Anda di halaman 1dari 18

DIAGNOSIS BANDING

1) Perdarahan SCBA
DEFINISI
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran
makanan proksimal dari ligamentum Treitz meliputi hematemesis dan atau
melena. Untuk keperluan klinik, dibedakan perdarahan varises esophagus dan
non-varises, karena antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan
dan prognosisnya.
Hematemesis adalah muntah darah. Darah bisa dalam bentuk segar
(bekuan/gumpalan atau cairan berwarna merah cerah) atau berubah karena enzim
dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi.
Memuntahkan sedikit darah dengan warna yang telah berubah adalah gambaran
nonspesifik dari muntah berulang dan tidak selalu menandakan perdarahan saluran
pencernaan atas yang signifikan.
Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal/ter,
dengan bau busuk, dan perdarahannya sejumlah 50-100 ml atau lebih. Melena
menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian atas. Tinja yang gelap dan padat
dengan hasil tes perdarahan samar (occult blood) positif menunjukkan perdarahan
pada usus halus dan bukan melena.

EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia sebagian besar ( 70 80 % ) perdarahan SCBA berasal dari
pecahnya varises esophagus akibat penyakit sirosis hati. Dari 1673 kasus
perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF penyakit dalam RSU DR. Sutomo
Surabaya, penyebabnya 76,9% pecahnya varises esofagus, 19,2 % gastritis
esophagus, 1 % tukak peptic, 0,6% kanker lambung, dan 2,6 % karena sebab-
sebab lain. Laporan dari RS pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta
urutan ketiga terbanyak perdarahan SCBA sama dengan RSU dr. Sutomo
Surabaya. Sedangkan laporan RS pemerintah di Ujung Pandang, tukak peptik
menempati urutan pertama penyebab perdarahan SCBA. Di negara barat, tukak
peptik menempati urutan pertama penyebab perdarahan SCBA dengan frekuensi

1
sebesar 50%. Walaupun pengelolaan SCBA telah berkembang namun
mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8-10%. Hal ini dikarenakan
bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut dan akibat komorbiditas yang
menyertai.

ETIOLOGI
Perdarahan saluran cerna dapat yang bermanifestasi klinis mulai dari yang
seolah ringan, misalnya perdarahan tersamar sampai pada keadaan yang
mengancam hidup. Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau
hematin (hitam seperti kopi) yang merupkan indikasi adanya perdarahan saluran
cerna bagian atas (SCBA) atau proksimal dari ligamentum Treitz. Melena (feses
berwarna hitam) biasanya berasal dari perdarahan SCBA, walaupun perdarahan
usus halus dan bagian proksimal kolon dapat juga bermanifes dalam bentuk
melena. Adapun penyebab dari perdarahan SCBA, antara lain:
1. Pecahnya varises esophagus (tersering diIndonesia lebih kurang 70-75%).
Esophagus bagian bawah merupakan saluran kolateral penting yang timbul
akibat sirosis dan hipertensi portal. Vena esophagus daerah leher mengalirkan
darah ke vena azigos dan hemiazigos, dan dibawah diagfragma vena
esophagus masuk kedalam vena gastrika sinistra. Hubungan antara vena porta
dan vena sistemik memungkinkan pintas dari hati padfa kasus hipertensi porta.
Aliran kolateral melalui vena esofagus menyebabkan terbentuk varises
esophagus (vena varikosa esophagus). Vena yang melebar ini dapat pecah,
menyebabkan perdarahan yang bersifat fatal.
2. Perdarahan tukak peptik (ulkus peptikum)
Perdarahan merupakan penyulit ulkus peptikum yang paling sering terjadi,
sedikitnya ditemukan pada 15-25% kasus selama perjalanan penyakit.
Walaupun ulkus disetiap tempat dapat mengalami perdarahan, namun tempat
perdarahan tersering adalah dinding posterior bulbus duodenum, karena
ditempat ini dapat terjadi erosi arteri pankreatikoduodenalis atau arteria
gastroduodenalis.
3. Gastritis (terutama gastritis erosive akibat OAINS)

