Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

TETANUS

Disusun oleh:

Imelda Puspita

Satria Dharma S.

Pembimbing :

dr. Halomon Simon Tambunan, Sp. S

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN SARAF

RSUD AHMAD YANI KOTA METRO

2016

0
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................3

2.1 Definisi Tetanus.................................................................................3

2.2 Etiologi..............................................................................................3

2.3 Epidemiologi.....................................................................................5

2.4 Cara Penularan...................................................................................5

2.5 Patofisiologi.......................................................................................6

2.6 Manifestasi Klinis..............................................................................8

2.7 Diagnosis.........................................................................................10

2.8 Diagnosis Banding...........................................................................15

2.9 Penatalaksanaan...............................................................................18

2.10 Komplikasi....................................................................................23

2.11 Prognosis.......................................................................................23

2.12 Pencegahan...................................................................................24

BAB III. KESIMPULAN................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................27

1
BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan


oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan
kejangkejang otot rangka.1 Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik
spastik yang disebabkan tetanospasmin.2 Spora Clostridium tetani biasanya masuk
kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka
bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum ).3

Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka,
gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali
pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin
antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari
otot bergaris.3

Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat


signifi kan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga
penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU)
yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.4

Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan


jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus.1
Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun. Di
negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari
penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih merupakan
masalah kesehatan. Akhirakhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi
di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara
drastis.4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat.5 Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease".
Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang disebakan oleh
tetanospasmin, yaitu sejenis yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang
menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid).
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti
menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya
punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan.6

2.2 Etiologi Tetanus

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, Cloastridium tetani. Bakteri ini
berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan
juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa
tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau
bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita
tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. Spora dari
Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis.
Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8F (121C) selama 10
15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. Pada negara
belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali
3
pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus
neonatorum.7

Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, berukuran 2-5 x 0,4-0,5


milimikron yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan membentuk spora. Spora dewasa
mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di ujung, dan memberi
gambaran penabuh genderang (drum stick).8 Spora ini mampu bertahan hidup dalam
lingkungan panas, antiseptik, dan di jaringan tubuh. Spora ini juga bisa bertahan
hidup beberapa bulan bahkan bertahun.9 Bakteria yang berbentuk batang ini sering
terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa terkena luka melalui debu atau
tanah yang terkontaminasi.10 Clostridium tetani merupakan bakteria Gram positif dan
dapat menghasilkan eksotoksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin)
dapat menyebabkan kekejangan pada otot.11

Gambar.1 Clostridium tetani

2.3 Epidemiologi

Pada tahun 2007, Filipina dan Indonesia mencatatkan jumlah kasus tetanus
neonatorum tertinggi di antara 8 negara ASEAN, dengan 175 kasus terjadi di
Indonesia dan 121 kasus terjadi di Filipina. Jika dibandingkan dengan jumlah
penduduk, angka tertinggi kasus tetanus neonatorum terjadi di Kamboja. Indonesia
menduduki urutan ke-5. Jumlah kasus tetanus neonatorum di Indonesia pada tahun
2007 sebanyak 175 kasus dengan angka kematian (case fatality rate (CFR) 56% .12

4
Tetanus tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan
cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah. Reservoir
utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko
penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang
tahan kering dapat bertebaran dimana-mana. 12

Perkiraan angka kejadian umur ratarata pertahun sangat meningkat sesuai


kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 519 tahun dan 2029
tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 3039 tahun dan
umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian lebih
banyak dijumpa pada anak lakilaki; dengan perbandingan 3:1.9

2.4 Cara Penularan

Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman Clostridium


tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:

a) Luka-luka tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas

b) Luka bakar tingkat 2 dan 3

c) Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya

d) Luka-luka di bawah kuku

e) Ulkus kulit yang iskemik

f) Luka bekas suntikan narkoba

g) Bekas irisan umbilicus pada bayi

h) Endometritis sesudah abortus septic

i) Abses gigi

j) Mastoiditis kronis

k) Ruptur apendiks

l) Abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja.13

5
2.5 Patofisiologi

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada


beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :

Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara


menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
Karekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena
toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh
cerebral ganglioside. d.Beberapa penderita mengalami gangguan dari
Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala : berkeringat,
hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung,
peninggian cathecholamine dalam urine.

Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi


fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi
terhadap batang otak.14

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan


meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi
trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang
kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul
spasme otot yang khas . Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu


silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi
darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.15

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction


lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke
saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd
menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan zincdependent
endopeptidase memecah vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau
synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk
6
pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi
sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan
-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron
alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik
sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan
tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal
ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin
akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas
otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan
dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel,
pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga
memanjangkan durasi penyakit ini. 16,17

Gambar 2. Tetanus Pathway


7
2.6 Manifestasi Klinis

Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak
munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode
onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara Gtelect kan menentukan
prognosis. Makin singkat (periode onset < 48 jam dan periode inkubasi <7 hari)
menunjukkan semakin berat penyakitnya.4 Tempat infeksi yang paling umum
adalah luka pada ekstrimitas bawah, infeksi uterus post partum atau post abortus,
injeksi imtramuscular non steril dan fraktur terbuka. Penting untuk menekankan
bahwa trauma minor dapat menimbulkan tetanus.tetanus juga dapat terjadi pada
infeksi kronis seperti otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat
dibedakan menjadi empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya.18,19
Tetanus Lokal
Bentuk jarang ditemukan. Gejalanya meliputi spasme dan peningkatan
tonus otot terbatas pada otot-otot di sekitar tempat infeksi tanpa tandda-
tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu
sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat berlanjut
menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan
jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1% .
18,20

Tetanus Sefalik
Jarang ditemukan. Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan
masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala
atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus
sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat
berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
Tetanus umum
Tanda khasnya adalah trismus yaitu ketidakmampuan membuka mulut
akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti
kekakuan leher, sulit menelan, rigiditas abdomen dan peningkatan

8
temperatur 2-4oC di atas suhu normal. Spasme otot wajah menyebabkan
wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus
sardonicus. Spasme otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita
membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus
dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen
yang teraba seperti papan. Kejang otot akut, paroksismal, tidak
terkoordinasi dan menyeluruh merupakan karakteristik dari tetanus
generalis. Kejang terjadi secara intermitten, irreguler dan tidak dapat
diprediksi dan berlangsung selama beberapa detik sampai menit. Pada
awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara
kejang, lama kelamaan kejag menimbulkan nyeri dan kelelahan serta
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi
dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik.
Tetanus Neonatorum
Disebabkan oleh karena infeksi C tetani yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan karena
proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan
alat maupun obat-obatan yang terkontaminasi. Gejala awal ditandai
dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir,
irritabilitas dan menangis terus menerus , risus sardonikus, peningkatan
rigiditas dan opistotonus.18

2.7 Diagnosis

Diagnosis lebih sering ditegakkan berdasarkan maifestasi klinisnya


dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat
luka.
Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
Trismus, disfagia, risus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot
perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

9
Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak Gtel menetek
Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan
dimana kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium :
Lekositosis ringan
Trombosit sedikit meningkat
Glukosa dan kalsium darah normal
Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
Enzim otot serum mungkin meningkat
EKG dan EEG biasanya normal
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif
berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.
Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips,
Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak
sebagai penentu prognosis.21

10
Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus

Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
1
> 14 hari
5
4
Internal dan umbilikal
Lokasi infeksi 3
Leher, kepala, dinding tubuh 2
1
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah 10
8
Tidak diketahui
Status 4
2
imunisasi
0
Tidak ada
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada 10
8
neonatus)
4
> 10 tahun yang lalu 2
Faktor
1
< 10 tahun yang lalu
pemberat
Imunisasi lengkap

Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa


Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa
Keadaan yang tidak mengancam nyawa

11
Trauma atau penyakit ringan
ASA derajat I

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan
pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor
pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya
sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor
> 18 tetanus berat.22

Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett


Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak
ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea
40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia
120 kali/menit.
Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi
berat) otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler.
Hipertensi berat dan takikardia bergantian dengan
hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat
menjadi persisten.

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan
menurut beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan
Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal
sebagai skor Udwadia.23

12
Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada
distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40
kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120
kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.
Grade IV (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat) berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi
menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang
sering diikuti hipotensi.

Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar,


Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur
tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama.24

Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus

Faktor prognostik Skor 1 Skor 0


Masa inkubasi < 7 hari 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset < 2 hari 2 hari
Umbilikus, luka bakar,
uterus, fraktur terbuka, luka Penyebab lain dan penyebab
Tempat masuk
operasi, injeksi yang tidak diketahui
intramuskular
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38.4oC < 38.4oC
Takikardia Dewasa > 120 kali/menit Dewasa < 120 kali/menit

13
Neonatus > 150 kali/menit Neonatus < 150 kali/menit

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:


Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%.24

2.8 Diagnosis Banding

Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai


tetanus. Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses
alveolar. Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis
dapat menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi
dengan pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang disertai gejala trismus
dan spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada trismus.
Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan otot-
otot pernapasan dan deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani hipokalsemia harus
dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme karpo-pedal), tidak
adanya trismus, dan kadar kalsium serum dapat mengkonfirmasi diagnosis tetani
hipokalsemia. Reaksi terhadap fenotiazin dapat menyebabkan trismus, tetapi disertai
dengan gejala lain yang tidak ditemukan pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid,
dan tortikolis. Pada keracunan striknin harus digali kemungkinan percobaaan bunuh
diri atau percobaan pembunuhan. Selain itu, pada keracunan striknin trismus muncul
lebih lambat serta tanda dan gejala muncul lebih cepat dibandingkan tetanus.18

14
Tabel 5. Tabel diagnosis banding

Penyakit Gambaran diferensial


INFEKSI
Meningoensefalitis Demam, trismus ridak ada, penurunan
kesadaran, cairan serebrospinal abnormal.
Polio
Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid,
Rabies cairan serebrospinal abnormal.
Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya
Lesi orofaring
spasme orofaring.
Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh
Peritonitis
KELAINAN METABOLIK tubuh tidak ada.
Tetani Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak
Keracunan striknin
ada.
Reaksi fenotiazin
PENYAKIT SISTEM SARAF
Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal,
PUSAT
hipokalsemia.
Status epileptikus
Relaksasi komplit diantara spasme.
Perdarahan atau tumor (SOL)
Distonia, menunjukkan respon dengan
KELAINAN PSIKIATRIK
Histeria difenhidramin.
KELAINAN
Penurunan kesadaran.
MUSKULOSKELETAL
Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.
Trauma
Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara
spasme.

Hanya lokal.

15
2.9 Penatalaksanaan

Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas
dan m e m p e r t a h a n k a n v e n t i l a s i y a n g a d e k u a t .
Pada tetanus s e d a n g s a m p a i b e r a t r i s i k o spasme laring dan
gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi
profilaksis.
Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu:
menetralisir toksin dalam sirkulasi;
menghilangkan sumber tetanospasmin; dan
memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada
neuron dimetabolisme.18

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan


peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai
pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka,
irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda
asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata laksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian
Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat
diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.9,25

16
Terapi Dasar
Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
1. Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus
bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam
termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman
tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida
dan sefalosporin generasi ketiga.25
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis
30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan
dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat
digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama
10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari
C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya
komplikasi pemberian antibiotika broad spektum dapat dilakukan.
Pemberian metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB
dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam.
Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka
kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon
yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang. Bila terjadi pneumonia atau
septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau
metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5
mg/kgBB/hari.26
Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan
luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti
toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan
betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.17

17
Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 20.000 iu, setengah
dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV,
sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada
tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak
diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis
yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa
pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan
pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun
dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.17
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak
boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung anti
complementary aggregates of globulin , yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan
untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan,
dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U
dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan
diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam
waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar.
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada
tetanus dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan
sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada
neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian
intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah
timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991)
menyatakan pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak

18
memberikan keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat
menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian
HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan
dosis yang dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr
(1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan
2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum
debridemen luka.17

Menekan efek toksin pada SSP


1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.
Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan
pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek
sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta
penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi reflek polisinaps. Efek
samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila
diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan pada
neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994),
pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan
pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-
4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan
tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg
untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis
berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital
intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1
mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan
spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama
diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui
selang nasogastrik.

19
3. Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa),
25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk
neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat
menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang
labil atau hipotensi.26

2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada
unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan
elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan
penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa
10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50
ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi
lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui
kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh
spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan
pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1 Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2 Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan
terapi konservatif dan PaO2 <>
Terjadi komplikasi yang serius seperti ateletaksis, pneumonia dan lain-lain.17,26

2.10 Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari
toksin seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi
sekunder akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus
dekubitus, pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta

20
ruptur tendon akibat spasme otot.27 Berbagai komplikasi akibat tetanus dirangkum
dalam tabel 6.

Tabel 6. Komplikasi akibat tetanus


Sistem organ Komplikasi
Jalan napas Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Respirasi Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi
akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia),
komplikasi trakeostomi.
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia,
asistol, gagal jantung.
Renal Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Gastrointestinal Stasis, ileus, perdarahan.
Muskuloskeleta Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat
l spasme.
Lain-lain Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom
disfungsi multiorgan.

