Anda di halaman 1dari 24

HIPERTENSI PRIMER

Definisi dan Klasifikasi


Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri. Pada negara
maju risiko hipertensi meningkat dengan meningkatnya usia. Satu dari tiga orang dewasa
di Amerika Serikat didiagnosis hipertensi. Individu yang mempunyai hipertensi yang
sudah diukur lebih dari 2 kali di lebih dari 2 klinik mempunyai tekanan sistolik yang
140 mmHg dan tekanan diastolic 90 mmHg. Hipertensi sistolik walaupun tidak
dibarengi dengan peningkatan tekanan diastolic, hal ini sangat signifikan sebagai faktor
kerusakan pada target organnya.

Klasifikasi tekanan darah terbaru (2003) menurut WHO-ISH


Kategori Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik
(mmHg) (mmHg)
Optimal BP <120 <80
Normal BP <130 <85
High-Normal 130-139 85-89
Grade 1 Hypertension 140-159 90-99
(mild)
Subgroup: Borderline 140-149 90-99
Grade 2 Hypertension 160-179 100-109
(moderate)
Grade 3 Hypertension >180 >110
(severe)
Isolated Systolic >140 <90
Hypertension
Subgroup: Borderline 140-149 <90

Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa yang digunakan adalah menurut
JNC VII tahun 2003
Klasifikasi Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage I 140-159 90-99
Hipertensi stage II > 160 > 100
Hipertensi optimal sering dihubungkan dengan risiko penyakit kardiovaskuler
yang rendah. Semua kategori dihubungkan dengan peningkatan risiko penyakit target
organnya seperti infark miokard, penyakit ginjal, dan stroke.
Hipertensi disebabkan adanya peningkatan cardiac output, resistensi perifer
ataupun keduanya. Cardiac output ditingkatkan oleh banyak faktor yang dapat
meningkatkan heart rate dan stroke volume. Sedangkan resistensi perifer ditingkatkan
oleh hal-hal yang membuat viskositas darah meningkat atau penurunan diameter
pembuluh darah, khususnya arteri.
Kasus hipertensi paling banyak tidak diketahui (90-95%) penyebabnya yang
disebut dengan hipertensi esensial atau hipertensi primer. Sedangkan hipertensi sekunder
disebabkan oleh perubahan hemodinamik yang dihubungkan dengan penyakit primernya
seperti penyakit ginjal. Meskipun banyak kasus yang menyebabkan hipertensi sekunder,
tetapi bentuk hipertensi ini hanya 5%-8% kasus.

Faktor yang berhubungan dengan hipertensi primer


Penyebab spesifik dari hipertensi ini belum diketahui, tetapi hal ini dihubungkan dengan
kombinasi antara faktor genetik dan lingkungannya. Faktor genetik juga sangat bervariasi
seperti adanya defek turunan yang dihubungkan dengan adanya ekskresi natrium di
ginjal,sensitivitas insulin, aktivitas renin angiotensin, transpor membran, mutasi gen
addusin yang akan dibicarakan di patofisiologi hipertensi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi primer :
1. Riwayat hipertensi pada keluarga
2. Umur
3. Jenis kelamin (laki-laki > 55 th, wanita > 74 th)
4. Ras hitam
5. Diet tinggi Natrium
6. Intoleransi glukosa (Diabetes Mellitus)
7. Rokok
8. Obesitas
9. Konsumsi alkohol
10. Diet rendah kalium, kalsium, magnesium
Usia, ras, jenis kelamin, merokok., asupan alkohol, kolesterol serum, intoleransi
glukosa, dan berat badan semuanya dapat mengubah prognosis penyakit ini. Pasien yang
lebih muda ketika hipertensi ditemukan pertama kali, kemungkinan yang paling besar
adalah penurunan harapan hidup jika hipertensinya dibiarkan tidak diterapi. Di Amerika
Scrikat, orang kulit hitam dengan hipertensi yang pindah ke kota memiliki tingkat
prevalensi hipertensi sekitar dua kali lipat dibandingkan orang kulit putih dan lebih dari
empat kali lipat tingkat morbiditasnya.
Pada semua usia dan pada populasi kulit putih maupun bukan, wanita dengan
hipertensi lebih baik daripada pria hingga usia 65 tahun, dan pada wanita pramenopause
jauh lebih sedikit daripada laki-laki atau wanita pascamenopause. Sebelumnya, wanita
dengan hipertensi memiliki risiko kejadian kardiovaskuler morbid yang relatif sama
dibandingkan dengan rekannya yang normotensi demikian juga dengan pria.
Aterosklerosis yang lebih cepat merupakan pasangan tetap hipertensi. Sehingga tidak
mengherankan bahwa faktor risiko independent yang berhubungan dengan timbulnya
aterosklerosis, misaInya, kolesterol serum yang meningkat, intoleransi glukosa, dan/atau
merokok, meningkatkan efek hipertensi pada tingkat mortalitas secara signifikan tanpa
memperdulikan usia, jenis kelamin, atau ras.
Juga tidak diragukan bahwa terdapat korelasi positif antara obesitas dan tekanan
arteri. Berat badan yang bertambah berhubungan dengan peningkatan frekuensi hipertensi
pada individu yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal, dan penurunan berat
badan pada individu yang gemuk dengan hipertensi akan menurunkan tekanan arterinya,
jika diterapi, intensitas terapinya diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah agar
tetap normal. Apakah perubahan ini diperantarai oleh perubahan resistensi insulin masih
belum diketahui (Fisher, 2005).

