Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pulau Bali adalah nama salah satu wilayah Indonesia yang terkenal di
mancanegara, hal ini tidak terlepas dari potensi-potensi yang dimiliki Bali
seperti kebudayaan, pariwisata, dan kearifanlokal lainnya. Potensi-potensi
inilah yang mendongkrak kepopuleran pulau Bali sekaligus menambah pundi-
pundi finansial di Bali. Potensi lainnya yang dimiliki Bali berhubungan
dengan kearifanlokalnya adalah Arsitektur Tradisional Bali. Dilihat dari segi
arsitekturnya, masyarakat Bali memiliki sebuah sistem arsitektur tradisional
yang unik. Salah satu unsur yang kental dari arsitektur di Bali adalah konsep
arsitektur yang harmoni dengan lingkungan alam. Arsitektur Tradisional Bali
sendiri telah ada sejak zaman dahulu yang turun menurun diwarisakan sebagai
landasan dalam membanguan sebuah hunian yang berfilosofi tinggi. Aturan
aturan atau tata cara itu di atur dalam lontar Asta Kosala kosali yang didasari
oleh konsepsi-konsepsi yang berlandaskan agama Hindu, merupakan
perwujudan budaya, dimana karakter perumahan tradisional Bali sangat
ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang
mencerminkan kebudayaan.
Seiring perkembangan jaman serta kemajuan di bidang pengetahuan dan
teknologi, nilai-nilai Arsitektur Tradisional Bali juga sudah mulai diterapkan
pada bangunan-bangunan modern. Tidak hanya konsep-konsep seperti tri
mandala, tri loka, ataupun tri angga, tetapi juga elemen-elemen lainnya
seperti ornamen-ornamen, bentuk dan tipologi bangunan, tata ruang, dan lain-
lain yang mulai diterapkan dan diimplementasikan mulai pada rumah,
perkantoran, pertokoan, hingga hotel dan bandara untuk menunjukan adanya
langgam, identitas dan jatidiri Arsitektur Tradisional Bali pada bangunan-
bangunan modern tersebut. Bangunan-bangunan Arsitektur Tradisional Bali
sendiri memiliki bentuk yang cukup unik seperti Wantilan dengan konsep
bangunan me-anda baik pada atap maupun bebaturannya, Meru dengan atap
me-tumpang, dan Jineng dengan bentuk atap pelana yang
melengkung. Namun,

Arsitektur 1
Bali 3
perkembangan bentuk-bentuk bangunan seperti di atas yang diterapkan pada
bangunan arsitektur masa kini dirasa kurang memiliki filosofi atau makna
yang kuat mengenai arsitektur Tradisional Bali itu sendiri. Arsitek sendiri pada
umumnya harus memiliki sebuah landasan, filosofi, dan konsep yang kuat
dalam melakukan sebuah perancangan. Jika hanya menerapkan bentuk tanpa
sebuah landasan, filosofi, dan konsep yang kuat, tanpa seorang arsitek pun
bangunan tersebut bisa terwujud. Tujuannya dari adanya landasan, filosofi,
dan konsep itu sendiri dalam sebuah bangunan adalah untuk menciptakan atau
memberikan nyawa atau juga taksu dalam bangunan tersebut. Filosofi
atau makna dari sebuah bangunan dapat diambil dari teori dalam perancangan
arsitektur, yaitu teori Analogi. Berdasarkan hal tersebut, penulis
menganalogikan sebuah pohon kelapa menjadi bangunan Jineng. Berangkat
dari latar belakang tersebut, penulis memilih judul Penerapan Bentuk Jineng
pada Desain Bangunan Villa dengan Metode Analogi sebagai judul makalah
mata kuliah Arsitektur Bali 3.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang didapat berdasarkan pemilihan judul di
atas adalah, sebagai berikut:
1.2.1 Apa alasan menjadikan pohon kelapa sebagai analogi
dari bangunan Jineng?
1.2.2 Bagaimana implikasi dari pohon kelapa yang menjadi analogi dari
Jineng pada desain dari sebuah bangunan villa?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini berdasarkan rumusan masalah di atas adalah,
sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui apa saja analogi yang ada pada sebuah pohon
kelapa dengan sebuah bangunan Jineng.
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana implikasi dari pohon kelapa yang
menjadi analogi Jineng pada desain bangunan villa
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Untuk Mahasiswa
Penulis dapat menambah wawasan mengenai pengaplikasian teori dan
metode analogi dalam Arsitektur Bali, dalam hal ini adalah analogi dari
Jineng pada desain bangunan villa.
1.4.2 Untuk Kampus
Kampus dapat menjalankan tugasnya dalam mengamalkan Tri Dharma
Perguruan Tinggi (Pembelajaran, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat).
Selain itu, kampus dapat menambah sarana pembelajaran bagi mahasiswa
atau sebagai pembanding dalam pelaksanaan mata kuliah lain.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Analogi


