Anda di halaman 1dari 56

TUTORIAL KLINIK

PATOFISIOLOGI

HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Diajukan kepada :

Dr. Budi Wiranto, Sp.THT

Disusun oleh :

Novika Mega Wulanningrum

1310221083

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL JAKARTA

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT

RST TINGKAT II Dr. SOEDJONO MAGELANG

2014

1
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL KLINIK

PATOFISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat

Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

Di Bagian Ilmu Kesehatan THT RST Dr.Seodjono Magelang

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal Juni 2014

Disusun oleh :

Novika Mega Wulanningrum

1310221083

Dosen Pembimbing

dr. Budi Wiranto, Sp.THT

2
PATOFISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Dalam makalah tutorial klinik kali ini akan dibahas mengenai penyakit
penyakit hidung dan sinus paranasal sesuai SKDI 2012, meliputi:
1. Epistaksis 4A
2. Furunkel pada hidung 4A
3. Rhinitis alergika 4A
4. Rhinitis vasomotor 4A
5. Rhinitis akut 4A
6. Rhinitis medikamentosa 3A
7. Sinusitis 3A
8. Polip 2
9. Deviasi septum hidung 2

1. EPISTAKSIS
a) Definisi
Perdarahan dari hidung
b) Etiologi
Kelainan Lokal
o Trauma
Benturan, mengorek hidung, bersin, mengeluarkan ingus terlalu
kuat, kena pukulan, jatuh, kecelakaan, terkena benda tajam,
atau trauma pembedahan dapat menjadi penyebab-penyebab
traumatik yang menimbulkan epistaksis.
o Kelainan anatomi
Kelainan septum nasi berupa spina septi yang tajam dapat
melukai hidung sendiri dan menimbulkan epistaksis.
o Kelainan pembuluh darah
Seringkali kongenital karena pembuluh darah yang lebih tipis
dan jaringan ikatnya sedikit
o Infeksi lokal
Dapat terjadi pada rinitis atau sinusitis atau infeksi spesifik
seperti rinitis jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra
o Benda asing
o Pengaruh udara lingkungan
o Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma.
Epistaksis berat terjadi pada angiofibroma.
Kelainan Sistemik
o Penyakit kardiovaskular (hipertensi)

3
Hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang seringkali berat.
Penyakit sistemik lain dapat berupa arterisklerosis, nefritis
kronik, sirosis hepatis, atau diabetes melitus
o Kelainan darah (trombositopenia, hemofilia)
Kelainan darah yang menyebabkan epistaksis antara lain
leukimia, trombositopenia, hemofilia atau anemia
o Infeksi sistemik
Demam berarah, demam tifoid, influensa dan mobili sering
menyebabkan epistaksis
o Perubahan tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi ketika cuasa sangat dingin atau
kering
o Kelainan hormonal
Wanita hamil dan menopause dapat mengalami epistaksis
karena perubahan hormonal
o Kelainan kongenital
Telangiektasis hemoragik herediter dan Von Willenbrand
Disease dapat menjadi penyebab epistaksis
c) Patogenesis
Sumber perdarahan

Epistaksis Posterior
- a. etmoidalis posterior/a. sfenopalatina
- lebih hebat, jarang berhenti sendiri
Epistaksis Anterior
- Plesus Kiesselbach
- Ringan

4
Gambar Sumber Perdarahan

5
d) Tatalaksana
Prinsip Utama:
Perbaiki keadaan umum
o Perhatikan vital sign
o Infus bila diperlukan
o Bersihkan jalan napas jika tersumbat
Cari sumber perdarahan
Pasien diposisikan duduk/setengah berbaring untuk mencegah darah
turun ke saluran napas bawah.
Untuk mencari sumber perdarahan hidng dibersihkan lebih dulu
kemudian dipasang tampon sementara yang telah dibasahi adrenalin
1/5000 1/10.000 dan pantokain/lidokain 2% untuk menghentikan
darah sementara dan menghilangkan rasa nyeri selama 10-15 menit.
Setelah vasokontriksi barulah dicari sumber perdarahan.
Hentikan perdarahan
Perdarahan anterior
Penekanan hidung 10-15 menit biasanya berhasil. Bila sumber terlihat
di kaustik dengan larutan Nitras argenti (AgNO3) 25-30% kemudian
diberi krim antibiotik. Bila belum berhasil dipasang tampon yang telah
diberi salep antibiotik selama 2x24 jam.
Perdarahan posterior
Dipasang tampon Bellocq (terbuat dari kasa padat dibentuk kubus atau
bulat dengan diameter 3 cm, pada tampon terikat 3 utas benang, 2 di
satu sisi dan 1 di sisi yang berlawanan.
Gambar Tampon Bellocq

Cari faktor penyebab


Pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan untuk mencari faktor
penyebab dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan dapat
berupa:

6
o Pemeriksaan darah lengkap
o Fungsi hepar dan ginjal
o Gula darah
o Hemostasis
o Foto polos atau CT scan sinus

e) Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi karena proses epistaksis atau karena proses usaha
penanggulangan epistaksis sendiri.
Aspirasi darah ke saluran napas
Syok
Anemia
Tekanan darah menurun hipoksia iskemia serebri insufisiensi
koroner infark miokard kematian
Infeksi
Pemasangan tampon Rinosinusitis otitis media
Septikemia
Hemotimpanum
Airmata berdarah
Laserasi palatum mole karena pemasangan tampon Bellocq

2. FURUNKEL HIDUNG
a) Definisi
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan
subkutansekitarnya. Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu tempat. Jika
lebih darisatu tempat disebut furunkulosis.
b) Etiologi dan Faktor Predisposisi
Iritasi
Tekanan
Gesekan
Dermatitis (kerusakan dari kulit dipakai sebagai jalan masuknya
Staphylococcus aureus)
Furunkulosis dapat menjadi kelainan sistemik karena faktor predisposisi :
malnutrisi atau keadaan imunosupresi termasuk AIDS dan diabetes
mellitus
c) Gejala
Mula-mula nodul kecil kemudian menjadi pustule nekrosis menyembuh
setelah puskeluar sikatriks.

