Isi Laporan
Isi Laporan
PENDAHULUAN
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup. Dikatakan sebagai makhluk hidup
karena manusia memiliki ciri-ciri diantaranya: dapat bernafas, berkembang biak,
beradaptasi, memerlukan makan, dan mengeluarkan sisa metabolisme tubuh (eliminasi).
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau alvi
(buang air besar). Kebutuhan eliminasi terdiri dari atas dua, yakni eliminasi urine
(kebutuhan buang air kecil) dan eliminasi alvi (kebutuhan buang air besar).
Membuang urine dan alvi (feses) merupakan salah satu aktivitas pokok yang
harus dilakukan oleh setiap manusia. Karena apabila eliminasi tidak dilakukan setiap
manusia akan menimbulkan berbagai macam gangguan atau masalah defekasi seperti
konstipasi, impaksi, diare, inkontinensia feses, flatulen, hemoroid. Selain berbagai
macam yang telah disebutkan diatas akan menimbulkan dampak pada system organ
lainnya seperti: sistem pencernaan, ekskresi, dll. Adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi proses defekasi manusia antara lain usia, diet, asupan cairan, aktivitas,
pengobatan gaya hidup, penyakit, nyeri, kerusakan sensoris dan motoris.
1.3 Tujuan
Kanalis anal memiliki panjang sekitar 4 cm, yang dikelilingi dengan mekanisme
sfingter anus. Setengah bagian atas dari kanalis anal dilapisi oleh mukosa glandular rektal.
Mukosa bagian teratas dari kanalis anal berkembang sampai 6-10 lipatan longitudinal, yang
disebut columns of Morgagni, yang masing masing memiliki cabang terminal dari arteri
rektal superior dan vena. Lipatan-lipatan ini paling menonjol di bagian lateral kiri, posterior
kanan dan kuadran anterior kanan, dimana vena membentuk pleksus vena yang menonjol.
Mukosa glandular relatif tidak sensitif, berbeda dengan kulit kanalis, kulit terbawahnya lebih
sensitif.
Mekanisme spinter anal memiliki tiga unsur pembentuk, spinter internal, spinter
eksternal dan puborektalis. Spinter internal merupakan kontinuasi yang semakin menebal
dari muskular dinding ginjal. Spinter eksternal dan puborektalis sling (yang merupakan
bagian dari levator ani) muncul dari dasar pelvis.
Fungsi utama dari rektum dan kanalis anal ialah untuk mengeluarkan massa feses
yang terbentuk di tempat yang lebih tinggi dan melakukan hal tersebut dengan cara yang
terkontrol. Rektum dan kanalis anal tidak begitu berperan dalam proses pencernaan, selain
hanya menyerap sedikit cairan. Selain itu sel-sel Goblet mukosa mengeluarkan mukus yang
berfungsi sebagai pelicin untuk keluarnya massa feses. Pada hampir setiap waktu rektum
tidak berisi feses. Hal ini sebagian diakibatkan adanya otot sfingter yang tidak begitu kuat
yang terdapat pada rectosimoid junction, kira-kira 20 cm dari anus. Terdapatnya lekukan
tajam dari tempat ini juga memberi tambahan penghalang masuknya feses ke rektum. Akan
tetapi, bila suatu gerakan usus mendorong feses ke arah rektum, secara normal hasrat
defekasi akan timbul, yang ditimbulkan oleh refleks kontraksi dari rectum dan relaksasi dari
otot sfingter. Feses tidak keluar secara terus-menerus dan sedikit demi sedikit dari anus
berkat adanya kontraksi tonik otot sfingter ani interna dan eksterna.
2.3 Epidemiologi
Data prevalensi yang sebenarnya pada inkontinensia tinja sulit diperoleh.
Prevalensi yang dilaporkan inkontinensia tinja pada populasi umum adalah sekitar 2-3%.
Nelson dan rekannya menemukan tingkat prevalensi 2,2% di antara orang yang tinggal di
komunitas di negara bagian Wisconsin. Dalam studi mereka, 6959 orang yang disurvei dan
30% dari individu-individu yang lebih tua dari 65 tahun dan 63% adalah perempuan. Dalam
studi lain, Johanson dan Lafferty mengamati tingkat prevalensi keseluruhan 18,4% di antara
individu pada saat kunjungan ke dokter perawatan primer atau pencernaan. Dalam
pengaturan rumah jompo, prevalensi inkontinensia tinja mendekati 50%.
