5

50

Anda mungkin juga menyukai