Anda di halaman 1dari 18

PENGENAAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YAYASAN DAN PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI GEDUNG


DAN PRASARANA PENDIDIKAN DALAM YAYASAN PENDIDIKAN

I. Latar Belakang Masalah

Yayasan sudah mulai berdiri di Indonesia sejak masa pra kemerdekaan. Kala itu
tujuan pendiriannya lebih banyak ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah
sosial dalam masyarakat. Sektor yang umumnya terdapat keterlibatan yayasan
adalah sektor pendidikan dan kesehatan. Dalam kedua sektor tersebut, pada
umumnya yayasan berfungsi sebagai suatu lembaga nirlaba yang memperoleh
sumber dana dari masyarakat melalui donasi atau sumbangan.

Namun seiring bergulirnya waktu dan perkembangan dunia bisnis saat ini, maka
banyak yayasan di Indonesia yang mengalami kesulitan untuk tetap bertahan
hanya dengan sumber dana yang diperoleh dari donasi masyarakat. Yayasan
membutuhkan sumber dana lain yang kemudian diperolehnya melalui kegiatan
usaha atau jenis kegiatan dan jasa lain yang memberikan laba.

Era keterbukaan informasi memberikan peluang besar bagi perkembangan


sektor kemasyarakatan. Sejalan dengan semakin luasnya kesempatan untuk
melakukan eksplorasi terhadap suatu permasalahan, maka peran yayasan yang
digerakkan oleh masyarakat menjadi semakin penting.

Dengan adanya peluang tersebut maka area pelayanan bagi yayasan semakin
melebar dan ukuran dari beberapa yayasan di Indonesia bahkan sudah dapat
dikategorikan sebagai raksasa dalam dunia bisnis. Misalnya beberapa yayasan
yang bergerak di bidang pendidikan ternyata memiliki asset bernilai miliaran
rupiah (Nainggolan, 2005:5).

Perkembangan yayasan atau lembaga nirlaba di Indonesia juga sudah


diantisipasi oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dengan mengeluarkan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 45 Tahun 1997. PSAK ini
kurang lebih membawa semangat yang sama, yaitu bahwa transparansi
keuangan lembaga nirlaba menuntut suatu standar pencatatan dan pelaporan
yang konsisten (consistency) dan dapat dibandingkan (comparability). Dengan
demikian, stakeholders dari yayasan pendidikan yang bersangkutan dapat
mengetahui secara jelas sumber dan cara penggunaan dana yang ada pada
yayasan tersebut.

Transparansi dan akuntabilitas yayasan memerlukan infrastruktur administrasi


dan pelaporan yang memadai. Hal itu akan berimplikasi pada pemenuhan
kewajiban perpajakan yayasan yang hanya dapat dilakukan apabila sistem
keuangan sudah berjalan baik.

Perpajakan sebagai salah satu aspek penting dalam operasional yayasan


pendidikan juga sudah memiliki pengaturan tentang apa saja yang merupakan
objek pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) dari yayasan
tersebut. Satu hal yang tetap menjadi perhatian kita adalah bagaimana
pengenaan PPh dan PPN terhadap yayasan pendidikan, yang juga terkait dengan
transparansi kegiatan usaha dan keuangan yayasan.
Transparansi kegiatan yayasan, khususnya yayasan pendidikan perlu mendapat
perhatian, terutama Pdalam rangka penggunaan dana untuk pembangunan
gedung atau fasilitas pendidikan yang berasal dari laba ditahan. Yayasan
pendidikan merupakan salah satu bentuk yayasan yang memiliki resiko cukup
besar untuk melakukan tax avoidance. Hal itu dikarenakan adanya peraturan-
peraturan dari Dirjen Pajak yang cenderung memberikan insentif bagi yayasan
pendidikan dalam mengalokasikan penggunaan dana untuk kegiatan
pembangunan fasilitas pendidikan.

Berdasarkan Undang undang No.8 Tahun 1983 jo Undang Undang No.11


Tahun 1994 jo Undang Undang No.18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan
Nilai (selanjutnya disebut dengan UU PPN) pasal 16 C kegiatan membangun
sendiri gedung yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh
orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak
lain, bahwasannya kegiatan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan
yang dananya berasal dari laba ditahan dan dilakukan secara mandiri oleh
yayasan pendidikan merupakan objek PPN.

Sehubungan dengan fenomena yang telah dijabarkan di atas, maka kami tertarik
untuk membahas mengenai pengenaan pajak atas selisih dari penerimaan yang
merupakan obyek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak
Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional
sehari hari yayasan dan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun
sendiri gedung dan prasarana pendidikan yang menggunakan dana dari laba
ditahan.

II. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang kami


bahas dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana pengenaan pajak penghasilan atas selisih dari penerimaan


setelah dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari hari
pada yayasan pendidikan ?

2. Bagaimana kesesuaian antara pengenaan PPN atas kegiatan membangun


sendiri untuk gedung dan prasarana pendidikan dengan dana yang berasal dari
rekening Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan
dengan Pasal 4 UU PPN dan prinsip dasar PPN ?

3. Apakah pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri untuk gedung


dan prasarana pendidikan yang dilakukan oleh yayasan pendidikan dengan dana
yang berasal dari rekening Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana
Pendidikan sudah mencerminkan asas keadilan dalam pemungutan pajak di
Indonesia?

