Anda di halaman 1dari 14

BAB II GAMBARAN PATOFISIOLOGI SEPSIS 2.1.

Patofisiologi Sepsis Sepsis


merupakan hasil interaksi yang kompleks antara organisme patogen dan tubuh
manusia sebagai pejamu. Tinjauan mengenai sepsis berhubungan dengan
patofisiologi yang kompleks untuk mengilustrasikan gambaran klinis akan suatu
hipotensi yang berat dan aliran darah yang terbendung akibat terbentuknya
mikrotrombus di dalam sistem kapiler. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi organ
yang kemudian dapat berkembang menjadi disfungsi dari beberapa organ dan
akhirnya kematian. Proses molekuler dan seluler dari pejamu sebagai respon
terhadap sepsis adalah berbeda-beda tergantung dari jenis organisme yang
menginvasi (organisme Gram-positif, organisme Gram-negatif, jamur, atau virus).
Respon pejamu terhadap organisme Gram-negatif dimulai dengan dikeluarkannya
lipopolisakarida, yakni endotoksin dari dalam dinding sel bakteri Gram-negatif, yang
dikeluarkan saat proses lisis. Organisme Gram-positif, jamur dan virus memulai
respon pejamu dengan mengeluarkan eksotoksin dan komponen-komponen antigen
seluler. Kedua substansi tadi memicu terjadinya kaskade sepsis yakni dimulai
dengan pengeluaran mediator-mediator inflamasi (Gambar 1). Mediator-mediator
inflamasi adalah substansi yang dikeluarkan dari sel sebagai hasil dari aktivasi
makrofag. Hasilnya adalah aktifnya sistem koagulasi dan sistem komplemen.
Kerusakan utama akibat aktivasi ini terjadi pada endotel dan menyebabkan migrasi
leukosit serta pembentukan mikrotrombus. Akibat aktivasi endotelium, terjadi
peningkatan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi
koagulasi pada lesi tersebut. Lesi pada endotel berhubungan dengan proses
fibrinolisis yang terganggu. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah reseptor
pada permukaan sel yang diperlukan untuk sintesis dan pemunculan molekul
antitrombotik. (Gambar 1) Kaskade sepsis ini menghasilkan kebocoran kapiler dan
vasodilatasi yang dapat berkembang lebih lanjut menjadi disfungsi organ dan syok.
Multiorgan Dysfunction Syndrome (MODS) dapat terjadi ketika syok, kebocoran
kapiler, dan vasodilatasi tidak distabilkan, dan dapat menyebabkan kematian. 2.2.
Wawasan Baru Tentang Patofisiologi Sepsis Sebelumnya, sepsis secara utama
hanya dipandang sebagai suatu kekacauan sistem inflamasi. Beberapa studi
terakhir mengindikasikan bahwa mekanisme sepsis juga mencakup aktivasi
koagulasi dan terganggunya fibrinolisis yang menyebabkan terbentuknya protrombin
sebagai hasil abnormalitas endotel yang diinduksi oleh sepsis dan kemudian
disfungsi organ. Gambar 2 mengilustrasikan hilangnya homeostasis pada sepsis
akibat mekanisme ini. Gambar 2. Hilangnya homeostasis pada sepsis. Patofsiologi
sepsis mencakup aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan fibrinolisis yang
terganggu. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam homeostasis yang normal
antara mekanisme prekoagulan dan antikoagulan. (PAI-1, plasminogen activator
inhibitor-1; TAFIa, thrombin activatable fibrinolysis inhibitor). 2.2.1. Respon Inflamasi
Pada orang dewasa, tumor necrosis factor alpha (TNF-) merupakan mediator
sepsis yang terutama di samping beberapa sitokin dan sel-sel lain yang juga terlibat.
Mula-mula, makrofag teraktivasi dan memproduksi sejajaran mediator-mediator
proinflamasi, termasuk TNF-, Interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-8, platelet activating
factor (PAF), leukotrien, dan thromboxane-A2. Mediator-mediator proinflamasi ini
mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi kaskade sepsis, dan menghasilkan
kerusakan endotel. Ketika terluka, sel-sel endotel dapat dilalui oleh granulosit dan
unsur-unsur plasma menuju jaringan yang mengalami inflamasi, yang mana dapat
berujung pada kerusakan organ. Inflamasi sel-sel endotelial menyebabkan
vasodilatasi melalui aksi nitric oxide pada pembuluh darah otot polos. Hipotensi
yang berat dihasilkan dari produksi nitric oxide yang berlebihan, sehingga
melepaskan peptida-peptida vasoaktif seperti bradikinin dan serotonin, dan dengan
kerusakan sel endotel ini, terjadilah ekstravasasi cairan ke jaringan interstisial.
Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru-paru melalui aktivasi netrofil yang
berada di paru-paru. Kerusakan kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas di
paru-paru, serta dapat menyebabkan oedem paru non kardiogenik. Sitokin-sitokin
proinflamasi mengaktivasi sistem komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur
alternatif. Sistem komplemen merupakan komponen yang esensial pada imunitas
bawaan. Namun demikian, aktivasi yang berlebihan, seperti yang terjadi pada
sepsis, dapat menyebabkan kerusakan endotel. C5a dan produk dari aktivasi
komplemen lainnya mengaktifkan kemotaksis neutrofil, fagositosis dengan
pelepasan enzim lisosom, sintesis leukotrien, meningkatkan agregasi dan adhesi
trombosit dan neutrofil, degranulasi, dan produksi radikal oksigen yang toksik.
Aktivasi sistem komplemen menghasilkan pelepasan histamin dari mast cells dan
meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan terkumpulnya cairan di
dalam rongga ke-tiga yang dapat ditemukan pada keadaan sepsis. Pada hewan
percoobaan, C5a menginduksi hipotensi, vasokonstriksi pulmonal, neutropenia, dan
kebocoran vaskular sehubungan dengan kerusakan kapiler. Data-data yang
menggambarkan mediator-mediator sepsis dan antagonisnya pada orang dewasa
tidak dapat diaplikasikan seluruhnya pada anak-anak. Perkembangan mediator-
mediator sepsis dan aktivitas agonis naturalnya pada anak-anak masih belum jelas.
