'Dokumen - Tips Pengawasan Mutu Produk Panganmakanan
'Dokumen - Tips Pengawasan Mutu Produk Panganmakanan
Disusun guna Melengkapi Tugas dalam Mata Kuliah Pengawasan Mutu Makanan
Oleh:
Kelompok 2
2013
Kata Pengantar
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan anugerah yang telah
diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah Pengawasan Mutu Produk
Pangan/Makanan ini. Shalawat serta salam ditujukan bagi Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan
sahabatnya.
Tugas makalah ini diajukan guna melengkapi Tugas yang diberikan dalam Mata Kuliah
Pengawasan Mutu Makanan pada semester 5 ini. Lebih daripada itu, tujuan penulisan makalah ini guna
untuk memperdalam pengetahuan serta memahami fungsi tatacara produksi dan pengawasan mutu pangan
dalam setiap tahapan proses (Quality Assurance).
Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada seluruh pihak yang telah
memberikan bantuan dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan
makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini globalisasi telah menjangkau berbagai aspek kehidupan. Sebagai akibatnya
persainganpun semakin tajam. Dunia bisnis sebagai salah satu bagiannya juga mengalami hal yang sama.
Perusahaan-perusahaan yang dahulu bersaing hanya pada tingkat local atau regional, kini harus pula
bersaing dengan perusahaan dari seluruh dunia. Hanya perusahaan yang mampu menghasilkan barang
atau jasa berkualitas kelas dunia yang dapat bersaing dalam pasar global.
Demikian halnya perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang produksi pangan, apabila ingin
memiliki keunggulan dalam skala global, maka perusahaan-perusahaan tersebut harus mampu melakukan
setiap pekerjaan secara lebih baik dalam rangka menghasilkan produk pangan berkualitas tinggi dengan
harga yang wajar dan bersaing. Hal ini berarti agar perusahan atau industri pangan mampu bersaing
secara global diperlukan kemampuan mewujudkan produk pangan yang memiliki sifat aman (tidak
membahayakan), sehat dan bermanfaat bagi konsumen.
BAB II
ISI
Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan tanggung jawab
bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini sudah harus memulai mengantisipasinya
dengan implementasi sistem mutu pangan. Karena di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau
tidak mau sudah harus mampu bersaing dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain
yang telah mapan dalam sistem mutunya. Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah
terjaminnya pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi
kesehatan.
Dari jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar 9,08% 10,23% pangan yang tidak
memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut umumnya dibuat menggunakan bahan tambahan pangan
yang dilarang atau melebihi batas penggunaan: merupakan pangan yang tercemar bahan kimia atau
mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi
serta makanan impor yang tidak sesuai persyaratan. Dari sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat
yang tidak memenuhi persyaratan bahan pangan adalah sekitar 7,82% 8,75%. Penggunaan bahan
tambahan makanan pada makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan karena
jumlah yang diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan. Pengujian pada minuman jajanan
anak sekolah di 27 propinsi ditemukan hanya sekitar 18,2% contoh yang memenuhi persyaratan
penggunaan BTP, terutama untuk zat pewarna, pengawet dan pemanis yang digunakan sebanyak 25,5%
contoh minuman mengandung sakarin dan 70,6% mengandung siklamat.
1. Pewarna berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan terutama pada
produk sirop, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam
goreng dan cendol). Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02% menggunakan pewarna
terlarang.
2. Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat dan sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan.
Sebanyak 61,28% dari contoh makanan jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis buatan
Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap keamanan
pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan teknologi produksi berwawasan
lingkungan yang belum sepenuhnya oleh produsen primer, penerapan Good Handling Pratice (GHP)
dan Good Manufacturing Pratice (GMP) serta Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang
masih jauh dari standar oleh produsen/pengolah makanan berskala kecil dan rumah tangga.
Pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga menengah dan
besar menemukan sekitar 33,15% 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi.
Sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan (TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah
makan dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan
hanya sekitar 15,31% dari rumah makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi grade
A, B dan C. Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau skala besar.
Selain itu, masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan
tercermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang
aman dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak sesuai informasi yang
tercantum pada label maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat
mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan.
Untuk itu, kesadaran semua pihak untuk meningkatkan manajemen mutu dan keamanan pangan
sangatlah penting. Tidak bisa hanya menyerahkan tanggung jawab kepada pemerintah atau pihak
produsen saja akn tetapi semua pihak termasuk konsumen punya andil cukup penting dalam
meningkatkan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan di Indonesia.
Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai
peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan tujuan industri untuk memenuhi
permintaan konsumen. Teknologi pangan diharapkan berperan dalam perancangan produk, pengawasan
bahan baku, pengolahan, tindak pengawetan yang diperlukan, pengemasan, penyimpanan, dan distribusi
produk sampai ke konsumen. Industri pangan merupakan industri yang mengolah hasilhasil pertanian
sampai menjadi produk yang siap dikonsumsi oleh masyarakat. Oleh karena itu, industri pangan lebih
berkiprah pada bagian hilir dari proses pembuatan produk tersebut. Menurut Wirakartakusumah dan Syah
(1990), fungsi utama suatu industri pangan adalah untuk menyelamatkan, menyebarluaskan, dan
meningkatkan nilai tambah produkproduk hasil pertanian secara efektif dan efisien.