III. Landasan Teori

3.1. Konsep Yayasan

Yayasan secara mudah dapat dikatakan sebagai suatu lembaga yang didirikan
bukan untuk mencari laba semata. Rosenbaum menyatakan, seperti yang dikutip
oleh Andreasen (1996:15), lembaga dapat dikategorikan sumber dana (sources
of funds) :

a. Lembaga komersial, yaitu lembaga yang dibiayai oleh laba atau keuntungan
dari kegiatannya.

b. Lembaga pemerintahan, yaitu lembaga yang dibiayai oleh masyarakat


melalui pajak dan retribusi.

c. Lembaga nirlaba, yaitu lembaga yang dibiayai oleh masyarakat melalui


donasi atau sumbangan.

Henry Hansmann, seperti yang dikutip oleh Andreasen (1996:16), membagi


lembaga berdasarkan donasi, komersial, mutual, dan entreprenurial. Penjelasan
mengenai kategori tersebut adalah sebagai berikut :

a. Lembaga yang termasuk dalam kategori donasi adalah lembaga yang


mengandalkan pendapatannya dari sumbangan.

b. Lembaga komersial adalah lembaga yang pendapatannya berasal dari


anggotannya, yaitu berupa biaya yang dikenakan atas pemakaian hartanya.

c. Lembaga mutual adalah lembaga yang dikelola oleh para anggotanya,


dimana anggota-anggota tersebut notabene adalah pemakai jasa dari lembaga
yang bersangkutan.

d. Lembaga entreprenurial adalah lembaga yang dikelola oleh para profesional


yang memang khusus diberi gaji untuk mengelola lembaga tersebut.

Berdasarkan penggolongan tersebut diatas, maka Nainggolan (2005:2-3)


menjelaskan bahwa suatu yayasan yang mendapatkan donasi dari luar negeri
termasuk kategori lembaga nirlaba donasi. Yayasan yang mendirikan sekolah
atau berkegiatan di bidang pendidikan, atau rumah sakit termasuk kategori
lembaga komersial karena pendapatannya diperoleh dari pemakai jasanya.
Demikian pula, lembaga nirlaba yang memiliki yayasan pendidikan atau rumah
sakit akan tergolong komersial dan profesional.

3.2. Konsep Penghasilan

Definisi penghasilan yang dikemukakan oleh Schanz, Haig dan Simon (SHS
Concept) seperti yang dikutip dari beberapa sumber adalah sebagai berikut :

a. George Schanz mengemukakan The Accretion Theory of Income, seperti


dikutip oleh R. Mansury (1996:62), yang menyatakan bahwa pengertian
penghasilan untuk keperluan perpajakan seharusnya tidak membedakan
sumbernya dan tidak menghiraukan pemakaiannya, melainkan lebih
menekankan kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk
menguasai barang dan jasa.

b. Haig merumuskan penghasilan sebagai :

the money value of the net accretion to ones economic power between
two points of time seperti yang dikutip oleh Ray M. Sommerfeld (1982:4)
the increase or accretion in ones power to satisfy his wants in a given
period in so far as that power consists seperti yang dikutip oleh R.
Mansury (1996: 62)

c. Menurut Henry C. Simon, seperti yang dikutip oleh Rosdiana & Tarigan
(2005:144), penghasilan perseorangan secara luas mengandung arti sebagai
pemanfaatan kontrol atas penggunaan sumber daya masyarakat yang terbatas.

Sehubungan dengan definisi di atas, maka dapat dilihat bahwa konsep


penghasilan yang digunakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan
Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh SHS Concept, yang berbunyi sebagai
berikut :

Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan


kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan dan dalam bentuk apapun.

Sebagai konsekuensi dipilihnya SHS dalam menentukan definisi penghasilan


(income), maka dalam menentukan taxable income harus dicari rumusan
tambahan kemampuan ekonomis yang tepat. Oleh karena yang menjadi dasar
pengenaan pajak adalah tambahan kemampuan ekonomis, maka gross income
harus dikurangi dahulu dengan berbagai tax reliefs[1] sehingga besarnya
tambahan kemampuan ekonomis dapat dihitung (Rosdiana & Tarigan, 2005:
145).

Di sisi lain Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, par 70,
menyebutkan definisi penghasilan sebagai kenaikan manfaat ekonomi selama
suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau
penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal
dari kontribusi penanam modal. Definisi penghasilan (income) tersebut meliputi
baik pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gains). Pendapatan timbul
dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan
yang berbeda. (par 74 Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan).

Pendapatan (revenue) dalam yayasan merupakan salah satu hal yang berbeda
secara signifikan dibandingkan dengan pendapatan pada perusahaan atau bisnis
komersial. Pada yayasan, pendapatan diperoleh dari berbagai sumber, tetapi
derajat kebebasan penggunaannya tergantung jenis pendapatan itu sendiri.

Nainggolan (2005:79-80) menggolongkan berbagai macam pendapatan yayasan


ke dalam dua golongan besar, yaitu :

a. Pendapatan bersumber dari sumbangan, merupakan semua penerimaan


yang diperoleh yayasan, dimana yayasan itu tidak perlu menghasilkan atau
menyajikan suatu barang atau jasa kepada pemberi sumbangan. Kontraprestasi
yang diharapkan oleh pemberi sumbangan dari yayasan tersebut adalah dalam
bentuk jasa atau produk yang dihasilkan dari program-program yang dilakukan
oleh yayasan.

b. Pendapatan non-sumbangan, merupakan pendapatan yayasan atas kegiatan


usahanya sendiri. Pendapatan yang tergolong usaha sendiri dapat berupa (1)
usaha komersial dibawah yayasan (misalnya dividen dari perusahaan milik
yayasan), (2) hasil investasi harta yayasan (misalnya bunga deposito, penjualan
properti yayasan), dan lain sebagainya.