7
Nyeri terjadi terutama pada furunkel yang akut, besar, dan lokasinya di hidung.
Bisa timbul gejala prodromal yang seperti panas badan, malaise, mual.
Gambar Pembentukan Furunkel. Apabila mengenai lebih dari satu folikel

rambut disebut karbunkel


d) Penatalaksanaan
Pengobatan topikal, bila lesi masih basah atau kotor dikompres dengan solusio
sodium chloride 0,9%. Bila lesi telah bersih, diberi salep natriumfusidat atau
framycetine sulfat kassa steril

Antibiotik sistemik : mempercepat resolusi penyembuhan dan wajib diberikan


terutama pada seseorang yang beresiko mengalami bakteremia.
Antibiotik diberikan selama 7-10 hari. Lebih baiknya, antibiotik diberikan
sesuai dengan hasil kultur bakteri terhadap sensitivitas antibiotik

3. RINITIS ALERGI
a) Definisi
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986)

Kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantai IgE. (WHO
ARIA, 2001)

b) Patofisiologi
Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan
alergen/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan

8
atau sel dendrit. Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji (antigen
presenting cell/sel APC), dan berada di mukosa saluran pernafasan. Antigen
yang menempel pada permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel
APC, kemudian dari antigen terbentuk fragmen peptida imunogenik.
Fragmen pendek peptida ini bergabung dengan MHC-II yang berada pada
permukaan sel APC. Komplek peptida-MHC-II ini akan dipresentasikan ke
limfosit T yang diberi nama Helper-T cells (TH0). Apabila sel TH0 memiliki
reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptida-MHC-II tersebut, maka
akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.

Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan
mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara
lain IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya
pada permukaan limfosit-B, akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B.
Limfosit-B aktif ini memproduksi IgE. Molekul IgE beredar dalam
sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE pada
permukaan sel mastosit atau sel basofil. Maka akan terjadi degranulasi sel
mastosit dengan akibat terlepasnya mediator alergis. Mediator yang terlepas
terutama histamin. Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet
mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus. Efek lainnya berupa gatal
hidung, bersin-bersin, vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh
darahdengan akibat pembengkakan mukosa sehingga terjadi gejala sumbatan
hidung.
Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan
reaksi alergi fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit
pasca paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian.
Sepanjang RAFC mastosit juga melepas molekul-molekul kemotaktik yang
terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan

9
NCEA (neutrophil chemotactic factor of anaphylatic). Kedua molekul
tersebut menyebabkan penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di organ
sasaran. Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai
reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam
kemudian. Tanda khas RAFL adalah terlihatnya pertambahan jenis dan
jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi di jaringan sasaran dengan puncak
akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konstan bertambah banyak
jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan korelasi dengan
tingkat beratnya gejala pasca paparan adalah eosinofil

10
IgE di sirkulasi darah masuk ke jaringan dan diikat reseptor IgE di permukaan
ThMemproduksi
2 produksi sitokin sel
Ig E Sel B mastofit/basofil
(IL3, IL5,
aktif
Mengaktifkan
IL 14 yangTh0
dapat
untuk
diikat
berproliferasi
reseptor
APC melepas
Bergabu
di perm
jadiP

11
12
akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target (memuncak
Sel mastoit saat 6-8 histamin
melepas molekul jam pasca paparan
kemotaktik
histamin
Rinore merangsang
meningkatkan Newly
hipersekresi
permeabilitas Formed
gatal
kelenjar Mediators
Histamin
kapilerdi hidung
mukosa
merang(PGD
dandan

13
Gambar Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya
(Benjamini, Coico, Sunshine, 2000)

Gambaran histologik
Dilatasi pembuluh darah
Pembesaran sel goblet dan sel kelenjar mukosa
Pembesaran ruang interseluler
Penebalan membran basal
Infiltrasi sel-sel eosinofil pada mukosa dan submukosa hidung
Persisten: proliferasi jaringan ikat, hiperplasia mukosa (irreversibel)
c) Macam-macam allergen
Inhalan
Ingestan
Injektan
Kontaktan

d) Klasifikasi (berdasar WHO ARIA, 2007)


Berdasar sifat berlangsungnya:
Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala <4 hari/minggu / <4
minggu
Persisten (menetap) : bila gejala >4 hari/minggu dan >4 minggu
Berdasar berat ringannya penyakit:

14
Ringan : bila tidak ada gangguan tidur, gangguan aktifitas harian
(bersantai, berolahraga), tidak ada gangguan ketika bekerja/bersekolah
Sedang-berat : bila terdapat satu/lebih gangguan diatas

Bagan Klasifikasi Rhinitis Alergi ARIA


e) Diagnosis
Anamnesis
Gejala khas: bersin-bersin berulang, terutama pagi hari atau setelah paparan
debu
Gejala lain: rinore encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
kadang lakrimasi
Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior: mukosa edema, basah, warna pucat, sekret encer dan
banyak. Bila persisten: mukosa hipertrofi
Nasoendoskopi: bayangan gelap di daerah bawah mata akibat stasis vena
sekunder karena obstruksi hidung (allergic shiner).
Dapat ditemukan hal-hal berikut:
Anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan
(allergic salute).
Allergic crease : garis melintang pada dorsum nasi 1/3 bagian bawah
akibat bekas gosokan tangan anak
Facies adenoid:: mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
tinggi disertai gangguan pertumbuhan gigi-geligi
Cobblestone apperance : dinding posterior faring tampak granuler dan
edema
Penebalan dinding lateral faring
Geographic tongue: lidah seperti gambaran peta