Wirakartakusumah dan Syah (1990) menyatakan bahwa industri pangan di Indonesia secara umum
dibagi menjadi industri kecil dan industri besar. Indstri pangan kecil biasanya masih menggunakan cara
cara tradisional dan bersifat padat karya, sedangkan industri pangan besar lebih modern dan padat modal.
Pada garis besarnya, aspekaspek yang harus diperhatikan dalam industri pangan adalah aspek teknologi,
penyebaran lokasi, penyerapan tenaga kerja, produksi, ekspor dan peningkatan mutu. Peran serta
teknologi harus selalu didampingi kajian ekonomis yang terkait dengan faktor mutu. Walaupun faktor
mutu akan menambah biaya produksi, peningkatan biaya mutu diimbangi dengan peningkatan
penerimaan oleh konsumen. Di samping dapat menimbulkan citra yang baik dari konsumen, pengendalian
mutu yang efektif akan mengurangi tingkat resiko rusak atau susut.
Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa adanya kelemahan dalam hal pengawasan mutu
industri pangan dapat berakibat fatal terhadap kesehatan konsumen dan kelangsungan industri pangan
yang bersangkutan. Contohnya, seperti kasus biskuit beracun pada tahun 1989. Akibat ketedoran tersebut,
perusahaan yang bersangkutan harus ditutup. Penolakan beberapa jenis makanan olahan yang diekspor ke
luar negeri juga menunjukkan bahwa pengawasan mutu masih belum dilaksanakan dengan baik. Oleh
karena itu, perkembangan teknologi yang pesat diikuti dengan pertumbuhan industri yang cepat harus
didukung oleh sistem pengawasan mutu yang baik.
B. Konsep Mutu
Penerapan kosep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan penafsiran yang beragam.
Kramer dan Twigg (1983) menyatakan bahwa mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai
secara organoleptik (warna, tekstur, rasa dan bau). Hal ini digunakan konsumen untuk memilih produk
secara total. Gatchallan (1989) dalam Hubeis (1994) berpendapat bahwa mutu dianggap sebagai derajat
penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang (seragam atau konsisten dalam standar
dan spesifikasi), terutama sifat organoleptiknya. Juran (1974) dalam Hubeis (1994) menilai mutu sebagai
kepuasan (kebutuhan dan harga) yang didapatkan konsumen dari integritas produk yang dihasilkan
produsen. Menurut Fardiaz (1997), mutu berdasarkan ISO/DIS 84021992 didefinsilkan sebagai
karakteristik menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk, kegiatan, proses, organisasi atau manusia,
yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan.
Kramer dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua kelompok,
yaitu:
(1) Karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika
yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip
(2) Karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Berdasarkan karakteristik
tersebut, profil produk pangan umumnya ditentukan oleh ciri organoleptik kritis, misalnya kerenyahan
pada keripik. Namun, ciri organoleptik lainnya seperti bau, aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan.
Pada produk pangan, pemenuhan spesifikasi dan fungsi produk yang bersangkutan dilakukan menurut
standar estetika (warna, rasa, bau, dan kejernihan), kimiawi (mineral, logamlogam berat dan bahan
kimia yang ada dalam bahan pangan), dan mikrobiologi ( tidak mengandung bakteri Eschericia coli dan
patogen).
Kadarisman (1996) berpendapat bahwa mutu harus dirancang dan dibentuk ke dalam produk.
Kesadaran mutu harus dimulai pada tahap sangat awal, yaitu gagasan konsep produk, setelah persyaratan
persyaratan konsumen diidentifikasi. Kesadaran upaya membangun mutu ini harus dilanjutkan melalui
berbagai tahap pengembangan dan produksi, bahkan setelah pengiriman produk kepada konsumen untuk
memperoleh umpan balik. Hal ini karena upayaupaya perusahaan terhadap peningkatan mutu produk
lebih sering mengarah kepada kegiatankegiatan inspeksi serta memperbaiki cacat dan kegagalan selama
proses produksi.
CARA PRODUKSI PANGAN BAIK (CPPB)
Dewasa ini, kesadaran konsumen pada pangan adalah memberikan perhatian terhadap nilai gizi
dan keamanan pangan yang dikonsumsi. Faktor keamanan pangan berkaitan dengan tercemar tidaknya
pangan oleh cemaran mikrobiologis, logam berat, dan bahan kimia yang membahayakan kesehatan.
Untuk dapat memproduksi pangan yang bermutu baik dan aman bagi kesehatan, tidak cukup hanya
mengandalkan pengujian akhir di laboratorium saja, tetapi juga diperlukan adanya penerapan sistem
jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan, atau penerapan sistem produksi pangan yang
baik (GMP- Good Manufacturing Practices) dan penerapan analisis bahaya dan titik kendali kritis
(HACCP- Hazard Analysis and Critical Control Point).
Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau Good Manufacturing Practices (GMP) adalah
suatu pedoman cara berproduksi makanan yang bertujuan agar produsen memenuhi persyaratan
persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu dan sesuai dengan
tuntutan konsumen. Dengan menerapkan CPMB diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan produk
makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen
lokal tetapi juga konsumen global (Fardiaz, 1997).