Kategori pendapatan yayasan dapat dilakukan berdasarkan restriksi


(pembatasan) yang ditentukan oleh sumber pendapatan itu, antara lain
(Nainggolan, 2005: 81-84) :

a. Pendapatan Tidak Terikat (Unrestricted)

Pendapatan yayasan yang termasuk dalam kategori tidak terikat merupakan


pendapatan yang sama dengan pendapatan dalam perusahaan komersial, antara
lain berupa sumbangan tidak terikat dan pendapatan usaha sendiri. Dalam hal
ini, sumbangan tidak terikat merupakan sumbangan yang diterima tidak
menyebutkan limitasi atas penggunaan yang diinginkan oleh pemberinya
sehingga yayasan memiliki kebebasan penuh untuk mengalokasikan
penggunaan sumbangan tersebut.

b. Pendapatan Terikat Sementara (Temporarily Restricted)

Pendapatan jenis ini pada umumnya berasal dari sumbangan yang diperoleh dari
donatur yang secara khusus menyebutkan penggunaan dan jangka waktu atas
penggunaan donasi tersebut. Dengan kata lain, sumbangan terikat sementara
adalah sumbangan yang diterima yayasan untuk suatu jenis kegiatan tertentu
dan untuk jangka waktu tertentu pula.

c. Pendapatan Terikat Permanen (Restricted)

Pendapatan jenis ini biasanya diperoleh dengan batasan yang jelas untuk
penggunaannya dan diasumsikan bahwa jangka waktunya adalah untuk
selamanya. Artinya, hanya untuk tujuan tertentu dan berlaku selamanya.
Misalnya, suatu yayasan pendidikan memperoleh donasi dalam bentuk gedung
sekolah, maka atas donasi tersebut diberikan batasan bahwa gedung itu hanya
boleh digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan tidak boleh
diperjualbelikan, baik sekarang maupun di masa depan dengan alasan apapun.

3.3. Konsep Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax)

Value Added Tax (VAT) pertama kali diperkenalkan di Perancis pada tahun 1954
(Rosdiana & Tarigan, 2005: 213). Dengan berbagai kelebihannya, pajak
pertambahan nilai (PPN) diadopsi oleh banyak negara. Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) pada dasarnya merupakan pajak penjualan yang dipungut atas dasar nilai
tambah[2] yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi (Rosdiana &
Tarigan, 2005: 214).

Pengertian Value Added (nilai tambah) menurut Alain Tait (1988:4) adalah
sebagai berikut :

Value added is the value that a producer (whether a manufacturer, distributor,


advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer or circus owner) adds
to his raw material or purchases (other than labor) before selling the new or
improved product or service. That is, inputs (the raw materials, transport, rent
advertising and so on) are bought, people are paid wages to work on these
inputs and when the final goods and services are sold, some profit are left. So,
value added can be looked at from the additive side (wages plus profits) or from
the substractive side (output minus inputs).

Berdasarkan definisi di atas, maka diketahui bahwa nilai tambah dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu sisi pertambahan nilai (upah dan keuntungan), serta dari sisi
selisih output dikurangi dengan input.

Oleh karena yang menjadi dasar pengenaan pajak ini adalah nilai tambah (value
added), maka istilah yang digunakan di Indonesia adalah Pajak Pertambahan
Nilai (Value Added Tax). Definisi PPN (VAT) menurut Smith, dkk, seperti yang
dikutip oleh Rosdiana & Tarigan (2005: 215) adalah sebagai berikut :

The VAT is a tax on the value added by a firm to its products in the course of its
operation. Value added can be viewed either as the difference between firms
sales and its purchase during an accounting period, or as the sum of its wage,
profits, rent, interest and other payments not subject to the tax during that
period.

(VAT merupakan pajak atas pertambahan nilai terhadap produk-produk yang


dihasilkan oleh perusahaan selama kegiatan operasinya. Pertambahan nilai
dapat dilihat baik sebagai selisih antara penjualan dan pembelian yang dilakukan
perusahaan selama periode akuntansi, ataupun sebagai penjumlahan atas upah,
keuntungan, sewa, bunga dan pembayaran lainnya yang bukan merupakan objek
pajak selama periode akuntansi yang bersangkutan).

3.4. Asas-Asas Pemungutan Pajak

Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu memegang teguh asas-asas


pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Hal ini dimaksudkan agar
dalam pemungutan pajak tidak terjadi hambatan atau perlawanan dari wajib
pajak dan terdapat keserasian pemungutan pajak. Menurut Adam Smith dalam
bukunya An Inquity into the Natura and Causes of the Wealth of Nations,
terdapat empat asas pemungutan pajak atau yang sering disebut The Four
Maxims seperti yang dikutip oleh Waluyo & Ilyas (2000:5), sebagai berikut :

1. Equality

Dalam asas ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan


masing-masing subjek pajak. Keseimbangan atas kemampuan Subjek Pajak
mengandung arti bahwa dalam pemungutan pajak harus bersifat adil dan
merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan
kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang
diterima. Dalam asas ini berlaku ketentuan bahwa dalam keadaan yang sama
Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan dalam kondisi yang berbeda Wajib
Pajak harus diperlakukan berbeda pula.

