Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana saluran napas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan,
penyempitan ini bersifat sementara / reversible. Inflamasi kronis tersebut berhubungan dengan
hiperresponsif dari trakea dan bronkus yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi,
sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi. Episodik
ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1

Asma merupakan penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap merupakan masalah
bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan peneliti asma. Mengacu pada data epidemiologi
Amerika Serikat pada saat ini diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari seluruh populasi
asma. Selain karena jumlahnya yang banyak, pasien asma anak dapat terdiri dari bayi, anak, dan
remaja, serta mempunyai permasalahan masing-masing dengan implikasi khusus pada
penatalaksanaanya.2 Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat
dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk
Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.3

Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter sebagai pintu
pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong penderita asma, harus selalu
meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau
pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti
bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang 1ias dikerjakan pada waktu
menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan asma.

Berikut akan diberikan sebuah laporan kasus disertai dengan penjelasannya yang
diharapkan dapat menambah wawasan para klinisi untuk mendiagnosis dan memberikan terapi
pada pasien asma bronkial, sehingga dapat memberikan penangana yang tepat dan cepat kepada
pasien.

1
BAB II

KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. A

Umur : 9 tahun

Alamat : Taman Agung

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Masuk RS : Tgl 6 Agustus 2015

No. RM : 145454

2.2 ANAMNESIS

(Dilakukan secara alloanamnesis dengan orang tua pasien dan autoanamnesis pada tanggal 7
Agustus 2015)

Keluhan utama : Sesak napas sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang : Sejak 1 hari SMRS, pasien mengeluh sesak nafas. Sesak nafas
yang dirasakan muncul pada malam hari. Orang tua pasien mengatakan bahwa saat pasien merasa
sesak masih dapat berkomunikasi dan dapat berjalan. Sesak nafas juga disertai nafas yang berbunyi
ngik ngik. Sore hari sebelum sesak, pasien mengatakan bahwa ia bermain sepeda di jalanan berdebu.
Selain sesak nafas, pasien juga mengeluhkan adanya batuk berdahak, pilek, dan badan terasa panas.
Nyeri dada disangkal, jantung terasa berdebar-debar disangkal, bengkak pada kaki disangkal. Saat
pasien merasa sesak, orang tua pasien hanya menguruti dada pasien dengan minyak kayu putih. Pada
pagi harinya, orang tua membawa pasien ke RSUD Kalianda untuk berobat. Saat datang ke IGD,
pasien merasakan sesak sudah membaik.

Riwayat Penyakit Dahulu : Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien didiagnosis mengidap
Asma Bronkial sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat keluhan yang sama (+) terutama bila terkena debu,
kelelahan, cuaca dingin dan memberat malam hari, kekambuhan tidak lebih dari 2x/bulan. Selama ini
pasien tidak diberikan pengobatan untuk Asma, apabila sesak kambuh hanya dibawa ke tukang urut.
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal, riwayat batuk lama
disangkal. Riwayat imunisasi lengkap. Riwayat tumbuh kembang pasien sejak bayi sama seperti anak
lain pada umumnya.

2
Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat atopik pada keluarga (+) kakek OS.

Riwayat Psikososial : pasien adalah siswa SD kelas 3

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Berat badan : 19 kg

Suhu : 37,6oC

Nadi : 90x/menit

Pernapasan : 28x/menit

Status Lokalis

Kepala : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (-)

Hidung : deviasi septum (-) rhinorea (+) pernapasan cuping hidung (-)

Leher : pembesaran KGB (-)

Thoraks

Paru

Inspeksi : gerakan dada simetris, retraksi iga (-)

Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : vesikuler +/+ normal, ronkhi -/-, wheezing +/+

Jantung

Inspeksi : tidak tampak ictus cordis

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

3
Auskultasi : bunyi jantung regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : datar

Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas : akral hangat +/+, edema -/-

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium darah 6 Agustus 2015

Angka Leukosit : 8.000

Hitung Jenis Leukosit

Basofil 0 Limfosit 17%

Eosinofil 0 Monosit 3%

Staf 0 Angka Trombosit 353.000

Segmen 70% Hematokrit 33%

2.5 DAFTAR MASALAH

Sesak napas, muncul pada malam hari (Frekuensi pernapasan : 28x/menit) (Wheezing +/
+)
Batuk
Pilek
Demam (suhu : 37,6oC)
Riwayat terpapar debu (+)
Riwayat Atopik pada keluarga (+)
Riwayat keluhan serupa (+) kekambuhan <2x/bulan
Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal

Assesment :

Diagnosis Kerja : Asma Bronkhial Derajat Ringan Episodik Jarang

Diagnosis Banding :

Plan :
4
Diagnosis : Asma Bronkhial Derajat Ringan Episodik Jarang

Terapi :

IVFD D5 + Aminofilin drip 12 tpm

Aminofilin 100 mg IV pelan

Inj. Dexamethason 3x1/2 ampul

Inj. Cefotaxim 500 mg/12 jam

O2 2 ltr/menit k/p

Edukasi : Motivasi pasien untuk menghindari faktor pemicu yang membuat serangan asmanya
muncul kembali. Edukasi pasien bahwa penyakit ini dapat kambuh kembali bila terpapar alergen.

Monitoring : Cek keluhan, vital sign, dan pemeriksaan pasien secara berkala.

2.7 Follow Up

Perawatan hari pertama di bangsal anak keluhan sesak nafas pasien sudah berkurang, batuk
berkurang, pilek berkurang, badan tidak terasa demam lagi. Keadaan umum tampak membaik, compos
mentis, nadi 90x/menit, pernapasan 24x/menit dan suhu 37oC. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
wheezing (+/+) pada kedua lapang paru, retraksi (-). Terapi yang diberikan infus D5+Aminofilin drip
12 tpm, Inj. Dexamethason 3x1/2 ampul, Inj. Cefotaxime 500mg/12 jam serta Ambroxol pulv 3x8 mg.

Perawatan hari kedua di bangsal pasien sudah tidak mengeluhkan sesak nafas lagi, batuk sudah
berkurang, sudah tidak pilek, tidak demam. Keadaan umum baik, compos mentis, nadi 90x/menit,
pernapasan 24x/menit, suhu 36,5oC. Pada pemeriksaan fisik didapatkan wheezing (-/-), retraksi (-).
Pasien diberikan terpi oral dan diizinkan untuk beristirahat dirumah.

BAB III
5
PEMBAHASAN

Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang melibatkan sel dan
elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran
pernafasan yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat,
dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi. Episodik ini berhubungan dengan luas
obstruksi saluran pernafasan yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.

Definisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI pada
tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal),
musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau
keluarganya. Sedangkan status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma
yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim
diberikan, dimana refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat,
dengan pengamatan 1-2 jam.

Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan tidak dapat
disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan
asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan
penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab.

Penegakan diagnosis pada pasien asma bronkial dapat ditegakkan dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis seorang anak dikatakan menderita
serangan asma apabila didapatkan gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif.
Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang
timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu
berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala
bertambah berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan
sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.

Pada pasien ini dari anamnesis diketahui bahwa pasien anak laki-laki, 9 tahun mengeluh sesak
nafas, muncul pada malam hari, pasien masih bisa berkomunikasi dan berjalan. Sesak disertai nafas
berbunyi ngik ngik. Keluhan sesak nafas disertai batuK, pilek dan badan terasa demam. Pasien
mengaku keluhan timbul setelah sebelumnya terpapar debu. Nyeri dada disangkal, jantung berdebar-
debar disangkal, bengkak pada kaki disangkal. Riwayat keluhan serupa sebelumnya (+), riwayat atopik
pada keluarga (+). Dari anamnesis tersebut terlihat bahwa keluhan yang dirasakan pasien
kemungkinan besar berasal dari organ paru-paru. Tetapi karna pada saat datang ke RS, kondisi sesak
pasien sudah membaik maka bisa ditegakkan pasien tidak dalam serangan asma.

Gejala asma yang diderita oleh pasien ini yaitu batuk, sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus. Inhalasi alergen

6
akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel
saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.

Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma penyebab utamanya adalah kontraksi
otot polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi. Akibat yang
ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh
darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Hiperesponsivitas saluran napas adalah
respons bronkus berlebihan yaitu berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik
maupun nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma seperti batuk
dan rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik saluran napas.

Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah
pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama
histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8
jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Pada pasien ini terjadi reaksi alergi fase lambat
dikarenakan keluhan timbul malam hari setelah paparan alergen pada sore hari.