Menurut Fardiaz (1997), dua hal yang berkaitan dengan penerapan CPMB di industri pangan
adalah CCP dan HACCP. Critical Control Point (CCP) atau Titik Kendali Kritis adalah setiap titik, tahap
atau prosedur dalam suatu sistem produksi makanan yang jika tidak terkendali dapat menimbulkan resiko
kesehatan yang tidak diinginkan. CCP diterapkan pada setiap tahap proses mulai dari produksi,
pertumbuhan dan pemanenan, penerimaan dan penanganan ingredien, pengolahan, pengemasan, distribusi
sampai dikonsumsi oleh konsumen. Limit kritis (critical limit) adalah toleransi yang ditetapkan dan harus
dipenuhi untuk menjamin bahwa suatu CCP secara efektif dapat mengendalikan bahaya mikrobiologis,
kimia maupun fisik. Limit kritis pada CCP menunjukkan batas keamanan. Hubeis (1997) berpendapat
bahwa penerapan GMP dan HACCP merupakan implementasi dari jaminan mutu pangan sehingga dapat
dihasilkan produksi yang tinggi dan bermutu oleh produsen yang pada akhirnya akan menciptakan
kepuasan bagi konsumen.
a. Latar Belakang
Istilah GMP di dunia industri pangan khususnya di Indonesia sesungguhnya telah diperkenalkan oleh
Kementerian Kesehatan RI sejak tahun 1978 melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
23/MEN.KES/SKJI/1978 tentang Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB). Persyaratan
GMP sendiri sebenarnya merupakan regulasi atau peraturan system mutu (Quality System Regulation)
yang diumumkan secara resmi dalam Peraturan Pemerintah Federral Amerika Serikat No. 520 (Section
520 of Food, Drug and Cosmetics (FD&C) Act). Peraturan sistim mutu ini termuat dalam Title 21 Part
820 of the Code of Federal Regulation), (21CFR820), tahun 1970 dan telah direvisi tahun 1980.
Di Indonesia GMP ini dikenal dengan istilah Cara Produksi Makanan yang Baik (Cara Pembuatan
Makanan yang Baik) yang diwujudkan dalam Peraturan Pemerintah. Penerapan GMP atau CPMB akan
dapat membantu jajaran manajemen untuk membangun suatu system jaminan mutu yang baik. Jaminan
mutu sendiri tidak hanya berkaitan dengan masalah pemeriksaan (inspection) dan pengendalian (control)
namun juga menetapkan standar mutu produk yang sudah harus dilaksanakan sejak tahap perancangan
produk (product design) sampai produk tersebut didistribusikan kepada konsumen.
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 maka penerapan standar
mutu untuk produk pangan dan mutu di dalam proses produksi telah menjadi suatu kewajiban
(mandatory) yang harus dijalankan oleh para produsen pangan. Dalam UU pangan No.7 Tahun 1996,
Bab II tentang Keamanan Pangan secara tegas telah diatur bahwa produsen produk pangan harus mampu
untuk memenuhi berbagai persyaratan produksi sehingga dapat memberikan jaminan dihasilkannya
produk pangan yang aman dan bermutu bagi konsumen. Hal ini menjadi penting karena akan berdampak
pada keselamatan konsumen pribadi dan keselamatan masyarakat umum dan juga penting bagi produsen,
terutama untuk melindungi pasarnya dan terpeliharanya kepercayaan konsumen dan target
penjualan/keuntungan yang ingin dicapai.
Jaminan mutu bukan hanya menyangkut masalah metode tetapi juga merupakan sikap tindakan
pencegahan terjadinya kesalahan dengan cara bertindak tepat sedini mungkin oleh setiap orang baik yang
berada di dalam maupun di luar bidang produksi. Penerapan jaminan mutu pangan harus di dukung oleh
penerapan GMP dan HACCP sebagai system pengganti prosedur inspeksi tradisional yang mendeteksi
adanya cacat dan bahaya dalam suatu produk pangan setelah produk selesai diproses. GMP menetapkan
KRITERIA (istilah umum, persyaratan bangunan dan fasilitas lain, peralatan serta control
terhadap proses produksi dan proses pengolahan), STANDAR (Spesifikasi bahan baku dan
produk, komposisi produk) dan KONDISI (parameter proses pengolahan) untuk menghasilkan
produk mutu yang baik. Sedangkan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points)
memfokuskan perhatian terhadap masalah pengawasan dan pengendalian keamanan pangan
melalui identifikasi, analisis dan pemantauan terhadap titik-titik kritis pada keseluruhan bahan
yang digunakan dan tahapan proses pengolahan yang dicurigai akan dapat menimbulkan bahaya
bagi konsumen.
Lokasi:
1. Terletak di bagian perifer kota, tidak berada di lokasi padat penduduk
2. Terletak di bagian yang lebih rendah dari pemukiman
3. Tidak menimbulkan gangguan pencemaran terhadap lingkungan
4. Tidak berada dekat industry logam dan kimia
5. Bebas banjir dan polusi asap, debu, bau dan kontaminan lainnya
c. Peralatan pengolahan
1. Alat yang kontak langsung dengan produk harus terbuat dari bahan tidak toksik, tidak
mudah korosif, mudah dibersihkan dan mudah didesinfektasi sehingga mudah dilakukan
perawatan.