Pada neonatus, didapatkan fungsi sel-B yang terganggu serta perubahan produksi
sel-T. Neonatus, terutama bayi yang lahir prematur memiliki sistem komplemen yang
terganggu baik kuantitas maupun kualitasnya. Respon mediator yang utama pada
orang dewasa lebih mudah dipahami dibandingkan dengan pada anak-anak.
Perbedaan presentasi pada neonatus dapat lebih kepada kesatuan kuantitatif (level
darah bervariasi menurut usia) versus perbedaan kualitatif (respon fisiologis
terhadap aktivasi mediator). Orang dewasa dan bayi menampakkan gejala-gejala
yang mengindikasikan respon inflamasi sistemik yang menuju kepada koagulopati,
hipotensi, perfusi jaringan perifer serta organ yang inadekuat, dan akhirnya
kegagalan organ serta kematian. Dengan memahami respon mediator inflamasi,
dapat dicari hubungan antara gambaran klinis sepsis dengan patofisiologi yang
mendasarinya serta penting untuk memahami mekanisme terapi untuk
penatalaksanaan sepsis. Tabel 2 menggambarkan sketsa efek biologis dan klinis
dari mediator-mediator inflamasi dan menegaskan perbandingannya pada neonatus.
2.2.2. Hubungan Inflamasi dan Koagulasi Inflamasi dan koagulasi sangat berkaitan
erat di dalam terjadinya sepsis. Mediator-mediator inflamasi membangkitkan
ekspresi tissue factor dan menginisiasi koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik,
sementara pembentukan trombin dari koagulasi yang teraktivasi menstimulasi
aktifnya mediator-mediator proinflamasi. Pelepasan TNF-, IL-1, and IL-6
menghasilkan monosit-monosit yang aktif untuk mengekspresikan tissue factor (TF)
yang kemudian akan menstimulasi kaskade koagulasi ekstrinsik dan produksi fibrin.
Tissue factor merupakan reseptor dengan afinitas tinggi serta kofaktor untuk faktor
VIIa. Saat TF diekspresikan kepada monosit, dia menempel pada factor VIIa untuk
membentuk kompleks aktif yang mengubah factor-faktor X dan IX menjadi bentuk
yang aktif. Munculnya tissue factor secara langsung mengaktivasi jalur koagulasi
ekstrinsik, dan melalui feedback loops, mengaktifkan jalur intrinsik secara tidak
langsung. Kolagen dan kallikrein mengaktivasi koagulasi jalur intrinsik serta
mengubah protrombin menjadi trombin. Trombin memiliki efek multiple pada
inflamasi dan juga membantu memelihara keseimbangan antara koagulasi dan
fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel-sel endotel, makrofag, dan
monosit, menyebabkan pelepasan TF, platelet activating factor, dan TNF-. Respon
sitokin berkontribusi pada aktivasi platelet dan agregasi. Trombin menstimulasi
chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis. Trombin
yang berlebihan akan menstimulasi terjadinya inflamasi dengan meningkatkan
produksi sel endotel E-selectin dan P-selectin yang menghasilkan perlekatan
neutrofil pada endothelium. Proses ini berperan dalam pembentukan mikrotrombus.
Trombin juga menstimulasi degranulasi mast cell yang melepaskan bioamin yang
kemudian akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan
terjadinya kebocoran kapiler. Tubuh memiliki mekanisme inhibisi bawaan serta
antikoagulan endogen untuk memelihara homeostasis. Protein C yang teraktivasi
memiliki reaksi antitrombosis yang dihasilkan dari inaktivasi faktor Va dan VIIIa.
Secara tidak langsung, produksi trombin juga mengurangi inflamasi dan
memperbaiki aktifitas fibrinolisis. Protein C yang teraktivasi juga menurunkan
ekspresi TF. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) diproduksi oleh sel-sel endotel
dan TF yang tidak aktif. TFPI juga dapat menginhibisi faktor-X secara langsung.
Seluruh mekanisme-mekanisme ini terganggu pada keadaan sepsis. TNF-
menyebabkan terganggunya inhibisi pembentukan trombin: antitrombin III, protein
C, protein S, dan TFPI. Proses ini mengarah kepada generasi trombin yang tidak
teratur. Trombin mengaktivasi faktor V dan VII pada jalur ekstrinsik, serta faktor IX
pada jalur intrinsik. Hasil akhir dari dari aktifasi tiap jalur adalah berhubungan dan
sama; protrombin memproduksi trombin, dan fibrinogan diubah menjadi fibrin. Bila
proses ini tidak diperiksa oleh antikoagulan natural, trombin akan menyebabkan
koagulasi yang tidak terkontrol yang mengarah kepada disfungsi organ seperti yang
terjadi pada keadaan sepsis berat. Gambar 3. Kaskade koagulasi. Pada keadaan
sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya dimulai dengan jalur ekstrinsik sebagai
hasil dari peningkatan ekspresi faktor jaringan yang distimulasi oleh mediator-
mediator inflamasi. Walaupun bukan dalam keadaan sepsis, neonatus dan bayi-bayi
prematur memiliki predisposisi terhadap hiperkoagulasi. Kadar protein C dan protein
S dalam plasma neonatus tereduksi. Sebaliknya, kadar trombomodulin reseptor
endotel meningkat pada periode neonatal. Selama sepsis, hiperkoagulasi ini dapat
bereksaserbasi dengan meningkatkan jumlah factor-faktor inhibisi koagulasi
(antithrombin [AT], protein C, protein S, reduced thrombomodulin, dan inhibisi
fibrinolisis oleh plasminogen activator inhibitor-1 [PAI-1]). 2.2.3. Fibrinolisis yang
terganggu Fibrinolisis (lisisnya bekuan/clot) merupakan respon homeostasis tubuh
untuk mengaktifkan sistem koagulasi. Pembersihan fibrin penting untuk
penyembuhan luka, angiogenesis, dan rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator
fibrinolisis meliputi aktivator plasminogen jaringan sel endotel tissue plasminogen
activator (t-PA) atau urokinase plasminogen activator (u-PA). Tubuh juga memiliki
inhibitor alami terhadap fibrinolisis, seperti PAI-1 dan thrombin-activatable
fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator serta inhibitor diperlukan untuk memelihara
keseimbangan homeostasis. Sepsis mengganggu respon fibrinolisis yang normal
dan membuat tubuh kurang mampu untuk menghilangkan mikrotrombus. TNF-
mensupresi fibrinolisis dengan meningkatkan level PAI-1 serta mencegah
pembersihan fibrin. Pemecahan fibrin menghasilkan produk degradasi fibrin (fibrin
degradation products) seperti D-dimer yang sering. Melalui jalan ini, mediator-
mediator proinflamasi (IL-6 dan TNF-) bekerja secara sinergis untuk meningkatkan
jumlah fibrin, yang dapat menyebabkan trombosis pada pembuluh darah berukuran
kecil dan sedang., serta potensial terhadap disfungsi organ. Secara klinis, disfungsi
organ dapat termanifestasikan sebagai distress pernafasan, hipotensi, gagal ginjal,
dan yang paling berat adalah progresi ke arah kematian. Kadar trombin yang tinggi
yang dihasilkan dari aktivasi koagulasi menuntun kepada aktifnya TAFI.
