Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

.1 Pengertian Integrasi Nasional


Integrasi berasal dari bahasa inggris integration yang berarti kesempurnaan atau
keseluruhan. Intergasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur
yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi.
Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan
tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial.
Di Indonesia istilah integrasi masih sering disamakan dengan istilah pembauran
atau asimilasi, padahal kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Integrasi diartikan
dengan integrasi kebudayaan, integrasi sosial, dan pluralisme sosial. Sementara
pembauran dapat berarti penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan mengenai berapa
unsur kebudayaan (cultural traits) mereka yang berbeda atau bertentangan, agar dapat
dibentuk menjadi suatu sistem kebudayaan yang selaras (harmonis). Caranya adalah
melalui difusi (penyebaran), dimana unsur kebudayaan baru diserap ke dalam suatu
kebudayaan yang berada dalam keadaan konflik dengan unsur kebudayaan tradisional
tertentu. Cara penanggulangan masalah konflik adalah melalui modifikasi dan koordinasi
dari unsur - unsur kebudayaan baru dan lama. Inilah yang disebut sebagai Integrasi Sosial
(Theodorson & Theodorson, 1979 dalam Danandjaja, 1999).
Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan
yang ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara
nasional. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik
dari kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi
bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau
mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain
menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru.

Faktor-Faktor Pendorong Integrasi Nasional sebagai berikut:


1. Faktor sejarah yang menimbulkan rasa senasib dan seperjuangan.
2. Keinginan untuk bersatu di kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan
dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
3. Rasa cinta tanah air di kalangan bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan
perjuangan merebut, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.
4. Rasa rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan
oleh banyak pahlawan bangsa yang gugur di medan perjuangan.
5. Kesepakatan atau konsensus nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan,
Pancasila dan UUD 1945, bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya,
bahasa kesatuan bahasa Indonesia.

Faktor-Faktor Penghambat Integrasi Nasional sebagai berikut:

1
1. Masyarakat Indonesia yang heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor
kesukubangsaan dengan masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah,
agama yang dianut, ras dan sebagainya.
2. Wilayah negara yang begitu luas, terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh
lautan luas.
3. Besarnya kemungkinan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang
merongrong keutuhan, kesatuan dan persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam
maupun luar negeri.
4. Masih besarnya ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil
pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah
SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan
kedaerahan, demonstrasi dan unjuk rasa.
5. Adanya paham etnosentrisme di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan
kelebihan-kelebihan budayanya dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain.

Contoh Wujud Integrasi Nasional, antara lain sebagai berikut:


a) Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta oleh Pemerintah
Republik Indonesia yang diresmikan pada tahun 1976. Di kompleks Taman Mini
Indonesia Indah terdapat anjungan dari semua propinsi di Indonesia (waktu itu ada 27
provinsi). Setiap anjungan menampilkan rumah adat beserta aneka macam hasil
budaya di provinsi itu, misalnya adat, tarian daerah, alat musik khas daerah, dan
sebagainya.
b) Sikap toleransi antarumat beragama, walaupun agama kita berbeda dengan teman,
tetangga atau saudara, kita harus saling menghormati.
c) Sikap menghargai dan merasa ikut memiliki kebudayan daerah lain, bahkan mau
mempelajari budaya daerah lain, misalnya masyarakat Jawa atau Sumatra, belajar
menari legong yang merupakan salah satu tarian adat Bali. Selain anjungan dari
semua propinsi di Indonesia, di dalam komplek Taman Mini Indonesia Indah juga
terdapat bangunan tempat ibadah dari agama-agama yang resmi di Indonesia, yaitu
masjid (untuk agama Islam), gereja (untuk agama Kristen dan Katolik), pura (untuk
agama Hindu) dan wihara (untuk agama Buddha). Perlu diketahui, bahwa waktu itu
agama resmi di Indonesia baru 5 (lima) macam.