2
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa
lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus, atau local. Banyak sekali
etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya gastritis, antara lain endotoksin
bakteri, kafein, alcohol, aspirin dan infeksi H. pylori lebih sering dianggap
sebagai penyebab gastritis akut.
4. Gastropathi hipertensi portal
5. Esofagitis
Esofagitis yang dapat menyebabkan perdarahan ialah esofagitis refluks kronis.
Esofagitis refluks kronis merupakan bentuk esofagitis yang paling sering
ditemukan secara klinis. Gangguan ini disebabkan oleh sfringter esophagus
bagian bawah yang bekerja dengan kurang baik dan refluks asam lambung
atau getah alkali usus ke dalam esophagus yang berlangsung dalam waktu
yang lama. Sekuele yang terjadi akibat refluks adalah peradangan, perdarahan,
dan pembentukan jaringan parut dan striktur.
6. Sindroma Mallory-Weiss
Hematemesis atau melena yang secara khas mengikuti muntah-muntah berat
yang berlangsung beberapa jam atau hari, dapat ditemukan satu atau beberapa
laserasi mukosa lambung mirip celah, terletak memanjang di atau sedikit
dibawah esofagogastrikum junction.
7. Keganasan
Keganasan, misalnya kanker lambung.
8. Angiodisplasia
Angiodisplasia ialah kelainan vaskular kecil, seperti yang terdapat pada
traktus intestinalis.

PATOFISIOLOGI
Penyebab tersering dari perdarahan saluran cerna adalah pecahnya varises
esofagus. Varises esofagus merupakan salah satu komplikasi dari sirosis hepatis.
Sirosis ini menyebabkan peningkatan tekanan pada vena porta yang biasa disebut
dengan hipertensi porta. Peningkatan tekanan pada vena porta menyebabkan
terjadinya aliran kolateral menuju vena gastrika sinistra yang pada akhirnya

3
tekanan vena esofagus akan meningkat pula. Peningkatan tekanan pada vena
esofagus ini menyebabkan pelebaran pada vena tersebut yang disebut varices
esofagus.
Varises esofagus ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan. Terjadinya
perdarahan ini bergantung pada beratnya hipertensi porta dan besarnya varises.
Darah dari pecahnya varises esofagus ini akan masuk ke lambung dan bercampur
dengan asam klorida (HCL) yang terdapat pada lambung.
Darah yang telah bercampur dengan asam clorida menyebabkan darah
berwarna kehitaman. Jika darah ini dimuntahkan maka akan bermanifestasi
sebagai hematemesis. Selain dimuntahkan, darah ini juga dapat bersama makanan
masuk ke usus dan akhirnya keluar bersama feses yang menyebabkan feses
berwarna kehitaman (melena).
Hematemesis dan melena juga dapat ditemukan pada penyakit tukak
peptik (ulcus pepticum). Mekanisme patogenik dari ulkus peptikum ialah
destruksi sawar mukosa lambung yang dapat menyebabkan cedera atau
perdarahan, dimana cedera tersebut nantinya akan menimbulkan ulkus pada
lambung.

4
Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain yang merusak mukosa
lambung mengubah permeabilitas sawar kapiler, sehingga memungkinkan difusi
balik asam klorida yang mengakibatkan kerusakan jaringan, terutama pembuluh
darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan
meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema,
dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak,
mengakibatkan terjadinya hemoragi interstisial dan perdarahan. Sama seperti
varises esofagus, darah ini akan dapat bermanifestasi sebagai hematemasis dan
atau melena.

MANIFESTASI KLINIS

5
Manifestasi klinis dari perdarahan saluran cerna bagian atas dapat berupa
1) anemia defisiensi besi dan 2) hematemesis dan atau melena. Jadi hematemesis
dan atau melena adalah gejala klinis dari perdarahan saluran cerna bagian atas
yang didasari oleh suatu penyakit primer, misalnya varises esophagus, ulkus
peptikum, gastritis, dan lain-lain.
Perdarahan pada varises esophagus tidak nyeri, onsetnya tiba-tiba,
volumenya besar, disertai adanya bekuan darah, dan darah berwarna merah
kehitaman. Perdarahan pada ulkus peptikum seringkali menimbulkan perdarahan
dalam ukuran besar, tidak nyeri, kemungkinan perdarahan awal yang lebih kecil,
disertai darah yang mengalami perubahan (coffee ground). Perdarahan pada
gastritis biasanya merah terang dengan volume yang sedikit. Adanya penurunan
berat badan mengarahkan dugaan ke keganasan.