Meningkatnya jumlah TAFI merupakan mekanisme penting dalam inhibisi system
fibrinolisis selama sepsis. Protein C endogen yang teraktivasi memiliki sifat
profibrinolitik dengan kemampuannya untuk menginhibisi PAI-1 dan membatasi
pembentukan TAFI. Pada keadaan sepsis, kerusakan endotelium mengurangi
kemampuan tubuh untuk mengubah protein C menjadi protein C yang teraktivasi.
Sebagai akibatnya, pada keadaan sepsis, kemampuan untuk memulihkan
homeostasis melalui efek profibrinolitik dari protein C terganggu. Respon koagulasi
dan sistem fibrinolisis yang sejenis dapat dilihat juga pada bayi dengan infeksi
meningokokus. Hubungan antara protein C yang sangat rendah dengan tingginya
mortalitas menyokong hipotesis yang menyebutkan bahwa mekanisme dari penyakit
yang mendasari sepsis secara kualitatis adalah sama, tanpa melihat kuantitas atau
perbedaan faktor darah berdasarkan usia. BAB III SEPSIS NEONATORUM Fetus
dan neonatus sangat rentan terhadap infeksi. Sekitar 1-2 bayi dari 1000 kelahiran
mengalami infeksi. Ada tiga jalur utama terjadinya infeksi perinatal: (1) infeksi
transplasental (misalnya: cytomegalovirus, rubella, syphilis); (2) infeksi asendens
dengan disertai rusaknya barier plasenta (misalnya: infeksi bakteri setelah 12-18
jam selaput amnion pecah); dan (3) infeksi yang didapat oleh bayi saat melewati
jalan lahir yang telah terinfeksi atau terpapar darah ibu yang infeksius (misalnya:
herpes simplex, hepatitis B, infeksi bakteri lainnya). Beberapa faktor resiko klinis
sepsis neonatorum: Mayor Maternal prolonged Rupture of Membranes >24 jam
Intrapartum maternal fever >38 C Chorioamnionitis Sustained Fetal Tachycardia
>160 x/menit Minor Intrapartum maternal fever >37.5 C Gemelli Premature (<37>
Maternal Leukocytosis (White Blood Cell >15.000/mm3) Rupture of Membranes >
12 hour Tachypnea (<1> Maternal Group B Streptococcus Colonization Low APGAR
( 1 menit <5> LBW (<1500> Foul lochia Gambar 4. Langkah-langkah evaluasi
suspek infeksi neonatal dini. Sepsis neonatorum dapat dikategorikan sebagai onset
dini atau onset lanjut. Sekaitar 85% neonatus dengan infeksi onset dini mengalami
sepsis dalam 24 jam pertama kehidupannya, 5% antara 24-48 jam, dan sejumlah
kecil terjadi setelah 48 jam pertama kehidupan. Organisme penyebab infeksi, dan
lokasi primer infeksi bervariasi tergantung dari waktu terjadinya (onset) serta tempat
di mana bayi mendapatkan infeksi tersebut, apakah di rumah atau di rumah sakit.
Onset terjadi lebih cepat lagi pada bayi-bayi prematur. Sepsis onset dini umumnya
disebabkan oleh mikroorganisme yang diperoleh dari ibunya. Organisme yang
sering menyebabkan infeksi onset dini ini antara lain; group B Streptococcus (GBS),
Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Listeria monocytogenes Beberapa
kondisi perinatal berhubungan dengan meningkatnya resiko sepsis onset dini.
Sepsis onset dini umumnya sering terjadi pada prematuritas, gemelli, kelainan
kongenital, asfiksia perinatal, dan jenis kelamin laki-laki. Sindrom sepsis onset lanjut
terjadi pada hari ke-7-90 kehidupan dan umumnya didapatkan dari lingkungan.
Organisme penyebab antara lain coagulase-negative staphylococci, Staphylococcus
aureus, E coli, Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacter, Candida, GBS, Serratia,
Acinetobacter, dan anaerob. Organisme-organisme ini umumnya membentuk koloni
pada kulit bayi, traktur respiratorius, konjungtiva, traktus gastrointestinal, dan
umbilicus. Vektor yang dapat menjadi tempat kolonisasi juga mencakup kateter urin,
IV line, serta melalui kontak dengan orang yang merawat bayi tersebut. Kapsul
polisakarida menempel dengan baik pada polimer pelastik kateter. Adhesi ini
menciptakan suatu kapsul di antara mikroba dan kateter yang menghalangi deposisi
C3 dan fagositosis. Selain itu juga, protein yang terdapat pada organisme [AtlE and
SSP-1] akan meningkatkan penempelan pada permukaan kateter. Pneumonia yang
ditandai dengan distress pernafasan sering terjadi pada sepsis onset dini,
sementara meningitis umumnya sering terjadi pada sepsis onset lanjut ( 85%
disebabkan oleh GBS dan L. monocytogenes). Faktor resiko ibu mencakup
kolonisasi streptokokus pada vagina, demam intrapartum, ketuban yang lambat
pecah (>18-24 jam), kala 2 memanjang, serta chorioamnionitis atau ada riwayat
infeksi saluran kemih. Bayi-bayi prematur dan bayi-bayi sakit memiliki kerentanan
yang tinggi terhadap sepsis dan umumnya tidak serta merta tampak jelas; karena itu
kelompok ini membutuhkan perhatian lebih sehingga ancaman sepsis dapat
diidentifikasi secara dini dan mendapat terapi yang efektif. Tabel 3. Tanda-tanda
Klinis pada Sepsis Neonatorum Onset dini Onset lanjut bayi tampak tidak sehat
Merintih temperatur tidak stabil Tachypnea tidak mau minum Cyanosis mengisap
lemah Perfusi buruk muntah/residu gaster Hipotonus distensi abdomen
letargi/apnoe letargi/apnoe ikterus(<24jam) fontanel tegang/konvulsi Syok syok 3.1.