Contoh-Contoh Pendorong Integrasi Nasional :


a. Adanya rasa keinginan untuk bersatu agar menjadi negara yang lebih maju dan
tangguh di masa yang akan datang.
b. Rasa cinta tanah air terhadap bangsa Indonesia
c. Adanya rasa untuk tidak ingin terpecah belah, karena untuk mencari kemerdekaan itu
adalah hal yang sangat sulit.
d. Adanya sikap kedewasaan di sebagian pihak, sehingga saat terjadi pertentangan pihak
ini lebih baik mengalah agar tidak terjadi perpecahan bangsa.
e. Adanya rasa senasib dan sepenanggungan

2
f. Adanya rasa dan keinginan untuk rela berkorban bagi bangsa dan negara demi
terciptanya kedamaian

Bentuk Integrasi Nasional sebagai berikut :


Asimilasi, yaitu pembauran kebudayaan yang disertai ciri khas kebudayaan asli.
Akulturasi, yaitu penerimaan sebagian unsur-unsur asing tanpa menghilangkan
kebudayaan asli

Integrasi nasional adalah upaya menyatukan seluruh unsur suatu bangsa dengan
pemerintah dan wilayahnya (saafroedin bahar, 1998). mengintegrasikan berarti membuat
atau menyempurnakan dengan jalan terpusah-pisah. Menurut howard wrigins (1996),
integrasi berarti penyatuan bangsa-bangsa yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi
suatu keseluruhan yang lebih utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang
banyak menjadi suatu bangsa. Jadi menurutnya, integrasi bangsa dilihatnya sebagai
peralihan dari banyak masyarakat kecil menjadi suatu masyarakat yang besar.

Tentang integrasi, myron weiner (1971) memberikan lima definisi mengenai integrasi
yaitu :
a. Integrasi menunjuk pada proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial
dalam suatu wilayah dan proses pembentukan identitas nasional, membangun rasa
kebangsaan dengan cara menghapus kesetiaan pada ikatan-ikatan yang yang lebih
sempit.
b. Integrasi menunjuk pada masalah pembentukan wewenang kekuasaan nasional pusat
diatas unit-unit sosial yang lebih kecil yang betanggotakan kelompok-kelompok sosial
budaya masyarakat tertentu.
c. Integrasi menunjuk pada masalah menghubungkan antara pemerintah dengan yang
diperintah. Mendekatkan perbedaan-perbedaan mengenai aspirasi dan nilai pada
kelompok elit dan massa.
d. Integrasi menunjuk pada adanya konsensus terhadap nilai yang minimum yang
diperlukan dalam memelihara tertib sosial.
e. Integrasi menunjuk pada penciptaan tingkah laku yang terintegrasi dan yang diterima
demi mencapai tujuan bersama.
Sejalan dengan definisi tersebut, myron weiner membedakan lima tipe integrasi
nasional, integrasi wilayah, integrasi nilai, integrasi elit massa, dan integrasi tingkah laku
(tindakan integratif). Integrasi merupakan upaya menyatukan bangsa-bangsa yang berbeda
dari suatu masyarakat menjadi satu bangsa.

Howard Wriggins (1996) menyebut adanya pendekatan atau cara bagaimana para
pemimpin politik mengembangkan integrasi bangsa. Kelima pendekatan yang selanjutnya
disebut sebagai faktor yang menentukan tingkat integrasi suatu bangsa yaitu:

3
1. Adanya ancaman dari luar
2. Gaya politik kepemimpinan
3. Kekuatan lembaga-lembaga politik
4. Ideologi nasional
5. Kesempatan pembangunan ekonomi

Sunyoto Usman (1998) menyatakan bahwa suatu kelompok masyarakat dapat terintegrasi
apabila :
1. Masyarakat dapat menentukan dan menyepapakati nilai-nilai fundamental yang dapat
dijadikan rujukan bersama
2. Masyarakat terhimpun dalam unit sosial sekaligus memiliki croos cutting loyality
3. Masyarakat berada saling ketergantungan diantara unit-unit sosial yang terhimpun di
dalamnya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.