15
Pemeriksaan Penunjang
In vitro:
Hitung eosinofil darah tepi : dapat normal/meningkat
IgE total : seringkali normal kecuali jika terdapat bersamaan penyakit
alergi yang lain
IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)/ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Test)
In vivo:
Mencari allergen penyebab (Uji cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal tunggal atau berseri (SET))
Alergi makanan diidentifikasi dengan Intracutaneus Provocative
Dilutional Food Test (IPDFT) atau diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test)
f) Penatalaksanaan
a) Menghindari kontak dengan allergen penyebab
b) Medikamentosa:
Non-operatif
o AH1
Oral:
Generasi 1:
Chlorpheniramin
dewasa 3-4x4 mg/hari (max 24 mg/hari)
anak-anak 6 12 tahun: 0.5 dosis dewasa
anak-anak 1 6 tahun: 0.25 dosis dewasa
Generasi 2:
Cetirizine 1x10 mg/hari
Loratadine 1x10 mg/hari
Topikal (intranasal)
Azelastine nasal spray (137 mcg per spray)

o Dekongestan oral
Ephedrine 3-4x50 mg
Phenylpropanolamine 3-4x25 mg

16
Pseudoephedrine 3-4x60 mg
o Dekongestan topikal (intranasal)
Oxymethazoline tetes hidung 1-3 x 2-3 tetes larutan 0,05%
(HCl) di setiap lubang hidung
o Kortikosteroid topikal (intranasal)
Dipilih apabila gejala utama sumbatan hidung akibat respon
fase lambat tidak berhasil diatasi.
Triamnicolone acetonide nasal spray 220 mcg/hari (2
semprotan tiap lubang hidung sehari)
o Antikolinergik topikal
Ipratropium bromida 3-4 x 0,4-2 ml/hari (3-4 x 2 semprot)
o Imunoterapi

Operatif
o Konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior)
o Konkoplasti

17
Gambar Algoritma Diagnosis dan Terapi Rhinitis Alergi (ARIA, 2007)

18
Gambar Daftar Pilihan Obat untuk Penatalaksanaan Rinitis Alergi

19
g) Komplikasi
Polip hidung
Otitis media
Sinusitis paranasal

4. RINITIS VASOMOTOR
a) Definisi
Keadaan idiopatik yan didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia,
perubahan hormonal (kehamilan), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, b-
bloker, obat topikal dekongestan). Disebut juga vasomotor cattarh, vasomotor
rinorhea, nasal vasomotor instability, atau non-allergic parenhial rhinitis
b) Etiologi dan patofisiologi
Etiologi dan patofisiologi belum diketahui dengan pasti namun terdapat
beberapa teori yang mengemukakan patofisfiologi rinitis vasomotor:
1) Neurogenik (disfungsi saraf otonom)
Hidung dipersarafi oleh serabut simpatis dan parasimpatis. Serabut
simpatis berasal dari korda spinalis segmen Th1-2 dengan fungsi
menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar.
Serabut simpatis melepas ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptida Y
yang menyebabkan vasokontriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus
simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya
peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam.
Keadaan ini disebut sebagai siklus nasi. Dengan adanya siklus ini,
seseorang akan mampu untuk dapat bernafas dengan tetap normal melalui
rongga hidung yang berubah-berubah luasnya.

Sedangkan serabut parasimpatis berasal dari nukleus salivatori superior


menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk n.vidianus. Serabut
parasimpatis menginervasi pembuluh darah dan kelenjar eksokrin. Pada
perangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan
vasoaktif intestinal peptida yang menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan sekresi hidung.

Dalam keadaan normal, perasarafan simpatis lebih dominan bekerja. Pada


rinitis vasomotor diduga terjadi karena ketidakseimbangan impuls saraf

20
otonom di mukosa hidung yang berupa bertambahnya aktivitas sistem
parasimpatis.
2) Neuropeptida
Terjadi disfungsi oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris
serabut C di hidung. Rangsangan abnormal ini akan diikuti dengan
peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substance-P dan calcitonin
gene-related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
dan peningkatan sekresi kelenjar hidung.
3) Nitrik Oksida (NO)
Kadar NO yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat merusak
epitel sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi langsung ke lapisan
sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan
recruitment refleks vaskular dan kelenjar hidung.
4) Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma
hidung melalui mekanisme neurogenik/neuropeptida.
c) Gejala Klinik
Berdasarkan gejala yang menoonjol dibedakan dalam 3 golongan:
1) Golongan bersin (sneezers) : gejala biasanya memberikan respon yang
baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal
2) Golongan rinore (runners) : gejala dapat diatasi dengan pemberian
antikolinergik topikal
3) Golongan tersumbat (blockers) : kongesti umumnya memberikan respon
yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokontriksi oral
d) Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan melakukan eksklusi yaitu menyingkirkan
adanya:
rinitis infeksi
rinitis alergi
rinitis okupasi
rinitis hormonal
rinitis akibat obat

Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior:
edema mukosa hidung
konka warna merah gelap atau pucat, permukaan licin atau berbenjol-
benjol
sekret mukoid biasanya sedikit

21
Pemeriksaan Penunjang
Lab untuk menyingkirkan rinitis alergi. Kadang ditemukan eosinofil pada
sekret hidung tapi sedikit. IgE spesifik tidak meningkat.
e) Penatalaksanaan
Terapi Non-Medikamentosa:
Hindari stimulus atau faktor pencetus
Terapi Medikamentosa
Non-Operatif
Dekongestan oral
Cuci hidung dengan larutan garam fisiologis
Kauterisasi konka hipertrofi dengan AgNO3 25% atau triklor-asetat
pekat
Kortikosteroid topikal 100-200 mikrogram
Antikolinergik topikal, ipatropium bromida (untuk rinore berat)
Operatif
Bedah beku
Elektrokauter
Konkotomi parsial konka inferior
Neurektomi n.vidianus atau blocking gangglion sferopalatina

5. RINITIS MEDIKAMENTOSA
a) Definisi
Suatu kelainan hidung berupa gangguan respons normal vasomotor yang
diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topikal dalam waktu lama dan
berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
b) Patofisiologi
Obat topikal vasokonstriktor dari golongan simpatomimetik akan
menyebabkan siklus nasi terganggu. Pemakaian obat yang berulang dan dalam
waktu lama akan menyebabkan fase dilatasi berulang (rebound dilatation)
setelah vasokonstriksi sehingga timbul gejala obstruksi. Pasien makin sering
dan lebih banyak membutuhkan obat. Pada keadaan ini kadar agonis alfa-
adrenergik tinggi di mukosa hidung, diikuti oleh penurunan sensitivitas
reseptor alfa-adrenergik pembuluh darah sehingga terjadi toleransi. Aktivitas

22
tonus simpatis yang menyebabkan vasokontriksi menghilang. Akan terjadi
dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung (rebound congestion).