Etiologi sepsis neonatorum Agen-agen infeksius penyebab sepsis neonstorum telah
banyak berubah dalam 50 tahun terakhir. Di Amerika Serikat, S. aureus dan E. coli
merupakan penyebab infeksi yang tersering serta membahayakan pada kejadian
sepsis neonatorum di era tahun 1950an. Setelah itu, GBS kemudian menggantikan
S. aureus sebagai agen Gram-positif yang tersering yang menyebabkan sepsis
onset dini pada dekade selanjutnya. Selama tahun 1990an, GBS dan E. coli tetap
dihubungkan sebagai penyebab utama sepsis. Beberapa organisme yang lain yang
juga diidentifikasi dalam kejadian sepsis neonatorum antara lain: coagulase-
negative S aureus, L monocytogenes, Chlamydia pneumonia, Haemophilus
influenzae, Enterobacter aerogenes, dan species Bacteroides serta Clostridium .
Meningoencephalitis dan sindrom sepsis neonatal dapat pula disebabkan karena
infeksi oleh adenovirus, enterovirus, atau coxsackievirus. Selain itu, penyakit
menular seksual dan penyakit infeksi virus, seperti gonorrhea, syphilis, herpes
simplex virus (HSV), cytomegalovirus (CMV), hepatitis, HIV, rubella, toxoplasmosis,
Trichomonas vaginalis, dan Candida species juga sering ditemukan berkaitan
dengan sepsis neonatorum. Bakteri-bakteri dengan resistensi yang tinggi terhadap
antibiotik juga sangat berbahaya serta selanjutnya akan menyulitkan penanganan
sepsis neonatorum ini. 3.2. Tinjauan Immunologis Neonatus Jika dibandingkan
dengan orang dewasa, fungsi sistem imun neonatus memiliki kekurangan pada
beberapa aspek antara lain: tipe-tipe antibodi spesifik, fungsi bakterisidal dan
fagositik, opsonosasi, komplemen yang bersirkulasi, serta kemampuan untuk
meningkatkan produksi neutrofil sebagai rerspon terhadap infeksi. Kadar serta
fungsi monosit pada neonatus sama dengan orang dewasa; namun demikian,
aktivitas kemotaksis makrofag terganggu dan berlanjut dengan penurunan fungsinya
sampai masa kanak-kanak awal. Jumlah makrofag di paru-paru, limpa, serta hepar
menurun. Aktivitas kemotaksis, bakterisidal, serta pemaparan antigen tidak
sempurna baik. Jumlah sitokin yang diproduksi oleh makrofag juga berkurang, yang
mana dapat berhubungan dengan penurunan jumlah produksi sel-T. Sel-T
ditemukan dalam sirkulasi janin pada awal kehamilan dan jumlahnya meningkat saat
kelahiran sampai usia sekitar 6 bulan. Namun, sel ini banyak yang immatur dan
tidak bertahan lama. Neonatus kekurangan fenotip sel-T dengan sel memori pada
permukaannya. Namun demikian, jumlah sel-T ini bertambah dengan makin
maturnya neonatus serta dengan stimulus paparan antigen. Sel-T neonatus yang
masih naf ini belum dapat langsung berproliferasi bila diaktivasi seperti pada sel-T
orang dewasa. Selain itu, sel-T neonatus ini belum secara efektif memproduksi
sitokin saat terjadi stimulasi dan diferensiasi oleh sel-B, serta stimulasi sum-sum
tulang oleh granulosit/monosit. Keterlambatan pembentukan fungsi memori
terhadap antigen spesifik mengikuti terjadinya infeksi primer. Fungsi sitotoksik sel-T
neonatus kurang lebih 50-100% sama efektifnya dengan sel-T orang dewasa.
Kekebalan pasif terhadap beberapa jenis organisme didapatkan melalui IgG yang
ditransfer melalui plasenta selama trimester III kehamilan. Kadar IgG antibodi dalam
darah bayi cukup bulan setara dengan kadar antibodi tersebut dalam tubuh ibunya.
Maka dari itu, bayi-bayi yang lahir prematur khususnya yang lahir pada usia
kehamilan kurang dari 30 minggu, tentu tidak memiliki antibodi ini secara
mencukupi. Bila sistem imun ibu tersupresi (immunosuppressed mother), maka
tentu akan sangat mungkin bahwa jumlah IgG yang ditransmisikan kepada janinnya
juga rendah. Janin dapat mensintesis IgM pada usia kehamilan 10 minggu; namun
levelnya sangat rendah saat lahir, kecuali jika janin terpapar agen infeksius selama
kehamilan. Hal tersebut akan menstimulasi peningkatan produksi IgM. IgG dan IgE
juga dapat disintesis oleh janin dalam kandungan namun jumlahnya dalam darah
pada saat lahir hanya sedikit. Neonatus mendapatkan IgA melalui ASI dan mulai
mensekresikan IgA pada usia 2-5 minggu. Respon terhadap antigen polisakarida
berkurang dan tetap demikian sampai 2 tahun pertama kehidupan. Pada neonatus,
kemampuan kemotaksis dan kapasitas neutrofil neonatal serta leukosit PMN untuk
mengeliminasi antigen mengalami penurunan. Berkurangnya adhesi sel-sel ini pada
pembuluh darah mengurangi kemampuannya untuk berdiapedesis meniggalkan
pembuluh darah menuju ke jaringan. Selain itu juga, PMN pada neonatal kurang
dapat bergerak melalui matriks ekstraselular jaringan untuk mencapai lokus
inflamasi dan infeksi. Kemampuan PMN untuk memfagositosis dan membunuh
bakteri terganggu saat bayi itu sakit. Yang terakhir, cadangan neutrofil dengan
mudah terdeplesi karena sum-sum tulang kurang responsif, khususnya pada bayi
prematur. Natural killer (NK) cells ditemukan dalam jumlah yang lebih besar pada
darah tepi neonatus dibandingkan orang dewasa; namun kemampuannya berkurang
dalam hal mengekspresikan antigen pada membran sel. Respon yang berkurang ini
ditemukan pada infeksi herpes virus pada neonatus. Janin mulai dapat
memproduksi protein komplemen pada usia kehamilan 6 minggu. Komposisi
komponen komplemen ini sangat bervariasi pada tiap neonatus. Aktivitas
komplemen pada neonatus dalam membunuh organisme, khususnya bakteri Gram-
negatif, masih kurang efisien. Hal ini terutama terjadi pada bayi-bayi prematur.