Menurut Silpia (2012) Analogi dalam bahasa indonesia ialah kias
(Arab: qasa = mengukur, membandingkan). Berbicara tentang analogi adalah
berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain, dan dua
hal yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan yang lain. Dalam
mengadakan perbandingan, orang mencari persamaan dan perbedaan di antara
hal-hal yang diperbandingkan. Contoh kalau lembu dibandingkan dengan
kerbau, maka kedua-keduanya adalah binatang, akan tetapi yang satu berbeda
dengan yang lain mengenai besarnya, warnanya dan sebagainya.
Menurut bahan ajar mata kuliah Arsitektur Bali 3, teori analogi adalah
sesuatu yang mempunyai kesamaan, persesuaian, kemiripan, keserupaan,
kesejajaran, kesejalanan, antara dua benda atau dalam bentuk, susunan,
fungsi, tetapi berlainan asal-usulnya.
Menurut Snyder dan Catanese (1991), analogi mengidentifikasi
hubungan harafiah yang mungkin di antara benda-benda. Sebuah benda
diidentifikasi dan mempunyai semua sifat khas yang diinginkan dan dengan
demikian ia menjadi model untuk proyek yang ada.
Sumber yang sama juga menyebutkan tugas arsitek adalah menetapkan
bangunan yang telah ada, mana yang menjadi model yang tepat untuk
bangunan baru yang akan dirancang.
Dalam bukunya Pengantar Arsitektur Wayne O Attoe mengumpulkan
beberapa analogi yang sering dipergunakan oleh ahli teori yaitu :

1. Analogi Matematis
Analogi yang menjadikan ilmu hitung dan geometri sebagai dasar
penting dalam arsitektur. Bangunan yang berasal dari geometri murni dan
angka-angka primer atau lambnag akan sesuai dengan tatanan semesta.

2. Analogi Biologis
Analogi ini dibagi menjadi 2 yaitu organis dan biometric.
Organis; memusatkan perhatian pada hubungan antara bagian-bagian dari
bangunan atau hubungan antara bangunan dengan lingkungannya (setting).
Bentuk organis ini merupakan rintisan dari Frank Lioyd Wright: Bentukan
ini memiliki 4 karakteristik yaitu:
a. Berkembang ke luar dari dalam, selaras dengan kondisi keberadaanya
b. Konstruksi dengan material yang jujur artinya kayu dipergunakan
sebagai kayu.
c. Unsur-unsur bangunan yang terpadu dan merupakan satu kesatuan
d. Menggambarkan waktu tempat dan tujuan.
Biometrik ; memusatkan perhatian pada proses pembangunan dan
perkembangan suatu bangunan atau lingkungan buatan

Arsitektur biometrik tidak memfokuskan dirinya pada konteks atau


hubungan antara bangunan dengan lingkungannya. Bentukan ini lebih
berpusat pada bangunan atau lingkungan buatan itu sendiri, bagaimana
bangunan atau lingkungan buatan dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Para arsitek biometrik adalah Rudolf Doernach, David Greene, Ron Herron
dan lain-lain.

