TETANUS
Disusun oleh:
Imelda Puspita
Satria Dharma S.
Pembimbing :
2016
0
DAFTAR ISI
2.2 Etiologi..............................................................................................3
2.3 Epidemiologi.....................................................................................5
2.5 Patofisiologi.......................................................................................6
2.7 Diagnosis.........................................................................................10
2.9 Penatalaksanaan...............................................................................18
2.10 Komplikasi....................................................................................23
2.11 Prognosis.......................................................................................23
2.12 Pencegahan...................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................27
1
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka,
gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali
pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin
antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari
otot bergaris.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat.5 Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease".
Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang disebakan oleh
tetanospasmin, yaitu sejenis yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang
menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid).
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti
menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya
punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan.6
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, Cloastridium tetani. Bakteri ini
berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan
juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa
tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau
bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita
tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. Spora dari
Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis.
Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8F (121C) selama 10
15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. Pada negara
belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali
3
pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus
neonatorum.7
2.3 Epidemiologi
Pada tahun 2007, Filipina dan Indonesia mencatatkan jumlah kasus tetanus
neonatorum tertinggi di antara 8 negara ASEAN, dengan 175 kasus terjadi di
Indonesia dan 121 kasus terjadi di Filipina. Jika dibandingkan dengan jumlah
penduduk, angka tertinggi kasus tetanus neonatorum terjadi di Kamboja. Indonesia
menduduki urutan ke-5. Jumlah kasus tetanus neonatorum di Indonesia pada tahun
2007 sebanyak 175 kasus dengan angka kematian (case fatality rate (CFR) 56% .12
4
Tetanus tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan
cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah. Reservoir
utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko
penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang
tahan kering dapat bertebaran dimana-mana. 12
i) Abses gigi
j) Mastoiditis kronis
k) Ruptur apendiks
5
2.5 Patofisiologi
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak
munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode
onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara Gtelect kan menentukan
prognosis. Makin singkat (periode onset < 48 jam dan periode inkubasi <7 hari)
menunjukkan semakin berat penyakitnya.4 Tempat infeksi yang paling umum
adalah luka pada ekstrimitas bawah, infeksi uterus post partum atau post abortus,
injeksi imtramuscular non steril dan fraktur terbuka. Penting untuk menekankan
bahwa trauma minor dapat menimbulkan tetanus.tetanus juga dapat terjadi pada
infeksi kronis seperti otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat
dibedakan menjadi empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya.18,19
Tetanus Lokal
Bentuk jarang ditemukan. Gejalanya meliputi spasme dan peningkatan
tonus otot terbatas pada otot-otot di sekitar tempat infeksi tanpa tandda-
tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu
sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat berlanjut
menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan
jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1% .
18,20
Tetanus Sefalik
Jarang ditemukan. Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan
masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala
atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus
sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat
berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
Tetanus umum
Tanda khasnya adalah trismus yaitu ketidakmampuan membuka mulut
akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti
kekakuan leher, sulit menelan, rigiditas abdomen dan peningkatan
8
temperatur 2-4oC di atas suhu normal. Spasme otot wajah menyebabkan
wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus
sardonicus. Spasme otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita
membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus
dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen
yang teraba seperti papan. Kejang otot akut, paroksismal, tidak
terkoordinasi dan menyeluruh merupakan karakteristik dari tetanus
generalis. Kejang terjadi secara intermitten, irreguler dan tidak dapat
diprediksi dan berlangsung selama beberapa detik sampai menit. Pada
awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara
kejang, lama kelamaan kejag menimbulkan nyeri dan kelelahan serta
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi
dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik.
Tetanus Neonatorum
Disebabkan oleh karena infeksi C tetani yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan karena
proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan
alat maupun obat-obatan yang terkontaminasi. Gejala awal ditandai
dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir,
irritabilitas dan menangis terus menerus , risus sardonikus, peningkatan
rigiditas dan opistotonus.18
2.7 Diagnosis
9
Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak Gtel menetek
Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan
dimana kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium :
Lekositosis ringan
Trombosit sedikit meningkat
Glukosa dan kalsium darah normal
Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
Enzim otot serum mungkin meningkat
EKG dan EEG biasanya normal
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif
berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.
Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips,
Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak
sebagai penentu prognosis.21
10
Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus
Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
1
> 14 hari
5
4
Internal dan umbilikal
Lokasi infeksi 3
Leher, kepala, dinding tubuh 2
1
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah 10
8
Tidak diketahui
Status 4
2
imunisasi
0
Tidak ada
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada 10
8
neonatus)
4
> 10 tahun yang lalu 2
Faktor
1
< 10 tahun yang lalu
pemberat
Imunisasi lengkap
11
Trauma atau penyakit ringan
ASA derajat I
Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan
pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor
pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya
sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor
> 18 tetanus berat.22
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan
menurut beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan
Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal
sebagai skor Udwadia.23
12
Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada
distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40
kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120
kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.
Grade IV (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat) berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi
menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang
sering diikuti hipotensi.