Aktifitas sistem komplemen mulai matang pada usia 6-10 bulan. Fibronectin, suatu
protein serum yang diinduksi dengan penempelan neutrofil serta memiliki aktivitas
opsonisasi, ditemukan dalam kadar yang rendah pada neonatus. Karena itulah,
efisiensi serum neonatus rendah dalam mengopsonisasi agen infektif. 3.3. Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS) Manifestasi klinis infeksi tergantung pada
virulensi organisme yang terkena serta respon inflamasi tubuh terhadap agen
infeksi. Istilah SIRS sering digunakan untuk menjelaskan keunikan proses infeksi
serta respon sistemik yang mengikutinya. Selain infeksi, SIRS juga dapat dihasilkan
dari trauma, syok hemoragic, penyebab-penyebab iskemia yang lain, serta
pankreatitis. Pasien-pasien dengan SIRS memiliki spektrum gejala klinis yang
menampakkan proses patologis yang progresif. Batasan SIRS ialah respon
inflamasi sistemik terhadap gangguan/kerusakan klinis yang ditandai dengan
adanya dua atau lebih hal-hal berikut: (1) Temperatur tubuh yang tidak stabil
(<35>38,5 C), (2) Disfungsi respirasi (tachipnoe atau hipoksemia) (3) Disfungsi
Cardiac (tachicardia, delayed capillary refill >3 detik, hipotensi), dan (4)Abnormalitas
perfusi (oliguria, asidosis laktat, perubahan status mental). Meningkatnya
permeabilitas vaskuler menyebabkan kebocoran kapiler pada jaringan perifer dan
paru-paru yang mengakibatkan terjadinya udem perifer dan udem paru-paru.
Kerusakan jaringan pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan multiorgan dan
kematian. 3.4. Tanda-tanda Sepsis Neonatorum Diagnosis dini umumnya
dilaksanakan ketika ada kecurigaan ke arah sepsis. Biasanya, tanda-tanda sepsis
dini agak sukar ditentukan dan nonspesifik. Tanda awal yang paling umum adalah
bayi ampak tidak sehat, serta tidak dapat minum susu atau adanya intoleransi
terhadap makanan yang masuk, rewel atau lethargy, serta temperatur tubuh yang
tidak stabil. Jika didapatkan beberapa manifestasi yang jelas secara bersamaan,
maka akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Infeksi transplasetal (CMV, T.
Pallidum, T. gondii, rubella, parvovirus B19, dll) dapat asimtomatis saat lahir. Gejala-
gejala dan tanda tidak membantu untuk menegakkan diagnosis etiologi, namun
meningkatkan kecurigaan terhadap infeksi intrauterin serta membantu membedakan
infeksi ini dengan infeksi bakteria akut yang yang terjadi selama proses persalinan.
Beberapa gejala dan tanda antara lain: pertumbuhan intrauterin yang terbatas,
mikrosefalus atau hidrosefalus, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, katarak,
miokarditis, pneumonia, hepatosplenomegali, hiperbilirubinemia, anemia,
trombositopenia, hydrops fetalis, serta manifestasi kulit seperti; petechiae, purpura,
dan vesikel. Kebanyakan agen ini menyebabkan gejala sisa, walaupun bayi
asimtomatis saat lahir. Beberapa gejala tambahan lainnya ialah gangguan
pendengaran sensorineural, kejang, dan abnormalitas perkembangan sistem saraf.
Neonatus dengan sepsis bakterialis dapat disertai dengan gejala-gejala nonspesifik
atau tanda-tanda fokal infeksi antara lain; temperatur yang tidak stabil, hipotensi,
perfusi buruk (pucat dan atau berbercak-bercak), asidosis metabolik, takikardi atau
bradikadi, apnoe, distres pernafasan, merintih, sianosis, irritable, letargi, kejang,
intoleransi makanan, distensi abdomen, ikterus, petechiae, purpura, dan
perdarahan. Manifestasi awal biasanya terbatas pada gejala pada satu sistem organ
saja seperti apnoe saja atau takipnu dengan retraksi atau takikardi. Tetapi dapat
pula langsung bermanifestasi berat dengan disfungsi multiorgan. Bayi harus dire-
evaluasi secara berkala untuk menilai apakah gejala telah berkembang dari ringan
menjadi berat. Komplikasi lanjut dari sepsis meliputi gagal nafas, hipertensi
pulmonal, gagal jantung, syok, gagal ginjal, disfungsi hepar, udem serebral atau
trombosis, perdarahan atau insufisiensi adrenal, disfungsi sum-sum tulang
(neutropenia, trombositopenia, anemia), dan DIC. Tabel 4. Tanda-tanda dan Gejala
infeksi Neonatus pada beberapa sistem organ UMUM CVS Demam, temperatur
tidak stabil Pucat, bercak-bercak, dingin, clammy skin Bayi tampak tidak sehat
Tachycardia Tidak mau minum Hipotensi Edema Bradikardi GI SYSTEM CNS
Distensi abdomen Irritable, letargi Muntah tremor, kejang Diare hiporefleks,
hipotonus Hepatomegali Refleks Moro abnormal Respirasi ireguler SISTEM
PERNAPASAN Fontanel tegang Apnoe, dyspnoe high-pitched cry Tachipnoe,
retraksi PCH, merintih SISTEM HEMATOLOGI Cyanosis Ikterus Splenomegali
SISTEM RENAL Pucat Oliguria Petechiae, purpura Perdarahan Karena manifestasi
awal dari sepsis tidak spesifik, diagnosis dini terhadap sepsis sukar dilakukan.