3. Analogi Romantik
Arsitektur yang mampu membangkitkan emosi dari diri pengamat
dengan cara menimbulkan asosiasi atau dengan cara mendesain dengan
berlebihan.
Menimbulkan asosiasi biasanya mengacu pada asosiasi dengan
alam,masa lalu, tempat-tempat eksotis, benda primitive atau pengalaman
masa lalu.
Sedangkan dengan cara mendesain berlebihan contohnya seperti
yang dilakukan oleh para arsitek ekspresionis pada abad 20. Aliran ini
mendesain bangunan yang tidak biasa, baik dari ukuran, bentuk, pemilihan
warna dan lain-lain.

4. Analogi Linguistik
Analogi linguistik menegaskan bahwa bangunan dapat
menyampaikan informasi kepada pengamat. Menurut analogi ini ada 3
cara penyampaian informasi yaitu:
a. Model tata bahasa
Arsitektur yang terdiri dari unsur-unsur yang bisa memungkin dirinya
untuk dipahami dan di tafsir oleh pengamat. Biasanya unsur-unsur ini
berhubungan dengan kebudayaan atau kebiasaan sehingga pengamat
yang berasal dari kebudayaan dan kebiasaan tersebut akan mudah
memahami informasi yang disampaikan.
b. Model ekspresionis
Arsitektur yang dipergunakan oleh arsitek untuk mengekspresikan
dirinya pada bangunan tersebut.
c. Model semiotik
Arsitektur yang dipergunakan untuk menyampaikan informasi tentang
fungsi bangunan tersebut melalui tanda.tanda yang dimilikinya.
Contohnya sebuah masjid yang memiliki minaret, minaret merupakan
tanda bahwa bangunan tersebut adalah masjid.

5. Analogi Mekanik
Machine for living adalah pernyataan yang dipopulerkan oleh Le
Cobusier dimana dia menganalogikan rumah haruslah seperti mesin,
dimana tiap bagiannya berfungsi dan mendukung satu sama lain. Gagasan
ini adalah bentuk kritik terhadap ornament yang tidak memiliki fungsi.
Teori ini juga menjadi dasar arsitektur modern dalam mendesain dimana
fungsi, struktur dan system bangunan memiliki peran penting dalam
menentukan keindahan suatu karya arsitektur.

6. Analogi pemecah Masalah


Arsitektur juga dianggap sebagai solusi dalam sebuah masalah. Dalam
merancang dan merencanakan terdapat proses pengumpulan data dan
melalui proses analisis,sintesis dan kemudian di evaluasi. Hasil akhir dari
evaluasi inilah yang diambil sebagi informasi dalam perancangan, jadi
merancang bukan hanya proses intuitif tetapi berdasark fakta-fakta yang
ada dilapangan.

7. Analogi Adhocis
Arsitektur yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
langsung menggunakan material-material yang ada, mudah didapat dan
murah.

8. Analogi Bahasa Pola


Arsitektur yang bertugas mengidentifikasi pola-pola dari kebutuhan dan
jenis tempatnya yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Contohnya adalah rumah untuk manula, yang disesuaikan dengan


kebiasaan dan kebutuhan manula tersebut.