2. Letak penempatannya disusun sesuai dengan alur proses, dilengkapi dengan petunjuk
penggunaan dan program sanitasi
f. Hygiene Karyawan
1. Persyaratan kesehatan karyawan
2. Pemeriksaan rutin kesehatan karyawan
3. Pelatihan hygiene karyawan
4. Peraturan kebersihan karyawan (petunjuk, peringatan, larangan, dll)
g. Pengendalian proses
a. Pengendalian pre-produksi
b. Menetapkan persyaratan
Dalam pedoman penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing
practice (GMP) digunakan istilah keamanan pangan dan kelayakan untuk dikonsumsi. Yang
dimaksud dengan kemanan makanan adalah kondisi yang menjamin bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak mengandung bahan berbahaya yang dapat mengakibatkan timbulnya penyakit, keracunan atau
kecelakaan yang merugikan konsumen. Kelayakan untuk dikonsumsi adalah kondisi yang menjamin
bahwa makanan yang dikonsumsi secara normal tidak mengalami kerusakan, berbau busuk, menjijikkan,
kotor, tercemar atau terurai (Dirjen POM, 1996).
Walaupun undang-undang tentang kemanan pangan telah diterbitkan, namun kesadaran para
produsen makanan masih rendah. Instansi terkait yang menangani masalah pangan belum menunjukkan
hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, dalam pencegahan terjadinya keracunan makanan, perlu
ditingkatkan kerja sama melalui suatu system yang mudah dalam pelaksanaan.
Beberapa pendekatan yang digunakan sebagai upaya nyata untuk meningkatkan kemanan pangan, antara
lain dapat dilakukan dengan:
1. Penerapan good manufacturing practice (GMP) dapat dimodifikasi melalui 3 (tiga) katagori hasil
pemeriksaan sarana produksi (Dirjen POM, 1996), yaitu:
a. Baik/aman
b. Cukup aman
c. Kurang aman
2. Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB)
Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB) merupakan salah satu faktor yang penting untuk
memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan untuk pangan. CPPB sangat berguna
bagi kelangsungan hidup industry pangan baik yang berskala kecil sedang maupun yang berskala
besar. Melalui CPPB ini industry pangan dapat menghasilkan pangan yang bermutu, layak
dikonsumsi, dan aman bagi kesehatan. Dengan menghasilkan pangan yang bermutu dan aman
untuk dikonsumsi, kepercayaan masyarakat niscaya akan meningkat, dan industry pangan yang
bersangkutan akan berkembang pesat. Dengan berkembangnya industry pangan yang
menghasilkan pangan yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi, maka masyarakat pada
umumnya akan terlindung dari penyimpangan mutu pangan dan bahaya yang mengancam
kesehatan.
a. Ruang Lingkup
1. Cara Produksi Pangan Yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT) ini
menjelaskan persyaratan-persyaratan yang arus dipenuhi tentang penanganan bahan pangan
di seluruh mata rantai produksi pangan mulai bahan baku sampai produk akhir.
2. Pedoman CPPB-IRT ini berlaku bagi semua IRT yang berada di wilayah Republik
Indonesia.
b. Pengertian
1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai pangan bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses
persiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
2. Aman untuk dikonsumsi adalah pangan tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang dapat
membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia misalnya bahan yang dapat
menimbulkan penyakit atau keracunan.
3. Layak untuk dikonsumsi adalah pangan tersebut keadaannya normal tidak menyimpang
seperti busuk, kotor, menjijikkan, dan penyimpangan lainnya.
4. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan fisik yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia.
5. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah,
membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan.
6. Cara Produksi Pangan Yang Baik adalah suatu pedoman yang menjelaskan bagaimana
memproduksi pangan agar bermutu, aman dan layak untuk dikonsumsi.
7. Hygiene pangan adalah kondisi dan perlakuan yang diperlukan untuk menjamin kemanan
pangan di semua tahap rantai pangan.
8. Sanitasi Pangan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertambah dan
berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan pathogen dalam pangan, peralatan dan
bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia.
9. Industry rumah tangga (IRT) adalah perusahaan pengan yang memiliki tempat usaha di
tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis.
c. Cara Produksi Pangan Yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT)
1. Lingkungan produksi
Untuk menetapkan lokasi IRT perlu dipertimbangkan keadaan dan kondisi lingkungan yang
mungkin dapat merupakan sumber pencemaran potensial dan telah mempertimbangkan
berbagai tindakan pencegahan yang mungkin dapat dilakukan untuk melindungi pangan yang
diproduksinya.
a. Lokasi IRT:
IRT harus berada di tempat yang:
- Bebas pencemaran, semak belukar, dan genangan air.
- Bebas dari serangan hama, khususnya serangga dan binatang pengerat
- Tidak berada di daerah sekitar tempat pembuangan sampah, baik sampah padat
maupun sampah cair atau daerah penumpukan barang bekas, dan daerah kotor
lainnya.
- IRT tidak berada di daerah pemukiman penduduk yang kumuh.
b. Lingkungan
Lingkungan harus selalu dipertahankan dalam keadaan bersih dengan cara-cara sebagai
berikut:
- Sampah harus dibuang dan tidak menumpuk
- Tempat sampah harus selalu ditutup
- Jalan dipelihara supaya tidak berdebu dan selokannya berfungsi dengan baik
a. Ruang Produksi
1. Desain dan Tata Letak
Ruang produksi seharusnya cukup luas dan mudah dibersihkan.
2. Lantai
- Lantai seharusnya dibuat dari bahan kedap air, rata, halus, tetapi tidak licin, kuat, dan
mudah dibersihkan, dan dibuat miring untuk memudahkan aliran air.
- Lantai harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, lendir, dan kotoran lainnya.
3. Dinding
- Dinding seharusnya dibuat dari bahan kedap air, rata, halus, berwarna terang, tahan lama,
tidak mudah mengelupas, kuat dan mudah dibersihkan.
