Anda di halaman 1dari 10

STROKE

A. Definisi
Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak
tiba tiba terganggu, karena sebagaian sel-sel otak mengalami kematian akibat gangguan
aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak. Dalam jaringan
otak,kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi biokimia ,yang dapat
merusakan atau mematikan sel-sel saraf otak. Kematian jaringan otak dapat
menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu, aliran darah yang
berhenti juga membuat suplai oksigen dan zat makanan ke otak juga berhenti, sehingga
sebagian otak tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. (Nabyl,2012)

B. Etiologi
Stroke biasanya diakibatkan oleh salah satu dari empat kejadian : (1) trombosis
(bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher), (2) embolisme serebral (bekuan
darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh lain), (3) iskemia
(penurunan aliran darah ke area otak), (4) hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah
serebral dengan perdarahan ke jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah
penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau
permanen gerakan, berfikir, memori, bicara atau sensasi.

C. Patofisiologi
Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada
stroke di otak mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen
yang terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang
paling sering terkena ialah arteri serebral dan arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada
otak melalui empat mekanisme, yaitu :

1. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan sehingga aliran


darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan
perubahan-perubahan iskemik otak.

2. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke kejaringan


(hemorrhage).
3. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.

4. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan


otak.

Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada


aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi
pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan
reduksi suatu area dimana jaringan otak normal sekitarnya yang masih mempunyai
pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis
yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah adalah
gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri
serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama berlangsungnya
perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga aliran darah mengikuti secara
pasif segala perubahan tekanan darah arteri.. Berkurangnya aliran darah serebral sampai
ambang tertentu akan memulai serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan
jaringan secara permanen.

D. Klasifikasi
Menurut Pudiastuti (2011) stroke terbagi menjadi 2 kategori yaitu stroke hemoragik
dan stroke non hemoragik atau stroke iskemik.
1. Stroke hemoragik adalah stroke karena pecahnya pembuluh darah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah
otak dan merusaknya. Hampir 70% kasus stroke hemoragik diderita oleh penderita
hipertensi. Stroke hemoragik digolongkan menjadi 2 jenis yaitu : (1) hemoragik
intraserebral (perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak), (2) hemoragik
subaraknoid (perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid atau ruang sempit
antara permukaan otak dan lapisan yang menutupi otak.
2. Stroke non hemoragik atau stroke iskemik terjadi karena tersumbatnya pembuluh
darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Hal
ini disebabkan oleh aterosklerosis yaitu penumpukan kolesterol pada dinding
pembuluh darah atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke
otak.
Stroke iskemik ini dibagi 3 jenis yaitu: (1) stroke trombotik (proses terbentuknya
thrombus hingga menjadi gumpalan), (2) stroke embolik (tertutupnya pembuluh arteri
oleh bekuan darah), (3) hipoperfusion sistemik (aliran darah ke seluruh bagian tubuh
berkurang karena adanya gangguan denyut jantung).