Epidemiologi
Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan
penangulangan yang baik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi
hipertensi seperti ras, umur, obesitas, asupan garam yang tinggi, dan adanya riwayat
hipertensi dalam keluarga (Susalit, 2004).
Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya populasi
usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga kana
bertambah. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat,
dalam dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi, dan pengendalian tekanan
darah ini hanya mecapai 34% dari seluruh pasien hipertensi (Yogiantoro, 2006).
Prevalensi hipertensi tergantung dari komposisi ras populasi yang dipelajari dan
kriteria yang digunakan. Pada populasi kulit putih suburban seperti pada penelitian
Framingham, hampir seperlima populasi memiliki tekanan darah > 160/95 mmHg,
sementara hampir setengah populasi memiliki tekanan darah > 140/90 mmHg. Prevalensi
yang lebih tinggi ditemukan pada populasi kulit hitam. Pada wanita, prevalensinya
berhubungan erat dengan usia, dengan terjadinya peningkatan setelah usia 50 tahun.
Peningkatan ini mungkin berhubungan dengan perubahan hormone saat menopause,
meskipun mekanismenya masih belum jelas. Dengan demikian, rasio frekuensi hipertensi
pada wanita disbanding pria meningkat dari 0,6 sampai 0,7 pada usia 30 tahun menuju
1,1 sampai 1,2 pada usia 65 tahun (Fisher, 2005).
Tidak ada data yang dapat menjelaskan frekuensi hipertensi sekunder pada
populasi umum, meskipun pada laki-laki usia pertengahan dilaporkan sekitar 6 persen.
Sebaliknya, pada pusat rujukan tempat di mana pasien dievaluasi secara ekstensif,
dilaporkan hingga setinggi 35 persen (Fisher, 2005).
Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-
negara yang sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination
Survey (NHNES) menuinjukkan bahwa dari tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada
orang dewasa adalah sekitar 29-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di
Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 1988-1001.
Hipertensi essensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi (Yogiantoro,
2006).
Di Indonesia, sampai saat ini belum terdapat penyelidikan yang bersifat nasional,
multisenter, yang dapat menggambarkan prevalensi hipertensi secara tepat. Banyak
penyelidikan dilakukan secara terpisah dengan metodologi yang belum baku. Mengingat
prevalensi yang tinggi dan komplikasi yang ditimbulkan cukup berat, diperlukanlah
penelitian apidemiologi yang bersifat nasional dengan rancangan penelitian yang baku
(Susalit, 2004).

Patogenesis Hipertensi Essensial (Hipertensi Primer)


Sampai sekarang pengetahuan tentang patogenesis hipertensi esssensial terus
berkembang (Susalit, 2004). Hipertensi primer merupakan hasil dari interaksi yang
kompleks antara faktor-faktor genetik, lingkungan dan efeknya pada fungsi vaskular dan
ginjal (Brashers, 2006). Hipertensi ini timbul terutama karena interaksi antara faktor-
faktor resiko di bawah ini: (Yogiantoro, 2006)
1. Faktor resiko, seperti: diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok,
genetis
2. Sistem saraf simpatis
- Tonus simpatis
- Variasi diurnal
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokontriksi: endotel
pembuluh darah berperan utama, tetapi remodelling dari endotel, otot polos, dan
interstisium juga memberikan kontribusi akhir baik dalam meningkatkan
resistensi perifer maupun peningkatan darah (Yogiantoro, 2006; Brashers, 2006).
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin,
dan aldosteron
Gambar 1. Faktor-faktor Resiko yang Dapat Mempengaruhi Terjadinya
Hipertensi Essensial