- Dinding harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, lendir, dan kotoran lainnya.
4. Langit-langit
- Konstruksi langit-langit seharusnya di design dengan baik untuk mencegah penumpukan
debu, pertumbuhan jamur, pengelupasan, bersarangnya hama, memperkecil terjadinya
kondensasi serta terbuat dari bahan tahan lama, dan mudah dibersihkan.
- Langit-langit harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, sarang laba-laba dan kotoran
lainnya.
5. Pintu, Jendela dan Lubang Angin
- Pintu dan jendela seharusnya dibuat dari bahan tahan lama, tidak mudah pecah, rata,
halus, berwarna terang, dan mudah dibersihkan.
- Pintu, jendela dan lubang angina seharusnya dilengkapi dengan kawat kasa yang dapat
dilepas untuk memudahkan perawatan dan pembersihan.
- Pintu seharusnya di design membuka ke luar/ke samping sehingga debu atau kotoran lain
tidak terbawa masuk melalui udara ke dalam ruang pengolahan.
- Pintu seharusnya dapat ditutup dengan baik dan selalu dalam keadaan tertutup.
- Lubang angin harus cukup sehingga udara segar selalu mengalir di ruang produksi.
- Lubang angin harus selalu dalam keadaan bersih, tidak berdebu, dan tidak dipenuhi
sarang laba-laba.
6. Kelengkapan Ruang Produksi
- Ruang produksi seharusnya cukup terang sehingga karyawan dapat mengerjakan
tugasnya dengan teliti.
- Di ruang produksi seharusnya ada tempat untuk mencuci tangan yang selalu dalam
keadaan bersih serta dilengkapi dengan sabun dan pengeringnya.
- Di ruang produksi harus tersedia perlengkapan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan
(PPPK).
7. Tempat Penyimpanan
- Tempat penyimpanan bahan pangan termasuk bumbu dan bahan tambahan pangan (BTP)
seharusnya terpisah dengan produk akhir.
- Tempat penyimpanan khusus harus tersedia untuk menyimpan bahan-bahan bukan
pangan seperti bahan pencuci, pelumas, dan oil.
- Tempat penyimpanan harus mudah dibersihkan dan bebas dari hama seperti serangga,
binatang pengerat seperti tikus, burung, atau mikroba da nada sirkulasi udara.
3. Peralatan Produksi
Tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan
produksi yang kontak langsung dengan pangan seharusnya di desain, dikonstruksi dan diletakkan
sedemikian untuk menjamin mutu dan keamanan pangan yang dihasilkan.
a. Peralatan prosuksi seharusnya terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat, mudah dibongkar pasang
sehingga mudah dibersihkan
b. Permukaan yang kontak langsung dengan pangan seharusnya halus, tidak bercelah, tidak
mengelupas, dan tidak menyerap air.
c. Peralatan produksi harus diletakkan sesuai dengan urutan prosesnya sehingga memudahkan bekerja
dan mudah dibersihkan.
d. Semua peralatan seharusnya dipelihara agar berfungsi dengan baik dan selalu dalam keadaan bersih.
4. Suplai Air
Air yang digunakan selama proses produksi harus cukup dan memenuhi persyaratan kualitas air
bersih dan atau air minum.
a. Air yang digunakan harus air bersih dalam umlah yang cukup memenuhi seluruh kebutuhan proses
produksi.
b. Sumber dan pipa air untuk keperluan selain pengolahan pangan seharusnya terpisah dan diberi warna
ang berbeda.
c. Air yang kontak langsung dengan pangan sebelum diproses harus memenuhi persyaratan air bersih.
6. Pengendalian Hama
Hama (tikus, serangga, dll) merupakan pembawa cemaran biologis yang dapat menurunkan mutu
dan keamanan pangan. Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk mengurangi kemungkinan
masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan.
b. Pemberantasan hama
1. Hama harus diberantas dengan cara yang tidak mempengaruhi mutu dan keamanan pangan.
2. Pemberantasan hama dapat dilakukan secara fisik seperti perangkap tikus atau secara kimia
seperti dengan racun tikus.
3. Perlakuan dengan bahan kimia harus dilakukan dengan pertimbangan tidak mencemari pangan.
a. Kesehatan Karyawan
Karyawan yang bekerja di ruang produksi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Dalam keadaan sehat. Karyawan yang sakit atau baru sembuh dari sakit dan diduga masih
membawa penyakit tidak diperkenankan bekerja di pengolahan pangan.
2. Karyawan yang menunjukkan gejala atau sakit misalnya sakit kuning (virus hepatitis A), diare,
sakit perut, muntah, demam, sakit tenggorokan, sakit kulit (gatal, kudis, luka, dll), keluarnya
cairan dari telinga, sakit mata, dan atau pilek tidak diperkenankan mengolah pangan.
3. Karyawan harus diperiksa dan diawasi kesehatannya secara berkala.
b. Kebersihan Karyawan
1. Karyawan harus selalu menjaga kebersihan badannya.
2. Karyawan seharusnya mengenakan pakaian kerja/celemek lengkap dengan penutup kepala,
sarung tangan, dan sepatu kerja. Pakaian dan perlengkapannya hanya dipakai untuk bekerja.