9. Analogi Dramaturgi

Arsitektur sebagai sebuah setting dimana arsitek bertindak sebagai sutradara

2.2 Jineng

Gambar 2.1 Jineng sebagai Bangunan Tradisional


Sumber: goolge image

Menurut Gelebet (1982), Jineng merupakan bangunan tempat


menyimpan padi dengan bentuk denah segi empat dengan tiang berjumlah
empat beratap pelana lengkung. Ruang tempat menyimpan di bagian atas
langki kepala tiang dengan lantai dasar berbatas sisi pada atap lengkung sisi
dalam pintu masuk dari depan di bagian atas. Ruang bawah berupa balai yang
memiliki fungsi sebagai tempat untuk duduk-duduk atau untuk berbagai
kegiatan kerja. Letak Jineng pada umumnya di dekat dapur sehingga ruang
balai pada Jineng dapat untuk mengerjakan atau sebagai perluasan ruang
kerja dapur.
Sumber yang sama menyebutkan, bangunan Jineng memiliki sistem
struktur konstruksi untuk bangunan bertingkat, balai pada ruang bawah untuk
tempat duduk, tempat tidur sementara atau tempat kerja. Bangunan atau ruang
di bagian atas sebagai tempat untuk menyimpan.
Menurut Seta (2010), unit sebuah bangunan Jineng terletak di bagian
arah Tenggara dan natah umah, atau sering pula disebut dengan nama
Kelumpu, atau untuk yang memiliki ukuran agak lebih besar lagi disebut
Gelebeg. Fungsi Jineng tersebut adalah sebagai tempat untuk menyimpan
padi (lumbung). Sementara yang disebut dengan Gelebeg, selain dipakai
sebagai
tempat menyimpan
padi, juga bisa
digunakan untuk
tempat beristirahat
atau juga bekerja.
Pekerjaan seperti
menenun kain,
membuat lawar atau
Gambar 2.2 Proses Pengerjaan
Jineng mebat bisa dilakukan
Sumber: goolge image
di bangunan tersebut. Hal ini disebabkan di bawah ruang simpannya tersebut
berisi bale-bale peristirahatan di bagian tengahnya. Bangunan Jineng
biasanya berbentuk persegi panjang dengan memakai saka atau bang yang
terbuat dan bahan kayu yang bisa berjumlah empat atau enam. Bangunan
Jineng adalah merupakan tempat untuk menyimpan padi yang menggunakan
bebaturan dengan memakai lantai yang biasanya lebih rendah dan pada paon
atau dapur.
Menurut Febriyanthi (2012), bangunan Jineng biasanya
memaksimalkan penggunaan kayu di mana kayu merupakan bahan baku
alami yang mudah didapatkan, selain itu penggunaan kayu ini juga
bermanfaat karena suhu yang dihasilkan akan lebih hangat sehingga hasil
panen dapat terlindungi dari cuaca dan iklim buruk, penataan atap yang
dipasang secara rapat juga berfungsi agar binatang pengerat yang berusaha
memakan hasil panen tidak dapat masuk ke atap tempat penyimpanan hasil
panen. Bagian badan yang seperti bale bengong dibuat terbuka agar pemilik
rumah dapat bersantai bersama dengan keluarganya dimana angin akan dapat
terasa sejuk bagi orang-orang yang sedang beristirahat di Jineng.
Sumber yang sama menyebutkan, pengunaan bahan baku dari kayu dan
bambu juga disesuaikan berdasarkan tanaman yang mudah ditemukan di Bali,
selain itu penggunaan kayu juga merupakan aspek pelestarian yang dijaga
penggunaannya oleh masyarakat setempat dan memberikan daya tarik bagi
wisatawan yang juga merupakan ciri khas bangunan Jinengnya dengan atap
yang terbuat dari Bambu. Namun, karena belakangan terakhir bahan-bahan
yang digunakan di atas semakin menipis seperti alang-alang, atap Jineng
menggunakan genteng sebagai pengganti alang-alang untuk penutup atapnya.

Gambar 2.3 Perbedaan Jenis Bahan Penutup Atap pada Jineng


Sumber: goolge image
Gambar 2.4 Aksonometri
Jineng
Sumber: goolge image

Gambar 2.5 Potongan Memanjang Jineng


Sumber: goolge image

Arsitektur 1
Bali 3 0
Gambar 2.6 Potongan
Memendek Jineng
Sumber: goolge
image

Arsitektur 1
Bali 3 0
2.3 Villa
Villa merupakan sebuah fasilitas tempat tinggal sementara yang
biasanya terletak di daerah yang berhawa sejuk, misalnya seperti di
pegunungan, dataran tinggi, maupun pinggiran kota. Villa juga seringkali
didefinisikan sebagai sebuah rumah hunian milik perorangan yang terletak
jauh dari keramaian. Villa dibangun di tempat yang relatif tidak padat
penduduknya dengan kontur alam yang masih alami untuk memberikan
ketenangan pada penghuninya. Idealnya, villa ditinggali pada akhir pekan
atau musim liburan sebagai sarana penunjang liburan. Villa pada umumnya
menyediakan berbagai fasilitas hiburan seperti taman bunga yang indah, area
bermain anak, danau atau kolam pemancingan, fasilitas olahraga, serta
berbagai sarana rekreasi lainnya. Villa juga dilengkapi dengan peralatan dan
fasilitas penunjang kegiatan sehari-hari layaknya di rumah Anda sendiri. Villa
banyak dibangun di daerah puncak dan kawasan pegunungan lainnya di
Indonesia yang memiliki iklim sejuk namun tetap dapat diakses dengan
mudah menggunakan kendaraan pribadi.