2. Certainty

Penetapan pajak tidak ditentukan secara sewenang-wenang, melainkan harus


berdasarkan Undang-Undang yang berlaku atau peraturan perpajakan yang
jelas. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak
yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu pembayarannya.

3. Convenience

Dalam asas ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi Wajib
Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Kapan saat Wajib Pajak harus
membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan
Wajib Pajak, sebagai contoh saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan dan yang
sudah memenuhi syarat objektifnya (yaitu suatu syarat dimana Wajib Pajak
mempunyai penghasilan diatas penghasilan minimumnya).

4. Economy

Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban


pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban
yang dipikul oleh Wajib Pajak. Dalam asas ini ditekankan pentingnya efisiensi
pemungutan pajak, artinya pemungutan pajak harus dilakukan dengan biaya
yang sehemat mungkin, baik biaya yang dikeluarkan oleh fiskus maupun Wajib
Pajak.

3.5. Perbedaan Konsep Biaya Menurut Undang-Undang Perpajakan dan


Menurut Akuntansi

Dilihat dari sisi akuntansi, maka konsep biaya menurut Horngren & Foster
(1991:25) adalah a resource sacrificed or forgone to achieve a specific
objective. Senada dengan di atas, Blocher, Chen, Cokins, dan Lin (2005:60)
menyatakan bahwa A cost is incured when a resource is used for some
purpose.
Pengertian biaya menurut peraturan perpajakan adalah semua pengeluaran
yang memiliki hubungan langsung dengan penghasilan. Perbedaan perlakukan
ini akan membuat berbedanya jumlah biaya yang dilaporkan dalam laporan
aktivitas dengan biaya yang memenuhi syarat menurut peraturan perpajakan.
Perbedaan ini dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu (Nainggolan, 2005:74) :

a. Perbedaan permanen

Perpajakan akan mengakui suatu pengeluaran sebagai biaya dan dapat


mengurangi pendapatan atau tidak berdasarkan definisi biaya dan oleh karena
itu biaya haruslah terkait langsung dengan usaha memperoleh pendapatan.

b. Perbedaan sementara

Perbedaan yang berhubungan dengan penggunaan metode dan kebijakan


akuntansi. Perbedaan ini akan terkoreksi dengan sendirinya, dikarenakan karena
perbedaan periode mana pengeluaran tersebut dibiayakan dan berapa yang
boleh dibiayakan.

IV. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian deskriptif, yaitu merupakan
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara terinci mengenai
fenomena atau gejala tertentu (Singarimbun, 1985:4). Metodologi pengumpulan
data yang kami lakukan dalam tulisan ini adalah kajian literatur (library
research), yaitu penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan atas karya tertulis,
termasuk hasil penelitian baik yang telah maupun belum dipublikasikan (Agung,
1992:9)

V. Ketentuan Perpajakan yang Berkaitan Dengan Pengenaan PPh Atas


Penghasilan Yayasan dan PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri
Gedung dan Prasarana Pendidikan pada Yayasan Pendidikan

a. Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-87/PJ/1995 tentang Pengakuan


Penghasilan Atas Dana Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan Bagi
Yayasan atau Organisasi yang Sejenis yang Bergerak Dibidang Pendidikan

Berisi poin-poin utama sebagai berikut :

1. Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan adalah dana


yang akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan
yang berasal dari sisa lebih (laba neto).

2. Sisa lebih yaitu selisih lebih antara penghasilan yang merupakan objek
PPh (selain yang dikenakan PPh final) dikurangi dengan biaya-biaya yang dapat
dikurangkan.

3. Sisa lebih yayasan setiap tahun yang akan digunakan untuk


pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dialihkan ke rekening dana
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan.

4. Pembukuan atas penggunaan dana pembangunan gedung dan


prasarana pendidikan dilakukan dengan mendebit rekening aktiva dan rekening
dana pembangunan gedung, serta mengkredit rekening kas atau utang dan
rekening modal yayasan (penghasilan).

5. Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut wajib


dipergunakan dalam jangka waktu 4 tahun setelah berakhirnya tahun pajak
disisihkannya dana tersebut. Apabila setelah lewat 4 tahun yayasan pendidikan
itu tidak mempergunakaan dana dimaksud, maka dana tersebut harus diakui
sebagai penghasilan yang terutang PPh pada tahun pajak berikutnya setelah
masa 4 tahun tersebut terlewati. Disamping itu, terhadap yayasan ini akan
dikenai sanksi 2% per bulan

6. Atas pengeluaran untuk pembangunan gedung dan prasarana


pendidikan tersebut tidak perlu dibebankan melalui penyusutan, melainkan
dibebankan langsung pada saat terjadi atau terutangnya biaya tersebut.