DIAGNOSIS
Anamnesis
1. Identitas pasien :
Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, perkawinan, alamat,
agama, suku.
2. Keluhan utama :
Muntah darah (hematemesis) dan buang air besar berdarah (melena).
3. Riwayat penyakit sekarang :
- Pernahkah pasien muntah darah atau ada butiran kopi?
- Berapa banyak, berapa kali, dan sejak kapan pasien muntah?
- Apakah muntah pertama mengandung darah atau hanya yang berikutnya?
(Pertimbangkan kemungkinan perdarahan akibat robekan Mallory-Weiss
karena robekan esofagus setelah muntah.) Berapa perkiraan jumlah darah
yang keluar?
- Adakah gangguan pencernaan, nyeri dada, refluks asam, atau nyeri
abdomen? Adakah lemah, nyeri kepala, berkeringat atau mual?
- Adakah kehilangan darah per rektum atau melena (yang menunjukkan
perdarahan gastrointestinal bagian atas)? Apakah darah tercampur atau

6
terpisah dari tinja? Apakah tampak pada kertas toilet? Berapa perkiraan
jumlah darah yang hilang? Adakah perubahan kebiasaan buang air besar?
Adakah rasa nyeri saat defekasi? Adakah lendir? Adakah diare?
- Apakah ada demam? Demam biasanya tidak tinggi, tetapi suhu dapat
mencapai 103o F (39,5o C).
- Apakah pasien pingsan atau pusing, khususnya saat duduk/berdiri tegak?
Rasa pusing yang dipengaruhi posisi tubuh. Penurunan kesadaran pada
hematemesis atau melena menunjukkan perdarahan yang signifikan secara
hemodinamik.
- Adakah gejala yang menunjukkan anemia kronis (pucat, toleransi olahraga
menurun, lelah, angina, sesak napas)?
- Adakah nyeri abdomen (pertimbangkan ulkus)?
4. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat perdarahan sebelumnya, dispepsia, tukak/ulcer, cepat kenyang,
anemia, penyakit hati kronis, misalnya hepatitis B atau C, sirosis
(pertimbangkan varises).
5. Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat keganasan usus, kolitis, sindrom Osler-Weber-Rendu (lesi di bibir),
hemofilia atau telangiektasia hemoragik herediter.
6. Riwayat keracunan (intoksikasi) :
Keracunan alkohol, obat bius
7. Kebiasaan :
Riwayat konsumsi alkohol berlebihan (pertimbangkan gastritis, ulkus atau
perdarahan varises).
8. Riwayat konsumsi obat :
Konsumsi aspirin dan OAINS (pertimbangkan ulkus peptikum), obat
antikoagulan misalnya warfarin, atau Fe (menyebabkan tinja berwarna hitam).

Pemeriksaan Fisik

7
Tanda-tanda syok : takikardia, akral dingin dan lembab, takipnu, oliguria,
penurunan kesadaran, hipotensi ortostatik, JVP (Jugular Vein Pressure)
meningkat.
Tanda-tanda penyakit hati kronis dan sirosis : hipertensi portal (pecahnya
varises esofagus, asites, splenomegali), ikterus, edema tungkai dan sakral,
spider nevi, eritema palmarum, ginekomasti, venektasi dinding perut (caput
medusa), asteriksis (flapping tremor).
Tanda-tanda anemia : pucat, koilonikia, telangiektasia
Tanda-tanda sindrom Peutz-Jegher : bintik-bintik coklat pada kulit muka dan
mukosa pipi.
Lesi-lesi telangiektasi yang berdenyut merupakan indikasi telangiektasi
hemoragik herediter.
Koagulopati : purpura, memar, epistaksis
Tanda-tanda keganasan : limfadenopati, organomegali (hepatomegali,
splenomegali), penurunan berat badan, anoreksia, rasa lemah.
Pemeriksaan abdomen : untuk mengetahui adanya nyeri tekan, distensi,
atau massa. Adanya nyeri tekan epigastrik merupakan tanda ulkus peptikum,
dan adanya hepatosplenomegali meningkatkan kemungkinan varises.
Pemeriksaan rektal untuk massa, darah, melena, dan darah samar pada
feses.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap : Hb, Ht, golongan darah, jumlah eritrosit,
leukosit, trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, PT, APTT,
morfologi darah tepi, fibrinogen, dan crossmatch jika diperlukan transfusi.
Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30 %.
Pemeriksaan ureum dan kreatinin :