Sepsis bakterialis memiliki progresifitas yang sangat cepat sehingga klinisi harus
awas terhadap gejala-gejala dan tanda infeksi yang mungkin ada dan melakukan
reevaluasi diagnosis serta pemberian terapi antimikroba empiris. Sebagian besar
klinisi merekomendasikan untuk mulai memberikan terapi antibiotic pada neonatus
yang mengalami distress pernafasan yang membutuhkan oksigen atau bantuan
ventilator, khususnya pada bayi dengan usia kehamilan di atas 34 minggu. 3.5.
Pemeriksaan Penunjang Sepsis Dalam menentukan diagnosis sepsis, riwayat
perinatal, pemeriksaan fisik, serta perjalanan penyakit harus dievaluasi dengan
cermat. Pemeriksaan darah rutin dan hitung jenis leukosit umumnya bermanfaat
walaupun tidak spesifik untuk sepsis. Adanya leukopenia (<> 0,2, mengindikasikan
prediksi yang mengarah kepada sepsis. Bila hal-hal tersebut tidak ditemukan, maka
kemungkinan sepsis adalah minim. Akurasi prediksi ini penting untuk dibuktikan
dengan reevaluasi dalam 8-24 jam. Trombositopenia, granul toksik, vakuolisasi, dan
badan Dhle merupakan perubahan lain yang dapat membantu menyingkirkan
kemungkinan sepsis. Leukositosis dan neutrophilia bukan indikator yang baik untuk
kemungkinan sepsis. Tes aglutinasi latex terhadap adanya antigen GBS umumnya
dilakukan pada urin. Namun demikian, positif palsu terjadi pada lebih dari 10%
kasus. Pengukuran mikrosedimentation rate, C-reactive protein, fibronectin, dan
haptoglobin memiliki akurasi dan spesifisitas yang rendah. Pemeriksaan yang lebih
lengkap mencakup radiografi thorax dan biakan darah. Pada bayi dengan resiko
tinggi, kurang dari 72 jam, dan asimtomatik, biakan urin dan spinal tap juga perlu
dilakukan. Bayi-bayi pada keadaan di atas biasanya tidak mungkin menderita
meningitits tanpa adanya hasil positif pada biakan darah. Meskipun demikian,
walaupun biakan darah sudah memberi hasil positif, LCS juga harus tetap diperiksa.
Bila LCS positif atau bila ada tanda yang jelas akan adanya meningitis walaupun
dengan hasil biakan negatif, pemberian terapi antibiotik harus diperpanjang. Setelah
72 jam pertama post partum atau ketika ada kecurigaan kuat terhadap sepsis,
aspirasi suprapubik dan LCS sebaiknya dilakukan. Beberapa bayi dalam keadaan
kritis, terutama bayi BBLR, dapat diberikan antibiotik sebelum spinal tap dilakukan.
Bila antibiotik sudah mulai diberikan, biakan harus diinkubasikan selam 72 jam
untuk menyediakan cukup waktu bagi organisme untuk berkembang biak sebelum
biakan dinyatakan negatif dan terapi antibiotik intravena dihentikan. Hanya sekitar
82-90% biakan darah sensitif pada neonatus. Karena itu, dengan adanya
kecurigaan klinik yang cukup kuat terhadap sepsis serta jumlah leukosit yang
abnormal, bayi harus diterapi lengkap dengan antibiotikwalaupun dengan hasil
biakan yang negatif . Pemeriksaan cairan serebrospinal umumnya sukar
diinterpretasikan pada neonatus. LCS normal dapat mengandung sampai 32
leukosit per mikroliter, dengan 60% sel PMN. Kadar glukosa LCS bervariasi pada
neonatus, namun secara umum 40% lebih tinggi dari kadar glukosa dalam plasma.
Protein dapat mencapai 180mg/dL atau lebih tinggi pada bayi prematur. Organisme
sebaiknya dilihat dengan pewarnaan Gram. 3.5. Penatalaksanaan Sepsis Bila
sepsis kecurigaan sudah cukup kuat ke arah sepsis, maka beberap tes harus
dilakukan segera dan pemberian antibiotic perlu dilakukan segera. Antibiotik
dilanjutkan sampai hasil ada hasil biakan dan respon klinis terhadap intervensi
dievaluasi. Mula-mula, infeksi diterapi empiris dengan antibiotik spektrum luas
seperti penisilin dan aminoglikosida untuk mencakup organisme-organisme Gram-
positif dan Gram-negatif. Ketika organisme penyebab telah diidentifikasi, antibiotik
tadi mungkin perlu diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai. Beberapa golongan
antibiotik yang biasanya dipakai untuk sindrom sepsis neonatorum antara lain
adalah: ampicillin, gentamicin, cefotaxime, vancomycin, metronidazole,
erythromycin, dan piperacillin. Pilihan antibiotik harus didasarkan pada organisme
yang bersangkutan dengan sepsis tersebut, sensitifitas agen bakterial, serta harus
mencegah tren infeksi naosokomial pada bayi. Perlu diingat bahwa infeksi virus juga
dapat menyerupai infeksi bakteri. Kategori Obat: Antibiotik Terapi antimikroba
secara empiris Empiric antimicrobial harus cukup luas dan sebaiknya mencakup
semua pathogen yang mungkin pada konteks gambaran klinis. Nama Obat
Ampicillin (Marcillin, Omnipen, Polycillin, Principen, Totacillin) Antibiotik beta-
lactam yang bersifat bacteriocidal bagi bebrapa organisms, seperti GBS, Listeria,
nonpenicillinase-producing Staphylococcus, beberapa strains of H influenzae, dan
meningokokus. Dosis Pediatrik <7 hari dan <2000 g: 50 mg/kg/dose IV/IM q12h
<7>2000 g: 50 mg/kg/dose IV/IM q8h 7-30 hari dan <1200 g: 50 mg/kg/dose IV/IM
q12h 7-30 hari dan 1200-2000 g: 50 mg/kg/dose IV/IM q8h 7-30 hari dan >2000 g:
50 mg/kg/dose IV/IM q6h >30 hari: 100-200 mg/kg/hari IV/IM dibagi q6h; dosis dapat
digandakan pada kasus meningitis. Nama Obat Gentamicin (Garamycin) --
Aminoglycoside yang bacteriocidal untuk beberapa organisme gram-negative
seperti E coli dan Pseudomonas, Proteus, dan Serratia species. Efektif pada
kombinasi dengan ampicillin untuk GBS and Enterococcus. Dosis Pediatrik 0-4
minggu dan <1200 g: 2.5 mg/kg/dose IV/IM q18h <7 hari dan 1200-2000 g: 2.5
mg/kg/dose IV/IM q12h <7>2000 g: 2.5 mg/kg/dose IV/IM q12h >7 hari dan 1200-
2000 g: 2.5 mg/kg/dose IV/IM q8h >7 hari dan >2000 g: 2.5 mg/kg/dose IV/IM q8h
(IM dilakukan bila akses vena sukar) Nama Obat Cefotaxime (Claforan)
Cephalosporin generasi III. Efektif melawan GBS dan E coli serta gram-negative
enteric bacilli lainnya. Kadar dalam serum dan LCS baik. Kemampuannya melawan
drug-resistant gram-negative bacteria lebih daripada penicillin dan aminoglycoside.
