Yayasan sudah mulai berdiri di Indonesia sejak masa pra kemerdekaan. Kala itu
tujuan pendiriannya lebih banyak ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah
sosial dalam masyarakat. Sektor yang umumnya terdapat keterlibatan yayasan
adalah sektor pendidikan dan kesehatan. Dalam kedua sektor tersebut, pada
umumnya yayasan berfungsi sebagai suatu lembaga nirlaba yang memperoleh
sumber dana dari masyarakat melalui donasi atau sumbangan.
Namun seiring bergulirnya waktu dan perkembangan dunia bisnis saat ini, maka
banyak yayasan di Indonesia yang mengalami kesulitan untuk tetap bertahan
hanya dengan sumber dana yang diperoleh dari donasi masyarakat. Yayasan
membutuhkan sumber dana lain yang kemudian diperolehnya melalui kegiatan
usaha atau jenis kegiatan dan jasa lain yang memberikan laba.
Dengan adanya peluang tersebut maka area pelayanan bagi yayasan semakin
melebar dan ukuran dari beberapa yayasan di Indonesia bahkan sudah dapat
dikategorikan sebagai raksasa dalam dunia bisnis. Misalnya beberapa yayasan
yang bergerak di bidang pendidikan ternyata memiliki asset bernilai miliaran
rupiah (Nainggolan, 2005:5).
Sehubungan dengan fenomena yang telah dijabarkan di atas, maka kami tertarik
untuk membahas mengenai pengenaan pajak atas selisih dari penerimaan yang
merupakan obyek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak
Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional
sehari hari yayasan dan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun
sendiri gedung dan prasarana pendidikan yang menggunakan dana dari laba
ditahan.
II. Permasalahan
Yayasan secara mudah dapat dikatakan sebagai suatu lembaga yang didirikan
bukan untuk mencari laba semata. Rosenbaum menyatakan, seperti yang dikutip
oleh Andreasen (1996:15), lembaga dapat dikategorikan sumber dana (sources
of funds) :
a. Lembaga komersial, yaitu lembaga yang dibiayai oleh laba atau keuntungan
dari kegiatannya.
Definisi penghasilan yang dikemukakan oleh Schanz, Haig dan Simon (SHS
Concept) seperti yang dikutip dari beberapa sumber adalah sebagai berikut :
the money value of the net accretion to ones economic power between
two points of time seperti yang dikutip oleh Ray M. Sommerfeld (1982:4)
the increase or accretion in ones power to satisfy his wants in a given
period in so far as that power consists seperti yang dikutip oleh R.
Mansury (1996: 62)
c. Menurut Henry C. Simon, seperti yang dikutip oleh Rosdiana & Tarigan
(2005:144), penghasilan perseorangan secara luas mengandung arti sebagai
pemanfaatan kontrol atas penggunaan sumber daya masyarakat yang terbatas.
Di sisi lain Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, par 70,
menyebutkan definisi penghasilan sebagai kenaikan manfaat ekonomi selama
suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau
penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal
dari kontribusi penanam modal. Definisi penghasilan (income) tersebut meliputi
baik pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gains). Pendapatan timbul
dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan
yang berbeda. (par 74 Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan).
Pendapatan (revenue) dalam yayasan merupakan salah satu hal yang berbeda
secara signifikan dibandingkan dengan pendapatan pada perusahaan atau bisnis
komersial. Pada yayasan, pendapatan diperoleh dari berbagai sumber, tetapi
derajat kebebasan penggunaannya tergantung jenis pendapatan itu sendiri.
Pendapatan jenis ini pada umumnya berasal dari sumbangan yang diperoleh dari
donatur yang secara khusus menyebutkan penggunaan dan jangka waktu atas
penggunaan donasi tersebut. Dengan kata lain, sumbangan terikat sementara
adalah sumbangan yang diterima yayasan untuk suatu jenis kegiatan tertentu
dan untuk jangka waktu tertentu pula.
Pendapatan jenis ini biasanya diperoleh dengan batasan yang jelas untuk
penggunaannya dan diasumsikan bahwa jangka waktunya adalah untuk
selamanya. Artinya, hanya untuk tujuan tertentu dan berlaku selamanya.
Misalnya, suatu yayasan pendidikan memperoleh donasi dalam bentuk gedung
sekolah, maka atas donasi tersebut diberikan batasan bahwa gedung itu hanya
boleh digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan tidak boleh
diperjualbelikan, baik sekarang maupun di masa depan dengan alasan apapun.
Value Added Tax (VAT) pertama kali diperkenalkan di Perancis pada tahun 1954
(Rosdiana & Tarigan, 2005: 213). Dengan berbagai kelebihannya, pajak
pertambahan nilai (PPN) diadopsi oleh banyak negara. Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) pada dasarnya merupakan pajak penjualan yang dipungut atas dasar nilai
tambah[2] yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi (Rosdiana &
Tarigan, 2005: 214).