2.2 Pentingnya Integrasi Nasional


Masyarakat yang terintegrasi dengan baik merupakan harapan bagi setiap negara.
Sebab integrasi masyarakat merupakan kondisi yang diperlukan bagi negara untuk
membangun kejayaan nasional demi mencapai tujuan yang diharapkan. Ketika masyarakat
suatu negara senantiasa diwarnai oleh pertentangan atau konflik, maka akan banyak
kerugian yang diderita, baik kerugian berupa fisik materill seperti kerusakan sarana dan
prasarana yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maupun kerugian mental spiritual
seperti perasaan kekawatiran, cemas, ketakutan, bahkan juga tekanan mental yang
berkepanjangan. Disisi lain banyak pula potensi sumber daya yang dimiliki oleh negara,
yang mestinya dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan
masyarakat, harus dikorbankan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dengan demikian
negara yang senantiasa diwarnai konflik di dalamnya akan sulit untuk mewujudkan
kemajuan.
Integrasi masyarakat yang sepenuhnya memang sesuatu yang tidak mungkin
diwujudkan, karena setiap masyarakat disamping membawakan potensi integrasi juga
menyimpan potensi konflik atau pertentangan. Persamaan kepentingan, kebutuhan untuk
bekerja sama, serta konsensus tentang nilai-nilai tertentu dalam masyarakat, merupakan
potensi yang mengintegrasikan. Sebaliknya perbedaan-perbedaan yang ada dalam
masyarakat seperti perbedaan suku, perbedaan agama, perbedaan budaya, dan perbedaan
kepentingan adalah menyimpan potensi konflik, terlebih apabila perbedaan-pebedaan itu
tidak dikelola dan disikapi dengan cara dan sikap yang tepat. Namun apapun kondisi
integrasi masyarakat merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk membangun
kejayaan bangsa dan negara, dan oleh karena itu perlu senantiasa diupayakan. Kegagalan
dalam mewujudkan integrasi masyarakat berarti kegagalan untuk membangun kejayaan
nasional, bahkan dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara yang
bersangkutan.
Sejarah indonesia adalah sejarah yang merupakan proses dari bersatunya suku-
suku bangsa menjadi sebuah bangsa. Ada semacam proses konvergensi, baik yang

4
desengaja maupun tidak disengaja, ke arah menyatunya suku-suku tersebut menjadi satu
kesatuan negara dan bangsa. (sumartana dkk, 2001:100)

2.3 Pluralitas Masyarakat Indonesia


Kenyataan bahawa masyarakat indonesia merupakan suatu hal yang sudah sama-
sama dimengerti. Dengan meminjam istilah yang digunakan oleh clifford geertz,
masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi kedalam sub-sub
sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing sub sistem
terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial. (geertz,1963: 105 dst). Apa
yang dikatakan sebagai ikatan primordial disini adalah ikatan yang muncul dari perasaan
yang lahir dari apa yang ada dalam kehidupan sosial, yang sebagian besar berasal dari
hubungan kelurga, ikatan kesukuan tertentu, keangootaan dalam keagamaan tertentu, yang
membawakan ikatan yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat.

Sedangkan menurut pierre L. Van den berghe masyarakat majemuk memiliki karakteristik
(nasikun, 1993:33) :
a. Terjadinya segementasi kedalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali
memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
b. Memiliki struktur sosial yang terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-
komplementer,
c. Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai
yang bersifat dasar,
d. Secara relatif seringkali mengalami konflik diantara kelompom yang satu dengan
yang lainnya,
e. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan dalam bidang ekonomi,
f. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.

Walaupun karakteristik masyarakat majemuk sebagaimana dikemukakan olehn


pierre L. Van berghe sebagaimana diatas tidak sepenuhnya mewakili kenyataan yang ada
dalam mayarakat dalam masyarakat indonesia, akan tetapi pendapat tersebut setidak-
tidaknya dapat digunakan sebagai acuan berfikir dalam menganalisis keadaan masyarakat
indonesia.
Struktur masyarakat indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik. Secara
horizontal masyarakat indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, serta perbedaan-
perbedaan kedaerahan. Secara vertikal struktur masyarakat indonesia ditandai oleh adanya
perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
(nasikun, 1993:28).
Dalam dimensi horizontal kemajemukan masyarakat indonesia dapat dilihat dari
adanya berbagai macam suku bangsa seperti suku bangsa jawa, suku bangsa sunda, suku
bangsa batak, suku bangsa minangkabau, suku bangsa dayak, dll. Tentang berapa jumlah