Sedangkan pada pemeriksaan fisik, gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada
derajat serangannya. Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai
adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada
serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi yang
dikarenakan aliran udara yang melewati saluran napas yang sempit akibat penyempitan saluran
pernapasan, biasanya terdengar pada fase ekspirasi., ditemukan retraksi, dan peningkatan frekuensi
nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi, seperti
dermatitis atopi dapat ditemukan.

Parameter klinis Asma episodic jarang Asma episodic sering Asma persisten
Kebutuhan obat, (asma ringan) (asma sedang) (asma berat)
dan faal paru
1.Frekuensi serangan 3-4x /1tahun 1x/bulan 1/bulan
2.Lama serangan <1 minggu 1 minggu Hampirsepanjang tahun,
tidak ada remisi
3.Intensitas serangan Ringan Sedang Berat
4.diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
5.Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
<3x/minggu >3x/minggu
6.Pemeriksaan fisis Normal, tidak Mungkin terganggu Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan kelainan (ditemukan kelainan)
7.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid/ Perlu, steroid inhalasi
steroid inhalasi dosis Dosis 400 g/hari
100-200 g
8.Uji faal paru PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan0 Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal paru 20% 30% 50% 7
(bila ada serangan)
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan kesadaran compos mentis, tanda vital pasien
frekuensi nadi 90x/menit, pernapasan 28x/menit, suhu 38 oC. Pada pemeriksaan thoraks ditemukan
adanya wheezing +/+ pada kedua lapang paru, tidak tampak retraksi iga sedangkan suara jantung
reguler, murmur (-), gallop (-). Dari hasil pemeriksaan fisik pada pasien ini mendukung kearah
diagnosis Asma Bronkhial Derajat Ringan Episodik Jarang.

Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman


Fungsi paru, henti napas
Laboraturium
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi : Bayi : Bayi :
Menangis Tangis pendek Tidak mau
keras & lemah minum /
Kesulitan makan
menetek dan
makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
Duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya kebingungan
irritable irritable Irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat Sulit /
hanya pada Sepanjang nyaring, Tidak
akhir ekspirasi Terdengar terdengar
ekspirasi inspirasi tanpa
stateskop
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
Bantu respiratorik paradox
Torako-
Abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/
Retraksi ditambah ditambah Hilang
Interkosta Retraksi Napas
suprasternal cuping
hidung
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
Usia frekuensi napas normal
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit

8
6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit

Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,


<10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg Tanda
kelelahan
Otot
respiratorik
PEFR atau FEV1 (% Nilai Nilai terbaik)
Prabronkodilator dugaan/ 40-60% <40%
Pascabronkodilator >60% 60-80% <60%
>80% Respon < 2
jam
SaO2 % >95% 91-95% 90%
PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Asma adalah :

a. Spirometer : Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

b. Peak flow meter/PFM : Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan
pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding
PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi
saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan
dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

c. X-ray toraks : Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma

d. Pemeriksaan IgE : Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus.
Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE
atopi dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak
dapat dilakukan (pada dermographism).

9
e. Petanda inflamasi : Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri
bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas
dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar
oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP)
dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB : Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB
dapat dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada
penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek
alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi
biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20m, tidak dalam bentuk nebulasi.
Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit.
Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani,
inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah dengan hasil dalam batas normal.

Diagnosis banding :

Gagal jantung kiri akut

Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada malam
hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea. Pasien tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak,
tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang
memperberat atau memperingan gejala gagal jantung. Disamping ortopnea pada pemeriksaan fisik
ditemukan kardiomegali dan edema paru. Diagnosis banding kelainan jantung dapat disingkirkan pada
pasien ini dikarenakan tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien tidak mengarah ke organ jantung.

Pada pasien ini dilakukan rawat inap tirah baring fungsinya agar pasien dapat beristirahat serta
persiapan apabila terjadi serangan ulang. Pemberian IVFD D5 + Aminofilin drip 12 tpm untuk
memenuhi kebutuhan cairan dan bronkodilator. Pemberi antibiotic Cefotaxime 500mg / 12 jam sebagai
profilaksis terhadap infeksi. Pemberian Dexamethasone ampul / 8 jam diberikan sebagai anti
inflamasi. Pemberian Ambroxol pulv 3x8 mg, dimaksudkan sebagai mukolitik.