8
Perbandingan BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum dapat
dipakai untuk memperkirakan asal perdarahan. Nilai puncak biasanya
dicapai dalam 24-48 jam sejak terjadinya perdarahan. Normal
perbandingannya adalah 20. Bila di atas 35, kemungkinan perdarahan
berasal dari saluran cerna bagian atas (SCBA). Di bawah 35, kemungkinan
perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB). Azotemia sering terjadi
pada perdarahan saluran cerna. Derajat azotemia tergantung pada jumlah
darah yang hilang, lamanya perdarahan, dan derajat integritas fungsi
ginjal. Azotemia terjadi tidak tergantung pada penyebab perdarahan. BUN
mempunyai kepentingan untuk menentukan prognosis. BUN sampai
setinggi 30mg/100ml mempunyai prognosis yang baik. 50 70 mg/100 ml
mempunyai mortalitas setinggi 33%. Nilai di atas 70 mg/100 ml
mengakibatkan keadaan fatal. BUN = 2,14 x nilai ureum darah.
Penentuan NH3 darah merupakan indikasi pada sirosis hepatis. Nilai yang
meninggi dapat memberi petunjuk adanya koma hepatik.
Pemeriksaan fungsi hati : AST (SGOT), ALT (SGPT), bilirubin, fosfatase
alkali, gama GT, kolinesterase, protein total, albumin, globulin, HBSAg,
AntiHBS.
Tes guaiac positif : pemeriksaan darah samar dari feses masih dapat
terdeteksi sampai seminggu atau lebih setelah terjadi perdarahan.
Pemeriksaan elektrolit : kadar Na+, Cl-, K+. K+ bisa lebih tinggi dari normal
akibat absorpsi dari darah di usus halus. Alkalosis hipokloremik pada
waktu masuk rumah sakit menunjukan adanya episode perdarahan atau
muntah-muntah yang hebat.

b. Endoskopi
Endoskopi digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan
sumber perdarahan, memungkinkan pengobatan endoskopik awal, informasi
prognostik (seperti identifikasi stigmata perdarahan baru). Endoskopi
dilakukan sebagai pemeriksaan darurat sewaktu perdarahan atau segera setelah
hematemesis berhenti.

9
c. Pemeriksaan radiologis
- Barium meal : dengan kontras ganda dilakukan pemeriksaan
esofagus, lambung, dan doudenum untuk melihat ada tidaknya varises di
daerah 1/3 distal esofagus, terdapat ulkus, polip atau tumor di esofagus,
lambung, doudenum.
- Barium enema : untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab
perdarahan saluran cerna bagian bawah.
- USG : untuk menunjang diagnosis hematemesis/melena bila
diduga penyebabnya adalah pecahnya varises esofagus karena secara tidak
langsung memberi informasi tentang ada tidaknya hepatitis kronik, sirosis
hati dengan hipertensi portal, keganasan hati, dengan cara yang non invasif
dan tak memerlukan persiapan sesudah perdarahan akut berhenti.
- Arteriografi abdomen : untuk menentukan letak perdarahan,
terutama pada penderita dengan perdarahan aktif. Juga berguna untuk
mendeteksi lesi yang menyebabkan perdarahan.
- EKG, foto toraks : untuk identifikasi dini adanya penyakit jantung
paru kronis, terutama pada pasien > 40 tahun.

PENATALAKSANAAN
A. PEMERIKSAAN AWAL
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah
menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status
hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi : 1) tekanan darah dan nadi, 2)
perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi, 3) ada tidaknya akral dingin, 4)
kelayakan napas, 5) tingkat kesadaran, 6) produksi urin.