2.11. Prognosis

Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,


periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang
menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk
menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring
yang dapat digunakan antara lain skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat
mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-negara berkembang dengan gagal napas
menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada
kelompok usia neonatus dan > 60 tahun.27

2.12. Pencegahan

21
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu
perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.28
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan
merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak
anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa
digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus
bervariasi menurut usia pasien.

Tabel 7. Jadwal imunisasi aktif terhadap tetanus


Bayi dan anak Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan.
normal. Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi
TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.
Bayi dan anak DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4
normal sampai usia 7 bulan setelah injeksi pertama.
tahun yang tidak Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.
diimunisasi pada Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
masa bayi awal. Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi
TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.
Usia 7 tahun yang Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada
belum pernah kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan
diimunisasi. 6-12 bulan setelah injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Ibu hamil yang Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima
belum pernah 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2
diimunisasi. trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah
injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah
diimunisasi tanpa perawatan obstetrik yang adekuat,
neonatus tersebut diberikan 250 IU human tetanus
immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga
22
harus diberikan.
Sumber: Edlich, 2003

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi
luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa
memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus dilakukan
tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-hati untuk
membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang rentan terhadap
tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang
demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.29

BAB III

23
KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan


oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang
kejang otot rangka. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui
luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi
tali pusat (Tetanus Neonatorum ).

Dalam penentuan diagnosis tetanus harus ditentukan derajat keparahan


penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor
Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak
sebagai penentu prognosis. Diagnosis pada tetanus sendiri dilihat berdasarkan temuan
klinis, riwayat imunisasi dan temuan laboratorium.

Penatalaksanaan pada penyakit tetanus memiliki tujuan utama,


yaitu: menetralisir toksin dalam sirkulasi, menghilangkan sumber tetanospasmin
dan memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron
dimetabolisme.

DAFTAR PUSTAKA

24
1 Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan
Tulang Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009.
2 Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th,
McGrawHill. Inc,New York, 1994, .577-579.
3 Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of Newology,McGraw-Hill,ed 1997,
1205- 1207.
4 Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek
PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2005.p.1401-4.
5 Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230.
6 Scheld, Michael W. Infection of the central nervous system, Raven Press Ltd,
New York, 1991, 603 -620.
7 Hendarwanto.llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta:
2001,49- 51.
8 Bleck, T.P., 2000. Clostridium tetani (tetanus). In: Mandell, G.I., et al ed.
Principles and Practice of Infectious Diseases. 5th ed. New York: Churchill
Livingstone, 2537-2543.
9 Ritarwan, K., 2004. Tetanus. Available from:
http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf. [Accesed 30 March
2010].
10 Arnon, S.S., 2007. Tetanus. In: Behrman R.E., Kliegman R.M., Jenson H.B. ed.
Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia: Saunders, 1228-1230.
11 Suraatmaja, S., Soetjiningsih, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Udayana.
12 Departemen Kesehatan Masyarakat, Biro Pengendalian Penyakit Menular.
Tetanus. Jurnal (Online). 2006 : Diambil dari :
http://www.mass.gov/Eeohhs2/docs/dph/disease_reporting/guide/tetanus.pdf .
13 John C. Hariding. Clinical Signs are an Interaction of Host, Agent and the
Environment. Jurnal (Online): Diambil dari :
http://www.banffpork.ca/proc/2005pdf/BO09-HardingJ.pdf.
14 Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of Newology,McGraw-Hill,ed 1997,
1205- 1207.
15 Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230.
16 Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek
PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2005.p.1401-4.

25
17 Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain. Vol.
6 No. 3. [Internet]. 2006 .Available from: http://www.ceaccp.oxfordjournals.org
content/6/4/164.3.full.pdf
18 Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al.
Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical
Implants. 2003;13(3):139-54.
19 Cottle LE, Beeching NJ, Carrol ED, Parry CM. 2011. Tetanus. (Onine)
https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection.
20 Ang J. 2003. Tetanus. (Online).
www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS.pdf
21 Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-407.
22 Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological
Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2000;69:292301.
23 Udwadia F, Sunavala J, Jain M, DCosta R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic
Studies During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of
Medicine, New Series. 1992;83(302):449-60
24 Ogunrin O. Tetanus A Review of Current Concepts in Management. Journal of
Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.
25 Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: TetanusA Health
Threat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med.
2011;154:329-35.
26 Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical
Neurology.Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
27 Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-407.
28 Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.
29 Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. (Online).
http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf.

26

Anda mungkin juga menyukai