Kerusakan yang terjadi akibat pemakaian obat jangka panjang:


1) Silia rusak
2) Sel goblet berubah ukuran
3) Membran basal menebal
4) Pembuluh darah melebar
5) Stroma edema
6) Hipersekresi kelenjar mukus
7) Perubahan pH sekret hidung
8) Lapisan submukosa menebal
9) Lapisan periosteum menebal

c) Gejala
Hidung tersumbat terus menerus dan berair, edema atau hipertrofi konka
d) Penatalaksanaan
1) Hentikan pemakaian obat topikal vasokonstriktor hidung
2) Kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dengan tappering off 5 mg
tiap hari, kortikosteroid topikal minimal 2 minggu untuk mengembalikan
fisiologis mukosa hidung
3) Dekongestan oral, pseudoefedrin

6. RINITIS INFEKSI
a) Rinitis Simpleks
Definisi
Penyakit virus yang paling sering dialami manusia. Disebut juga selesma atau
common cold, flu.
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Virus : rhinovirus, myxovirus, virus Coxsackie
Menurunnya imunitas tubuh (kedinginan, kelelahan, penyakit menahun
lainnya)
Gejala
Gatal di dalam hidung
Bersin berulang-ulang
Hidung tersumbat
Sekret encer
Demam
Sakit kepala
Terapi
Tidak ada terapi spesifik. Cukup dengan istirahat dan obat simptomatis
(analgetika, antipiretik, dekongestan). Antibiotik hanya jika terjadi infeksi
sekunder
b) Rinitis Hipertrofi
Definisi

23
Istilah hipertrofi adalah perubahan mukosa hidung pada konka inferior yang
mengalami hipertrofi karena proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri primer atau sekunder atau dapat juga sebagai lanjutan dari
rinitis alergi dan vasomotor.
Gejala
Sumbatan hidung
Mulut kering
Nyeri kepala
Gangguan tidur
Sekret banyak dan mukopurulen
Diagnosis
Pemeriksaan konka hipertrofi terutama konka inferior dengan permukaan
berbenjol-benjol.
Terapi
Non-medikamentosa: mengatasi faktor-faktor penyebab
Medikamentosa:
1) kaustik konka dengan zat kimia (nitras argenti/trikloroasetat) atau
elektrokauterisasi dengan kauter listrik
2) luksasi konka
3) frakturisasi konka multipel
4) konkoplasti
5) konkotomi parsial
c) Rinitis Atrofi
Definisi
Infeksi hidung kronik yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa
dan tulang konka. Wanita lebih sering terkena. Sering ditemukan pada
masyarakat ekonomi rendah dan lingkungan dengan sanitasi buruk.
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Banyak teori mengenai etiologi dan patogenesis mengenai rinitis atrofi:
1) Infeksi kuman spesifik (Klebsiella terutama Klebsiella ozaena. Kuman lain
Stafilokokus, Streptokokus, dan Pseudomonas aeruginosa
2) Defisiensi vitamin A
3) Sinusitis kronis
4) Kelainan hormonal
5) Penyakit kolagen
Gejala
Napas bau
Sekret kental berwarna hijau dan cepat kering sehingga membentuk
krusta yang bau busuk
Gangguan penghidu
Sakit kepala
Hidung tersumbat
Diagnosis
Anamnesis: riwayat inflamasi kronis

24
Pemeriksaan rinoskopi anterior: rongga hidung sangat lapang, konka inferior
dan media hipotrofi atau atrofi, ditemukan sekret purulen dan krusta warna
hijau
Pemeriksaan penunjang:
1) Pemeriksaan histopatologik dari biopsi konka media
2) Pemeriksaan mikrobiologi
3) Uji resistensi kuman
Terapi
Tujuan: mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala
Konservatif:
1) Antibiotik spektrum luas / sesuai uji resistensi kuman
Amoksisilin 3x500 mg
2) Cuci hidung. Larutan yang digunakan adalah larutan garam hipertonik
(NaCl, Na4Cl, NaHCO3). Larutan diencerkan dengan perbandingan 1
sendok makan larutan dicampur 9 sendok makan air hangat. Larutan
dihirup (dimasukkan) ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan dengan
menghembuskan kuat-kuat atau yang masuk ke nasofaring dikeluarkan
melalui mulut. Dilakukan 2x sehari. Alternatif lain mencuci hidung dengan
100 cc air hangat yang dicampur 1 sendok makan (15 cc) larutan betadin
atau larutan garam dapur setengah sendok teh dicampur segelas air hangat.
3) Vitamin A 3x50.000 unit
4) Preparat Fe selama 2 minggu
Operatif:
Penutupan atau penyempitan lubang hidung degan implantasi : mengurangi
turbulensi udara dan pengeringan sekret, inflamasi mukosa berkurang.
Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau koana
selama 2 tahun. untuk menutup koana digunakan flap palatum
d) Rinitis Difteri
Definisi
Penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Dapat terjadi
primer atau sekunder dari tenggorok.
Gejala
Demam
Limfadenitis
Ingus bercampur darah
Terdapat pseudomembran putih yang mudah berdarah
Krusta coklat pada nares anterior dan rongga hidung
Diagnosis
Melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan kuman dari sekret hidung
sebagai gold standar.
Terapi
Penisilin lokal dan intramuskuler

25
e) Rinitis Jamur
Definisi
Rinitis karena jamur. Biasanya jamur Aspergillus, Candida, Histoplasma,
Fusarium, dan Mucor. Dapat terjadi bersama sinusitis.
Klasifikasi
Invasif
Ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propria. Jika
terjadi pada submukosa dapat mengakibatkan perforasi septum atau
hidung pelana.
Non-invasif
Dapat menyerupai rinolit dengan inflamasi mukosa yang lebih berat.
Rinolit ini sebenarnya gumpalan jamur (fungus ball). Biasanya tidak
terjadi destruksi kartilago dan tulang.
Diagnosis
Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan sediaan langsung atau kultur jamur.
Pada pemeriksaan hidung terdapat sekret mukopurulen, mungkin didapati
ulkus atau perforasi septum disertai jaringan nekrotik warna hitam (black
eschar)
Terapi
Rinitis Jamur Non-invasif: mengangkat seluruh gumpalan jamur. Obat jamur
sistemik atau topikal tidak diperlukan.
Rinitis Jamur Invasif: eradikasi agen penyebab dengan antijamur oral dan
topikal, pencucian hidung rutin untuk mengangkat krusta. Jika diperlukan
dilakukan debridement seluruh jaringan nekrotik
f) Rinitis Tuberkulosa
Definisi
Rinitis karena kejadian tuberkulosa ekstrapulmoner. Biasanya pada hidung
berbentuk noduler atau ulkus terutama mengenai tulang rawan septum dan
dapat menyebabkan perforasi.
Diagnosis
Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan didapati sekret
mukopurulen dan krusta sehingga menimbulkan keluhan gejala tersumbat.
Gold standar dengan penemuan basil tahan asam pada sekret hidung.
Pemeriksaan histopatologi ditemukan sel datia Langhans dan limfositosis.
Terapi
Dengan pencucian hidung dan antituberkulosis
7. SINUSITIS
a) Definisi
Inflamasi sinus paranasal. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis
sedangkan bila mengenai semua sinus disebut pansinusitis.

26
b) Etiologi dan Faktor Predisposisi
ISPA
Rinitis
Polip hidung
Deviasi septum
Hipertrofi konka
Sumbatan KOM
Infeksi tonsil
Infeksi gigi
Diskinesia silis (sindrom Kartagener)
Penyakit fibrosis kistik
Hipertrofi adenoid pada anak
Faktor lingkungan (polusi udara, udara dingin/kering, kebiasaan
merokok)
c) Patofisiologi

27
Gangguan Mukosiliar (silia tidak dapat bergerak

Sumbatan KOM (edema)

Gangguan Ostium Sinus (tersumbat)

tekanan sinus negatif

28
perlupembentukan
operasi hipertrofi,
polip/kista
perubahan
polipoid
mukosa kronik
makin
inflamasi
bengkakmultiplikasi
berlanjut berlangsung
bakteri

29
d) Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas :
1) Sinusitis akut, < 4 minggu.
2) Sinusitis subakut, 4 minggu 3 bulan.
3) Sinusitis Kronis, > 3 bulan.

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis


1) Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu
yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi
2) Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan
molar). Bakteri penyebabnya adalah
Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Steptococcusviridans,
Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis

Merupakan salah satu penyebab sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adala
prosesu alveolaris tempat akar gigi rahang atas sehingga rongga sinus maksila
hanya terpisahkan tulang tipis dengan akar gigi bahkan kadang tanpa tulang
pembatas. Dapat curiga sinus dentogen jika gejala:
Hidung tersumbat
Nyeri/tekanan pada muka
Ingus purulen pada satu sisi
Kadang post nasal drip (+)
Demam
Malaise

e) Diagnosis:
\ Anamnesa
Kriteria diagnosis sinusitis :
Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua
kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

Major Minor

Facial pain/pressure/fullness Headaches Fever (other than acute

30
Nasal obstruction/blockage rhinosinusitis)
Nasal or postnasal discharge/purulence Halitosis
(by history or physical examination) Fatigue
Hyposmia/anosmia Dental pain
Cough
Ear pain/pressure/fullness

Sumber: American Family Physician, 2001

Sumber: Family and Community Medicine, 2011

Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior: pus dari meatus media, mukosa edema
Pemeriksaan transluminasi. Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit
akan tampak suram atau gelap. Hal ini lebih mudah diamati bila sinusitis
terjadi pada satu sisi wajah, karena akan nampak perbedaan antara sinus yang
sehat dengan sinus yang sakit.

Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan dengan foto kepala posisi Waters, PA, dan lateral,
akan terlihat :
o perselubungan atau
o penebalan mukosa atau
o air-fluid level pada sinus yang sakit

31
CT Scan adalah pemeriksaan pencitraan terbaik dalam kasus sinusitis.
Kultur
Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada
mikroorganisme penyebab maka kultur dianjurkan.
Bahan kultur dapat diambil dari meatus medius, meatus superior, atau
aspirasi sinus.
Rontgen gigi : dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat sumber
infeksi dentogen

f) Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
1) Mempercepat penyembuhan
2) Mencegah komplikasi
3) Mencegah perubahan menjadi kronik.

Terapi Medikamentosa
Non-operatif
1) Antibiotik
Berikan golongan penisilin selama 10-14 hari meskipun gejala klinik si
nusitis akut telah hilang. Amoksisilin 3x500 mg/hari.