B. STABILISASI HEMODINAMIK

10
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid
dan pasang monitor CVP (central venous pressure). Tujuannya untuk
memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil.
Penderita dengan perdarahan 500 1000 cc perlu diberi infus Dextrose
5%, Ringer laktat atau Nacl 0,9%. Pemberian transfusi darah dipertimbangkan
pada keadaan berikut ini:
1. Perdarahan pada kondisi hemodinamik tidak stabil (tanda tanda syok).
2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1
liter atau lebih.
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30 %.
4. Terdapat tanda tanda oksigenasi jaringan yang menurun.

C. PEMERIKSAAN LANJUTAN
Berdasarkan :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang : laboratorium, endoskopis, radiologis

D. MEMBEDAKAN PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS


ATAU BAWAH
Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB
Manifestasi klinik pada Hematemesis dan atau
Hematokesia
umumnya melena
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Ratio ( BUN/kreatinin ) Meningkat > 35 < 35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal

E. DIAGNOSIS ETIOLOGI
Menegakkan diagnosis etiologi dari perdarahan saluran cerna bagian atas
dilakukan dengan
Endoskopi gastrointestinal

11
Radiologis dengan barium
Radionuklir
Angiografi

F. TERAPI
1. Non-Endoskopis
Pemberian Vitamin K
Boleh diberikan dengan pertimbangan tidak merugikan dan relatif murah.

Vasopressin
Menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat efek vasokostriksi
pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran dan tekanan vena porta
menurun. Dapat digunakan pada pasien perdarahan akut varises esofagus.
Terdapat dua bentuk sediaan yaitu, pitresin (vasopressin murni) dan preparat
pituitary gland (vasopressin dan oxcytocin). Pemberian vasopressin dengan
mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%,
diberikan 0.5-1 mg/menit/iv selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3-6
jam, atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0.1-0.5 U/menit.
Vasopressin dapat memberikan efek samping berupa insufisiensi koroner
mendadak, maka disarankan bersamaan preparat nitrat.

Somatostatin dan analognya (octreotide)


Dapat digunakan untuk perdarahan varises esofagus dan perdarahan
nonvarises. Pemberian diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus
250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti, sedangkan
untuk octreotide, dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcg/jam
selama 8-24 jam atau sampai peradarahan berhenti.

Obat Anti sekresi asam


Bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang SCBA. Diawali bolus
omeprazol 80 mg/iv dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam.

12
Pada perdarahan SCBA, antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 dapat
diberikan untuk penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan.

Balon Tamponade
Sengstaken Blakemore tube (SB-tube) mempunyai tiga pipa serta dua
balon masing-masing untuk esofagus dan lambung. Komplikasi pemasangan
SB-tube antara lain pnemoni aspirasi, laserasi sampai perforasi.

2. Endoskopis
Terapi ini ditujukan untuk perdarahan tukak yang masih aktif atau
tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapi meliputi : 1)
Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe), 2)
Noncontact thermal (laser), dan 3) Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin,
polidokanol, alcohol, cyanoacrylate, atau pemakaian klip).
Terapi endoskopis yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan
pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan
menggunakan adrenalin 1:10000 sebanyak 0.5-1 ml tiap kali suntik dengan
batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi1 ml. Keberhasilan
terapi endoskopis mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan,
perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-20%.
Pilihan pertama untuk mengatasi varises esofagus adalah ligasi varises.
Terapi pilihan adalah hemostasis endoskopi. Ligasi varises mengurangi efek
samping dari pemakaian sklerosan, serta lebih menurunkan frekuensi
terjadinya ulserasi dan striktur. Bila ligasi sulit dilakukan, skeloterapi dapat
digunakan sebagai terapi alternatif.

3. Terapi Radiologi
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap
berlansung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi
endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan hemostasis
yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial.

13
Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada
perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS (Transjugular Intrahepatic
Portosystemic shunt).

4. Pembedahan
Pembedahan dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan
radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam
bentuk tim multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk
menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan.