Tidak efektif terhadap Listeria dan enterococci. Digunakan dalam kombinasi dengan
ampicillin. Pediatric Dose <7 hari: 50 mg/kg/dose IV/IM q12h >7 hari: 50 mg/kg/dose
IV/IM q8h Nama Obat Vancomycin (Lyphocin, Vancocin, Vancoled) Bakterisidal
terhadap kebanyakan coccus dan basil gram-positif maupun anaerob.Penting
khususnya untuk terapi MRSA. Direkomendasikan bila sepsis dicurigai disebabkan
oleh coagulase-negative staphylococcal. Terapi dengan rifampin, gentamycin, or
cephalothin dilakukan pada endokarditis atau infeksi CSF shunt oleh coagulase-
negative staphylococcus. Pediatric Dose <1 month: <1200 g: 15 mg/kg/dose IV qd
1200-2000 g: 10 mg/kg/dose IV q12h >2000 g: 10 mg/kg/dose IV q8h Drug Name
Metronidazole (Flagyl) -- Antimicrobial yang efektif melawan infeksi anaerob,
terutama meningitis oleh Bacteroides fragilis. Pediatric Dose <4 minggu dan <1200
g: 7.5 mg/kg/dose PO/IV q2d <7 hari dan 1200-2000 g: 7.5 mg PO/IV qd <7>2000 g:
7.5 mg/kg PO/IV q12h >7 hari dan 1200-2000 g: 7.5 mg/kg PO/IV q12h >7 hari dan
>2000 g: 15 mg/kg/dose q12h Nama obat Erythromycin (E-Mycin, Erythrocin)
Macrolide antimicrobial agent terutama bersifat bacteriostatik dan aktif melawan
kebanyakan bakteri Gram-positif, seperti Neisseria species, Mycoplasma
pneumoniae, Ureaplasma urealyticum, dan Chlamydia trachomatis. Tidak
terkonsentrasi dengan baik di LCS. Dosis Pediatrik <7 hari dan <2000 g: 5
mg/kg/dose PO/IV/IM q12h <7>2000 g: 5 mg/kg/dose PO/IV/IM q8h >7 hari dan
<1200 g: 5 mg/kg PO/IV/IM q12h >7 hari dan >1200 g: 10 mg/kg PO/IV/IM q8h
Nama Obat Piperacillin (Pipracil) -- Suatu acylampicillin dengan aktivitas yang baik
melawan Pseudomonas aeruginosa. Efektif melawan Klebsiella pneumonia, Proteus
mirabilis, B fragilis, S marcescens, dan kebanyakan strain Enterobacter. Tersedia
dalam bentuk kombinasi dengan aminoglikosida. Pediatric Dose <7 hari dan 1200-
2000 g: 75 mg/kg IV/IM q12h <7>2000 g: 75 mg/kg IV/IM q8h >7 hari dan 1200-
2000 g: 75 mg/kg IV/IM q8h >7 hari dan >2000 g: 75 mg/kg/dose IV/IM q6h Kategori
Obat: Antiviral Infeksi viral seperti HSV, dapat menyerupai sepsis bakterialis. Pada
onset infeksi, terapi harus langsung diberikan untuk mencegah replikasi virus. Nama
obat Acyclovir (Zovirax) Digunakan untuk infeksi mukosa, kutan, dan sistemik oleh
HSV-1 and HSV-2. Dosis Pediatrik 1500 mg/m2/hari PO/IV dibagi q8h atau 30
mg/kg/hari PO/IV dibagi q8h selama 14-21 hari; dosis 45-60 mg/kg/hari dibagi q8h
digunakan untuk bayi aterm. Bayi prematur: 20 mg/kg/hari PO/IV dibagi q12h
selama 14-21 hari. Nama Obat Zidovudine (Retrovir) Analog thymidine,
menginhibisi replikasi virus. Dipakai pada terapi penderita HIV. Dosis Pediatrik 3
bulan 12 tahun: 90-180 mg/m2/dosis PO q6h; max: 200 mg q6h 0.5-1.8 mg/kg/jam
(continuous IV); atau 100 mg/m2/dosis (intermittent IV q6h) Kategori obat: Antifungi
Infeksi fungi dapat menyerupai infeksi bacterial dan/atau dapat muncul pada terapi
antibacterial yang lama. Mekanismenya dapat mencakup perubahan metabolisme
RNA dan DNA atau akumulasi peroksida yang sangat toksik pada sel fungi. Nama
Obat Fluconazole (Diflucan) Digunakan untuk infeksi jamur, termasuk candidiasis
orofaringeal, esophageal, dan vaginal. Juga digunakan untuk infeksi kandida
sistemik dan meningitis krooptokokal. Aktivitasnya bersifat fungistatik. Merupakan
antifungal oral sintetik (broad-spectrum bistriazole) yang menginhibisi fungal secara
selektif (CYP450 dan sterol C-14 alpha-demethylation), yang mencegah konversi
which prevents conversion lanosterol menjadi ergosterol, sehingga dengan demikian
mengganggu membrane sel. Dosis Pediatrik 0-14 hari : Oropharyngeal Candidiasis :
6 mg/kg PO/IV initial dose; setelah 3 hari, 3 mg/kg q3d (total 14 hari). Esophageal
candidiasis: 6 mg/kg PO/IV initial dose, kemudian 6-12 mg/kg q3d selama 21 hari.