Pengobatan asma menurut GINA (Gobal Initiative For Asthma)

Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam suatu loka karya Global
Initiative For Asthma Management And Prevention yag dikoordinasikan oleh National Health, Lung
And Blood Institute Amerika Serikat dan WHO. Publikasi loka karya tersebut yang dikenal sebagai

10
GINA diterbitkan pada tahun 1995, dan diperbaharui tahun 1998 dan 2002 dan hampir seluruh dunia
mengikuti protokol pengobatan yang dianjurkan. Ada 6 komponen dalam pengobatan asma, yaitu:

1. Penyuluhan kepada pasien


2. Penilaian derajat beratnya asma
3. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
4. Perencanaan obat-obat jangka panjang
5. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma)
6. Berobat secara teratur

Tatalaksana medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul.
Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau
diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau
obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik
saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada
lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah
tujuan pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.

Obat obat Pereda (Reliever)

1. Bronkodilator
a. Short-acting 2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak. Reseptor 2 agonist
berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot
lurik, hepar, dan pancreas. Obat ini menstimulasi reseptor 2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP
menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler,
dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast.
2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis terbutalin oral : 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20
menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis
maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 0,4
ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam 2 4
11
jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1
menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam.

b. Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi, tapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat
dengan kombinasi 2 agonist dan antikolinergik. Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh
antagonisme terhadap reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Eliminasinya terutama melalui metabolism
hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :

1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi
dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.

2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi 2 agonist
menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8 20
tetes; usia kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan :
Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai
kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan
klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah
prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali
sehari selama 3 5 kali sehari.

12
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus
menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat
peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas
vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru lebih
baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV
yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4
6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8 jam.

Obat obat Pengontrol (Controller)


1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi
budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan
obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol
gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit,
meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi
bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya
neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor 2 agonist.
Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari.
2. Long acting 2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS 400ug dengan
tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV 1 pagi dan sore, penggunaan steroid
oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada
dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan
formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini
mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.

3. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya lebih baik.
Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan +
LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut :
LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane;
Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
13
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari., penggunaannya
aman, dan tidak mengganggu fungsi hati, sayangnya preparat montelukast ini belum ada di
Indonesia.

Ada 2 preparat LTRA :


a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.(respiro
anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10 mg 2 kali
sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan asma dengan
menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat mengganggu fungsi hati
(meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.

4. Teofilin lepas lambat


Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan untuk
mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih
rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH SAKIT

Penilaian Awal

Riwayat dan Pemeriksaan Fisik


(Auskultasi, Otot Bantu Napas,
Denyut Jantung, Frekuensi napas) dan
bila mungkin faal paru (APE/VEP1,
Saturasi O2) AGD dan pemeriksaan
lain atas indikasi
Serangan Asma Ringan Serangan Asma Sedang/Berat Serangan Asma Mengancam Jiwa

Pengobatan Awal

Oksigenasi dengan kanul nasal


Inhalasi 2 Agonist Short Acting (Nebulisasi), setiap 20 menit dalam 1 jam atau 2 Agonist
Injeksi (Terbutalin 0,5 subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)
Kortikosteroid Sistemik
1. Serangan Asma Berat
2. Tidak ada respon segera dengan bronkodilator
3. Penilaian Ulang Setelah
Dalam kortikosteroid oral 1 Jam 14

Pemeriksaan Fisik, Saturasi O2 dan pemeriksaan lain atas indikasi


Respon Baik : Respon Parsial (Incomplete Respon Buruk (Poor
Response: : (2-3x nebulisasi) Response) : (3 kali
Respon baik dan stabil
nebulisasi berturut-turut)
dalam 60 menit Resiko tinggi distress
Pemeriksaan Fisik normal Pemeriksaan Fisik gejala Resiko tinggi distress
APE >70% prediksi atau ringan sampai sedang Pemeriksaan Fisik berat,
nilai terbaik APE >50% tetapi <70% gelisah dan kesadaran
Saturasi O2 >90% (95% Saturasi O2 tidak ada menurun
Pulang : Dirawat di RS :
pada anak) perbaikan APE <30%
Dirawat
PaCO di ICU :
Pengobatan dilanjutkan Inhalasi 2 Agonist 2 >45mmHg