PROGNOSIS
Pada umumnya penderita dengan perdarahan saluran cerna bagian atas
yang disebabkan pecahnya varises esofagus mempunyai faal hati yang
buruk/terganggu sehingga setiap perdarahan baik besar maupun kecil
mengakibatkan kegagalan hati yang berat. Banyak faktor yang mempengaruhi
prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb, tekanan darah selama
perawatan, dan lain-lain. Hasil penelitian Hernomo menunjukan bahwa angka
kematian penderita dengan perdarahan saluran cerna bagian atas dipengaruhi oleh
faktor kadar Hb waktu dirawat, terjadi/tidaknya perdarahan ulang, keadaan hati,
seperti ikterus, ensefalopati dan golongan menurut kriteria Child.
Mengingat tingginya angka kematian dan sukarrnya dalam menanggulangi
perdarahan saluran cerna bagian atas maka perlu dipertimbangkan tindakan yang
bersifat preventif terutama untuk mencegah terjadinya sirosis hati.

2) GASTRITIS NSAID
A. DEFINISI
Gastropati NSAID adalah gejala gastropati yang mengacu kepada
spektrum komplikasi saluran cerna bagian atas yang dihubungkan oleh
penggunaan obat anti inflamasi non steroid dengan durasi waktu tertentu, dan
biasanya disebabkan oleh penggunaan jangka panjang NSAID.1,5 Disebut

14
gastropati NSAID bila terdapat kumpulan gejala-gejala gastropati yang bervariasi
seperti dispepsia, nyeri abdominal, sampai komplikasi yang fatal seperti perforasi,
ulserasi, dan perdarahan dimana gejala-gejala tersebut tidak ditemukan sebelum
menggunakan NSAID.

B. EPIDEMIOLOGI
Spektrum penggunaan NSAID yang menginduksi gastropati bervariasi
yaitu mulai dari mual dan dispepsia (prevalensi yang dilaporkan 50%-60%)
sampai dengan komplikasi gastrointestinal yaitu ulserasi peptikum (3%-4%),
diikuti dengan perdarahan atau perforasi sebanyak 1,5% dari pengguna setiap
tahun. Hampir 20.000 pasien meninggal setiap tahun akibat komplikasi
gastrointestinal yang serius dari pemakaian NSAID.3,4,5 Bahkan pemakaian 75
mg/hari dari aspirin dapat mengakibatkan ulserasi gastrointestinal yang serius,
sehingga tidak memberikan dosis NSAID adalah cara yang paling aman.6 Hal ini
juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti usia, riwayat ulserasi terdahulu,
penggunaan kortikosteroid, penggunaan dosis tinggi NSAID, penggunaan
beberapa NSAID, penggunaan antikoagulan, dan penyakit sistemik yang serius.
Faktor resiko yang mungkin termasuk adalah infeksi oleh H.pylori, merokok, dan
mengonsumsi alcohol.

C. PATOFISIOLOGI
NSAID merusak mukosa lambung melalui 2 mekanisme yaitu topikal
dan sistemik. Kerusakan mukosa secara tropikal terjadi karena NSAID bersifat
asam dan lipofili, sehingga mempermudah trapping ion hidrogen masuk mukosa
dan menimbulkan kerusakan. Efek sistemik NSAID lebih penting yaitu kerusakan
mukosa terjadi akibat produksi prostaglandin menurun secara bermakna.6,8
Seperti diketahui prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif yang amat
penting bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi itu dilakukan dengan cara
menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat
dan meningkakan epitel defensif. Ia memperkuat sawar mukosa lambung
duodenum dengan meningkatkan kadar fosfolipid mukosa sehingga meningkatkan

15
hidrofobisitas permukaan mukosa, dengan demikian mengurangi difusi balik ion
hidrogen.