5
suku bangsa yang ada di indonesia, ternyata terdapat perbedaan yang cukup signifikan
diantara para ahli tentang indonesia. Hildred geertz misalnya menyebutkan adanya lebih
dari 300 suku bangsa di indonesia dengan bahasa dan identitas kulturalnya masing-
masing. Sedangkan skinner menyebutkan lebih dari 35 suku bangsa di indonesia dengan
bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan yang mencolok dari
jumlah suku bangsa yang disebutkan oleh masing-masing, dapat dikatakan bahwa
masyarakat indonesia adalah masyarakat yang majemuk.
Suku-suku bangsa ini biasa dinamakan bangsa, seperti bangsa melayu, bangsa
jawa, bangsa bugius dan sebagainya. Masing-masing suku bangsa memiliki wilayah
kediaman sendiri, daerah tempat kediaman nenek moyang suku bangsa yang bersangkutan
yang pada umumnya dinyatakan melalui mitos yang meriwayatkan asal-usul suku bangsa
yang bersangkutan. Anggota masing-masing suku bangsa cenderung memiliki identitas
tersendiri sebagai anggota suku bangsa yang bersangkutan, sehingga dalam keadaan
tertentu mereka mewujudkan rasa setiakawan, solidaritas dengan sesama suku bangsa asal.
(bachtiar, 1992: 12).
Berkaitan erat dengan keragaman suku sebagaimana dikemukakan diatas adalah
keragaman adat istiadat, budaya, dan bahasa daerah. Setiap suku bangsa yang ada di
indonesia masing-masing memiliki adat istiadat, budaya, dan bahasanya yang berbeda satu
sama lain, yang sekarang dikenal sebagai adat istiadat, budaya, dan bahasa daerah.
Kebudayaan suku selain terdiri atas nilai-nilai dan aturan-aturan tertentu, juga terdiri atas
kepercayaan-kepercayaan tertentu, pengetahuan tertentu, serta sastra dan seni yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebanyak suku
bangsa yang ada di indonesia, setidak-tidaknya sebanyak itu pula dapat dijumpai
keragaman adat istiadat, budaya serta bahasa daerah indonesia.
Disamping suku-suku bangsa tersebut, yang bisa dikatakan sebagai suku bangsa
asli, di indonesia juga terdapat kelompok-kelompok warga mayarakat yang lain yang
sering dikatakan sebagai warga peranakan. Mereka itu seperti warga cina, arab, dan india.
Kelompok warga masyarakat tersebut juga memiliki kebudayaanya sendiri, yang tidak
mesti sama dengan budaya suku-suku alsi di indonesia, sehingga muncul budaya orang-
orang china, budaya orang-orang arab, budaya orang-orang india. Dan lain-lain. Kadang-
kadang mereka juga menampakkan diri dalam kesatuan tempat tinggal, sehingga dikota-
kota besar di indonesia dijumpai adanya sebutan kampung pecinan, kampung arab, dan
lain-lain.
Keberagaman suku bangsa di indonesia sebagaimana diuraikan diatas terutama
disebabkan oleh keadaan geografis indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan
jumlah pulau yang sangat banyak dan letaknya yang saling berjauhan. Dalam kondisi yang
demikian nenek moyang bangsa indonesia yang kira-kira 2000 tahun SM secara
bergelombang datang dari daerah yang sekarang dikenal sebagai daerah tiongkok selatan,
mereka harus tinggal menetap di daerah yang terpisah satu sama lain. Karena ionisasi
geografis antara satu pulau dengan pulau yang lain, mengakibatkan masing-masing
penghuni pulau itu dalam waktu yang cukup lama mengembangkan kebudayaannya
sendiri-sendiri terpisah satu sama lain. Disitulah secara perlahan-lahan identitas kesukuan

6
itu terbentuk, atas keyakinan bahwa mereka masing-masing berasal dari satu nenek
moyang, dan memiliki kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan suku yang lain.