dengan inhalasi 2 Agonist Antikolinergik PaO2 <60%


Inhalasi 2 Agonist
atau oral Kortikosteroid sistemik Antikolinergik
Membutuhkan Aminophilin drip Kortikosteroid iv
kortikosteroid oral Terapi O2 pertimbangkan Pertimbangkan 2
Edukasi penderita : kanul nasal atau masker Agonist injeksi
1. Memakai obat yang venturi SC/IM/IV
benar Pantau Sat O2, APE, Nadi Terapi O2 dg masker
2. Ikuti rencana Perbaikan
pengobatan Tidak Ada Perbaikan
venturi
selanjutnya
Aminophilin drip
Mungkin perlu intubasi
Pulang : Dirawat di ICU :
dan ventilasi mekanik
Bila APE >60% Bila tidak ada perbaikan dalam 6-

prediksi/terbaik. Tetap 12 jam
berikan pengobatan oral
atau inhalasi

15
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak
melebihi 3-4 kali sehari.

Berat Medikasi pengontrol Alternatif / Pilihan lain Alternatif


Asma harian lain

Asma Glukokortikosteroid Teofilin lepas lambat ------


Persisten inhalasi (200-400 ug
Ringan BD/hari atau Kromolin
ekivalennya)

Leukotriene modifiers

Asma Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug Ditambah


Persisten glukokortikosteroid BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin agonis beta-
Sedang lepas lambat ,atau 2 kerja lama
(400-800 ug BD/hari oral, atau
atau ekivalennya) dan Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug
BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta- Ditambah
agonis beta-2 kerja lama 2 kerja lama oral, atau teofilin lepas
lambat
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau ekivalennya) atau

16
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug
BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene
modifiers

Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metilprednisolon oral selang


Persisten glukokortikosteroid (> sehari 10 mg
Berat 800 ug BD atau
ekivalennya) dan agonis ditambah agonis beta-2 kerja lama oral,
beta-2 kerja lama, ditambah teofilin lepas lambat
ditambah 1 di bawah
ini:

teofilin lepas lambat

leukotriene modifiers

glukokortikosteroid oral

Pada pasien ini dilakukan rawat inap tirah baring fungsinya agar pasien dapat beristirahat serta
persiapan apabila terjadi serangan ulang. Dengan melihat bagan penatalaksanaan pasien asma di atas,
maka pemberian terapi pada pasien sudah tepat. Pemberian terapi IVFD D5 + Aminofilin drip 12 tpm,
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan bronkodilator. Pemberi antibiotic Cefotaxime
500mg / 12 jam sebagai profilaksis terhadap infeksi. Pemberian Dexamethasone ampul / 8 jam
diberikan sebagai anti inflamasi. Pemberian Ambroxol pulv 3x8 mg, dimaksudkan sebagai mukolitik.

17
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai pada anak-anak. Asma didefenisikan
sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut : timbul secara episodik dan/atau
kronis, cenderung pada malam hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas
fisik atau paparan alergen, dan bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan,
serta adanya riwayat asma atau atopi pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan. Karena asma merupakan penyakit yang berhubungan dengan imunologi, maka penderita
asma dapat mengalami serangan berulang. Asma dapat diklasifikasikan sebagai asma episodik jarang,
episodik sering, dan asma persisten. Sedangkan jika terjadi serangan, dapat diklasifikasikan sebagai
asma serangan ringan, sedang, dan berat. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan serangan asma tergantung kepada derajat
serangannya. Serangan asma ditanggulangi dengan pemberian bronkodilator, baik secara oral,
parenteral, maupun inhalasi.

Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan menghindari faktor pencetus asma
serta penggunaan obat pengendali (controller). Diharapkan dengan dilakukannya tatalaksana asma
jangka panjang dapat mengurangi terjadinya serangan asma, sehingga dapat meningkatkan quality of
life dari penderita asma.

18
Daftar Pustaka

1. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke 2. Surabaya :


Airlangga University Press. 2002. Hal. 263 300.
2. Akib, Arwin AP. Asma pada Anak. Sari Pediatri IDAI, Vol. 4, No. 2, September 2002:
78-82. Jakarta. Available from : http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/4-2-8.pdf
3. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!. Jakarta. 2009
May 4th. Available from: http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?
option=com_content&task=view&id=13&Itemid=5
4. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS, Rusmil K,
dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI; 2005.
5. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen Kasus
Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta : Yapnas
Suddharprana; 2007.h. 97-106.
6. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
7. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.

19

Anda mungkin juga menyukai