7. Dalam hal pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut


dibiayai oleh pinjaman, maka bunga atas pinjaman itu dapat diakui sebagai
biaya (pengurang penghasilan bruto).

b. Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-34/PJ.4/1995 tentang Perlakukan Pajak


Penghasilan Bagi Yayasan atau Organisasi yang Sejenis

Berisi jenis-jenis penghasilan yayasan pendidikan yang merupakan objek PPh


dan jenis biaya yang merupakan pengurang penghasilan bruto.

c. Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-39/PJ.4/1995 mengenai Penyuluhan


Tentang Perlakukan Pajak Penghasilan Bagi Yayasan atau Organisasi yang Sejenis

Berisi perlunya penyuluhan atas kekeliruan dalam penerapan butir 6 dari SE-
34/PJ.4/1995, yaitu pengenaan PPh kepada yayasan atau organisasi sejenis
terjadi jika ada selisih lebih antara gunggungan penghasilan bruto yang
merupakan objek PPh dengan biaya-biaya yang diperkenankan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam Surat Edaran ini dijelaskan bahwa
yang tidak termasuk sebagai penghasilan yang merupakan objek pajak adalah
sumbangan, bantuan, dan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3
huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.

d. Surat Dirjen Pajak No.S-24/PJ.532/2003 tentang Perlakukan Pajak


Pertambahan Nilai. Berisi poin-poin utama sebagai berikut :

1. Pengenaan PPN atas pembangunan gedung pendidikan yang dilakukan


sendiri oleh yayasan adalah sesuai dengan Pasal 4 huruf c dan Pasal 16C
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

2. Perlakuan PPN dalam penggunaan dana dari surplus lebih anggaran


yayasan pendidikan untuk kegiatan investasi dalam bentuk pembangunan
gedung pendidikan yang pelaksanaannya dilakukan sendiri tetap dikenakan PPN
dengan tarif 10% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Hal ini berkaitan
dengan Pasal 2 ayat (1) KEP-387/PJ/2002.
3. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) KEP-387/PJ/2002, perhitungan Dasar
Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% dari jumlah
biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak
termasuk harga perolehan tanah.

VI. Pembahasan

6.1. Pengenaan PPH Atas Penghasilan Yayasan Pendidikan

Penghitungan pajak penghasilan atas yayasan pendidikan sama dengan badan


usaha lainnya yaitu pendapatan yang terkena objek pajak kemudian dikurangkan
dengan biaya-biaya yang diperkenankan menurut undang-undang pajak
penghasilan. Selisih lebih antara pendapatan dan biaya merupakan laba yang
dapat dikenakan pajak dengan tarif pasal 17 Undang Undang No 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah UU No 10 Tahun 1994 terakhir UU No 17 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh).

Untuk yayasan pendidikan yang bergerak dalam bidang Taman Kanak-Kanak


sampai Perguruan Tinggi, selisih lebih antara pendapatan dan biaya diberikan
perlakuan khusus, yaitu berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Pajak No KEP-
87/PJ/1995 tanggal 10 Oktober 1995, selisih atau keuntungan lembaga
pendidikan tidak dikenai pajak sepanjang kelebihan tadi diinvestasikan kembali
ke dalam bentuk pembangunan prasarana pendidikan. Pembangunan tersebut
dapat berupa :

Pembelian tanah untuk pembangunan prasarana pendidikan

Gedung sarana pendidikan

Asrama mahasiswa

Rumah dinas guru, dosen atau karyawan

Peralatan laboratorium, perpustakaan termasuk buku buku

Sarana olah raga

Inventaris kantor
Dalam pelaksanaan pembangunan prasarana pendidikan, yayasan harus
memisahkan laba dari usaha pendidikan tersebut ke dalam suatu rekening
khusus pengembangan pendidikan. Selain itu, yayasan pendidikan dalam
melakukan pembangunan tersebut harus memberitahukan rencana
pembangunan ke Dirjen Dikti/Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Atas serta
kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana yayasan tersebut berdomisili.
Pemberitahuan ini hanya digunakan untuk menginformasikan rencana
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dimana laba dari usaha
yayasan tersebut disisihkan setiap tahunnya.

Apabila dalam jangka waktu 4 tahun setelah pemupukan dana pembangunan


gedung dan prasarana pendidikan tidak direalisasikan, maka dana pembangunan
tersebut dianggap sebagai penghasilan dan akan dikenakan pajak penghasilan
ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Untuk aktiva tetap yang dibangun dengan dana pembangunan ini tidak boleh
melakukan penyusutan. Jadi, bangunan yang biaya pendiriannya berasal dari
dana tersebut tidak diperbolehkan membebankan penyusutannya dalam
pendapatan periode mendatang.

Apabila yayasan pendidikan memperoleh penghasilan diluar usaha utamanya


dan diluar donasi dan sumbangan yang diberikan kepada yayasan pendidikan
itu, maka atas penghasilan tersebut terutang pajak. Oleh karena itu, didalam
perhitungan pajak penghasilan harus dibedakan antara penghasilan yang berasal
dari sumbangan dan donasi dengan penghasilan yang berasal dari usaha diluar
usaha utamanya yayasan tersebut.

Penjelasan di atas dapat diilustrasikan melalui contoh sebagai berikut :

Yayasan TS adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan


berlokasi di wilayah Jakarta Barat. Berdasarkan neraca per 31 Desember 2004,
terlihat bahwa yayasan TS telah melakukan pemisahan rekening untuk
penyisihan dana pembangunan gedung pendidikan. Berikut ini adalah neraca
dan laporan laba rugi dari Yayasan TS :

YAYASAN TS

NERACA

Per 31 Desember 2004

AKTIVA
Aktiva Lancar
Kas 4.419.397,00
Bank 2.146.968.388,11
Uang muka 16.946.340,00
Deposito 15.472.320.754,00
Piutang 153.159.951,00
Total Aktiva Lancar 17.793.814.452,11
Aktiva Tetap
Bangunan 5.903.855.387,00
Akum. Penyusutan (1.747.899.850,20)
Inventaris 3.184.025.262,00
Akum Penyusutan (2.630.820.847,75)
Total Aktiva Tetap 4.079.169.951,05