Systemic candidiasis: 6-12 mg/kg/dose PO/IV q3d selam 28 hari. Dosis neonatus
dan bayi, sama. Diberikan tiap hari. Untuk meningitis kriptokokal akut, dosis inisial
ditingkatkan menjadi 12 mg/kg, dan 6-12 mg/kg/dose diberikan selama 10-12
minggu setelah kultur LCS negative. Nama Obat Amphotericin B (Amphocin,
Fungizone) digunakan untuk mengobati infeksi sistemik dan meningitis yang
disebabkan oleh beberapa jenis jamur seperti Candida dan Aspergillus species,
Histoplasma capsulatum, dan Cryptococcus neoformans. Antibiotik polyeneyang
diproduksi oleh strain Streptomyces nodosus; dapat bersifatfungistatik satau
fungisidal. Berikatan dengan sterols, seperti ergosterol, di dalam membrane sel
jamur. Hal ini menyebabkan kebocoran komponen intraselular dan akhirnya
kematian sel jamur tersebut. Dosis Pediatrik Dosis percobaan: 0.1 mg/kg/dose IV;
max: 1 mg/dose melalui infuse selama 20-60 menit atau 0.25 mg/kg melalui infuse
selama 6 jam; bila dapat ditolerasi, diberikan 0.25 mg/kg/hari; dosis ditingkatkan
secara bertahap sebanyak 0.25mg/kg/hari. Peningkatan ini dilakukan sampai
dicapai dosis harian yang diinginkan. Dosis pemeliharaan: 0.25-1 mg/kg/hari IV qd
melalui infus selama 4-6 jam; total dosis yang diberikan: 30-35 mg/kg selama 6
minggu. 3.7. Follow up Untuk pasien yang akan berobat jalan: Tenaga kesehatan
sebaiknya mengikuti perkembangan bayi dalam satu minggu setelah keluar dari
rumah sakit. Bayi dapat dievaluasi akan kemungkinan terjadinya superinfeksi yang
disebabkan oleh lamanya pemakaian antibiotik. Menentukan apakah jenis makanan
serta aktivitas dapat kembali normal. Penekanan pada keluarga akan pentingnya
pemberian imunisasi pada anaknya. Untuk pasien yang akan dipindahkan: Bayi
dapat dipindahkan ke perinatal center level III, khususnya bayi tersebut
membutuhkan bantuan kardiopulmoner dan/atau nutrisi parenteral. Pelayanan
multidisiplin diperlukan dalam perawatan acute compromised neonatus. 3.8.
Pencegahan Pemeriksaan obstetrik yang baik merupakan salah satu strategi dalam
pengelolaan penyakit GBS onset dini. Sebaiknya dilakukan perawatan terhadap ibu
hamil dengan GBS bakteriuria saat terdiagnosis dan saat melahirkan. Demikian pula
dengan wanita yang pada kehamilan sebelumnya melahirkan bayi dengan penyakit
GBS. Klinisi sebaiknya menggunakan strategi terapi berdasarkan skrining terhadap
ibu atau strategi perdasarkan adanya faktor-faktor resiko intrapartum untuk
meminimalisasikan terjadinya penyakit GBS onset dini. 3.9. Komplikasi Pada bayi
dengan meningitis dapat terjadi hidrosefalus dan/atau periventrikular leukomalasia.
Selain itu juga dapat terjadi komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan
aminoglikosida, seperti gangguan pendengaran dan/atau nefrotoksisitas. 3.10.
Prognosis Dengan diagnosis dini dan terapi yang baik, bayi umumnya tidak akan
mengalami masalah kesehatan yang berhubungan dengan sepsis dalam jangka
waktu yang lama. Namun demikian, bila tanda awal dan/atau faktor-faktor resiko
terlewatkan, maka mortalitas dapat meningkat. Sequelle kerusakan neurologis
terjadi pada 15-30% neonatus yang mengalami sepsis. BAB IV KESIMPULAN
Perkembangan tentang patofisiologi sepsis telah banyak terjadi dalam dekade
terakhir. Sebelumnya, sepsis hanya dipandang sebagai suatu proses gangguan
inflamasi. Penelitian baru menunjukkan bahwa faktor-faktor hematologis yang
kompleks, termasuk aktivasi koagulasi dan gangguan fibrinolisis, membentuk
protrombotik sebagai hasil dari abnormalitas endotel serta disfungsi organ yang
diinduksi karena terjadinya sepsis. Bukti terbaru menunjukkan bahwa walaupun
fakta tentang immaturitas perkembangan system immune dan hematologi bayi
adalah benar, secara garis besarnya patofisiologi sepsis antara bayi dan dewasa
adalah sama-sama didasarkan pada inflamasi, koagulasi, dan supresi terhadap
proses fibrinolisis yang kemudian berujung pada kegagalan organ. Sepsis pada
neonatus merupakan hal penting dan berakibat fatal bila tidak terdeteksi sehingga
tidak mendapatkan pengelolaan yang baik. Pada beberapa kasus, gejala sepsis
pada neonatus tidak tampak jelas. Hal ini menjadi tantangan pada klinisi intuk dapat
mendiagnosis dini akan adanya sepsis dengan secara cermat mencari adanya
tanda awal atau pun faktor-faktor resiko yang mungkin ada dan dapat menyebabkan
terjadinya sepsis pada neonatus. DAFTAR PUSTAKA Behrman R. E., Kliegman
R.M., Jenson H.B. 2003. Nelson textbook of pediatrics. 17th ed. China: Saunders.
Hay Jr W.W., Hayward A. R., Levin M. J., Sondheimer J.M. 2003. A LANGE medical
book CURRENT pediatric diagnosis & treatment. 16th ed. Boston: McGRAW-HILL.
Rudolph A.M., Kamei R.K., Overby K.J. 2002. Rudolphs fundamental of pediatrics.
3rd ed. New York: McGRAW-HILL Medical Publishing Division.
http://www.emedicine.com Neonatal Sepsis. 2004.
http://www.medscape.com/viewarticle/493246 Linking the Sepsis Triad of
Inflammation, Coagulation, and Suppressed Fibrinolysis to Infants. 2004.
http://www.fpnotebook.com/OB7.htm Neonatal sepsis. 2005.

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

Anda mungkin juga menyukai