Gambar 2.7 Villa Halcyon di Jimbaran


Sumber: dokumen pribadi

Arsitektur 11
Bali 3
BAB III
METODE PENULISAN

3.1 Metode Penulisan


Adapun metode penulisan yang digunakan adalah:
3.1.1 Jenis Penulisan
Jenis penulisan yang digunakan adalah jenis penulisan deskriptif
kualitatif, yaitu menggunakan metode studi pustaka dengan mengkaji
dan menerapkannya pada desain yang telah dipilih yaitu villa.

3.1.2 Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah sebagai studi
pustaka dengan mencari literatur-literatur, pustaka, atau artikel-artikel
yang terkait dengan hotel dan lahan berkontur miring, baik dari buku
ataupun sumber internet.

3.1.3 Teknik Analisis Data


Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik
deskriptif kualitatif dan diterapkan pada desain bangunan villa.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Alasan menjadikan pohon kelapa sebagai analogi dari bangunan Jineng
Dunia arsitektur tidak terlepas dari yang namanya kreativitas.
Berangkat dari kreativitas tersebut ada banyak cara yang diterapkan dan
dilakukan untuk membuat ide-ide dan hal baru yang dalam hal ini adalah
desain. Teori analogi merupakan salah satu metodenya. Kembali kepada
pengertian teori analogi di mana metode ini dapat memunculkan desain-
desain baru dengan mengidentifikasi hubungan harafiah yang memungkinkan
di antara dua benda yang berbeda. Singkatnya, analogi itu meniru sebuah
konsep atau filosofi dari suatu hal untuk diterapkan di benda atau desain yang
akan dibuat selanjutnya. Salah satu contohnya adalah menganalogikan Jineng
sebagai pohon kelapa. Pohon kelapa dijadikan sebagai analaogi dari
bangunan Jineng dilihat dari segi fungsi, kegunaan dan perwujudan fisiknya.

A. Perwujudan Fisik
Dari segi perwujudan fisik, pohon kelapa merujuk kepada tiga bagian
utama yang dimiliki tumbuhan, dimana pohon kelapa sebagaimana tumbuhan
terdiri dari tiga bagian yaitu:

Gambar 4.1 Representasi Pohon


Kelapa pada Kaki, Badan, dan
Kepala
Sumber: dokumen pribadi
Akar
Akar adalah bagian pangkal dari batang pohon kelapa yang berada
di dalam tanah dan tumbuh menuju pusat bumi. Akar memiliki fungsi
sebagai jangkar untuk menyokong dan menopang seluruh bagian dari
pohon kelapa itu sendiri. Akar ini merepresentasikan bagian kaki.
Batang
Batang merupakan bagian kedua dari organ tumbuhan setelah
akar. Batang bersatu dengan akar. Batang adalah sumbu tumbuhan,
tempat semua organ lain bertumpu dan tumbuh seperti daun dan akar di
mana batang ini merepresentasikan bagian badan.
Daun, buah
Daun dan buah ini berada pada bagian paling atas dari pohon
kelapa di mana daun berfungsi sebagai alat untuk berespirasi atau
dikenal dengan fotosintesis dan buah sebagai tempat menyimpan
cadangan makanan pohon kelapa. Daun dan buah ini merepresentasikan
bagian kepala karena letaknya yang paling atas.

Melihat dari hubungan pohon kelapa dengan akar, batang, dan daun
serta buahnya sebagai representasi kepala, badan, dan kaki tersebut, dapat
dianalogikan dengan wujud fisik Jineng yang dalam hal ini tertuang dalam
konsep Tri Angga. Jineng sendiri merupakan salah satu bangunan Arsitektur
Tradisional Bali yang memiliki konsep ruang yang disebut Tri Angga.
Menurut buku Arsitektur Tradisional Bali karya Ngakan Ketut Achwin
Dwijendra , Tri Angga memiliki arti, Tri berarti tiga dan Angga berarti badan
di mana Tri Angga lebih menekankan pada tiga nilai fisik yaitu:
Utama Angga (kepala)
Madya Angga (badan), dan
Nista Angga (kaki)
Pada Jineng sendiri pembagian wujud fisik Tri Angga dilihat dari tiga
bagian yang terdapat pada Jineng. Pembagian tersebut adalah:
Gambar 4.2 Jineng dengan Konsepsi Tri Angga
Sumber: dokumen pribadi