Keterangan : Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi essensial, seperti: peningkatan
aktivitas sistem saraf simpatis, stress psikososial, overproduksi dari hormon yang menahan sodium dan
vasokonstriktor, diet tinggi sodium jangka panjang, tidak adekuatnya asupan natrium dan kalsium,
peninggian atau ketidaksesuaian sekresi renin dengan akibat peningkatan produksi dari angiotensin II dan
aldosteron, defisiensi vasodilator misalnya prostasiklin, nitrit oksida (NO), dan peptida natriuretik,
perubahan ekspresi dari sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus vaskular dan penanganan garam
di ginjal, abnormalitas dari resistensi pembuluh, termasuk lesi selektif di renal dan pada reseptor adrenergik
yang mempengaruhi heart rate, jalur inotropik jantung, dan tonus vaskular, dan perubahan transport ion
seluler.

Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer. Beberapa
faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer (Gambar 2)
Gambar 2. Patogenesis Hipertensi

Herediter
Faktor genetik yang telah lama disimpulkan mempunyai peranan penting dalam
terjadinya hipertensi dan dibuktikan dengan berbagai fakta yang dijumpai (Williams,
2000; Susalit, 2004). Mutasi dari gen (contoh, ADD1 Gly460Trp) akan berinteraksi
dengan lingkungan untuk meningkatkan tonus vaskular (peningkatan resistensi periferal)
dan volume darah, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan darah. Adanya
bukti bahwa kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien kembar monozigot
daripada heterozigot. Dua turunan tikus, yakni tikus golongan Japanese spontaneously
hypertensive rat (SHR) dan New Zealand genetically hypertensive rat (GH) mempunyai
faktor neurogenik yang secara genetik diturunkan sebagai faktor penting timbulnya
hipertensi, sedangkan dua golongan tikus lainnya, yakni Dahl salt sensitive (S) dan salt
resistant (R) menunjukkan faktoor kepekaan terhadap garam yang juga diturunkan secara
genetik sebagai faktor utama pada timbulnya hipertensi (Susalit, 2004).
Data pendukung lainnya ditemukan pada penelitian hewan coba demikian juga
dengan penelitian populasi pada manusia. Satu pendekatan untuk menilai hubungan
tekanan darah dalam keluarga (agregasi familial). Dari penelitian ini, ukuran minimum
faktor genetik dapat dinyatakan dengan koefisien korelasi kurang lebih 0,2. Akan tetapi,
variasi ukuran faktor genetik dalam penelitian yang berbeda menekankan kembali
kemungkinan sifat heterogen populasi hipertensi esensial. Selain itu, sebagian besar
penelitian mendukung konsep bahwa keturunan mungkin bersifat multifaktorial atau
jumlah defek genetiknya naik (Williams, 2000).

Lingkungan
Sejumlah faktor lingkungan secara khusus terlibat dalam terjadinya hipertensi, termasuk
asupan garam, obesitas, pekerjaan, asupan alkohol, ukuran keluarga, dan kepadatan.
Faktor ini penting dalam peningkatan tekanan darah bersamaan dengan bertambahnya
usia pada masyarakat yang lebih makmur, sebaliknya tekanan darah menurun dengan
bertambahnya usia pada kebudayaan yang lebih primitive (Fisher, 2005).

Sensitivitas terhadap Garam


Faktor lingkungan yang mendapat perhatian paling besar adalah asupan garam.
Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam
minimal (Susalit, 2004). Bahkan faktor ini menggambarkan sifat heterogen dari populasi
hipertensi essensial. Penyebab sensitivitas khusus terhadap berbagai jenis garam ini,
dengan aldosteronisme primer, stenosis arteri renalis bilateral, penyakit parenkim ginjal,
atau hipertensi esensial rendah-renin bertanggung jawab terhadap sekitar separuh pasien
(Fisher, 2005).
Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan
volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Peningkatan asupan garam ini akan
diikuti oleh peninggian ekskresi garam sehingga tercapai keadaan hemodinamik yang
normal. Pada apsien hipertensi essensial, mekanisme peningkatan ekskresi garam tersebut
terganggu (Susalit, 2004).
Peningkatan volume vaskular berhubungan dengan penurunan ekskresi garam,
yang sering disebut pressure-natriuresis relationship. Ini berarti, seseorang denga
hipertensi cenderung untuk sedikit mensekresikan garam pada urinnya.