E. Gejala
Menurut World Health Association (WHO) gejala umum stroke antara lain mati rasa
(paresthesia) dan kelumpuhan (hemiparesis) secara tiba-tiba pada bagian lengan kaki,
wajah, yang lebih sering terjadi pada separuh bagian tubuh. Gejala lain yang muncul
antara lain bingung, kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan (aphasia),
berkurangnya fungsi penglihatan pada salah satu mata (monocular visual loss) atau
kedua mata, kesulitan dalam berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau koordinasi,
sakit kepala yang parah tanpa sebab, lemah bahkan tidak sadar. Efek penyakit stroke
tergantung lokasi kerusakan otak dan bagaimana keparahan tersebut mempengaruhi
kondisi tersebut. Stroke yang sangat parah dapat menyebabkan kematian (Ikawati, 2011).
Tanda stroke yang dialami pasien diantaranya (Ikawati, 2011) :
1. Disfungsi neurologik lebih dari satu (multiple), dan penurunan fungsi tersebut bersifat
spesifik ditentukan oleh daerah di otak yang terkena.
2. Hemi atau monoparesis (kelumpuhan separuh tubuh).
3. Vertigo dan penglihatan yang kabur (double vision), yang dapat disebabkan oleh
sirkulasi posterior yang terlibat di dalamnya.
4. Aphasis (kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan).
5. Dysarthria (kesulitan menghafalkan ucapan dengan jelas), penurunan lapang-pandang
visual, dan perubahan tingkat kesadaran.
6. Jenis stroke dapat ditentukan melalui CT scan. CT Scan merupakan cara pemeriksaan
yang penting untuk stroke. CT Scan dapat menghasilkan foto 3 dimensi otak. Pada
daerah otak yang menunjukkan stroke iskemik, otak terlihat abnormal. Tanda
pembengkakan juga terlihat. Mayoritas kejadian stroke (bahkan yang paling parah
sekalipun) tidak menunjukkan keabnormalan sampai 12-24 jam setelah onset gejala.
Selain itu CT Scan juga dapat mendeteksi pendarahan di otak, sehingga dapat
menunjukkan stroke hemoragi (Morris, 2005). Selain CT Scan terdapat beberapa alat
yang dapat mendukung antara lain MRI, Carotid Doppler (CD), Elektrokardiogram
(ECG), Echocardiography Transthoracic (TTE), Transesophagel echocardiography
(TTE), dan Transcranial Dopller (TCD).
F. Faktor Resiko
National Stroke Association (2009) dalam Pudiastuti (2011) menjelaskan bahwa setiap
orang dapat menderita stroke tanpa mengenal usia, ras dan jenis kelamin. Namun
kemungkinan terserang stroke dapat diminimalisir jika seseorang mengetahui faktor
resikonya.
Terdapat 2 tipe dari faktor resiko stroke yakni faktor yang tidak dapat dikendalikan,
yaitu:
(a) usia
(b) jenis kelamin
(c) ras
(d) riwayat keluarga
(e) kejadian stroke sebelumnya atau TIA (transient ischemic attack)
(f) fibromuscular dysplasia.
Sementara itu faktor yang dapat dikendalikan secara umum dapat dibagi menjadi 2
kategori yakni gaya hidup dan segi medis.
Gaya hidup, meliputi:
(a) merokok
(b) konsumsi alkohol
(c) obesitas
(d) kurang berolahraga.
Sementara dari segi medis, meliputi:
(a) tekanan darah tinggi atau hipertensi
(b) fifrilasi atrium
(c) kolestrol tinggi
(d) diabetes
(e) aterosklerosis.

G. Komplikasi
Menurut Pudiastuti (2011) pada pasien stroke yang berbaring lama dapat terjadi masalah
fisik dan emosional diantaranya:
1. Bekuan darah (Trombosis)
Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan cairan,
pembengkakan (edema) selain itu juga dapat menyebabkan embolisme paru yaitu
sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalirkan darah ke paru.
2. Dekubitus
Bagian tubuh yang sering mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi
kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat dengan baik maka akan terjadi ulkus
dekubitus dan infeksi.
3. Pneumonia
Pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan sempurna, hal ini menyebabkan
cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya menimbulkan pneumoni.
4. Atrofi dan kekakuan sendi (Kontraktur)
Hal ini disebabkan karena kurang gerak dan immobilisasi.
5. Depresi dan kecemasan
Gangguan perasaan sering terjadi pada stroke dan menyebabkan reaksi emosional dan
fisik yang tidak diinginkan karena terjadi perubahan dan kehilangan fungsi tubuh.

H. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Doenges dkk, 1999) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada
penyakit stroke adalah:
1. Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik oklusi/ ruptur.
2. CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.
3. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis,
emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau serangan iskemia otak
sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan
adanya hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar protein total
meningkat pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami infark,
hemoragik, dan malformasi arteriovena.
5. Ultrasonografi Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena.
6. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan pada
gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
7. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan
dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis serebral.

I. Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan stroke secara umum yaitu:
1. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan
2. Stabilisasi hemodinamik dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid intravena.
3. Reperfusi dan neuroproteksi, yaitu membuka sumbatan dengan pemberian obat
trombolitik dan pemberian neuroprotektor untuk melindungi bagian otak.
4. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
5. Pemberian nutrisi yang adekuat baik enteral maupun parenteral.
6. Pencegahan dan penanganan komplikasi

J. Tatalaksana Terapi Stroke


Tujuan utama pengobatan stroke akut adalah (Anonim, 2008):
a. Mengurangi luka sistem saraf yang sedang berlangsung dan menurunkan kematian
serta cacat jangka panjang.
b. Mencegah komplikasi sekunder untuk imobilitas dan disfungsi sistem syaraf pusat.
c. Mencegah berulangnya stroke.

Pendekatan awal adalah memastikan keseimbangan pernafasan dan bantuan jantung


dan memeriksa secara cepat apakah lesi adalah iskemik atau pendarahan berdasarkan
pemantauan CT Scan. Pasien stroke iskemik menunjukkan beberapa jam terjadinya
gejala seharusnya dievaluasi untuk terapi reperfusi. Peningkatan tekanan darah
seharusnya mengingatkan bahwa tidak terobatinya periode akut (7 hari pertama) setelah
stroke iskemik karena risiko penurunan aliran darah ke otak dan gejala yang lebih buruk.
Tekanan darah harusnya direndahkan jika mencapai 220/120 mmHg atau terdapat bukti
pembedahan aorti, infark miokardial akut, edema pulmonari, atau encefalofati
hipersensitif. Jika tekanan darah diobati dalam fasa akut, senyawa parenteral kerja cepat
(misal: labetolol, nikardipin, nitropusid) lebih baik digunakan (Anonim,2008).

Manajemen stroke yang rasional didasarkan pada pengetahuan jenis patologi stroke.
Diagnosa jenis patologi stroke dapat ditegakkan secara tepat dan aman menggunakan CT
Scan kepala (Lamsudin dkk.,1998).

Strategi terapi dalam pengobatan stroke didasarkan pada tipe stroke dan waktu terapi.
Tipe stroke yang dialami pasien adalah tipe iskemik atau hemoragik. Pada stroke
hemoragik, terapinya tergantung pada latar belakang setiap kasus hemoragiknya.
Sedangkan pada fase akut stroke iskemik, terapinya dilakukan dengan merestorasi aliran
darah otak dengan menghilangkan sumbatan (clots), dan menghentikan kerusakan selular
yang berkaitan dengan iskemik/hipoksia. Waktu terapi yaitu terapi pada fase akut dan
terapi pencegahan sekunder (rehabilitasi). Pada fase akut, therapeutic window berkisar
antara 12-24 jam dengan golden period berkisar antara 3-6 jam, jika dalam rentang
waktu tersebut dapat dilakukan tindakan yang cepat dan tepat, kemungkinan daerah di
sekitar otak yang mengalami iskemik masih dapat disebuhkan. Pada fase rehabilitasi,
penggunaan obat dalam terapi umumnya life-time (konsumsi seumur hidup) (Ikawati,
2011).