Pengertian Value Added (nilai tambah) menurut Alain Tait (1988:4) adalah
sebagai berikut :
Berdasarkan definisi di atas, maka diketahui bahwa nilai tambah dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu sisi pertambahan nilai (upah dan keuntungan), serta dari sisi
selisih output dikurangi dengan input.
Oleh karena yang menjadi dasar pengenaan pajak ini adalah nilai tambah (value
added), maka istilah yang digunakan di Indonesia adalah Pajak Pertambahan
Nilai (Value Added Tax). Definisi PPN (VAT) menurut Smith, dkk, seperti yang
dikutip oleh Rosdiana & Tarigan (2005: 215) adalah sebagai berikut :
The VAT is a tax on the value added by a firm to its products in the course of its
operation. Value added can be viewed either as the difference between firms
sales and its purchase during an accounting period, or as the sum of its wage,
profits, rent, interest and other payments not subject to the tax during that
period.
1. Equality
2. Certainty
3. Convenience
Dalam asas ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi Wajib
Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Kapan saat Wajib Pajak harus
membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan
Wajib Pajak, sebagai contoh saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan dan yang
sudah memenuhi syarat objektifnya (yaitu suatu syarat dimana Wajib Pajak
mempunyai penghasilan diatas penghasilan minimumnya).
4. Economy
Dilihat dari sisi akuntansi, maka konsep biaya menurut Horngren & Foster
(1991:25) adalah a resource sacrificed or forgone to achieve a specific
objective. Senada dengan di atas, Blocher, Chen, Cokins, dan Lin (2005:60)
menyatakan bahwa A cost is incured when a resource is used for some
purpose.
Pengertian biaya menurut peraturan perpajakan adalah semua pengeluaran
yang memiliki hubungan langsung dengan penghasilan. Perbedaan perlakukan
ini akan membuat berbedanya jumlah biaya yang dilaporkan dalam laporan
aktivitas dengan biaya yang memenuhi syarat menurut peraturan perpajakan.
Perbedaan ini dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu (Nainggolan, 2005:74) :
a. Perbedaan permanen
b. Perbedaan sementara
Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian deskriptif, yaitu merupakan
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara terinci mengenai
fenomena atau gejala tertentu (Singarimbun, 1985:4). Metodologi pengumpulan
data yang kami lakukan dalam tulisan ini adalah kajian literatur (library
research), yaitu penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan atas karya tertulis,
termasuk hasil penelitian baik yang telah maupun belum dipublikasikan (Agung,
1992:9)
2. Sisa lebih yaitu selisih lebih antara penghasilan yang merupakan objek
PPh (selain yang dikenakan PPh final) dikurangi dengan biaya-biaya yang dapat
dikurangkan.
Berisi perlunya penyuluhan atas kekeliruan dalam penerapan butir 6 dari SE-
34/PJ.4/1995, yaitu pengenaan PPh kepada yayasan atau organisasi sejenis
terjadi jika ada selisih lebih antara gunggungan penghasilan bruto yang
merupakan objek PPh dengan biaya-biaya yang diperkenankan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam Surat Edaran ini dijelaskan bahwa
yang tidak termasuk sebagai penghasilan yang merupakan objek pajak adalah
sumbangan, bantuan, dan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3
huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
VI. Pembahasan
Asrama mahasiswa
Inventaris kantor
Dalam pelaksanaan pembangunan prasarana pendidikan, yayasan harus
memisahkan laba dari usaha pendidikan tersebut ke dalam suatu rekening
khusus pengembangan pendidikan. Selain itu, yayasan pendidikan dalam
melakukan pembangunan tersebut harus memberitahukan rencana
pembangunan ke Dirjen Dikti/Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Atas serta
kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana yayasan tersebut berdomisili.
Pemberitahuan ini hanya digunakan untuk menginformasikan rencana
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dimana laba dari usaha
yayasan tersebut disisihkan setiap tahunnya.
Untuk aktiva tetap yang dibangun dengan dana pembangunan ini tidak boleh
melakukan penyusutan. Jadi, bangunan yang biaya pendiriannya berasal dari
dana tersebut tidak diperbolehkan membebankan penyusutannya dalam
pendapatan periode mendatang.
YAYASAN TS
NERACA
AKTIVA
Aktiva Lancar
Kas 4.419.397,00
Bank 2.146.968.388,11
Uang muka 16.946.340,00
Deposito 15.472.320.754,00
Piutang 153.159.951,00
Total Aktiva Lancar 17.793.814.452,11
Aktiva Tetap
Bangunan 5.903.855.387,00
Akum. Penyusutan (1.747.899.850,20)
Inventaris 3.184.025.262,00
Akum Penyusutan (2.630.820.847,75)
Total Aktiva Tetap 4.079.169.951,05
PASSIVA
Hutang Lancar
Hutang PPh Ps.21 Masa Desember 4.422.000,00
Hutang PPh Ps.21 Tahunan 7.967.175,00
Giro Dalam Peredaran 3.762.331,00
Uang Muka yang Diterima 650.000,00
Titipan 10.950.303,00
Total Hutang Lancar 27.751.809,00
MODAL
Modal Yayasan 500.000,00
Sisa Lebih s.d 2003 3.384.667.603,62
Sisa Lebih tahun 2004 685.199.201,27
Bantuan PGDP 27.552.585,00
Total Modal 4.097.889.389,89
YAYASAN TS
Berdasarkan data neraca dan laporan rugi laba tersebut di atas, dapat ketahui
bahwa Yayasan TS telah mengalokasikan seluruhnya sisa lebih (laba) atas
kegiatan usahanya sebagai Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan
Prasarana Pendidikan, dan membuat rekening tersendiri atas dana tersebut.
