Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara global, diperkirakan sebanyak 24 juta orang telah menderita
skizofrenia (WHO, 2009). Di Indonesia, menurut Riskesdas (2007), sebanyak 1
juta orang atau sekitar 0,46% dari total penduduk Indonesia menderita skizofrenia,
sedangkan yang mengalami gangguan mental emosional (cemas dan depresi)
sebesar 11,6% atau sekitar 19 juta penduduk.
Seseorang dikatakan sehat jika ia dalam keadaan yang sempurna baik
fisik, mental maupun sosial, dengan demikian seseorang dikatakan sehat jiwa
apabila mampu mengendalikan diri dalam menghadapi stressor di lingkungan
sekitar dengan selalu berfikir positif dalam keselarasan tanpa adanya tekanan fisik
dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang mengarah pada
kestabilan emosional. Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk
penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan
ketidakwajaran dalam bertingkah laku. Hal ini terjadi karena menurunnya semua
fungsi kejiwaan (Nasir & Muhith, 2011).
WHO (2009), prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi,
sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk
dunia diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu hidupnya.
Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda antara 18-20 tahun 1% diantaranya
adalah gangguan jiwa berat, potensi seseorang mudah terserang gangguan jiwa
cukup tinggi. Setiap saat 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak
permasalahan jiwa, saraf maupun perilaku. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang
paling banyak terjadi di seluruh dunia adalah gangguan jiwa skizofrenia.
Prevalensi skizofrenia di dunia 0,1 per mil dengan tanpa memandang perbedaan
status sosial atau budaya (Hanafebriyanti, 2009).
Menurut National Institute of Mental Health gangguan jiwa mencapai
13% dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi
25% di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya
prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagai Negara. Berdasarkan
hasil sensus penduduk Amerika Serikat (2004), diperkirakan 26,2% penduduk

1
yang berusia 18-30 tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa, jika prevalensi
gangguan jiwa diatas 100 jiwa per 1000 penduduk dunia, maka berarti di
Indonesia mencapai 264 per 1000 penduduk (Hanafebriyanti, 2009).
Hasil Riset Dasar Kesehatan Nasional (2007), menyebutkan bahwa
sebanyak 0,46 per mil masyarakat Indonesia mengalami gangguan jiwa berat.
Mereka adalah yang diketahui mengidap skizofrenia dan mengalami gangguan
psikotik berat (Depkes RI, 2007).
Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di Provinsi
Daerah Khusus Jakarta (24,3%), di ikuti Nangroe Aceh Darussalam (18,5%),
Sumatra Barat (17,7%), NTB (10,9%), Sumatera Selatan (9,2%), dan Jawa
Tengah (6,8%) (Depkes RI, 2008).
Kebijakan Pemerintah dalam menangani pasien gangguan jiwa tercantum
dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan jiwa, disebutkan
dalam pasal 149 ayat (2) mengatakan bahwa Pemerintah dan masyarakat wajib
melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi
penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan
dirinya dan mengganggu ketertiban atau keamanan umum, termasuk pembiayaan
pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
Berdasarkan data yang diperoleh dari medical record Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Sumatera Utara awal (2015), klien skizofrenia yang dirawat inap
adalah 380 orang. Berdasarkan hasil survey awal penelitian di ruangan Sipiso-piso
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan, dari 20 klien yang
dirawat inap di ruangan Sipiso-piso, 12 klien mengalami isolasi sosial. Masalah
keperawatan yang paling sering ditemukan di Rumah Sakit Umum Jiwa adalah
perilaku kekerasan, halusinasi, menarik diri, harga diri rendah, waham, bunuh diri,
ketergantungan Napza, dan defisit perawatan diri. Penelitian ini menunjukkan
bahwa dari delapan masalah keperawatan diatas akan mempunyai manifestasi
yang berbeda, proses terjadinya masalah yang berbeda dan sehingga dibutuhkan
penanganan yang berbeda pula. Kedelapan masalah itu dipandang sama
pentingnya, antara masalah satu dengan masalah lainnya. Namun, pada setiap
masalah keperawataan jiwa diatas, yang selalu dan bahkan dapat terjadi pada tiap
pasien yang mengalami gangguan jiwa adalah isolasi sosial.

2
Salah satu tanda dan gejala dari klien yang mengalami skizofrenia ialah
terjadinya kemunduran sosial. Kemunduran sosial tersebut terjadi apabila
seseorang mengalami ketidakmampuan ataupun kegagalan dalam menyesuaikan
diri (maladaptif) terhadap lingkungannya, seseorang tersebut tidak mampu
berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, sehingga
menimbulkan gangguan kejiwaan yang mengakibatkan timbulnya perilaku
maladaptif terhadap lingkungan di sekitarnya. Kemunduran fungsi sosial yang
dialami seseorang di dalam diagnosa keperawatan jiwa disebut isolasi sosial.
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya
(Purba, 2008).
Pasien isolasi sosial memiliki kemampuan sosialisasi yang rendah karena
sifatnya yang selalu menarik diri dari lingkungannya. Peran perawat dalam
penanggulangan klien dengan gangguan Isolasi Sosial Aktualisasi Diri meliputi
peran promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative. Pada peran promotif, perawat
meningkatkan dan memelihara kesehatan mental melalui penyuluhan dan
pendidikan untuk klien dan keluarga. Dari aspek preventif yaitu untuk
meningkatkan kesehatan mental dan pencegahan gangguan Isolasi Sosial
Aktualisasi Diri. Sedangkan pada peran kuratif perawat merencanakan dan
melaksanakan rencana tindakan keperawatan untuk klien dan keluarga. Kemudian
peran rehabilitative berperan pada follow up perawat klien dengan gangguan
konsep diri : Isolasi Sosial Aktualisasi Diri melalui pelayanan di rumah atau home
visite.
Berdasarkan dari data di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat
judul Asuhan keperawatan pada Tn. J dengan Prioritas Masalah Gangguan
Kebutuhan Dasar Gangguan Aktualisasi Diri pada klien Isolasi Sosial di Rumah
Sakit Jiwa Prof. Dr. Moh. Ildrem Povsu Medan.

3
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu
melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan Isolasi Sosial Aktualisasi
Diri.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dan perumusan yang hendak dicapai adalah
kemampuan untuk:
a. Untuk dapat melakukan pengkajian, masalah prioritas kebutuhan
dasar gangguan aktualisasi diri pada klien dengan isolasi sosial di
Rumah Sakit Jiwa.
b. Untuk dapat menganalisa data yang diperoleh di Rumah Sakit Jiwa.
c. Untuk dapat merumuskan masalah-masalah yang terdapat di Rumah
Sakit Jiwa.
d. Untuk dapat menyusun perencanaan tindakan keperawatan untuk
memenuhi kebutuhan klien dan mengatasi masalah klien Rumah
Sakit Jiwa.
e. Untuk dapat mengidentifikasi sebab dan akibat dari isolasi sosial
Rumah Sakit Jiwa.

4
C. Manfaat
1. Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan dan
strategi bagi keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan dengan
Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Gangguan Aktualisasi Diri Pada Klien
Isolasi Sosial.
2. Pendidikan Keperawatan
Sebagai sarana ilmu untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman,
dan mengaplikasikan asuhan keperawatan klien dengan masalah kebutuhan
gangguan aktualisasi diri.
3. Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data
tambahan bagi penelitian berikutnya terkait dengan dasar kebutuhan
gangguan aktualisasi diri pada klien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa.

Anda mungkin juga menyukai