Ion Natrium versus Klorida atau Kalsium


Sebagian besar penelitian menilai peranan garam pada proses hipertensi
disimpulkan bahwa ion natrium yang penting. Akan tetapi, beberapa peneliti
menunjukkan bahwa ion klorida mungkin sama pentingnya. Kesimpulan ini berdasarkan
observasi pemberian garam natrium bebas klorida pada hewan coba hipertensi yang
sensitif terhadap garam gagal menaikkan tekanan arteri. Kalsium juga terlibat dalam
patogenesis beberapa bentuk hipertensi esensial. Asupan kalsium yang rendah disertai
dengan kenaikan tekanan darah pada penelitian epidemiologik; kenaikan kadar kalsium
sitosolik leukosit dilaporkan pada beberapa penderita hipertensi; dan akhirnya,
penghambat jalan masuk kalsium merupakan obat hipertensi yang efektif. Beberapa
pcnelitian melaporkan hubungan potensial antara bentuk hipertensi yang sensitif terhadap
garam dan kalsium. Disimpulkan bahwa dengan beban garam dan defek kemampuan
ginjal untuk mengekskresinya, terjadi kenaikan sekunder dalam faktor natriuretik
sekunder. Salah satu dari ini, disebut faktor natriuretik seperti digitalis, menghambat
ATPase kalium-natrium yang sensitif ouabain dan dengan demikian mengakibatkan
akumulasi Icalsium, intraseluler dan otot polos vaskuler hiperreaktif (Fisher, 2005).

Resistensi Insulin (Fisher, 2005; Susalit, 2004)


Resistensi insulin dan/atau hiperinsulinemia diduga bertanggung jawab terhadap
kenaikan tekanan arteri pada beberapa pasien dengan hipertensi (Fisher, 2005).
Hiperinsulinisme menunjukkan adanya gangguan pengambilan glukosa oleh jaringan,
Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan peningkatan produksi insulin oleh sel beta
pankreas sehingga terjadilah keadaan hiperinsulinisme tersebut Susalit, 2004). Sifat ini
menjadi lebih luas dikenal sebagai bagian dari sindroma X, atau sindroma metabolik,
yang juga ditandai dengan obesitas, dislipidemia (khususnya peningkatan trigliserida),
dan tekanan darah yang tinggi. Resistensi insulin biasa pada pasien dengan diabetes
mellitus tipe II atau obesitas. Obesitas maupun diabetes mellitus terjadi lebih sering pada
penderita hipertensi dibandingkan normotensi. Akan tetapi, beberapa penelitian
menemukan bahwa hiperinsulinemia dan resistensi insulin lebih daripada hal kebetulan,
karena terjadi bahkan pada pasien hipertensi kurus yang bebas dari diabetes mellitus
(Fisher, 2005)
Hiperinsulinemia dapat meningkatkan tekanan arteri oleh satu atau lebih dari
empat mekanisme. Asumsi yang mendasarinya pada masing-masing adalah beberapa,
tetapi tidak semua, jaringan target insulin resisten terhadap efeknya. Khususnya jaringan
yang terlibat dalam homeostasis glukosa yang resisten (dengan demikian menimbulkan
hiperinsulinemia. Mula-mula, hiperinsulinemia menghasilkan retensi natrium ginjal
(paling sedikit secara akut) dan meningkatkan aktivitas simpatik. Salah satu atau
keduanya dapat mengakibatkan kenaikan tekanan arteri. Mekanisme lain adalah hipertrofi
otot polos vaskuler sekunder terhadap kerja mitogenik insulin. Akhimya, insulin juga
mengubah transpor ion melalui membran sel, dengan demikian secara potensial
meningkatkan kadar kalsium sitosolik dari jaringan vaskuler atau ginjal yang sensitif
terhadap insulin. Melalui mekanisme ini, tekanan arteri ditingkatkan karena alasan yang
sama dengan yang dijelaskan di atas untuk hipotesis defek-membran. Akan tetapi,
penting menunjukkan bahwa peranan insulin dalam mengendalikan tekanan arteri adalah
hanya dimengerti samar-samar, dan oleh karena itu, potensinya sebagai faktor patogenik
dalam hipertensi tetap tidak jelas (Fisher, 2005).
Gambar 3. Resistensi Insulin sebagai Salah Satu Penyebab Hipertensi