32
2) Dekongestan lokal
Berupa obat tetes hidung untuk memperlancar drainase hidung.
3) Analgetik
Untuk menghilangkan rasa sakit
4) Irigasi Antrum.
Indikasinya adalah apabila terapi diatas gagal dan ostium sinus
sedemikian edematosa sehingga terbentuk abses sejati.
Irigasi antrum maksilaris dilakukan dengan mengalirkan larutan salin
hangat melalui fossa incisivus ke dalamantrum maksilaris. Cairan ini
kemudian akan mendorong pus untuk keluar melaluiostium normal.
5) Menghilangkan faktor predisposisi dan kausanya jika diakibatkan
oleh gigi
Operatif
Pembedahan pada pasien sinusitis akut jarang dilakukan kecuali telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial.

33
Indikasi:
Sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan
Disertai kista atau polip ekstensif
Komplikasi sinusitis
Sinusitis Jamur

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan operasi untuk sinusitis


yang perlu pembedahan.
g) Komplikasi
Kelainan orbita
o Edema palpebra
o Selulitis orbita
o Abses orbita
Kelainan intrakranial
o Meningitis
o Abses ekstradural/subdural
o Trombosis sinus kavernosus
Osteomielitis dan abses periosteal
Kelainan paru
o Bronkitis kronik
o Bronkiekasis

8. POLIP HIDUNG
a) Definisi
Masa lunak yang mengandung banyak cairan dalam rongga hidung, berwarna
putih keabuan yang terjadi karena inflamasi mukosa
b) Prevalensi
Dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan maupun usia anak-anak dan lanjut
usia. Pada anak-anak harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau
meningoensefalokel
c) Patogenesis
Faktor predisposisi dari berbagai teori:

34
saraf vasomotor tidak seimbang --> permeabilitias kapiler meningkat --> ggn regulasi vaskular --> pelepasan sitokin --> edema kronik

Teori Bernstein:
sa akibat peradangan dan aliran udara turbulensi di KOM --> prolaps submukosa --> reepitelisasi --> peningkatan penyerapan Na o/ sel epitel shg terjadi retensi air

genetik

disfungsi saraf otonom

inflamasi kronik

POLIP

Gambaran makroskopis:

35
Massa bertangkai dengan permukaan licin
Berbentuk bulat atau lonjong
Warna putih keabuan/pucat (mengandung banyak cairan dan sedikit
aliran darah)
Dapat tunggal (jika berasal dari sinus maksila) atau multipel (jika
berasal dari sinus etmoid)
Tidak sensitif (ditekan atau ditusuk tidak sakit)
Tempat asal tumbuh terutama dari KOM

Gambaran mikroskopis:

Epitel serupa dengan epitel mukosa hidung normal (sel epitel


bertingkat semu bersilia bersel goblet)
Submukosa sembab
Sel-selnya berisi limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan
makrofag
Pembuluh darah, saraf, dan kelenjar sangat sedikit
Polip lama: metaplasia epitel jadi epitel transisional, kubus atau gepeng
berlapis tanpa keratinisasi
Berdasarkan jenis sel radangnya, dikelompokkan jadi 2: polip
eosinofilik dan neutrofilik
d) Diagnosis
Anamnesis
Keluhan utama: hidung tersumbat
Keluhan tambahan:
Rinore (jernih sampai purulen)
Hiposmia/anosmia
Bersin-bersin
Nyeri hidung atau sakit kepala daerah frontal
Post nasal drip (jika infeksi sekunder)
Bernapas dengan mulut
Suara sengau
Gangguan tidur
Gangguan saluran napas bawah (batuk, mengi)

Riwayat Penyakit Sekarang dan Dahulu: identifikasi kemungkinan penyebab


(rinitis alergi, asma, riwayat alergi)
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi: polip yang masif dapat menimbulkan deformitas hidung luar
Rinoskopi anterior: massa warna pucat dari meatus medius dan mudah
digerakkan. Pembagian stadium polip menurut Mackay and Lund (1997):
Stadium 1: Terbatas di meatus medius; Stadium 2: keluar dari meatus medius

36
dan tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung; Stadium 3:
polip masif sudah menutupi rongga hidung
Pemeriksaan Penunjang
Nasoendoskopi
Membantu dalam menentukan stadium polip 1 dan 2, melihat polip
koana (polip yang berasal dari dalam sinus maksila dan tumbuh ke
belakang dan dapat membesar di nasofaring)
Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, PA, Caldwell dan lateral)
dapat menunjukkan penebalan mukosa dan batas air-fluid level di
dalam sinus tapi kurang bermanaat untuk kasus polip nasal. Foto CT-
scan lebih bermanfaat.
e) Tatalaksana
Tujuan Utama:
Menghilangkan keluhan
Mencegah komplikasi
Mencegah rekurensi
Terapi medikamentosa:
Non-Operatif
o Kortikosteroid (topikal atau sistemik): untuk menghilangkan
inflamasi hingga polip turut menghilang (polipektomi
medikamentosa)
Operatif
o Ekstraksi polip (polipektomi): menggunakan senar polip atau
cunam dengan anestesi lokal
o Etmoidektomi intranasal atau ekstranasal: untuk polip etmoid
o Operasi Caldwell-Luc: untuk polip sinus maksila
o BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional)

9. KELAINAN SEPTUM
Kelainan septum yang sering ditemukan berupa:
a) Deviasi septum
b) Hematoma septum
c) Abses Septum

a) Deviasi Septum
1) Definisi
Bentuk septum yang tidak normal (tidak lurus di tengah rongga hidung).
Deviasi yang berat dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan
komplikasi

