Anda di halaman 1dari 3

ANTARA

NU
dan
Wahabi
Nur Khalik Ridwan KH. Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub
Imam Besar Masjid Istiqlal
Titik Temu Wahabi-NU

Guru kita ini gelisah karena banyak orang NU tidak merujuk langsung dari rujukan asli Wahhabi,
sehingga banyak yang salah faham. Secara tidak langsung, umat Nahdliyin dan tokoh-tokohnya telah
diperingatkan, tentang rujukan-rujukan asli Wahhabi oleh guru kita ini dengan 3 tokoh, yaitu Ibnu
Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Murid yang faqir ini melihat
bahwa penyataan ini ada kesilapannya.
Pertama, menghubungkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dengan Wahhabi, tidak
seratus persen benar. Muhammad bin Abdul Wahhab sang pendiri Wahhabi, memang lahir dari
kalangan madzhab Hanbali, tetapi dia sendiri merasa independen dengan tokoh-tokoh madzhab
Hanbali, bahkan dengan madzhab Hanbali sendiri. Hal ini merujuk pernyataannya sendiri, yaitu:
Aku tidak menyeru kepada madzhab sufi, madzhab ahli fiqh, ahli kalam, atau imam dari para imam
yang mereka ini sangat dimuliakan, seperti Ibnu Qayyim, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir. Sebaliknya, aku
hanya menyeru agar orang berpaling hanya kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku menyeru
kepada sunnah Rasulullah (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Muallaft, jilid VI, dalam kitab ar-
Rasil asy-Syakhsyiyah, hlm 252).
Kutipan dari pendiri Wahhabi ini menjelaskan bahwa Wahhabi tidak menyeru umat Islam untuk
mengikuti tokoh-tokoh sebelumnya. Akan tetapi haruslah dipahami bahwa pandangan yang cocok dan
sesuai dengan versi pendiri Wahhabi dari imam-imam lain (seperti Ibnu Taimiyah) bisa diambil,
sedangkan yang tidak cocok, tidak diambil. Dalam praktiknya, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim,
dikutip-kutip, tetapi sekadar yang cocok dan sesuai dengan pandangan Wahhabi saja.
Contohnya, ditunjukkan oleh buku Rislatu at-Tahdzr min Firq azh-Zhall, bahwa Ibnu Taimiyah
menyarankan bagi orang-orang yang terkena semacam kelumpuhan (al-khadar) pada kaki, hendaklah
mengucapkan: "Ya Muhammad... Pernyataan Ibnu Taimiyah ini ada dalam karyanya berjudul al-
Kalim ath-Thayyib (terbitan al-Maktab al-Islami, cetakan ke-5 tahun 1405 H/1985 M). Hanya saja,
pernyataannya ini juga menyalahi apa yang ia tulis sendiri dalam karyanya at-Tawassul wa al-Waslah.
Nah, Muhammad bin Abdul Wahhab mengambil faham dalam mengharamkan tawassul dari kitab at-
Tawassul wa al-Waslah dan tidak menyetujui apa yang ditulis Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Kalim
ath-Thayyib.
Oleh karena itu, kalau menghubungkan Wahhabi dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, tidaklah
seratus persen benar, mengingat kutipan pendiri Wahhabi tadi yang menegaskan dirinya independen,
meskipun di sana-sini keduanya memang sering dikutip (termasuk dalam rumusan trilogi tauhidnya).
Kedua, kesilapan yang lain dalam soal ini adalah pandangan guru kita ini yang mengatakan bahwa
yang otentik untuk memahami pandangan Wahhabi adalah dari 3 tokoh di atas, dan al-Faqir telah
menunjukkan otentik dari kutipan pendiri Wahhabi sendiri, bahwa itu adalah keliru, karena pendiri
Wahhabi mengatakan dirinya independen dari tokoh-tokoh lain, meskipun kadang-kadang dia mengutip
tokoh-tokoh lain.
Kesilapan dalam soal ini, justru terletak pada keengganan guru kita ini untuk merujuk Wahhabi pada
tokoh-tokoh penerus Wahhabi-Arab Saudi, dari mulai pengganti Muhammad bin Abdul Wahhab sampai
sekarang ini, dan ini tidak kalah otentiknya. Di antara mereka ini adalah tokoh-tokoh generasi penerus
pendiri Wahhabi sampai nama Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, marja Wahhabi dari jalur pendiri
Wahhabi terakhir yang paling dihormati; dan kemudian tokoh-tokoh di luar Alu Syaikh, semacam
Abdul Aziz bin Baz, Ibnu Utsaimin, dan lain-lain. Tanpa memahami ini, Wahhabi hanya akan dianggap
statis, sementara akhlak, perilaku, dan kejahatan-kejahatannya di seluruh dunia Islam yang
berhubungan dengan anasir-anasir Wahhabi, dengan sendirinya dianggap bukan bagian dari Wahhabi.
Ketiga, kesilapan lain, menurut al-Faqir adalah, kalau Wahhabi hanya dirujukan pada kitab-kitab
pendirinya, tanpa menghiraukan pada praktik, perilaku, dan akhlak komunitas mereka, yang dalam
sejarahnya telah begitu terang banyak dijelaskan kekejamannya oleh banyak buku, akan menemukan
kegagalan mendasar dalam memotret Wahhabi. Karena mengira Wahhabi itu statis dan hanya
bersumber dari Muhammad bin Abdul Wahhab, meskipun harus diakui orang ini adalah pendirinya.
Kalau dibatasi saja mempertahankan versi rujukan Wahhabi dari pendirinya semata, konsekuensinya
juga harus menerima kejahatan-kejahatan, penyerangan-penyerangan Wahhabi kepada muslim lain,
yang dicap oleh Wahhabi sebagai bidah dan musyrik, bahkan pada saat pendirinya saat itu masih
hidup. Pada saat itu, mereka sudah melakukan penyerangan dan penghancuran-penghancuran sebagai
jalan dakwahnya. Apakah ini juga terpikirkan dari guru kita ini, yang menganggap Wahhabi memiliki
titik temu dengan NU, al-Faqir tidak tahu, dan dengan begitu penyamaan Wahhabi dan NU begitu saja,
sangat menggetirkan jiwa.

Anda mungkin juga menyukai