3. Karyawan harus menutup luka dengan perban.
4. Karyawan harus selalu mencuci tangan sebelum memulai kegiatan mengolah pangan, sesudah
menangani bahan mentah, atau bahan yang kotor, dan sesudah keluar dari toilet atau jamban.
c. Kebiasaan Karyawan
Karyawa tidak boleh bekerja sambil mengunyah, makan dan minum, merokok, tidak boleh meludah,
tidak boleh bersin atau batuk ke arah pangan, tidak boleh mengenakan perhiasan seperti giwang,
cincin, gelang, kalung, arloji, dan peniti.
8. Pengendalian Proses
Untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi harus dikendalikan dengan
benar. Pengendalian proses produksi pangan industry rumah tangga dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
e. Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk,
tanggal produksi, tanggal kadaluarsa.
- Harus menentukan karakteristik produk pangan yang dihasilkan.
- Harus menentukan tanggal kadaluarsa.
- Harus mencatat tanggal produksi.
9. Label Pangan
Label pangan harus jelas dan informative untuk memudahkan konsumen memilih, meyimpan,
mengolah, dan mengkonsumsi pangan. Kode produksi pangan diperlukan untuk penarikan produk,
jika diperlukan.
a. Label pangan yang dihasilkan IRT harus memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah No.69 tahun
1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
b. Keterangan pada label sekurang-kurangnya:
- Nama produk
- Daftar bahan yang digunakan
- Berat bersih atau isi bersih
- Nama dan alamat pihak yang memproduksi
- Tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa
- Nomor Sertifikasi Produksi (P-IRT)
c. Kode produksi harus dicantumkan pada setiap label pangan.
10. Penyimpanan
Penyimpanan yang baik dapat menjamin mutu dan kemanan bahan dari produk pangan yang diolah.
Pengawasan mutu mencakup pengertian yang luas, meliputi aspek kebijaksanaan, standardisasi,
pengendalian, jaminan mutu, pembinaan mutu dan perundang-undangan (Soekarto, 1990). Hubeis (1997)
menyatakan bahwa pengendalian mutu pangan ditujukan untuk mengurangi kerusakan atau cacat pada
hasil produksi berdasarkan penyebab kerusakan tersebut. Hal ini dilakukan melalui perbaikan proses
produksi (menyusun batas dan derajat toleransi) yang dimulai dari tahap pengembangan, perencanaan,
produksi, pemasaran dan pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum
untuk memuaskan konsumen (persyaratan mutu) dengan menerapkan standardisasi perusahaan /industri
yang baku. Tiga kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian mutu yaitu, penetapan standar
(pengkelasan), penilaian kesesuaian dengan standar (inspeksi dan pengendalian), serta melakukan tindak
koreksi (prosedur uji).
Masalah jaminan mutu merupakan kunci penting dalam keberhasilan usaha. Menurut Hubeis (1997),
jaminan mutu merupakan sikap pencegahan terhadap terjadinya kesalahan dengan bertindak tepat sedini
mungkin oleh setiap orang yang berada di dalam maupun di luar bidang produksi. Jaminan mutu
didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang dapat dirasakan dan diukur), reliability (keandalan),
responsiveness (tanggap), assurancy (rasa aman dan percaya diri) dan empathy (keramahtamahan). Dalam
konteks pangan, jaminan mutu merupakan suatu program menyeluruh yang meliputi semua aspek
mengenai produk dan kondisi penanganan, pengolahan, pengemasan, distribusi dan penyimpanan produk
untuk menghasilkan produk dengan mutu terbaik dan menjamin produksi makanan secara aman dengan
produksi yang baik, sehingga jaminan mutu secara keseluruhan mencakup perencanaan sampai diperoleh
produk akhir.
Pengawasan mutu pangan juga mencakup penilaian pangan, yaitu kegiatan yang dilakukan
berdasarkan kemampuan alat indera. Cara ini disebut penilaian inderawi atau organoleptik. Di samping
menggunakan analisis mutu berdasarkan prinsip-prinsip ilmu yang makin canggih, pengawasan mutu
dalam industri pangan modern tetap mempertahankan penilaian secara inderawi/organoleptik. Nilai-nilai
kemanusiaan yaitu selera, sosial budaya dan kepercayaan, serta aspek perlindungan kesehatan konsumen
baik kesehatan fisik yang berhubungan dengan penyakit maupun kesehatan rohani yang berkaitan dengan
agama dan kepercayaan juga harus dipertimbangkan.
ITC (1991) dalam Hubeis (1994) menyatakan bahwa industri pangan sebagai bagian dari industri
berbasis pertanian yang didasarkan pada wawasan agribisnis memiliki mata rantai yang melibatkan
banyak pelaku, yaitu mulai dari produsen primer (pengangkutan) pengolah penyalur pengecer
konsumen. Pada masing-masing mata rantai tersebut diperlukan adanya pengendalian mutu (quality
control atau QC) yang berorientasi ke standar jaminan mutu (quality assurance atau QA) di tingkat
produsen sampai konsumen, kecuali inspeksi pada tahap pengangkutan dalam menuju pencapaian
pengelolaan kegiatan pengendalian mutu total (total quality control atau TQC) pada aspek rancangan,
produksi dan produktivitas serta pemasaran. Dengan kata lain permasalahan mutu bukan sekedar masalah
pengendalian mutu atas barang dan jasa yang dihasilkan atau standar mutu barang (product quality), tetapi
sudah bergerak ke arah penerapan dan penguasaan total quality management (TQM) yang
dimanifestasikan dalam bentuk pengakuan ISO seri 9000 (sertifikat mutu internasional), yaitu ISO-9000
s.d. ISO-9004, dan yang terbaru yaitu ISO 22000.