5. khusus untuk bangunan di atas tanah dalam lingkungan real estate, hanya
yang tanahnya diperoleh sebelum 1 Januari 1995.
Menurut kami, pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri atas gedung
dan prasarana pendidikan oleh yayasan pendidikan pada dasarnya bertentangan
dengan pasal 4 UU PPN tentang objek pajak PPN. Sukardji (2005:116)
mengemukakan bahwa salah satu prinsip dasar PPN adalah bahwa suatu
penyerahan Barang Kena Pajak (selanjutnya disebut BKP) atau Jasa Kena Pajak
(selanjutnya disebut JKP) dapat dikenakan pajak apabila dilakukan dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaan (kegiatan usaha atau pekerjaan)
Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disebut PKP).
Oleh karena itu, pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri yang diatur
dalam Pasal 16C UU PPN 2000 merupakan suatu langkah keliru yang dilakukan
oleh Pemerintah dan DPR ketika membahas dan menetapkan UU Nomor 11
Tahun 1994, karena sebelum 1 Januari 1995, UU PPN 1984 tidak memiliki pasal
seperti ini.
a) bagi orang pribadi adalah untuk menghemat biaya, karena kegiatan ini
diawasi sendiri dan bahan bangunan dibeli sendiri dari pada diserahkan
pemborong yang pasti biayanya lebih mahal.
a. Salah satu syarat penyerahan JKP atau BKP dikenakan PPN adalah
penyerahan itu dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PKP. Hal ini
bertentangan dengan Pasal 16 C yang menentukan bahwa PPN dikenakan atas
kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan
b. Suatu penyerahan JKP atau BKP dikenakan PPN apabila yang menyerahkan
adalah PKP. Tukang batu atau tukang kayu harian yang menyerahkan jasa
membangun gedung yang dibangun sendiri oleh pemiliknya adalah bukan PKP
karena mereka tergolong sebagai pengusaha kecil, maka berdasarkan Pasal 4
huruf c tidak dikenakan PPN, tetapi dalam pasal 16 C tetap dikenakan PPN.
Menurut Smith, dkk, seperti yang dikutip oleh Rosdiana & Tarigan (2005: 215),
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak atas pertambahan nilai
terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan selama kegiatan
operasinya. Pertambahan nilai dapat dilihat baik sebagai selisih antara penjualan
dan pembelian yang dilakukan perusahaan selama periode akuntansi, ataupun
sebagai penjumlahan atas upah, keuntungan, sewa, bunga dan pembayaran
lainnya yang bukan merupakan objek pajak selama periode akuntansi yang
bersangkutan.
Salah satu asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith adalah
asas keadilan (equality). Dalam asas tersebut dinyatakan bahwa pemungutan
pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang
harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan
sesuai dengan manfaat yang diterima. Dalam asas ini berlaku ketentuan bahwa
dalam keadaan yang sama Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan dalam
kondisi yang berbeda Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda pula.
Yayasan pendidikan dalam hal ini merupakan Wajib Pajak yang memiliki kondisi
berbeda dengan badan usaha lainnya. Perbedaan itu terlihat dari perlakuan
perpajakan atas :
Sehubungan dengan poin 1 di atas, kami melihat bahwa pengenaan PPN pada
yayasan pendidikan atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasarana
pendidikan dengan dana yang berasal dari laba ditahan yang sudah dibuatkan
rekening sendiri sebagai Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana
Pendidikan telah bersifat adil.
Berdasarkan asas keadilan berlaku ketentuan bahwa dalam keadaan yang sama
Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan dalam kondisi yang berbeda Wajib
Pajak harus diperlakukan berbeda pula. Oleh karena yayasan pendidikan
memiliki kondisi berbeda seperti yang telah disebutkan di atas, maka dalam
penerapan asas keadilan atas kegiatan membangun sendiri gedung dan
prasarana pendidikan dengan dana yang berasal dari rekening Dana Cadangan
Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan pemerintah memberikan
insentif pajak atas pengenaan PPN atas kegiatan membangun tersebut dengan
pengenaan tarif efektif sebesar 4 % bukan 10 % dari seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk membangun gedung dan prasarana pendidikan tersebut.
7.1. Kesimpulan
7.2. Saran-Saran
Suatu ketentuan yang salah pasti akan menimbulkan efek negatif di kemudian
hari. Pasal 16 C UU PPN 2000 disadari atau tidak telah membuka peluang
terjadinya penyimpangan di dalam praktek pengenaan PPN. Oleh karena itu,
penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut :