Anda di halaman 1dari 15

REPARAT

TINEA BARBAE

Disusun Oleh :

Lestari Desi Natalia Simbolon


12000039

Pembimbing :

dr. DAME MARIA PANGARIBUAN, Sp.KK

BAGIAN PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
RSUD Dr. DJASAMEN SARAGIH
PEMATANG SIANTAR
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan reparat ini. Yang berjudul
Tinea Barbae. Adapun reparat ini dibuat guna memenuhi persyaratan
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD
Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar.

Pada kesempatan ini, tak lupa saya mengucapkan banyak terima kasih
kepada dr. Dame Maria Pangaribuan, Sp.KK, atas bimbingan dan arahannya
selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar serta dalam
penyusunan reparat ini.

Penulis menyadari bahwa reparat ini masih banyak kekurangannya. Oleh


karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
perbaikan penyusunan reparat ini.

Semoga reparat ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan serta


dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu kedokteran di
masyarakat.

Pematang Siantar, Desember 2016

Penulis

Lestari Desi Natalia Simbolon

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 2
A. DEFINISI ................................................................................. 2
B. EPIDEMIOLOGI ..................................................................... 2
C. ETIOLOGI ............................................................................... 2
D. PATOGENESIS ....................................................................... 3
E. TIPE KLINIS ........................................................................... 3
F. GEJALA KLINIS .................................................................... 5
G. HISTOPATOLOGI ................................................................... 6
H. DIAGNOSIS ............................................................................ 6
I. DIAGNOSIS BANDING ........................................................ 6
J. TERAPI ................................................................................... 8
K. PROGNOSIS ........................................................................... 10
BAB III KESIMPULAN ................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 12

2
BAB I
PEDAHULUAN

Tinea Barbae merupakan infeksi dermatofita yang jarang dan dibatasi pada
area muka dan leher yang berjanggut. Infeksi kebanyakan terjadi pada laki-laki
(remaja dan dewasa) karena penularannya sebagian besar berasal dari pemakaiaan
pisau cukur di tukang cukur pria. Maka dari itu, peningkatan kadar higine dapat
sangat membantu untuk mengurangi angka kejadian tinea barbae. Tinea barbae
sendiri merupakan infeksi Trychophyton dan Mycosporum. Saat ini tinea barbae
lebih sering menyerang orang-orang di pedesaan seperti petani dan peternak,
karena terkena langsung terkena dari hewan ternak seperti kuda dan anjing
mereka.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi

Tinea barbae adalah infeksi dermatofita di daerah jenggot pada muka dan
leher hanya terbatas pada laki-laki dewasa. Jamur pada janggut ini juga dikenal
sebagai tinea sycosis dan umumnya juga sering disebut sebagai barbers itch.
Penyakit ini terutama terjadi pada orang-orang di bidang agrikultural, khususnya
yang orang-orang yang kontak dengan binatang di sawah. Daerah yang sering
terkena biasanya di dareah leher atau wajah.

Lesinya memiliki 2 tipe: tipe superfisial ringan yang menyerupai tinea


corporis, dan tipe folikulitis pustul yang parah dan dalam, serta satu tipe lain yang
cukup jarang, yaitu tipe sirsinata.

B. Epidemiologi

Tinea barbae hanya dijumpai pada pria dewasa, terutama yang bekerja
sebagai peternak dan petani di pedesaan. Tinea barbae dapat mengenai semua
bangsa , tetapi lebih sering pada kulit putih dan lebih sering mengenai pria di
negara beriklim tropis dengan kelembapan tinggi. Kebersihan yang kurang dari
lingkungan yang kotor merupakan faktor yang mempermudah terjadinya infeksi.
Dahulu, infeksi sering ditularkan oleh tukang cukur karena tidak adanya alat
cukur yang hanya digunakan satu kali. Sekarang alat cukur sebagai sumber infeksi
mulai dihilangkan.

C. Etiologi

Tinea barbae banyak disebabkan oleh organisme zoofilik seperti T.


Mentagrophytes dan T. Verrucosum. Sedangkan organisme yang jarang ditemukan
adalah M. Canis. Pada daerah endemik, mikroorganisme antropifilik seperti T.
Megninii, T. Schoeleninii, dan T. Violaceum merupakan organisme penyebab
terbanyak dari tinea barbae. Sedangkan T. rubrum juga dapat menjadi penyebab
tinea barbae walaupun jarang.

2
D. Patogenesis

Meskipun jumlahnya lebih sedikit, patogenesis tinea barbae sama dengan


tinea kapitis. Prinsip invasi rambut dan perbedaan antara aktivitas in vitro dan in
vivotelah keluar. Spora jamur penyebab tinea barbae dapat beredar di udara dekat
pasien. Dengan kondisi tersebut, sangat mungkin bahwa rambut bertindak
sebagai perangkat perangkap, dan diketahui bahwa kontaminasi rambut tanpa
temuan klinis dibuktikan dapat terjadi di kalangan petani dengan tinea barbae.
Dari pekerjaan experinmental klasik kligman pada M. Audouinii, jelas bahwa jika
infeksi rambut sebenarnya terjadi, invasi stratum korneum dari kulit pertama pasti
berkembang. Kemudian, setelah sekitar 3 minggu, diperkuat dengan bukti klinis
infeksi batang rambut. Menyebar ke tempat lain yang memproses folikel, maka
untuk periode durasi variabel infeksi bertahan tetapi tidak menyebar lebih lanjut.
Akhirnya, ada periode regenerasi dengan atau tanpa fase inflamasi.

E. Tipe Klinis

Tinea barbae biasanya menimbulkan lesi yang unilateral dan lebih sering
melibatkan area jenggot daripada kumis atau bibir atas. Gejalanya mempunyai 3
tipe klinis. Tipe klinis dari penyakit ini terbagi menjadi tipe inflamasi/ deep
berupa lesi supuratif yang dalam serta bernodul, tipe superficial berupa patch yang
sebagian tanpa rambut, berkrusta dan superficial dengan folikulitis dan tipe
sirsinata.

1. Tipe Inflamasi / Deep


Tipe ini biasanya disebabkan oleh T. Mentagrophytes dan T. Verrucosum.
Tinea barbae tipe inflamasi dianalogkan dengan tipe kerion pada tinea
kapitis. Tipe deep berkembang dengan lambat dan menghasilkan nodul
yang menebal dan bengkak seperti kerion. Lesi yang timbul berbentuk
nodul seperti rawa disertai krusta seropurulen. Bengkak pada tipe ini
biasanya konfluen dan berbentuk infiltrasi difusa seperti rawa dengan
abses. Kulit yang terkena meradang, rambut-rambut menjadi hilang, dan
pus mungkin muncul melalui folikel sisa yang terbuka. Rambut-rambut di
daerah ini tidak mengkilat, rapuh dan mudah diepilasi untuk
mendemonstrasikan sebuah masa purulen disekitar akarnya. Pustulasi

3
perifolikel dapat bergabung membentuk saluran sinus dan kumpulan pus
seperti abses, yang akhirnya menjadi lesi alopecia. Umumnya lesi ini
hanya terbatas pada satu bagian muka atau leher pada laki-laki.

Gambar : tinea barbae tipe inflamasi disebabkan infeksi T. Metogrophytes

2. Tipe Superfisial
Tipe superfisial dicirikan dengan folikulitis pustula yang tidak terlalu
meradang dan mungkin dihubungkan dengan T. Violaceum atau T.
Rubrum. Tipe superfisial dari tinea barbae mempunyai lesi pada tinea
corporis. Ada lesi berbentuk lingkaran dengan tipe vesikopustul. Reaksi
host terhadap penyakit ini tidak terlalu parah, meskipun alopecia mungkin
timbul di pusat lesi.
Tipe ini disebabkan oleh sedikit peradangan atropofil, bentuk tinea barbae
ini sangat menyerupai folikulitis bakteri, dengan eritema difusa ringan dan
papul folikular dan pustul. Rambut yang kusam dan rapuh membentuk
infeksi endotriks dengan T. Violaceum sebagai etiologi yang lebih sering
daripada T. Rubrum. Rambut yang terinfeksi biasanya mudah dicabut.
Yang jarang, E. floccosuin mungkin menyebabkan lesi verrukosa yang
menyebar yang dikenal sebagai epidermofitosis verrukosa.

4
Gambar: tinea barbae superfisialis; papul folikel dan pustul sering salah
diagnosis dengan folikulitis staphylococcus aureus.
3. Tipe Sirsinata
Tipe ini sangat mirip dengan tinea sirsinata dari kulit glabrous, tinea
barbae sirsisinata menunjukkan batas vesikopustular yang aktif menyebar
dengan lingkaran pusat dan rambut yang jarang-jarang pada daerah
tersebut.

Gambar: tinea barbae tipe sirsinata; memiliki tepi


F. Gejala klinis

Tinea barbae pada umumnya bersifat unilateral; dan lebih sering mengenai
dagu/janggot dari pada area bawah hidung/kumis. Penderita biasanya mengeluh
gatal dan pedih pada daerah yang terkena, disertai bintik bintik kemerahan yang
terkadang bernanah.Terdapat pustular folikulitis pada folikel rambut yang
dikelilingin oleh inflamasi kemerahan. Selain itu terdapat atau pustule. Rambut-
rambut disekitarnya akan gugur dengan sendirinya. Dengan berkurangnya folikel,
akan terlihat bintik kemerahan yang berbentuk bulat. Papul-papul akan berkumpul
menjadi plak.

G. Histopatologi

Reaksi seluler terhadap tinea barbae sama dengan yang direproduksi pada
tinea capitis dengan tipe yang lebih parah. Organisme mungkin tampak ada batang
rambut dan folikel dan sejumlah besar antrospora tampak pada batang rambut dan
hidup bebas pada debris seluler. Kadang-kadang organisme ini tidak tampak
adanya infiltrat pyogen yang akut yang terlihat. Pada lesi kronik atau dalam
penyembuhan, infiltrat peradangan kronik dengan sel raksasa mungkin terlihat.

H. Diagnosis

5
Diagnosis tinea barbae dapat ditegakkan dengan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. Orang-orang yang terkena adalah pekerjaan sebagai
petani dan peternak umumnya disebabkan oleh dua spesies utama yaitu T.
Metagrophytes dan T. Verrucosum.

Pemeriksaan kulit :

Lokasi: biasanya pada daerah dagu/jenggot, tapi dapat menyebar ke wajah


dan leher.
Efloresendi: rambut yang terkena menjadi rapuh dan tidak mengkilat,
tampak reaksi radang pada folikel berupa kemerahan, edema, kadang-
kadang postul

Laboratorium

Kerokan kulit atau rambut jenggot yang terkena (putus-putus, tidak


mengkilat) dengan larutan KOH 10-20%, dilihat langsung dibawah
mikroskop untuk mencari hifa atau infeksi endotriks/ eksotriks.
Biakan pada media agar saboraud.
Sinar Wood: fluorensi kehijauaan
I. Diagnosis Banding

Diagnosis lain perlu dipertimbangkan adalah folikulitis bakteri (vulgaris


sycosis), dermatitis perioral, pseudofolliculitis barbae, dermatitis akneiform,
dermatitis kontak dan akne vulgaris.

1. Bakteri folikulitis (sycosis vulgaris) adalah suatu kondisi kulit yang


ditandai dengan infeksi kronis pada dagu atau wilayah berjenggot. Iritasi
ini disebabkan oleh infeksi yang mendalam folikel rambut, sering oleh
spesies staphylococcus atau propionibacterium bakteri.

6
2. Perioral dermatitis adalah iritasi kulit yang umum wajah mempengaruhi
kulit disekitar mulut, memperpanjang diatas kali atau keluar ke pipi, dan
kurang umum di sekitar mata atau dahi. Sekitar 90% kasus adalah
perempuan anatara usia 16 dan 35, itu sangat jarang terlihat pada pria. Hal
ini juga jarang terjadi pada anak-anak, namun, jika mereka terpengaruh
paling sering terjadi anatara usia 7 bulan sampai 12 tahun. Penyebab
dermatitis perioral tidak diketahui namun diyakini bahwa penggunaan
jangka panjang krim steroid mungkin menjadi faktor.

3. Pseudofolliculitis barbae adalah yang palig umum pada wajah laki-laki,


tetapi juga bisa terjadi pada bagian lain dari luar tubuh mana rambut
dicukur atau dicabut, khususnya daera dimana rambut keriting dan kulit
sensitive.

7
4. Dermatitis kontak adalah peradangan si kulit karena kontak dengan
sesuatu yang dianggap asing oleh tubuh.

5. Akne vulgaris adalah penyakit, ditandai dengan daerah kulit dengan


seborrhea (kulit merah bersisik), komedo (black heads dan whiteheands),
papula (pinheads), pustula (jerawat), nodul (papula besar) dan mungkin
jaringan parut.

J. Terapi

Pengobatan untuk tinea barbae sama dengan pengobatan tinea capitis.


Terapi oral antimikosis diperlukan. Beberapa penelitian dan pengalaman sendiri
menunjukkan anti jamur topikal tidak cukup untuk mengontrol lesi dari tinea
barbae secara menyeluruh. Dengan demikian pada kebanyakan kasus sangat
direkomendasikan kombinasi antara pengobatan sistemik dan topik dan
antimikosis. Ketika mengenai rambut-rambut, pencukuran atau dilapisi sebaiknya
diambil sebagai pertimbangan.

Memangkas dan mencukur area jenggot juga sangat direkomendasikan,


sepanjang diberikan bersama-sama kompres hangat dan dilakukan pembersihan
sisa-sisa dari jaringan yang sakit. Kompres air hangat digunakan untuk
mengeringkan krusta dan debris sebagai pengobatan tidak spesifik, biasanya dapat

8
dilakukan. Sekarang ini terbinafine 250 mg digunakan sehari sekali untuk periode
paling sedikit selama 4 minggu, tergantung pada pilihan pengobatannya. Pada
beberapa kasus penggunaan griseofulvin pada dosis paling sedikit 20mg/kg/hari
(terapi berlangsung lebih dari 8 minggu) mungkin dapat dipertimbangkan.

Griseofulvin mungkin sangat berguna untuk tinea barbae, khususnya untuk


tipe kronik. Hilangnya rasa sakit, tidak nyaman, dan malaise secara cepat,
bersamaan dengan kegagalan untuk mengembangkan lesi satelit dan resolusi lebih
cepat dari penyakit ini, telah dilaporkan setelah pengobatan dari infeksi T.
Verrucosum yang parah. Dosis griseofulvin adalah 500mg per hari dibagi menjadi
2 sediaan. Pengobatan sebaiknya dilanjutkan selama dua atau tiga minggu seiring
hilangnya gejala-gejala klinis .

Intrakonazol 100mg/hari selama 4-6 minggu dapat sangat efektif. Yang


telah mengobati secara efektif dengan intrakonazol 100mg/ hari (selama 2 bulan
terapi ) pada seorang petani yang terinfeksi trichopyton verrucosum.

Sebagai pengobatan topikal biasanya digunakan 2 kelompok antijamur,


yaitu azol dan alilamin. Meskipun rekomendasi pengobatan umum sudah ada
untuk pasien tinea barbae, tetap penting diingat bahwa sering pada pasien tersebut,
regimen pengobatan, khusunya periode pengobatan, sebaiknya ditentukan
berdasarkan masing-masing pasien tersebut berdasarkan pada gejala klinis dan
penilaian laboratoriumnya. Eliminasi dari sumber infeksi, khususnya yang kontak
dengan hewan yang terinfeksi akan menjadi sangat penting untuk hasil akhir dari
pengobatan ini. Lebih lanjut lagi, pengobatan infeksi jamur lainnya seperti tinea
pedis dan onikkomikosi sangat penting, karena kemungkinan terjadinya
autoinokulasi pada janggut.

K. Prognosis

Karena kebanyakan kasus dari tinea barbae adalah tipe peradangan,


resolusi secara spontan biasanya terjadi. Durasi dari infeksi bervariasi tergantung
organisme yang terlibat. Karena T. Verrucosum dan T. Mentagrophytes
kebanyakan merupakan organisme yang virulen, infeksi yang terjadi umumnya

9
sembuh dalam dua sampai tiga minggu. Infeksi kronik dapat berlangsung lebih
dari dua bulan dan T. Rubrum atau T. Violaceum jarang menjadi penyebabnya.

10
BAB III
KESIMPULAN

Tinea barbae adalah infeksi dermatofitosis superfisialis yang jarang terjadi.


Infeksi ini hanya terbatas pada daerah yang berjanggut , yaitu pipi, dagu dan leher.
Hampir seluruh penderitanya laki-laki dewasa. Penyakit ini dapat disebabkan
berbagai organisme jamur , sehingga penyakit ini memiliki tiga tipe klinis, yaitu
tipe inflamasi (deep), tipe superficial, dan tipe sirsinata. Masing-masing tipe
memberikan gambaran klinis yang cukup berbeda. Untuk mendiagnosis penyakit
ini diperlukan aspek klinis dan pemeriksaan penunjang yang tepat seperti
pemeriksaan mikroskopik dengan KOH, maupun pemeriksaan biakan hingga
histopatologi. Kadang-kadang penyakit ini sulit dibedakan dengan sycosis barbae.
Terapi tinea barbae terbukti efektif bila dilakukan dengan kombinasi terapi
sistemik dan terapi topikal. Lama pengobatan tergantung kondisi penderita
masing-masing dan jenis jamur yang menginfeksinya.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A., Dermatitis Eritroskuamosa, Eritoderma. dalam Ilmu


PenyakitKulit dan Kelamin. (Ed) V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2005.3.
2. Siregar, R.S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. (Ed) II. Jakarta :
EGC;2005
3. Baran, W dan Schwartz, R.A. Tinea Barbae. Acta Dermatoven APA vol 13, 2004, No.
3.
4. Szepietowski JC, Schwartz R.A. Tinea faciei. eMedicine Dermatology. 2004.
5. Lin RL, Szepietowski JC, Schwartz RA. Tinea faciei, an often deceptive facial eruption.
Int J Dermatol 2004.

12

Anda mungkin juga menyukai