Sistem Saraf Simpatis


Folkow (1987) menunjukkkan bahwa stres dengan peninggian aktivitas saraf
simpatis dapat menyebabkan kontriksi fungsional dan hipertrofi struktural Hubungan
antara stres denga hipertensi diduga mealuli saraf simpatis yang dapat meningkatkan
tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung lama dapat mengakibatkan
ptekanan darah yang menetap. Survei hipertensi pada masyarakat kota menunjukkan
angka prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan (Susalit E,
Harmaji, Sugiri). Hal tersebut mungkin dikaitkan dengan stress psikososial yang lebih
besar dialami ooleh kelompok masyarakat yang tinggal di kota dibandingkan dengan
masyarakat pedesaan (Susalit, 2004).

Defek Membran Sel


Penjelasan lain untuk hipertensi yang sensitif terhadap garam adalah defek
membran sel yang menyeluruh. Hipotesis ini sebagian besar datanya berasal dari
penelitian pada elemen darah yang beredar, terutama sel darah merah, jika ditemukan
abnormalitas transpor natrium melalui membran sel. Karena baik kenaikan maupun
penurunan aktivitas sistem transpor yang berbeda dilaporkan telah terjadi, mungkin
bahwa beberapa abnormalitas adalah primer dan beberapa proses sekunder. Disimpulkan
bahwa abnormalitas ini menunjukkan perubahan membrana seluler yang tidak dapat
dijelaskan dan defek ini terjadi pada beberapa, mungkin semua, sel tubuh, terutama otot
polos vaskuler. Karena defek ini, selanjutnya terdapat akumulasi kalsium yang abnormal
dalam otot polos vaskuler, mengakibatkan responsivitas vaskuler yang tinggi terhadap
obat vasokonstriktor. Defek ini diduga ada pada 35 sampai 50 persen populasi penderita
hipertensi essensial berdasarkan penelitian yang menggunakan sel darah merah.
Penelitian lain menunjukkan bahwa abnormalitas transpor natrium sel darah merah bukan
mcrupakan abnormalitas yang tetap melainkan dapat dimodifikasi oleh faktor lingkungan
(Fisher, 2005)
Setiap hipotesis ini mempunyai jalan akhir yaitu kenaikan kalsium sitosolik yang
mengakibatkan kenaikan reaktivitas vaskuler. Akan tetapi, seperti dijelaskan di atas,
beberapa mekanisme mungkin menghasilkan kenaikan akumulasi kalsium (Fisher,
2005).
Berbagai promotor presssor-growth bersama dengan kelainan fungsi membran sel
yang mengakibatkan hipertrofi vaskular akan menyebabkan peningkatan tekanan darah,
seperti terlihat pada Gambar (Susalit, 2004).

Peranan Renin
Sistem renin, angiotensin, dan aldosteron berperan pada timbulnya hipertensi.
Poduksi renin dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain stimulais saraf simpatis
(Susalit, 2004). Renin merupakan enzim yang disekresi oleh sel jukstaglomerulus ginjal
dan terikat dengan aldosteron dalam lingkaran umpan balik negatif (Fisher, 2005). Renin
berperan pada proses konversi angiotensinogen menjadi angiotensin I yang mempunyai
efek vasokonstriksi. Angiotensin I kemudian diubah menjadi angiotensin II dengan
bantuan converting enzyme. Angiotensin II menyebabkan skresi aldosteron yang
mengakibatkan retensi natrium dan air, yang akhirnya berperan pada timbulnya hipertensi
(Susalit, 2004).
Berbagai jenis faktor dapat mengubah sekresi ini, determinan primer adalah status
volume individu, terutama yang berhubungan dengan perubahan asupan natrium dalam
diet. Produk akhir aksi renin pada substratnya adalah pembentukan peptida angiotensin
II. Respons jaringan target terhadap peptida ini secara unik ditentukan oleh asupan
elektrolit dalam diet sebelumnya. Contohnya, asupan natrium secara normal mengubah
respons vaskuler adrenal dan renal terhadap angiotensin II. Dengan restriksi natrium,
respons adrenal ditingkatkan dan respons vaskuler renal diturunkan. Beban natrium
merupakan efek sebaliknya. Batas aktivitas renin plasma ditemukan pada subjek
hipertensi lebih luas daripada individu normotensi (Fisher, 2005).