TOTAL AKTIVA 22.502.984.403,16

PASSIVA
Hutang Lancar
Hutang PPh Ps.21 Masa Desember 4.422.000,00
Hutang PPh Ps.21 Tahunan 7.967.175,00
Giro Dalam Peredaran 3.762.331,00
Uang Muka yang Diterima 650.000,00
Titipan 10.950.303,00
Total Hutang Lancar 27.751.809,00

Dana Pembangunan Gedung


Saldo Awal 16.357.095.761,87
Pembangunan dlm Pelaksanaan (2.397.033.900,00)
Penambahan tahun 2004 4.417.281.342,40
Total Dana Pembangunan Gedung 18.377.343.204,27

MODAL
Modal Yayasan 500.000,00
Sisa Lebih s.d 2003 3.384.667.603,62
Sisa Lebih tahun 2004 685.199.201,27
Bantuan PGDP 27.552.585,00
Total Modal 4.097.889.389,89

TOTAL PASSIVA 22.502.984.403,16

YAYASAN TS

LAPORAN RUGI LABA

Periode Yang Berakhir 31 Desember 2004

Keterangan Cfm Komersial Cfm Fiskal


Pendapatan Operasional Unit
Pendidikan 11.127.995.999,00 11.127.995.999,00
Pendapatan Operasional Kesehatan
Masyarakat 187.813.500,00 187.813.500,00
Pendapatan Non Operasional 43.510.932,00 43.510.932,00
11.359.320.431, 11.359.320.431,0
Total Pendapatan 00 0

Beban Kegiatan Langsung (Unit


Pendidikan) 1.455.365.240,00 1.455.365.240,00
Beban Tidak Langsung 5.520.777.848,60 5.486.673.848,60
6.976.143.088,6
Total Beban 0 6.942.039.088,60

Pendapatan Lain-Lain (Bunga


Bank) 719.303.201,27 -
Sisa Lebih (Kurang)
Sebelum5.102.480.543,6
Cadangan 7 -
4.417.281.342,4
Cadangan & Prasarana 0 4.417.281.342,40
Sisa Lebih (Kurang) Setelah
Cadangan 685.199.201,27 NIHIL

Berdasarkan data neraca dan laporan rugi laba tersebut di atas, dapat ketahui
bahwa Yayasan TS telah mengalokasikan seluruhnya sisa lebih (laba) atas
kegiatan usahanya sebagai Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan
Prasarana Pendidikan, dan membuat rekening tersendiri atas dana tersebut.

6.2. Kesesuaian antara pengenaan PPN atas kegiatan membangun


sendiri untuk gedung dan prasarana pendidikan dengan Pasal 4 UU PPN
dan prinsip dasar PPN

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-387/PJ/2002 tanggal


19 Agustus 2002 pada pasal 1 angka 1, pengertian kegiatan membangun sendiri
adalah kegiatan membangun sendiri bangunan yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan orang pribadi atau badan yang diperuntukkan
bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m2 (dua
ratus meter persegi) atau lebih.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 jo


Keputusan Menteri Keuangan Nomor 320/KMK.03/2002 tanggal 28 Juni 2002,
bahwa suatu kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN apabila memenuhi
syarat:

1. dilakukan tidak dalam kegiatan usaha

2. yang dibangun adalah bangunan untuk tempat tinggal, tidak termasuk


fasilitas penunjang, tetapi kalau untuk tempat usaha termasuk semua fasilitas
penunjangnya
3. luas bangunan 400 m2 atau lebih, untuk kegiatan yang dilakukan 1 Juli 2002
luas bangunan 200 m2 atau lebih

4. bangunan bersifat permanen, artinya konstruksi utama bengunan tahan


sampai dengan 25 tahun atau lebih

5. khusus untuk bangunan di atas tanah dalam lingkungan real estate, hanya
yang tanahnya diperoleh sebelum 1 Januari 1995.

Rekening tersendiri atas Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana


Pendidikan pada yayasan pendidikan ditujukan untuk kegiatan pembangunan
gedung dan prasarana pendidikan dalam rangka memajukan kualitas pendidikan.
Kegiatan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut dapat
dilakukan oleh pihak kontraktor atau jasa pemborong maupun dilakukan sendiri
oleh masing-masing yayasan pendidikan.

Dalam hal pelaksanaan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan


tersebut sebagian atau seluruhnya diborongkan kepada pemborong atau
kontraktor, baik berdasarkan perjanjian lisan maupun tulisan, maka penyerahan
Jasa Kena Pajak (selanjutnya disebut JKP) oleh pemborong atau kontraktor
tersebut terutang PPN.

Di sisi lain, suatu yayasan pendidikan dapat melakukan kegiatan membangun


gedung dan prasarana pendidikan sendiri (tanpa jasa pemborong atau
kontraktor). Berdasarkan Pasal 16 C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan UU No 11 Tahun 1994 terakhir UU No 18
Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya disebut sebagai UU PPN 2000), PPN
dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang tidak dilakukan dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Dengan demikian, kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana


pendidikan dengan dana yang berasal dari rekening dana cadangan juga
terutang PPN. Hal ini diperjelas dalam Surat Dirjen Pajak No.S-24/PJ.532/2003
tentang Perlakukan Pajak Pertambahan Nilai, yang menyebutkan bahwa
Perlakuan PPN atas penggunaan dana dari surplus lebih anggaran yayasan
pendidikan untuk kegiatan investasi dalam bentuk pembangunan gedung
pendidikan yang pelaksanaannya dilakukan sendiri tetap dikenakan PPN dengan
tarif 10% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Selanjutnya, berdasarkan
pasal 2 ayat (2) KEP-387/PJ/2002, perhitungan Dasar Pengenaan Pajak atas
kegiatan membangun sendiri adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan
dan atau dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan
tanah.