Inkontinensia tinja pada wanita hamil telah diteliti. Pada 3-6 bulan setelah melahirkan
pervaginam atau sesar, sebanyak 13-25% dari wanita yang melaporkan inkontinensia tinja.
Dalam sebuah survei postnatal berdasarkan populasi dari 6000 wanita (usia 30-90 tahun),
prevalensi inkontinensia tinja adalah 7,2%. Usia lebih tua, depresi berat, inkontinensia urin,
komorbiditas medis, dan pelayanan operasi vagina secara bermakna dikaitkan dengan
peningkatan kemungkinan inkontinensia tinja.
Nygaard dan rekan mengevaluasi prevalensi inkontinensia feses 30 tahun postpartum dalam
3 kelompok perempuan. Satu kelompok memiliki gangguan sfingter anal pada persalinan
pervaginam, kelompok kedua melakukan episiotomi tanpa gangguan sfingter anal, dan
kelompok ketiga yang diserahkan secara sesar. Mereka tidak menemukan perbedaan yang
signifikan dalam frekuensi flatus inkontinensia antara 3 kelompok tersebut pada tingkat 30-
40%. Namun, jumlah wanita dengan inkontinensia feses yang mengganggu lebih tinggi pada
kelompok gangguan sfingter (58%) dibandingkan dengan 30% dari kelompok episiotomi dan
15% dari kelompok sesar. Persentase inkontinensia tinja yang mengganggu adalah serupa di
antara 3 kelompok tersebut sekitar 20%.
Biaya keuangan inkontinensia tinja adalah signifikan. Lebih dari $ 400 juta dihabiskan setiap
tahun untuk popok dewasa yang mengontrol inkontinensia urin dan tinja. Ini adalah
penyebab utama kedua masuk ke fasilitas perawatan jangka panjang di Amerika Serikat.
Pada pasien yang lebih muda yang menginginkan pengobatan dan koreksi, biaya menjadi
INKONTINENSIA FESES PADA IBU HAMIL 4
sangat tinggi. Dalam sebuah studi pada tahun 1996 dari 63 pasien yang diobati untuk
inkontinensia tinja sekunder biaya rata-rata perawatan per pasien adalah $ 17.166. Sekitar
21.000 wanita menjalani operasi rawat inap untuk inkontinensia tinja tahun 1998 dan 2003
(sekitar 3500 wanita per tahun). Total biaya secara bertahap meningkat dari $ 34 juta pada
tahun 1998 menjadi $ 57.500.000 pada tahun 2003. Biaya rata-rata masuk bedah pada tahun
2003 adalah $ 16.847.
1. Anal Manometry : Memeriksa keketatan dari sfingter anal dan kemampuan sfingter anal
dalam merespon sinyal serta sensitivitas dan fugsi dari rektum. MRI terkadang juga
digunakan untuk mengevaluasi sfingter.
2. Anorectal Ultrasonography : Memeriksa dan mengevaluasi struktur dari sfingter anal.
3. Proctography : Menunjukan berapa banyak feses yang dapat ditahan oleh rektum, sebaik
apa rektum mampu menahannya dan sebaik mana rektum mampu mengosongkannya.
4. Progtosigmoidoscopy : Melihat ke dalam rektum atau kolon untuk menemukan
tandatanda penyakit atau masalah yang dapat menyebabkan inkontinensia fekal seperti
inflamasi, tumor, atau jaringan parut.
3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer Arif, 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2. Jakarta. Media Aesculapius FK
UI.
Thaha MA, Abukar AA, Thin NN, Ramsanahie A, Knowles CH. Sacral nerve stimulation
for faecal incontinence and constipation in adults. Cochrane Database Syst Rev. 2015 Aug 24.
8:CD004464. [Medline].
Mellgren A, Matzel KE, Pollack J, Hull T, Bernstein M, Graf W, et al. Long-term efficacy
of NASHA Dx injection therapy for treatment of fecal incontinence. Neurogastroenterol Motil.
2014 Aug. 26 (8):1087-94. [Medline].
Richter HE, Matthews CA, Muir T, Takase-Sanchez MM, Hale DS, Van Drie D, et al. A
vaginal bowel-control system for the treatment of fecal incontinence. Obstet Gynecol. 2015 Mar.
125 (3):540-7. [Medline].
Lukacz ES, Segall MM, Wexner SD. Evaluation of an Anal Insert Device for the
Conservative Management of Fecal Incontinence. Dis Colon Rectum. 2015 Sep. 58 (9):892-8.
[Medline].