Gambar 4. Peranan Renin dalam Patogenesis Hipertensi

Gejala Klinis
Hipertensi primer biasanya timbul antara usia 30 sampai dengan 50 tahun dan
cenderung tetap asimptomatik selama 10 sampai 20 tahun mulai dari naiknya tekanan darah.
Pada hipertensi ini tidak jarang satu-satunya tanda adalah tingginya tekanan darah, dan baru
timbul gejala setelah terdapat komplikasi pada organ target seperti mata, otak, jantung, dan
ginjal. Gejala seperti sakit kepala, palpitasi, nokturia, tinnitus, cepat marah, sukar tidur, sesak
napas, rasa berat di tengkuk, mata berkunang-kunang dapat ditemukan sebagai gejala klinis
hipertensi. Adanya kerusakan organ merupakan pertanda bahwa tekanan darah harus segera
diturunkan.

Kerusakan Organ Target


Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien
hipertensi adalah:
1. Jantung
hipertrofi ventrikel kiri
angina atau infark miokardium
gagal jantung
2. Otak
stroke atau transient ischemic attack
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati

Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut


dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek
tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor AT 1 anuiotensin II,
stres oksidatif, clown regulation dari ekspresi nitric oxide svnthase, dan lain-lain.
Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap
garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target. Misalnya kerusakan
pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor- (TGF-)
Adanya kerusakan organ target, terutama pada jantung dan pembuluh darah, akan
memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya morbiditas dan mortalitas pasien
hipertensi terutama disebabkan oleh timbulnya penyakit kardiovaskular.
Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi
hipertensi; mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130-139/80-89 mmHg dalam
sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami
penyakit kardiovaskular dari pada yang tekanan darahnya lebih rendah.
Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >140 mmHg
merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari
pada tekanan darah diastolik
Risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg,
meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg
Risiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu, konsisten, dan independen
dari faktor risiko lainnya
Individu berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami hipertensi

Diagnosis Hipertensi
Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk:
1) Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau
menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan
pengobatan.
2) Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.
3) Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular.
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan
pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisis serta
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis meliputi:
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
b. adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-obat
analgesik dan obat bahan lain
c. berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
d. lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor risiko
a. riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
b. riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
d. kebiasaan merokok
e. pola makan
f. kegemukan, intensitas olah raga
g. kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
a. otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic
attacks, defisit sensoris atau motoris
b. jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. ginjal: haus, poliuria, nokturia, hematuri
d. arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan
Pemeriksaan fisis selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya
penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi
sekunder.
Pengukuran tekanan darah:
pengukuran rutin di kamar periksa
pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)
pengukuran sendiri oleh pasien
Pengukuran di kamar periksa dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien
istirahat selama 5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Ukuran
dan peletakan manset (panjang 12-13 cm, lebar 35 cm untuk standar orang dewasa) dan
stetoskop harus benar (gunakan suara Korotkoff fase I dan V untuk penentuan sistolik
dan diastolik). Pengukuran dilakukan dua kali, dengan sela antara 1 sampai 5 menit,
pengukuran tambahan dilakukan jika hasil kedua pengukuran sebelumnya sangat
berbeda. Konfirmasi pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan pada kunjungan
pertama dan jika didapatkan kenaikan tekanan darah. Pengukuran denyut jantung dengan
menghitung nadi (30 detik) dilakukan saat duduk segera sesudah pengukuran tekanan
darah. Untuk orang usia lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana diperkirakan ada
hipotensi ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran tekanan darah pada posisi berdiri.
Beberapa indikasi penggunaan ABPM antara lain:
hipertensi yang borderline atau yang bersifat episodik
hipertensi office atau white coat
adanya disfungsi saraf otonom
hipertensi sekunder
sebagai pedoman dalam pernilihan jenis obat antihipertensi
tekanan darah yang resisten terhadap pengobatan antihipertensi
gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan antihipertensi
Pengukuran sendiri di rumah memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangannya
adalah masalah ketepatan pengukuran, sedang kelebihannya antara lain dapat
menyingkirkan efek white coat dan memberikan banyak hasil pengukuran. Beberapa
peneliti menyatakan bahwa pengukuran di rumah lebih mewakili kondisi tekanan darah
sehari-hari. Pengukuran tekanan darah di rumah juga diharapkan dapat meningkatkan
kepatuhan pasien dan meningkatkan keberhasilan pengendalian tekanan darah serta
menurunkan biaya. Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:
test darah rutin
glukosa darah (sebaiknya puasa)
kolesterol total serum
kolesterol LDL dan HDL serum
trigliserida serum (puasa)
asam urat serum
kreatinin serum
kalium serum
hemoglobin dan hematokrit
urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin)
elektrokardiogram
Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan test lain seperti:
ekokardiogram
USG karotis (dan femoral)
C-reactive protein
mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin
proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif)
funduskopi (pada hipertensi berat)
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit
penyerta sistemik, yaitu:
aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak)
diabetes (terutama pemeriksaan gula darah)
fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta
memperkirakan laju filtrasi glomerulus)
Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya
kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya
hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien.
Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi:
1. Jantung
pemeriksaan fisis
foto polos dada (untuk melihat pembesaran jantung, kondisi arteri intratoraks dan
sirkulasi pulmoner)
elektrokardiografi (untuk deteksi iskemia, gangguan konduksi, aritmia, serta
hipertrofi ventrikel kiri)
ekokardiografi
2. Pembuluh darah
pemeriksaan fisis termasuk perhitungan pulse pressure
ultrasonografi (USG) karotis
fungsi endotel (masih dalam penelitian)
3. Otak
pemeriksaan neurologis
diagnosis strok ditegakkan dengan menggunakan cranial computed
tomography (CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI) (untuk pasien
dengan keluhan gangguan neural, kehilangan memori atau gangguan kognitif)
4. Mata
funduskopi
5. Fungsi ginjal
pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria/ mikromakroa]
buminnria serra rnsio albumin kreatinin urn
perkiraan laju filtrasi glomerulus, yang untuk pasien dalam kondisi stabil dapat
diperkirakan dengan menggunakan modifikasi rumus dari Cockroft-Gault sesuai
dengan anjuran National Kidney Foundation (NKF)
* Glomerulus Filtration Rate/laju filtrasi glomerulus (GFR) dalam ml/menit/1,73m3

Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan terapi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal.
Biasanya pada pasien yang berusia sampai dengan 50 tahun akan mencapai tekanan darah
diastolik normal sekali terapi berhasil, jadi fokus utama penatalaksanaan hipertensi
adalah mencapai tekanan darah sistolik. Target tekanan darah yang berhubungan dengan
penyakit kardiovaskular adalah 140/90 mmHg. Namun, pada penyakit diabetes atau
penyakit ginjal target tekanan darah kurang dari 130/80 mmHg.
Modifikasi gaya hidup
Mengadopsi gaya hidup yang sehat bagi semua individu merupakan hal yang penting
dilakukan untuk mencegah tekanan darah tinggi, diantaranya :
1. mengurangi berat badan dan menjaga BMI 18,5-24,9
2. mengkonsumsi makanan yang kaya akan serat, buah-buahan, rendah lemak
3. mengurangi konsumsi garam tidak lebih dari 100mEq/L (2,4 g sodium atau 6 g
garam dapur)
4. aktivitas fisik seperti aerobik (jalan cepat 30 menit/hari)
5. mengurangi konsumsi alkohol sampai dengan 2 gelas sehari
Tabel 1. Modifikasi Gaya Hidup pada Hipertensi
Gambar 5. Algoritme Terapi Hipertensi
Terapi obat-obatan
Jika terapi monoterapi telah ditentukan dan tekanan darah belum dapat dengan
baik dikendalikan maka tahap berikutnya adalah mengganti dengan obat golongan lain
dengan dosis yang rendah atau dengan meningkatkan dosis obat yang pertama diberikan
(dengan kemungkinan efek samping yang besar) atau terapi kombinasi. Jika terapi awal
adalah terapi kombinasi obat dosis rendah, selanjutnya jika tekanan darah tidak tercapai
maka kombinasi dosis tinggi dapat digunakan atau ditambah obat ketiga dengan dosis
rendah.
Keuntungan memulai dengan monoterapi dan jika komposisi awal tidak baik
ditoleransi, pengubahan ke golongan lain dapat dilakukan dengan respon terbaik dari
pasien, tergantung toleransi dan efikasi.
Kerugian memulai dengan kombinasi 2 obat bahkan dengan dosis rendah adalah
membuat paien terekpos dengan komposisi obat yang tidak penting/tidak berkasiat.
Namun, keuntungannya antara lain (1) dengan menggunakan 2 obat dengan mekanisme
yang berbeda, tekanan darah dan komplikasinya dapat dikontrol, (2) dengan
menggunakan kombinasi baik itu obat pertama dan kedua yang diberikan dalam dosis
rendah memberikan efek samping yang kecil, (3) kombinasi 2 golongan obat dalam 1
tablet meningkatkan ketaatan pasien.
Jenis-jenis obat anti hipertensi yang biasa digunakan antara lain :
1. Thiazide diuretics
2. Loop diuretics
3. Potassium-sparing diuretics
4. Aldosterone-receptor blockers
5. -blockers
6. -blockers with intrinsic sympathomimetic activity
7. combined - and -blockers
8. ACE inhibitors
9. Angiotensin II antagonists
10. Calcium channel blockers-non-dihydropyridines
11. Calcium channel blockers dihydropyridines
12. -blockers
13. Central 2-agonists and other centrally acting drugs
14. Direct vasodilators
Tabel 2. Obat-obatan Anti Hipertensi
Obat Indikasi Kontraindikasi