Sertifikat sebagai senjata untuk menembus pasar internasional merupakan sebuah dokumen yang
menyatakan suatu produk/jasa sesuai dengan persyaratan standar atau spesifikasi teknis tertentu (Jaelani,
1993 dalam Hubeis, 1994). Sertifikat yang diperlukan adalah yang diakui sebagai alat penjamin terhadap
dapat diterimanya suatu produk/jasa tersebut (Hubeis, 1997). Upaya ini sangat diperlukan karena
Indonesia menghadapi persaingan yang makin ketat dengan negara-negara lain yang menghasilkan barang
yang sama atau sejenis. Hal ini juga perlu disiapkan dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan
ASEAN sekarang ini dan di kawasan Asia Pasifik tahun 2019 yang akan datang, serta perubahan menuju
perdagangan global dan terjadinya regionalisasi seperti di Eropa dan Amerika Utara.
a. Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Dalam Sistem Mutu dan Keamanan Pangan
Untuk implementasi sistem mutu dan keamanan pangan nasional telah dilakukan analisis SWOT yang
mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi. Dari hasil analisis tersebut
ditetapkan kebijakan yang harus ditempuh, serta disusun strategi, program, dan kegiatan yang perlu
dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan untuk perdagangan domestik maupun global.
Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan nasional, yang menekankan pada penerapan
sistem jaminan mutu untuk setiap mata rantai dalam pengolahan pangan yaitu
GAP/GFP (GoodAgriculture/Farming Practices), GHP (Good Handling Practices), GMP(Good
Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices), GRP(Good Retailing Practices) dan
GCP (Good Cathering Practices).
Administrasi asuransi
-Biaya legalitas
Penuntutan konsumen
Tabel 3 Dampak penyimpangan mutu dan keamanan pangan terhadap pemerintah, industri
dan konsumen.
Konsep Implementasi Quality System dan Safety
- Keterbatasan infrastruktur
(laboratorium, peraturan,
pedoman, standar)
Secara teknis dalam rangka upaya mempertahankan kualitas produk pangan, dilakukan upaya-upaya
sebagai berikut:
Sistem mutu tertulis bukan sekedar merupakan sesuatu yang diinginkan saja tetapi harus
dikerjakan di lapangan. Sistem mutu terdiri dari manual, prosedur, instruksi kerja, format-format dan
record. Penulisan sistem mutu sebaiknya melibatkan semua karyawan karena mereka nantinya yang akan
mengerjakan dan hasil kerjanya mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan perusahaan.
2. Pengendalian Rancangan
Mutu produk sejak awal tergantung kepada rancangan produk tersebut. Tanpa merancang mutu
kedalam suatu produk, akan sulit mencapai mutu tersebut selama produksi. Tujuan utama seorang
perancang adalah menciptakan suatu produk yang dapat memuaskan kebutuhan pelanggan secara penuh
yang dapat diproduksi pada tingkat harga yang bersaing. Dengan demikian, proses perancangan yang
meliputi perencanaan, verifikasi, kaji ulang, perubahan dan dokumentasi menjadi sangat penting,
terutama untuk produk-produk yang mempunyai rancangan rumit dan memerlukan ketelitian.
3. Pengendalian Dokumen
Dalam penerapan sistem standar jaminan mutu, perusahaan dituntut untuk menyusun dan
memelihara prosedur pengendalian semua dokumen dan data yang berkaitan dengan sistem mutu. Tujuan
pengendalian dokumen adalah untuk memastikan bahwa para pelaksana tugas sadar akan adanya
dokumen-dokumen yang mengatur tugas mereka. Perusahaan harus menjamin seluruh dokumen tersedia
pada titik-titik dimana mereka dibutuhkan.
4. Pengendalian Pembelian
Pembelian bahan hampir seluruhnya berdampak kepada mutu produk akhir sehingga harus
dikendalikan dengan baik. Perusahaan harus memastikan bahwa semua bahan dan jasa yang diperoleh
dari sumber-sumber di luar perusahaan memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Adakalanya pembeli produk kita, mensyaratkan penggunaan produknya untuk diguna-kan dalam
rangka memenuhi persyaratan kontrak. Perusahaan bertanggung jawab terhadap pencegahan kerusakan
pemeliharaan, penyimpangan, penanganan dan penggunaannya selama barang tersebut dalam tanggung
jawabnya.
Identifikasi suatu produk dan prosedur penelusuran produk merupakan persyaratan penting sistem
mutu untuk keperluan identifikasi produk dan mencegah tercampur selama proses, menjamin hanya bahan
yang memenuhi syarat yang digunakan, membantu analisis kegagalan dan melakukan tindakan koreksi,
memungkinkan penarikan produk cacat/rusak dari pasar serta untuk memungkinkan penggunaan bahan
yang tidak tahan lama digunakan dengan prinsip FIFO (First In First Out).
7. Pengendalian Proses
Pengendalian proses dalam sistem standar jaminan mutu mencakup seluruh faktor yang
berdampak terhadap proses seperti parameter proses, peralatan, bahan, personil dan kondisi lingkungan
proses.
Meskipun penekanan pengendalian mutu telah beralih pada kegiatan-kegiatan pencegahan dalam
tahap sebelum produksi (perancangan, rekayasa proses dan pembelian) inspeksi dengan intensitas tertentu
tidak dapat dihindari dalam sistem mutu.
Pengukuran atau kegiatan pengujian bermanfaat jika hasil pengukuran dapat diandalkan. Untuk itu
alat pengukur atau alat uji harus memenuhi kecermatan dan konsistensi jika dioperasikan pada kondisi
yang biasa digunakan.
Tujuan utama sistem mutu adalah untuk memastikan hanya produk-produk yang memenuhi
spesifikasi sesuai kesepakatan yang dikirim ke pelanggan. Sering dalam suatu pabrik yang besar, produk
yang memenuhi spesifikasi, yang belum diperiksa dan yang tidak memenuhi spesifikasi berada pada
tempat yang berdekatan sehingga mungkin bercampur. Dengan demikian status inspeksi suatu produk
harus jelas yaitu :
Dalam sistem produksi harus dapat disingkirkan produk-produk yang tidak sesuai. Sistem standar
jaminan mutu mempersyaratkan perusahaan mempunyai prosedur tertulis untuk mencegah terkirimnya
produk-produk yang tidak sesuai kepada konsumen. Jika produk yang tidak sesuai terdeteksi pada tahap
produksi, prosedur yang ada harus tidak membiarkan produk tersebut diproses lebih lanjut.
Setiap kegiatan atau sistem operasi dapat saja menyimpang dari kondisi operasi standar (prosedur)
karena berbagai alasan sehingga menghasilkan produk yang tidak sesuai. Sistem standar jaminan mutu
mempersyaratkan perusahaan mempunyai sistem institusional untuk memonitor kegiatan produksi atau
proses. Jika ketidaksesuaian diketahui, tindakan koreksi harus dilakukan segera agar sistem operasi
kembali kepada standar.
Perusahaan manufaktur terlibat dengan berbagai bahan dan produk, baik dalam bentuk bahan
mentah, produk antara untuk di proses lagi maupun produk jadi. Adalah sangat penting menjamin bahwa
mutu dari semua bahan dan produk tersebut tidak terpengaruh oleh penyimpanan yang kondisinya kurang
baik, penanganan yang tidak tepat, pengemasan yang tidak memadai dan prosedur pengiriman yang salah.
Perusahaan harus menyusun dan memelihara prosedur untuk identifikasi pengumpulan. pembuatan
indeks, pengarsipan, penyimpanan dan disposisi catatan mutu. Catatan mutu memberikan bukti obyektif
bahwa mutu produk yang disyaratkan telah dicapai dan berbagai unsur sistem mutu telah dilaksanakan
dengan efektif.
Sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan suatu perusahaan untuk melembagakan suatu audit
sistematis terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan mutu, untuk mengetahui apakah prosedur dan
instruksi memenuhi persyaratan standar .Perusahaan juga harus bisa mendemonstrasikan bahwa semua
operasi dan kegiatan dilaksanakan sesuai prosedur tertulis dan semua tujuan sistem mutu telah dicapai.
Sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan kebutuhan pelatihan harus diidentifikasi dengan
cermat dan menyiapkan prosedur untuk melaksanakan pelatihan semua personil yang kegiatannya
berkaitan dengan mutu.
PENGAWASAN
Pasal 53
(1) Untuk mengatasi pemenuhan ketentuan undang-undang ini, pemerintah berwenang melakukan
pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum dibidang pangan.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah
berwenang;
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil
contoh pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan atau perdagangan pangan;
b. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga
digunakan dalam pengangkutan pangan serta mengambil dan memeriksa contoh pangan;
d. memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai
kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau perdagangan pangan, termasuk
menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;
(3) Pejabat pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
(4) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), patut diduga
merupakan tindak pidana dibidang pangan, segera dilakukan tindakan penyidikan oleh penyidik
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan lebih lanjut
Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 53, pemerintah
berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan
dari peredaran apabila terdapat resiko tercemarnya pangan atau pangan tidak aman bagi kesehatan
manusia;
e. pengenaan denda paling tinggi Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan atau
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penerapan kosep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan penafsiran yang
beragam. Gatchallan (1989) dalam Hubeis (1994) berpendapat bahwa mutu dianggap sebagai
derajat penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang (seragam atau
konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat organoleptiknya. Untuk dapat
memproduksi pangan yang bermutu baik dan aman bagi kesehatan, tidak cukup hanya
mengandalkan pengujian akhir di laboratorium saja, tetapi juga diperlukan adanya penerapan
sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan, atau penerapan sistem produksi pangan
yang baik (GMP- Good Manufacturing Practices). Di Indonesia GMP ini dikenal dengan istilah
Cara Produksi Makanan Yang Baik (Cara Pembuatan Makanan yang Baik) yang diwujudkan
dalam Peraturan Pemerintah. Penerapan GMP atau CPMB akan dapat membantu jajaran
manajemn untuk membangun suatu system jaringan mutu yang baik. Jaminan mutu sendiri tidak
hanya berkaitan dengan masalah pemeriksaan (inspection) dan pengendalian (control) namun
juga menetapkan standar mutu produk (product design) sampai produk tersebut didistribusikan
kepada konsumen.
B. PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena mungkin terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.
Daftar Pustaka
Kusrini, Syarifah, Erni. 2012. Penyehatan Makanan & Minuman B. Serial Buku Ajar Kesehatan
Lingkungan: Jakarta