Pondasi
Nista Angga yang dalam hal ini merupakan kaki direpresentasikan
ke dalam pondasi. Pondasi pada Jineng berfungsi sebagai pondasi
bangunan pada umumnya yang bertujuan untuk menerima semua beban
pada bangunan dan menyalurkannya ke tanah.
Sesaka
Madya Angga atau badan, pada Jineng direpresentasikan pada
Bale Bengong dan Sesakanya. Di mana pada bagian ini Sesaka
berfungsi untuk penerus beban ke dalam pondasi.

Atap
Utama Angga atau kepala, pada Jineng direpresentasikan pada
Atap. Pada bagian atap ini selain berfungsi untuk melindungi bagian
yang di bawahnya, juga terdapat tempat untuk menyimpan hasil panen
petani.

B. Fungsi dan Kegunaan


Dari segi fungsi dan kegunaanya, pohon kelapa merujuk kepada sumber
daya utama dan tambahan yang dihasilkannya. Dalam hal ini, sumber daya
utama yang dihasilkan ialah buah dan daun yang sering dimanfaatkan oleh
manusia yang terdapat pada bagian atas atau sebagai representasi dari kepala
dan sumber daya tambahan yaitu kayunya yang biasa disebut sebagai kayu
seseh sebagai salah satu bahan bangunan yang terdapat pada bagian badan.
Fungsi dan kegunaan dari pohon kelapa ini juga dianalogikan pada fungsi dan
kegunaan dari Jineng dimana Jineng sendiri juga memiliki fungsi dan
kegunaan utama dan tambahan. Fungsi dari Jineng itu sebelumnya sudah
dijelaskan pada landasan teori yaitu sebagai tempat (lumbung) untuk
menyimpan hasil panen para petani. Lumbung ini terletak pada bagian atas
yang dalam hal ini adalah representasi dari Utama Angga atau kepala. Selain
fungsi untuk menyimpan hasil panen, Jineng juga memiliki fungsi tambahan
di mana pada bagian Madya Mandala nya terdapat sebuah Bale Bengong
yang berfungsi sebagai tempat untuk berkumpul, mejejaitan, dan hal-hal lain
yang bisa dikerjakan dalam sebuah Bale Bengong.

Berdasarkan hubungan-hubungan di atas, dapat dikatakan bahwa


keberadaan pohon kelapa dapat dijadikan sebagai analogi dari Jineng yang
memiliki konsepsi Tri Angga (kaki, badan, kepala) yang juga memiliki fungsi
dan kegunaan utama maupun tambahan.