2.4 Integrasi Nasional Indonesia


DIMENSI INTEGRASI NASIONAL
Integrasi nasional dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan
dimensi horizontal. Dimensi vertikal dari integrasi adalah dimensi yang berkenaan dengan
upaya menyatukan persepsi, keinginan, dan harapan yang ada antara elite dan massa atau
antara pemerintah dan rakyat. Jadi integrasi vertikal merupakan upaya mewujudkan
integrasi dengan menjebatani perbedaan-perbedaan antara pemerintah dan rakyat.
Integrasi nasional dalam dimensi yang demikian biasa disebut dengan integrasi politik.
Sedangkan dimensi horisontal dari integrasi adalah dimensi yang berkenaan dengan upaya
mewujudkan persatuan di antara perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat itu
sendiri, baik perbedaan wilayah tempat tinggal, perbedaan suku, perbedaan agama,
perbedaan budaya dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jadi integrasi horisontal merupakan
upaya mewujudkan integrasi dengan menjembatani perbedaan antar kelompok dalam
masyarakat. Integrasi nasional dalam dimensi ini biasa disebut dengan integrasi teritorial.
Pengertian integrasi nasional mencakup dimensi vertikal maupun dimensi
horizontal. Dengan demikian persoalan integrasi nasional menyangkut keserasian
hubungan antara pemerintah dan rakyat, serta keserasian hubungan di antara kelompok-
kelompok dalam masyarakat dengan latar belakang perbedaan di dalamnya. Dalam upaya
mewujudkan integrasi nasional indonesia, tantangan yang di hadapi datang dari keduanya.
Dalam dimensi horizontal tantangan yang ada berkenaan dengan pembelahan horizontal
yang berakar pada perbedaan suku, agama, ras, dan geografi. Sedangkan dalam dimensi
vertikal tantangan yang ada adalah berupa celah perbedaan antara elite dan massa, dimana
latar belakang pendidikan kekotaan menyebabkan kaum elite berbeda dari massa yang
cenderung berpandangan tradisional. Masalah yang berkenaan dengan dimensi vertikal
lebih sering muncul ke permukaan setelah berbaur dengan dimensi horizontal, sehingga
memberikan kesan bahwa dalam kasus indonesia dimensi horizontal lebih menonjol dari
pada dimensi vertikalnya. (Sjamsuddin, 1989:11).
Tantangan integrasi nasional tersebut lebih menonjol ke permukaan setelah
memasuki era reformasi tahun 1998. Konflik horizontal maupun vertikal sering terjadi
bersamaan dengan melemahnya otoritas pemerintahan di pusat. Kebebasan yang
digulirkan pada era reformasi sebagai bagian dari proses demokratisasi yang telah banyak
disalahgunakan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk bertindak seenaknya
sendiri, tindakan mana kemudian memunculkan adanya gesekan-gesekan antar kelompok
dalam masyarakat dan memicu terjadinya konflik atau kerusuhan antar kelompok.
Bersamaaan dengan itu demontrasi menentang kebijakan pemerintah juga banyak terjadi,
bahkan seringkali demonstrasi itu diikuti oleh tindakan-tindakan anarkis.
Keinginan yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan aspirasi masyarakat,
kebijakan pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, dukungan
masyarakat terhadap pemerintah yang sah, dan ketaatan warga masyarakat melaksanakan

7
kebijakan pemerintah adalah pertanda adanya integrasi dalam arti vertikal. Sebaliknya
kebijakan demi kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang tidak atau kurang sesuai
dengan keinginan dan harapan masyarakat serta penolakan sebagian besar warga
masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menggambarkan kurang adanya integrasi
vertikal. Memang tidak ada kebijakan pemerintah yang melayani dan memuaskan seluruh
warga masyarakat, tetapi setidak-tidaknya kebijakan pemerintah hendaknya dapat
melayani keinginan dan harapan sebagian besar warga masyarakat.
Sedangkan jalinan hubungan dan kerjasama di antara kelompok-kelompok yang
berbeda dalam masyarakat, kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dan saling
menghargai antara kelompok-kelompok masyarakat dengan pembedaaan yang ada satu
sama lain, merupakan pertanda adanya integrasi dalam arti horizontal. Pertentangan atau
konflik antar kelompok dengan berbagai latar belakang perbedaan yang ada, tidak pernah
tertutup sama sekali kemungkinannya untuk terjadi. Namun yang diharapkan bahwa
konflik itu dapat dikelola dan dicarikan solusinya dengan baik, dan terjadi dalam kadar
yang tidak terlalu mengganggu upaya pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat dan
pencapaian tujuan nasional.