37
2) Etiologi
Trauma
Ketidakseimbangan pertumbuhan (tulang rawan septum nasi terus
tumbuh)
3) Bentuk Deviasi
Deviasi bentuk C atau S
Dislokasi (bagian bawah kartilago septum keluar dari krista
maksila dan masuk ke rongga hidung)
Penonjolan tulang atau tulang rawan septum (Bila memanjang dari
depan ke belakang disebut krista. Bila runcing dan pipih disebut
spina)
Sinekia (deviasi krista septum bertemu dan melekat dengan konka)
4) Gejala Klinik
Sumbatan hidung (dapat unilateral/bilateral)
Nyeri kepala dan sekitar mata
Gangguan penghidu
5) Terapi
Jika tidak ada keluhan atau terdapat keluhan namun ringan tidak perlu
tindakan koreksi. Jika berat (keluhan nyata) ada 2 tindakan operatif:
Reseksi submukosa
Mukoperikondrium dan mukoperiostium kedua sisi dilepaskan dari
tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan
dari septum diangkat sehingga mukoperikondrium dan
mukoperiostium sisi kiri dan kanan bertemu di garis tengah.
Komplikasi: hidung pelana karena puncak hidung turun karena
tulang atau tulang rawan yang terlalu banyak diangkat.
Septoplasti (Reposisi septum)
Tulang rawan yang bengkok di reposisi. Hanya yang
berlebihan/patologis yang dikeluarkan.

b) Hematoma Septum
1) Definisi
Pembuluh darah submukosa pecah akibat trauma sehingga darah
terakumulasi di antara perikondrium dan tulang rawan septum sehingga
terbentuk hematoma pada septum
2) Etiologi
Trauma
3) Gejala Klinik
Sumbatan hidung
Nyeri
Gangguan penghidu (karena sumbatan)
4) Terapi

38
Drenase segera dengan melakukan pungsi dan dilanjutkan dengan insisi
bagian hematoma yang paling menonjol. Pemberian antibiotika diperlukan
untuk menghindari infeksi sekunder.
5) Komplikasi
Abses septum dan deformitas hidung (saddle nose)

c) Abses Septum
1) Definisi
Diakibatkan oleh trauma yang tidak disadari pasien. Ketika trauma terjadi
hematoma septum dan berlanjut menjadi abses septum karena terjadi
infeksi kuman karena diabaikan oleh pasien.
2) Gejala Klinik
Sumbatan hidung yang progresif
Nyeri berat
Demam
Sakit kepala
3) Terapi
Operatif (kasus darurat)
Insisi dan drenase
Obat-obatan post operatif:
o Antibiotik dosis tinggi
o Analgetika
4) Komplikasi
Destruksi tulang rawan septum dapat meyebabkan perforasi
septum / hidung pelana
Nekrosis tulang rawan septum
Septikemia
Infeksi intrakranial

10. GANGGUAN PENGHIDU


a) Definisi
Macam-macam kelainan penghidu:
Hiposmia : daya penghidu berkurang
Anosmia : daya penghidu hilang
Parosmia : daya penghidu berubah
Kakosmia : halusinasi bau
b) Etiologi
Hiposmia :
o Obstruksi hidung (rinitis, hipertrofi konka, deviasi septum,
polip, tumor)
o Penyakit sistemik (diabetes, gagal ginjal, gagal hati)
o Pemakaian obat-obatan (antihistamin, dekongestan, antibiotik,
antiinflamasi, antitiroid)
Anosmia

39
o Trauma daerah frontal/oksipital
o Infeksi
o Tumor
o Degeneratif
Parosmia : Trauma
Kakosmia
Epilepsi unsinatus lobus temporalis
Kelainan psikologis (depresi, psikosis)

c) Diagnosis
Anamnesis
Lama keluhan
Terus menerus/hilang timbul
Pada parosmia/kakosmia perlu dijelaskan bagaimana bau nya
Riwayat penyakit dan trauma sebelumnya
Pemakaian obat sebelumnya
Pemeriksaan Fisik
Untuk mencari sumbatan, perubahan mukosa, tanda-tanda infeksi atau tumor
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penghidu sederhana (menghirup bau-bauan)
Pemeriksaan foto sinus paranasal
Pemeriksaan laboratorium: gula darah, fungsi hati dan ginjal

40
FISIOLOGI HIDUNG

1) Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anteri`or,
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh penguapan palut lendir.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37C. Fungsi pengatur
suhu dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas.

2) Fungsi Proteksi
Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup berama udara akan disaring di
hidung oleh:
a) Rambut (vibrissae) di vestibulum nasi
b) Silia
c) Palut lendir

3) Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pata
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.

Nervus olfaktorius atau saraf kranial melayani ujung organ pencium. Nervus
olfaktorius dilapisi sel-sel yang sangat khusus, yang mengeluarkan fibril-fibril
halus untuk berjalin dengan serabut-serabut dari bulbus olfaktorius. Bulbus
olfaktorius pada hakekatnya merupakan bagian dari otak yang terpencil, adalah
bagian yang berbentuk bulbus (membesar) dari saraf olfaktorius yang terletak di
atas lempeng kribiformis tulang ethmoid. Dari bulbus olfaktorius, perasaan
bergerak melalui traktus olfaktorius dengan perantaraan beberapa stasiun
penghubung, hingga mencapai daerah penerimaan akhir dalam pusat olfaktori
pada lobus temporalis otak, dimana perasaan itu ditafsirkan (Pearce, 2002).

4) Fungsi Fonetik (Resonator)


Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketikas berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilan

41
sehingga terdengar sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng) rongga tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun
untuk aliran udara.

Ruang atas rongga hidung berfungsi untuk resonansi suara yang dihasilkan laring,
agar memenuhi keinginan menjadi suara hidung yang diperlukan. Bila ada
gangguan resonansi, maka udara menjadi sengau yang disebut nasolalia atau
rinolali (Bambang, 1991).

5) Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks bersin. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.

Bersin adalah respon tubuh yang dilakukan oleh mukosa hidung ketika
mendeteksi adanya bakteri atau kelebihan cairan yang masuk ke dalam hidung.
Atau dapat didefinisikan juga sebagai mekanisme involunter exhale yang kuat
melalui hidung. Saraf yang terdapat di hidung dan mata saling bertautan, sehingga
pada saat bersin, maka secara otomatis mata kita akan terpejam. Hal ini untuk
melindungi saluran air mata dan kapiler darah agar tidak terkontaminasi oleh
bakteri yang keluar dari membran hidung saat bersin. Pada saat bersin, secara
refleks maka otot-otot yang ada di muka kita menegang, dan jantung akan
berhenti berdenyut. Setelah selesai bersin maka jantung akan kembali lagi
berdenyut alias berdetak kembali.