13
Neonatus > 150 kali/menit Neonatus < 150 kali/menit
14
Tabel 5. Tabel diagnosis banding
Hanya lokal.
15
2.9 Penatalaksanaan
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas
dan m e m p e r t a h a n k a n v e n t i l a s i y a n g a d e k u a t .
Pada tetanus s e d a n g s a m p a i b e r a t r i s i k o spasme laring dan
gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi
profilaksis.
Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu:
menetralisir toksin dalam sirkulasi;
menghilangkan sumber tetanospasmin; dan
memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada
neuron dimetabolisme.18
16
Terapi Dasar
Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
1. Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus
bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam
termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman
tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida
dan sefalosporin generasi ketiga.25
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis
30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan
dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat
digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama
10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari
C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya
komplikasi pemberian antibiotika broad spektum dapat dilakukan.
Pemberian metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB
dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam.
Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka
kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon
yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang. Bila terjadi pneumonia atau
septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau
metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5
mg/kgBB/hari.26
Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan
luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti
toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan
betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.17
17
Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 20.000 iu, setengah
dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV,
sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada
tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak
diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis
yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa
pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan
pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun
dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.17
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak
boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung anti
complementary aggregates of globulin , yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan
untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan,
dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U
dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan
diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam
waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar.
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada
tetanus dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan
sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada
neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian
intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah
timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991)
menyatakan pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak
18
memberikan keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat
menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian
HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan
dosis yang dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr
(1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan
2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum
debridemen luka.17
19
3. Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa),
25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk
neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat
menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang
labil atau hipotensi.26
2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada
unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan
elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan
penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa
10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50
ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi
lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui
kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh
spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan
pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1 Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2 Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan
terapi konservatif dan PaO2 <>
Terjadi komplikasi yang serius seperti ateletaksis, pneumonia dan lain-lain.17,26
2.10 Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari
toksin seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi
sekunder akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus
dekubitus, pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta
20
ruptur tendon akibat spasme otot.27 Berbagai komplikasi akibat tetanus dirangkum
dalam tabel 6.
2.11. Prognosis
2.12. Pencegahan
21
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu
perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.28
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan
merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak
anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa
digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus
bervariasi menurut usia pasien.
Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi
luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa
memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus dilakukan
tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-hati untuk
membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang rentan terhadap
tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang
demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.29
BAB III
23
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
24
1 Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan
Tulang Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009.
2 Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th,
McGrawHill. Inc,New York, 1994, .577-579.
3 Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of Newology,McGraw-Hill,ed 1997,
1205- 1207.
4 Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek
PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2005.p.1401-4.
5 Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230.
6 Scheld, Michael W. Infection of the central nervous system, Raven Press Ltd,
New York, 1991, 603 -620.
7 Hendarwanto.llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta:
2001,49- 51.
8 Bleck, T.P., 2000. Clostridium tetani (tetanus). In: Mandell, G.I., et al ed.
Principles and Practice of Infectious Diseases. 5th ed. New York: Churchill
Livingstone, 2537-2543.
9 Ritarwan, K., 2004. Tetanus. Available from:
http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf. [Accesed 30 March
2010].
10 Arnon, S.S., 2007. Tetanus. In: Behrman R.E., Kliegman R.M., Jenson H.B. ed.
Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia: Saunders, 1228-1230.
11 Suraatmaja, S., Soetjiningsih, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Udayana.
12 Departemen Kesehatan Masyarakat, Biro Pengendalian Penyakit Menular.
Tetanus. Jurnal (Online). 2006 : Diambil dari :
http://www.mass.gov/Eeohhs2/docs/dph/disease_reporting/guide/tetanus.pdf .
13 John C. Hariding. Clinical Signs are an Interaction of Host, Agent and the
Environment. Jurnal (Online): Diambil dari :
http://www.banffpork.ca/proc/2005pdf/BO09-HardingJ.pdf.
14 Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of Newology,McGraw-Hill,ed 1997,
1205- 1207.
15 Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230.
16 Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek
PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2005.p.1401-4.
25
17 Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain. Vol.
6 No. 3. [Internet]. 2006 .Available from: http://www.ceaccp.oxfordjournals.org
content/6/4/164.3.full.pdf
18 Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al.
Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical
Implants. 2003;13(3):139-54.
19 Cottle LE, Beeching NJ, Carrol ED, Parry CM. 2011. Tetanus. (Onine)
https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection.
20 Ang J. 2003. Tetanus. (Online).
www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS.pdf
21 Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-407.
22 Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological
Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2000;69:292301.
23 Udwadia F, Sunavala J, Jain M, DCosta R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic
Studies During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of
Medicine, New Series. 1992;83(302):449-60
24 Ogunrin O. Tetanus A Review of Current Concepts in Management. Journal of
Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.
25 Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: TetanusA Health
Threat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med.
2011;154:329-35.
26 Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical
Neurology.Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
27 Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-407.
28 Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.
29 Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. (Online).
http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf.
26