MEWUJUDKAN INTEGRASI NASIONAL INDONESIA


Salah satu persoalan yang dialami oleh negara-negara berkembang termasuk
indonesia dalam mewujudkan integrasi nasional adalah masalah primordialisme yang
masih kuat. Titik pusat goncangan primordial biasanya berkisar pada beberapa hal, yaitu
masalah hubungan darah (kesukuan), jenis bangsa (ras), bahasa, daerah, agama, dan
kebiasaan. (geertz, dalam : sudarsono, 1982: 5-7).
Di era globalisasi, tantangan itu bertambah oleh adanya tarikan global dimana
keberadaan negara dan bangsa sering dirasa terlalu sempit untuk mewadahi tuntunan dan
kecenderungan global. Dengan demikian keberadaan negara berada dalam dua tarikan
sekaligus, yaitu tarikan dari luar berupa globalisasi yang cenderung mengabaikan batas-
batas negara-bangsa, dan tarikan dari dalam berupa kecenderungan menguatnya ikatan-
ikatan yang sempit seperti ikatan etnis, kesukuan, atau kedaerahan. Disitulah nasionalisme
dan keberadaan negara nasional mengalami tantangan yang semakin berat.
Namun demikian harus tetap diyakini bahwa nasionalisme sebagai karakter bangsa
tetap diperlukan di era indonesia merdeka sebagai kekuatan untuk menjaga eksistensi,
sekaligus mewujudkan taraf peradaban yang luhur, kekuatan yang tangguh, dan mencapai
negara-bangsa yang besar. Nasionalisme sebagai karakter semakin diperlukan dalam
menjaga harkat dan martabat bangsa di era globalisasi karena gelombang peradaban
kesejagatan ditandai oleh semakin kaburnya batas-batas teritorial negara akibat gempuran
informasi dan komunikasi. (budimansyah dan suryadi, 2008:164).
Dengan kondisi masyarakat indonesia yang diwarnai oleh berbagai
keanekaragaman, harus disadari bahwa masyarakat indonesia menyimpan potensi konflik
yang sangat besar, baik konflik yang bersifat vertikal maupun bersifat horizontal. Dalam
dimensi vertikal, sepanjang sejarah sejak proklamasi indonesia hampir tidak pernah lepas
dari gejolak kedaerahan berupa tuntutan untuk memisahkan diri. Sedangkan dalam