Menurut kami, pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri atas gedung
dan prasarana pendidikan oleh yayasan pendidikan pada dasarnya bertentangan
dengan pasal 4 UU PPN tentang objek pajak PPN. Sukardji (2005:116)
mengemukakan bahwa salah satu prinsip dasar PPN adalah bahwa suatu
penyerahan Barang Kena Pajak (selanjutnya disebut BKP) atau Jasa Kena Pajak
(selanjutnya disebut JKP) dapat dikenakan pajak apabila dilakukan dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaan (kegiatan usaha atau pekerjaan)
Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disebut PKP).

Hal tersebut selanjutnya dipertegas oleh Pasal 8 jo Pasal 1 huruf h Peraturan


Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 yang menentukan bahwa penyerahan jasa
pemborong dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan
pembangunan, perbaikan, atau pemugaran bangunan atau barang tidak
bergerak lainnya, baik untuk kepentingan sendiri ataupun atas suruhan pihak
lain, dengan atau tanpa perjanjian tertulis dikenakan PPN. Namun sebaliknya,
apabila penyerahan jasa pembangunan kepada diri sendiri tersebut dilakukan
tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, maka tidak dikenakan
PPN (Sukardji, 2005:116).

Oleh karena itu, pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri yang diatur
dalam Pasal 16C UU PPN 2000 merupakan suatu langkah keliru yang dilakukan
oleh Pemerintah dan DPR ketika membahas dan menetapkan UU Nomor 11
Tahun 1994, karena sebelum 1 Januari 1995, UU PPN 1984 tidak memiliki pasal
seperti ini.

Alasan pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri pada Pasal 16 C UU


PPN 2000, seperti yang tercantum dalam memori penjelasannya, adalah untuk
mencegah terjadinya penghindaran pengenaan PPN. Alasan tersebut tidak
benar karena siapapun yang membangun gedung untuk usaha atau tempat
tinggal yang pelaksanaannya tidak menggunakan jasa pemborong yang sudah
dikukuhkan sebagai PKP memiliki alasan tertentu, antara lain (Sukardji, 2005) :

a) bagi orang pribadi adalah untuk menghemat biaya, karena kegiatan ini
diawasi sendiri dan bahan bangunan dibeli sendiri dari pada diserahkan
pemborong yang pasti biayanya lebih mahal.

b) bagi pengusaha baik berbentuk badan maupun orang pribadi, dimaksudkan


untuk menarik simpati penduduk yang tinggal disekitar tempat usaha karena
merasa memperoleh manfaat dari perusahaan yang berada di wilayahnya.

Dengan demikian kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana


pendidikan yang dilakukan oleh yayasan pendidikan seharusnya tidak dikenakan
PPN karena penyerahan jasa pembangunan kepada diri sendiri tersebut
dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, dan
pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan oleh tukang harian lepas yang tidak
dikukuhkan sebagai PKP. Hal tersebut dipertegas dalam memori penjelasan pasal
4 UU PPN 2000, yaitu :

a. Salah satu syarat penyerahan JKP atau BKP dikenakan PPN adalah
penyerahan itu dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PKP. Hal ini
bertentangan dengan Pasal 16 C yang menentukan bahwa PPN dikenakan atas
kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan
b. Suatu penyerahan JKP atau BKP dikenakan PPN apabila yang menyerahkan
adalah PKP. Tukang batu atau tukang kayu harian yang menyerahkan jasa
membangun gedung yang dibangun sendiri oleh pemiliknya adalah bukan PKP
karena mereka tergolong sebagai pengusaha kecil, maka berdasarkan Pasal 4
huruf c tidak dikenakan PPN, tetapi dalam pasal 16 C tetap dikenakan PPN.

Menurut Smith, dkk, seperti yang dikutip oleh Rosdiana & Tarigan (2005: 215),
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak atas pertambahan nilai
terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan selama kegiatan
operasinya. Pertambahan nilai dapat dilihat baik sebagai selisih antara penjualan
dan pembelian yang dilakukan perusahaan selama periode akuntansi, ataupun
sebagai penjumlahan atas upah, keuntungan, sewa, bunga dan pembayaran
lainnya yang bukan merupakan objek pajak selama periode akuntansi yang
bersangkutan.

Berdasarkan pengertian PPN tersebut di atas, maka dapat dianalisis bahwa


setiap kegiatan membangun sendiri pada hakikatnya memberikan nilai tambah
(value added) bagi pemiliknya. Nilai tambah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi
pertambahan nilai (upah dan keuntungan), serta dari sisi selisih output dikurangi
dengan input (Tait, 1988:4). Hal ini berlaku pula pada yayasan pendidikan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana
pendidikannya. Dengan demikian, atas kegiatan membangun sendiri sudah tepat
dikenakan PPN dengan tarif efektif 4%. Tarif efektif tersebut menunjukkan bahwa
pemerintah memberikan insentif bagi individu yang melakukan kegiatan
membangun sendiri sebesar 6%. Oleh karena itu, jika ditinjau dari prinsip dasar
PPN, kegiatan membangun sendiri dalam pasal 16 C UU PPN sudah sesuai
dengan prinsip PPN.