4.2 Implikasi dari pohon kelapa yang menjadi analogi dari Jineng pada desain dari
sebuah bangunan villa
Berdasarkan teori analogi pada poin 4.1 dikatakan bahwa Pohon kelapa
dijadikan sebagai analaogi dari bangunan Jineng dilihat dari segi fungsi,
kegunaan dan perwujudan fisiknya. Dari hal tersebut, terdapat implikasi
dalam mendisain sebuah bangunan villa.
A. Fungsi dan Kegunaan
Ditinjau dari segi fungsi dan kegunaannya, pohon kelapa memiliki
fungsi yang beraneka ragam. Namun, fungsi dan kegunaan utamanya
ditekankan pada bagian atas dari pohon kelapa tersebut. Sedangkan fungsi
lainnya berada di bagian bawah dari pohon kelapa tersebut, dimana bagian
bawah yang dimaksud ialah bagian batang.
Berdasarkan hal tersebut, desain dari sebuah bangunan villa
nantinya akan memiliki fungsi utama yang berupa ruang tidur sebagai
tempat beristirahat akan berada pada bagian bangunan atas yaitu lantai
dua.
Kemudian pada bagian bawahnya akan terdapat fungsi lainnya seperti dapur
dan ruang tamu atau ruang keluarga.
B. Perwujudan Fisik
Pohon kelapa memiliki perwujudan fisik yang dibagi menjadi tiga
bagian. Tiga bagian tersebut adalah bagian kepala yang merupakan daun
dan buah, bagian badan yang merupakan batang pohon kelapa, serta
bagian kaki yang merupakan akar dari pohon kelapa.
Dari perwujudan fisik tersebut, desain bangunan villa yang akan
dibangun nantinya akan merepresentasikan dari perwujudan-perwujudan
fisik pohon kelapa, yakni kepala, badan dan kaki. Dalam ilmu arsitektur
Tradisional Bali, perwujudan fisik berupa kepala-badan-kaki disebut
konsep tri angga. Dimana, disain bangunan villa ini nantinya akan
memiliki
kepala yang merepresentasikan atap, yang berfungsi untuk melindungi
bagian bawah bangunan, badan yang merepresentasikan dinding, kolom,
dan saka yang berfungsi sebagai penopang atap dan sebagai penghantar
beban bangunan menuju ke bagian bawah, serta kaki yang
merepresentasikan bebaturan dan pondasi yang berfungsi sebagai
penyangga sebuah bangunan serta meneruskan beban bangunan dari
kolom atau dinding menuju ke tanah.
BAB V

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan pembahasan di atas adalah
dalam menerapkan konsepsi nilai-nilai Arsitektur Tradisional Bali yang
berkembang pada masa kini, tidak harus menggunakan atau mengadopsi
bentuk aslinya namun juga dapat dilakukan dengan cara menggunakan teori
analogi, yaitu mengumpamakan sesuatu yang mempunyai kesamaan,
persesuaian, kemiripan, keserupaan, kesejajaran, kesejalanan, antara dua
benda tetapi memiliki asal usul yang berlainan. Berdasarkan teori analogi,
bangunan arsitektur tradisional bali yang salah satunya bangunan Jineng
dapat dianalogikan sebagai sebuah pohon kelapa karena memiliki konsep
yang sama seperti Jineng. Kesamaan yang mendasari bahwa pohon kelapa
dapat dianalogikan dengan Jineng adalah konsep perwujudan fisik (Tri
Angga) dan kesamaan fungsi yang dimilikinya. Hal ini juga dapat
dianalogikan pada sebuah desain baru yaitu sebuah villa yang tentu saja
menggunakan analogi dari pohon kelapa dan Jineng.

1.2 Saran
Sebagai calon arsitek, dalam proses perancangan sudah seharusnya
arsitek dapat memberikan filosofi ataupun makna kedalam sebuah bangunan
baik itu bangunan dengan gaya arsitektur Tradisional Bali ataupun gaya
lainnya. Karena tugas utama dari seorang arsitek adalah sebagai perancang.
Adapun tujuan dari adanya landasan, filosofi dan konsep dari sebuah proses
perancangan adalah untuk menghidupkan atau memberikan jiwa bagi
bangunan yang akan didirikan.

Arsitektur 2
Bali 3 0
DAFTAR PUSTAKA

Gelebet, I Nyoman. 1982. Arsitektur Tradisional Bali. Bali: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. 2010. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Bali :
Udayana University Press.
Synder, James C. dan Catanese, Anthony J. 1991. Pengantar Arsitektur. Jakarta :
Erlangga.
. 2011. Mengenal Bangunan Jineng Bali. Tersedia dalam
http://www.imagebali.net/detail-artikel/73-mengenal-bangunan-Jineng-
bali.php (diakses tanggal 25 Maret 2016).

Febriyanthi, Ayu. 2012. Analisis Bangunan Berdasarkan Fungsi Arsitektur


Building Task. Tersedia dalam
http://luhgedeayufebriyanthi.blogspot.co.id/2012/06/analisis-bangunan-
berdasarkan-fungsi.html (diakses tanggal 25 Maret 2016).

. 2016. Villa. Tersedia dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Villa


(diakses tanggal 25 Maret 2016).

Arsitektur 2
Bali 3 1

Anda mungkin juga menyukai