Selain itu, prostaglandin juga menyebabkan hiperplasia mukosa


lambung duodenum (terutama di antara antrum lambung), dengan memperpanjang
daur hidup sel-sel epitel yang sehat (terutama sel-sel di permukaan yang
memproduksi mukus), tanpa meningkatkan aktivitas proliferasi.5,6 Elemen
kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal merupakan prostaglandin
endogenous yang disintesis di mukosa traktus gastrointestinal bagian atas. COX
(siklooksigenase) merupakan tahap katalitisator dalam produksi prostaglandin.
Sampai saat ini dikenal ada dua bentuk COX, yakni COX-1 dan COX-2. COX-1
ditemukan terutama dalam gastrointestinal, ginjal, endotelin, otak dan trombosit
dan berperan penting dalam pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat.
COX-2 pula ditemukan dalam otak dan ginjal yang juga bertanggungjawab dalam
respon inflamasi.6,7 Endotelvaskular secara terus-menerus menghasilkan
vasodilator prostaglandin E dan I yang apabila terjadi gangguan atau hambatan
(COX-1) akan timbul vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan
menyebabkan nekrosis epitel. Sebagian besar obat NSAID bekerja sebagai
inhibitor non selektif enzim siklooksigenase, dimana obat ini menghambat
isoenzim siklooksigenase 1 (COX-1) dan siklooksigenase 2 (COX-2).6,8
Siklooksigenase mengkatalisis pembentukkan prostaglandin dan tromboksan dari
asam arakidonat. Asam arakidonat ini dihasilkan dari lapisan ganda fosfolipid
oleh fosfolipase A2. Prostaglandin bekerja sebagai molekul pembawa dalam
proses inflamasi.

Penghambatan COX oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan dengan perubahan
produksi mediator inflamasi. Sebagai konsekuensi dari penghambatan COX-2,
terjadi sintesis leukotrien yang disempurnakan dapat terjadi oleh shunting
metabolisme asam arakidonat terhadap jalur oxygenase.2 Leukotrien yang
memberikan kontribusi terhadap cedera mukosa lambung dengan mendorong
iskemia jaringan dan peradangan. Peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti

16
molekul adhesi antar sel-1 oleh mediator pro-inflamasi seperti tumor nekrosis
faktor mengarah ke peningkatan adheren dan aktivasi neutrofil-endotel.

D. FAKTOR RESIKO
Resiko untuk mendapatkan efek samping NSAID tidak sama untuk
semua orang. Faktor-faktor resiko yang penting adalah usia lanjut lebih dari 60
tahun, digunakan bersama-sama dengan steroid, riwayat pernah mengalami efek
samping NSAID, dosis tinggi atau kombinasi lebih dari satu macam NSAID dan
disabilitas. Selain itu infeksi H. Pylori juga dapat memicu efek samping dari
NSAID tersebut. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi efek samping NSAID
adalah riwayat merokok dan konsumsi alkohol. Menurut American Journal of
Gastroenterology risiko gastrointestinal NSAID dibagi menjadi risiko rendah
(tidak ada faktor risiko), sedang (1 atau 2 faktor risiko berupa usia di atas 65
tahun, NSAID dosis tinggi, riwayat ulkus tidak terkomplikasi, penggunaan
bersama aspirin, kortikosteroid atau antikoagulan), tinggi (>2 faktor risiko atau
riwayat ulkus yang terkomplikasi).

E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis bervariasi dari tanpa gejala, gejala ringan dengan
manifestasi tersering dispepsia, heartburn, abdominal discomfort, dan nausea;
hingga gejala berat seperti tukak peptik, perdarahan dan perforasi. Keluhan lain
yang biasa dirasakan pasien adalah mengalami gangguan pada saluran pencernaan
atas, berupa nafsu makan menurun, perut kembung dan perasaan penuh di perut,
mual, muntah dan bersendawa. Jika telah terjadi pendarahan aktif dapat
bermanifestasi hematemesis dan melena.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Adi, Pangestu. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 4. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007. Hal 289-92.
2. Davey, Patrick. At a Glance Medicine. Oxford : Blackwell Science Ltd. 2006.
Hal 36-37.
3. Gleadle, Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Oxford :
Blackwell Science Ltd. 2007. Hal 65.
4. Kauver, A. J. Diagnosis Medis Beorientasikan Masalah. Massachussets :
Little, Brown and Company. 1985. Hal 173-9.
5. Lindseth, Glenda N. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit
Volume 1 Edisi 6. Michigan : Elsevier Science. 2006. Hal 428.
6. Sibuea, W. Herdin, Frenkel, M. Pedoman Dasar Anamnesis dan Pemeriksaan
Jasmani. Jakarta : Sagung Seto. 2007. Hal 7, 12.

18

Anda mungkin juga menyukai