1. Terapi Non Farmakologi


Pada stroke iskemik akut, penanganan operasi terbatas. Operasi dekompresi
dapat menyelamatkan hidup dalam kasus pembengkakan signifikan yang
berhubungan dengan infark serebral. Pendekatan interdisipliner untuk penanganan
stroke yang mencakup rehabilitasi awal sangat efektif dalam pengurangan kejadian
stroke dan terjadinya stroke berulang pada pasien tertentu. Pembesaran karotid dapat
efektif dalam pengurangan risiko stroke berulang pada pasien komplikasi berisiko
tinggi selama endarterektomi (Anonim, 2008).
Pendarahan subaraknoid disebabkan oleh rusaknya aneurisme intrakranial atau
cacat intravena, operasi untuk memotong atau memindahkan pembuluh darah yang
abnormal, penting untuk mengurangi kematian dari pendarahan. Keuntungan operasi
tidak didokumentasikan dengan baik dalam kasus pendarahan interaserebral primer.
Pada pasien hematomas intraserebral, insersi pada saluran pembuluh darah dengan
pemantauan atau tekanan intrakranial umum dilakukan. Operasi dekompresi
hematoma masih diperdebatkan sebagai penyelamat terakhir dalam kondisi terancam
(Anonim, 2008).
Terapi Non farmakologi yang dapat diberikan untuk stroke iskemik adalah
(Ikawati, 2011):
i. Pembedahan (Surgical Intervention)
Pembedahan yang dilakukan meliputi carotid endarterectomy, dan pembedahan
lain. Tujuan terapi pembedahan adalah mencegah kekambuhan TIA dengan
menghilangkan sumber oklusi. Carotid endarterectomy diindikasi untuk pasien
dengan stenosis lebih dari 70%.
ii. Intervensi Endovaskuler
Intervensi endovaskuler terdiri dari : angioplasty and stenting, mechanical clot
disruption dan clot extraction. Tujuan dari intervensi endovaskuler adalah
meghilangkan trombus dari arteri intrakranial.
Terapi Non Farmakologi yang dapat diberikan untuk stroke hemoragik adalah
pembedahan (surgical intervention). Contoh pembedahan adalah carotid
endarterectomy dan carotid stenting. Pembedahan hanya efektif bila lokasi
pendarahan dekat dengan permukaan otak (Ikawati, 2011).
2. Terapi Farmakologi
a. Stroke Iskemik
Pendekatan terapi pada stroke akut adalah menghilangkan sumbatan pada aliran
darah menggunakan obat-obatan. Tujuan dari terapi stroke akut adalah
mengurangi terjadinya luka neurologi, mortalitas, dan kelumpuhan dalam jangka
panjang, mencegah komplikasi sekunder dan disfungsi neurologi serta mencegah
terjadinya stroke kambuhan (Dipiro dkk., 2005).
1) Terapi Suportif dan Terapi Komplikasi Akut
Pendekatan terapi pada fase akut, difokuskan pada restortasi aliran darah otak
dan menghenntikan kerusakan selular yang berkaitan dengan iskemik.
Berdasarkan model stroke pada hewan percobaan, periode waktu ini (baca
therapeutic window) berkisar antara 12-24 jam, walaupun secara khusus
ditekankan antara 3-6 jam (Wibowo dan Gofir, 2001). Berikut merupakan
terapi supportif dan terapi komplikasi akut (Ikawati, 2011) :
a) Pernafasan, ventilatory support dan suplementsi oksigen.
Tujuan terapi ini adalah untuk mencegah hipoksia dan potensi yang dapat
memperburuk kerusakan otak. Terapi ini dapat dilakukan dengan
menggunakan elective intubation dan endotracheal intubation.
b) Pemantaun temperatur.
Apabila temperatur tubuh pasien tinggi, diperlakukan terapi yang dapat
menurunkan secara akurat yang diperkirakan dapat meningkatkan prognosis
pasien. Obat yang berperan antara lain, aspirin, ibuprofen dan parasetamol

c) Terapi dan pemantaun fungsi jantung.


Pemantauan fungsi jantung diperlukan untuk mendeteksi ada tidaknya atrial
fibrilasi yang paling tidak diperiksa 24 jam pertama. Apabila ditemukan
adanya aritmia yang serius, perlu dilakukan terapi.
d) Pemantaun tekanan darah arteri (hipertensi atau hipotensi).
Tekanan darah merupakan faktor risiko, sehingga penting dilakukan
pemantauan tekanan darah pasien. Apabila tekanan darah pasien terlalu
rendah (<100/70mmHg), diperlukan pemberian cairan normal saline.
Pemberian vasopressor (seperti dopamin) dopamin dapat dilakukan apabila
normal saline kurang adekuat. Tekanan darah pasien yang tinggi perlu
diterapi dengan obat antihipertensi.
e) Pemantaun kadar gula darah (hipoglikemia atau hiperglikemia).
Tujuan dilakukan adalah mencapai kadar gula darah yang diinginkan. Pada
kondisi hiperglikemia, pasien diterapi dengan insulin atau obat yang lain
(target terapi 80-140) untuk mengurangi risiko perkembangan stroke
iskemik menjadi hemoragik, sedangkan pada kondisi hipoglikemia, pasien
perlu diterapi untuk mencegah terkacaunya tanda-tanda stroke iskemik dan
mencegah kerusakan otak yang lain.
2) Terapi Trombolitik
Fibrinolitik yang bekerja sebagai trombolitik dengan cara mengaktifkan
plasminogen untuk membentuk plasmin, yang lebih lanjut mendegradasi fibrin
dan dengan demikian mencegah trombus. Termasuk dalam golongan ini
diantaranya streptokinase, urokinase, alteplase, anistreplase (Anonim, 1996).
Indikasi golongan obat ini adalah untuk infark miokard akut, trombosis vena,
emboli paru, trombus emboli arteri, melarutkan bekuan darah pada katup
jantung buatan dan sebagai kateter intravena (Ganiswara, 1995). Golongan
obat ini dikontraindikasikan pada kondisi pendarahan, trauma atau
pembedahan (termasuk cabut gigi), cacat koagulasi, diatesis pendarahan,
diseksi aorta, koma, riwayat penyakit serebrovaskuler, gejala-gejala tukak
peptik, pendarahan vaginal, hipertensi berat, penyakit paru dengan kavitasi,
pankreatis akut, penyakit hati berat, varises esophagus, dengan efek samping
utamanya adalah mual, muntah dan pendarahan (Anonim, 1996).