6.3. Asas Keadilan dalam Pengenaan PPN atas kegiatan membangun


sendiri untuk gedung dan prasarana pendidikan oleh yayasan
pendidikan dengan dana yang berasal dari rekening Dana Cadangan
Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan

Salah satu asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith adalah
asas keadilan (equality). Dalam asas tersebut dinyatakan bahwa pemungutan
pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang
harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan
sesuai dengan manfaat yang diterima. Dalam asas ini berlaku ketentuan bahwa
dalam keadaan yang sama Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan dalam
kondisi yang berbeda Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda pula.

Yayasan pendidikan dalam hal ini merupakan Wajib Pajak yang memiliki kondisi
berbeda dengan badan usaha lainnya. Perbedaan itu terlihat dari perlakuan
perpajakan atas :

1. surplus lebih usaha (laba) yang tidak dikenakan pajak penghasilan


sepanjang selisih lebih tersebut diinvestasikan kembali ke dalam bentuk
pembangunan prasarana pendidikan, berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Pajak
No KEP-87/PJ/1995 tanggal 10 Oktober 1995.
2. jasa pendidikan merupakan jenis jasa yang dikecualikan atas pengenaan
PPN berdasarkan Pasal 4A ayat (3) huruf f UU PPN 2000.

Sehubungan dengan poin 1 di atas, kami melihat bahwa pengenaan PPN pada
yayasan pendidikan atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasarana
pendidikan dengan dana yang berasal dari laba ditahan yang sudah dibuatkan
rekening sendiri sebagai Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana
Pendidikan telah bersifat adil.

Berdasarkan asas keadilan berlaku ketentuan bahwa dalam keadaan yang sama
Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan dalam kondisi yang berbeda Wajib
Pajak harus diperlakukan berbeda pula. Oleh karena yayasan pendidikan
memiliki kondisi berbeda seperti yang telah disebutkan di atas, maka dalam
penerapan asas keadilan atas kegiatan membangun sendiri gedung dan
prasarana pendidikan dengan dana yang berasal dari rekening Dana Cadangan
Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan pemerintah memberikan
insentif pajak atas pengenaan PPN atas kegiatan membangun tersebut dengan
pengenaan tarif efektif sebesar 4 % bukan 10 % dari seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk membangun gedung dan prasarana pendidikan tersebut.

Menurut penulis, meskipun jasa pendidikan merupakan jenis jasa yang


dikecualikan atas pengenaan PPN berdasarkan Pasal 4 A ayat (3) huruf f UU PPN
2000 bukan berarti atas kegiatan membangun sendiri atas gedung dan
prasarana pendidikan tidak terutang PPN. Jasa pendidikan dikecualikan dari jasa
yang terutang PPN karena pemerintah berusaha untuk memajukan pendidikan di
Indonesia, dengan kata lain pemerintah Indonesia memberikan insentif pajak
atas kegiatan pendidikan di Indonesia.

VII. Kesimpulan dan Saran

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan permasalahan di atas, maka penulis dapat


mengambil kesimpulan antara lain :

1. Pengenaan pajak penghasilan atas keuntungan dari usaha yayasan


pendidikan tidak dikenakan pajak sepanjang keuntungan tersebut disisihkan
untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dalam tempo maksimal
4 tahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut belum direalisasikan
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut maka dana
pembangunan gedung tersebut dikenakan pajak penghasilan beserta sanksi
menurut peraturan perpajakan.

2. Atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasarana pendidikan pada


yayasan pendidikan yang dananya berasal dari rekening Dana Pembangunan
Gedung dan Prasarana Pendidikan telah sesuai dengan prinsip dasar PPN. Di sisi
lain, pernyataan pada Pasal 16 C UU PPN 2000 bertentangan dengan definisi
obyek pajak PPN Pasal 4 UU PPN 2000 beserta penjelasannya.
3. Pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasana
pendidikan yang dilakukan oleh yayasan pendidikan sudah mencerminkan asas
keadilan dalam pemungutan pajak. Hal itu dikarenakan kegiatan membangun
sendiri dikenakan tarif efektif sebesar 4 % dari total biaya yang dikeluarkan oleh
pemilik yayasan. Dimana 6% dari PPN yang seharusnya disetorkan ke kas
negara telah menjadi insentif bagi pemilik yayasan pendidikan sebagai wajib
pajak.

7.2. Saran-Saran

Suatu ketentuan yang salah pasti akan menimbulkan efek negatif di kemudian
hari. Pasal 16 C UU PPN 2000 disadari atau tidak telah membuka peluang
terjadinya penyimpangan di dalam praktek pengenaan PPN. Oleh karena itu,
penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Terdapat aturan yang spesifik tentang batasan dan kriteria untuk


pengenaan PPN atas membangun sendiri dalam kaitannya dengan yayasan
pendidikan agar memberikan iklim yang lebih kondusif bagi perkembangan
pendidikan di Indonesia.

2. Perlu adanya harmonisasi antara pasal 4 UU PPN dengan pasal 16C


sehingga tidak ada kerancuan bagi wajib pajak dalam pelaksanaan kegiatan
perpajakan di lapangan.

Anda mungkin juga menyukai