Absolut Relatif Absolut Relatif


Diuretik Gagal jantung Diabetes Gout Dislipidemia
Pasien tua
Hipertensi sistolik

Beta bloker Angina Gagal jantung Asma Dislipidemia


Setelah MI Kehamilan PPOK Atlet
Takiaritmia Diabetes Blok jantung Penyakit
vaskular
perifer

Antagonis Angina Penyakit Blok jantung Gagal jantung


kalsium Pasien tua vaskular
Hipertensi sistolik perifer

ACE Gagal jantung Kehamilan


inhibitor Setelah MI Stenosis arteri
Disfungsi ventrikel bilateral
kiri Hiperkalemia
Diabetik nepropati

Alfa bloker Hipertrofi prostat Intoleransi Hipertensi


glukosa ortostatik
Dislipidemia
Gagal jantung

Angiotensin ACE inhibitor Kehamilan


II inhibitor (batuk) Stenosis arteri
bilateral
Hiperkalemia

Jenis-jenis obat antihipertensi kombinasi


1. ACE inhibitors and CCBs
2. ACE inhibitors and diuretics
3. ARBs and diuretics
4. -blockers and diuretics
Pemantauan
Pasien yang telah mulai mendapat pengobatan harus datang kembali untuk
evaluasi lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai pengaturan tekanan darah tercapai.
Setalah tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6
bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini juga ditentukan oleh ada tidaknya komorbiditas
seperti gagal jantung, diabetes, dan pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan.
Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan :
Empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasi dan kepatuhan pasien
Dokter harus mempertimbangkan latar belakang budaya, kepercayaan pasien serta
sikap pasien terhadap pengobatan
Pasien diberitahu tentang hasil pengukuran darah, target yang masih harus
dicapai, rencana pengobatan selanjutnya serta pentingnya mengikuti rencana
tersebut.

Penyebab hipertensi resisten :


1. pengukuran tekanan darah yang tidak benar
2. dosis belum memadai
3. ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat antihipertensi
4. ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup
5. kelebihan volume cairan tubuh :
asupan garam berlebih
terapi diuretic tidak cukup
penurunan fungsi ginjal berjalan progresif
6. adanya terapi lain :
masih menggunakan bahan/obat yang meningkatkan tekanan darah
adanya obat lain yang mempengaruhi atau berinteraksi dengan kerja
obat antihipertensi
7. adanya penyebab hipertensi lain/sekunder
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Ringkasan Eksekutif Penanggulangan Hipertensi. Jakarta: Perhimpunan

Hipertensi Indonesia (InaSH). 2007

Brashers, Valentina L. Alteration of Cardiovascular Function in Pathophysiology The

Biologic Basis for Disease in adult and Children. Missouri: Mosby, Inc. 2006

Chobanian, Aram V, MD et al. The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in

JAMA, May 21 2003, Volume 289, No. 19. New York: American Medical

Association. 2003

Fisher, Naomi D. L and Gordon H. Williams. Hypertensive Vascular Disease in

Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th Edition. New York: The McGraw-

Hill Companies, Inc. 2005

Susalit, E., E. J. Kapojos, dan H. R. Lubis. Hipertensi Primer dalam Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2001

William, Gordon H. Hypertensive Vascular Disease in Harrisons Principles of Internal

Medicine. 13th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.1994

Yogiantoro, Mohammad. Hipertensi Essensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid I. Edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006

Anda mungkin juga menyukai