3) Terapi Antiplatelet
Terapi antiplatelet bertujuan untuk meningkatkan kecepatan rekanalisasi
spontan dan perbaikan mikrovaskuler. Agen antiplatelet dapat diberikan
melalui oral maupun intravena. Pemberian agen antiplatelet oral dapat
diberikan secara tunggal maupun kombinasi (Ikawati, 2011). Contoh
antiplatelet yang digunakan pada terapi pasien stroke adalah aspirin,
dipiridamol, tiklopidin dan klopidogrel. Aspirin bekerja dengan cara
menghambat sikloksigenase melalui penurunan sintesis atau mengurangi
lepasnya senyawa yang mendorong tromboxane A2. Dosis yang digunakan
beragam, suatu penelitian yang dilakukan di Eropa (ESPS) memakai dosis
aspirin 975 mg/ hari dengan dipiridamol 225 mg/hari menunjukkan hasil yang
efikasius. Dipiridamol merupakan phosphodiester inhibitor, menurunkan
agregasi platelet dengan menaikkan kadar cAMP dan cGMP dalam platelet.
Obat ini tidak lebih unggul jika diberikan tunggal dibandingkan aspirin,
sehingga obat ini sering diberikan secara kombinasi dengan aspirin. Pasien
yang tidak tahan menggunakan aspirin dapat diberikan terapi menggunakan
tiklopidin atau klopidogrel. Obat ini bekerja dengan cara menghambat aktivasi
platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi
membran platelet dengan penghambatan ikatan fibrinogen- platelet yang
diperantai oleh ADP dan antar aksi platelet-platelet (Wibowo dan Gofir, 2001)
4) Terapi Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan
menghambat pembentukan fungsi beberapa faktor pembekuan darah. Atas
dasar ini antikoagulan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a) Antikoagulan yang bekerja langsung
b) antikoagulan yang bekerja tidak langsung, yang terdiri dari derivat kumarin
misalnya ; dikumarol dan warfarin
b. Stroke Hemoragik
Penangggulangan stroke pendarahan bergantung pada latar belakang masing-
masing kasus pendarahan, pilihan obat pada stroke pendarahan antara lain -
aminocaproicacid dan asam traneksenamat. Penggunaan -aminocaproicacid
dapat menjadi pilihan untuk mengatasi pendarahan pada pasien dengan beraksi
melawan aktivator plasminogen sedangkan asam traneksenamat bekerja secara
kompetitif bahan-bahan aktifator yang mengubah plasminogen menjadi plasmin
sehingga mencegah adanya pendarahan ulang. Selain tindakan medik berupa
penghentian pendarahan perlu juga dilakukan pengurangan efek desak,
pengendalian tekanan intrakranium, pengendalian tekanan darah, pencegahan
komplikasi dan pengaturan pemberian cairan dan elektrolit-elektrolit. Penanganan
efek desakan dan tekanan intrakranial dapat dilakukan dengan pemberian
kortikosteroid, manitol, dan gliserol. (Lamsudin dkk., 1998).

K. Peran OP

Anda mungkin juga menyukai