8
dimensi horizontal, sering pula dijumpai adanya gejolak atau pertentangan diantara
kelompok-kelompok dalam masyarakat, baik konflik yang bernuansa ras, kesukuan,
keagamaan, atau antar golongan. Disamping itu juga konflik yang bernuansa kecemburuan
sosial.
Dalam skala nasional, kasus aceh, papua, ambon, merupakan konflik yang bersifat
vertikal dengan target untuk memisahkan diri dari negara republik indonesia. Kasus-kasus
tersebut dapat dilihat sebagai konflik antara masyarakat daerah dengan otoritas kekuasaan
yang ada di pusat. Disamping masuknya kepentingan-kepentingan tertentu dari
masyarakat yang ada di daerah, munculnya konflik tersebut merupakan ekspresi
ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan di daerah.
Kebijakan pemerintah pusat dianggap memunculkan kesenjangan antar daerah, sehingga
ada daerah-daerah tertentu yang sangat maju pembangunannya, sementara ada daerah-
daerah yang masih terbelakang. Dalam hubungan ini isu dikhotomi jawa dan luar jawa
sangat menonjol, dimana jawa dianggap mempresentasikan pusat kekuasaan yang
kondisinya sangat maju, sementara hanya daerah-daerah di luar jawa yang merasa
menyumbangkan pendapatan yang besar pada negara, kondisinya masih terbelakang.
Dengan mengacu pada faktor-faktor terjadinya konflik kedaerahan sebagaimana
disebutkan diatas, konflik kedaerahan di indonesia terkait secara akumulatif dengan
berbagai faktor tersebut.
Sejak awal berdirinya negara indonesia, para pendiri negara menghendaki
persatuan di negara ini diwujudkan dengan menghargai terdapatnya perbedaan di
dalamnya. Artinya bahwa upaya mewujudkan integrasi nasional indonesia dilakukan
dengan tetap memberi kesempatan kepada unsur-unsur perbedaan yang ada untuk dapat
tumbuh dan berkembang secara bersama-sama. Proses pengesahan pembukaan UUD 1945
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang bahannya diambil dari naskah piagam
jakarta, dan didalamnya terdapat rumusan dasar-dasar negara pancasila, menunjukkan
pada kjita betapa tokoh-tokoh pendiri negara (the founding fathers) pada waaktu itu
menghargai perbedaan-perbadaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat indonesia.
Para pendiri negara rela mengesampingkan persoalan perbedaan-perbedaan yang ada demi
membangun sebuah negara yang dapat melindungi seluruh rakyat indonesia.
Sejalan dengan itu dipakailah semboyan bhineka tunggal ika, yang artinya
walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu adanya. Semboyan tersebut sama maknanya
dengan istilah unity in diversity:, yang artinya bersatu dalam keanekaragaman, sebuah
ungkapan yang menggambarkan cara menyatukan secara demokratis suatu masyarakat
yang didalamnya diwarnai oleh adanya berbagai perbedaan. Dengan semboyan bhineka
tunggal ika tersebut segala perbedaan dalam masyarakat ditanggapi bukan sebagai
keadaan yang menghambat persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan
budaya yang dapat dijadikan sumber pengayaan kebudayaan nasional kita.
Untuk terwujudnya masyarakat yang menggambarkan semboyan bhineka tunggal
ika, diperlukan pandangan atau wawasan multikulturalisme. Multikulturalisme adalah
pandangan bahwa setiap kebudayaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama dengan
kebudayaan lain, sehingga setiap kebudayaan berhak mendapatkan tempat sebagaimana

9
kebudayaan lainnya. (baidhawy. 2005:5). Perwujudan dari multikulturalisme adalah
kesediaan orang-orang dari kebudayaan yang beragam untuk hidup berdampingan secara
damai. Disini diperlukan sikap hidup yang memandang perbedaan di antara anggota
masyarakat sebagai kenyataan wajar dan tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai
alasan untuk berkonflik. Disamping itu perlu memandang kebudayaan orang lain dari
perspektif pemilik kebudayaan yang bersangkutan, dan bukan memandang kebudayaan
orang lain dari perspektif dirinya sendiri. Oleh karena itu multikulturalisme menekankan
pentingnya belajar tentang kebudayaan-kebudayaan lain dan mencoba memahaminya
secara penuh dan empatik sehingga dapat menghargai kebudayaan-kebudayaan lain
disamping kebudayaannya sendiri.

10
BAB III
PENUTUP

.1 Kesimpulan
Integrasi berasal dari bahasa inggris integration yang berarti kesempurnaan atau
keseluruhan. Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan
perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan
secara nasional. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar
baik dari kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif
bagi bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau
mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain
menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru.

.2 Saran
Integrasi nasional sangat diperlukan oleh negara indonesia karena dari integrasi
nasional dapat mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada di indonesia, sehingga tidak
adanya konflik perpecahan yang terjadi dikarenakan perbedaan semata. Walaupun
indonesia ini berbeda-beda suku, ras, agama, dan budaya, tetapi tetap indonesia adalah
negara yang satu yang mempunyai satu tujuan untuk memakmurkan negara indonesia.

11
DAFTAR PUSTAKA

Wibowo, I, 2000, Negara dan Mayarakat : Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat
Cina, gramedia, Jakarta.

Winarno. 2007, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi.


Bumi aksara, jakarta.

Buku Panduan Kewarganegaraan Tahun 2014. Universitas Sriwijaya. UPT Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian.

Bohlan, (2005). Integrasi nasional. (http://www.basic-integrasi-nasional.org)


Diakses pada tanggal 12 februari 2015.

Nikolas, (2007). Pentingnya integrasi nasional indonesia. (http://www.education-


penteingnya-integrasi-nasional.org/wiki)

https://www.academia.edu/15354643/Makalah_Integrasi_Nasional

12

Anda mungkin juga menyukai