Bersin juga dapat timbul akibat adanya peradangan (rhinosinusitis), benda asing,
infeksi virus, atau reaksi alergi. Reaksi alergi tersebut muncul karena paparan
terhadap bahan alergen. Selain karena alergi, gejala pada hidung tersebut
disebabkan bahan-bahan nonalergi yang ditimbulkan faktor lingkungan. Di
antaranya, perubahan suhu, kelembapan, tekanan udara, atau bahan-bahan kimia
dari obat-obat atau kosmetik tertentu. Mungkin juga akibat polusi udara karena
asap kendaraan dan lingkungan industri.
Kecepatan udara yang dilepaskan ketika bersin bisa mencapai 160km/jam. Bersin
berguna menjaga agar hidung tetap bersih (cleansing effect). Udara yang

42
mengembus kuat dengan tekanan tinggi dari paru-paru mendorong keluar melalui
hidung dan mulut. Refleks bersin itu bisa terjadi berulang-ulang, sehingga
diharapkan pembersihan bisa maksimal.

Mekanisme:

Udara dari paru-paru keluar melalui hidung dengan tekanan tinggi

Palatum dan uvula turun, sementara lidah naik


Akumulasi udara dari paru dengan tekanan tinggi siap keluar
Rongga mulut tertutup
Otot faring dan trakea teraktifasi
Memberikan sinyal ke otak untuk melakukan mekanisme bersin melalui jalur saraf trigeminal

Rongga hidung dan mulut terbuka lebar Pengel


Mukosa H
Sel saraf olfaktorius terse

43
44
NYERI

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan sehubungan
dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial (International Association for the
Study of Pain)

Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun
nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang (cultural), umur dan
jenis kelamin.

Kata nosisepsi berasal dari kata noci dari bahasa Latin yang artinya harm atau injury
dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Kata ini digunakan untuk menggambarkan
respon neural hanya pada traumatik atau stimulus noksius. Banyak pasien merasakan nyeri
meskipun tidak ada stimulus noksius. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi ataupun
sensitisasi dari nosiseptor perifer, reseptor khusus yang mentransduksi stimulus noksius.

Berdasarkan lamanya nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik.
a) Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri karena stimulus noksius karena ada
kerusakan jaringan, proses penyakit ataupun fungsi abnormal dari otot atau organ
dalam (viscera). Biasanya bersifat nosiseptif. Merupakan bentuk nyeri yang paling
sering yang dihasilkan dari pasca trauma, pasca operasi dan nyeri obstetrik seperti
halnya nyeri yang diasosiasikan dengan kondisi medis kritis yang akut seperti
miokard infark, pancreatitis dan calculi renal. Kebanyakan nyeri akut bersifat terbatas
atau akan sembuh dalam beberapa hari atau minggu. Apabila nyeri gagal untuk
sembuh karena atau akibat abnormal penyembuhannya atau karena pengobatan yang
tidak adekuat, nyeri menjadi kronis.
b) Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap dialami lebih 3 bulan atau 6 bulan dari sejak
mulai dari dirasakan nyeri. Dapat bersifat nosiseptiv atau neuropatik ataupun
gabungan keduanya.

Sedangkan tipe nyeri dapat dibagi menjadi :


a) nyeri somatik
Nyeri somatik dideskripsikan sebagai sakit, menggerogoti, dan tajam dalam hal

45
kualitas. Secara umum dapat dilokalisasi dan diinisiasi oleh aktivasi nosiseptor di
jaringan kulit dan jaringan dalam. Contoh nyeri somatic termasuk nyeri akut pasca
operasi dan patah tulang.
a) nyeri visceral
Nyeri visceral juga diasosiasikan dengan kerusakan jaringan, khususnya infiltrasi,
kompresi dan distensi dari organ dalam. Biasanya dideskripsikan sebagai nyeri yang
tumpul dan sukar dilokalisasi dan bisa menyebar ke tempat lain. Misalnya nyeri perut
yang disebabkan oleh konstipasi.
b) nyeri neuropatik.
Sedangkan nyeri neuropati dihasilkan dari kerusakan terhadap sistem saraf baik pusat
maupun perifer. Tertembak, sengatan listrik, ataupun luka bakar sering bersamaan
dengan latar belakang timbulnya sensasi nyeri dan terbakar. Contohnya, neuropati
diabetik dan neuralgia post herpetic

Mekanisme Nyeri
adalah sebagai berikut : rangsangan diterima oleh reseptor nyeri, diubah dalam bentuk impuls
yang di hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di proses dipusat nyeri, impuls di
kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri. Rangsangan yang diterima oleh reseptor
nyeri dapat berasal dari berbagai faktor dan dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Rangsangan Mekanik : Nyeri yang di sebabkan karena pengaruh mekanik seperti
tekanan, tusukan jarum,irisan pisau dan lain-lain.
2. Rangsangan Termal : Nyeri yang disebabkan karena pengaruh suhu, Rata-rata
manusia akan merasakannyeri jika menerima panas diatas 45 C, dimana mulai pada
suhu tersebut jaringan akan mengalami kerusakan
3. Rangsangan Kimia : Jaringan yang mengalami kerusakan akan membebaskan zat
yang di sebut mediator inflamasi yang dapat berikatan dengan reseptor nyeri antara
lain: bradikinin, serotonin, histamin, asetilkolin dan prostaglandin. Bradikinin
merupakan zat yang paling berperan dalam menimbulkan nyeri karena
kerusakan jaringan. Zat kimia lain yang berperan dalam menimbulkan nyeri adalah
asam, enzim proteolitik, Zat P dan ion K + (ion K positif .)

46
A. Respon Terhadap Stimulus Nyeri Akut
Secara klinis nyeri dapat diberi label nosiseptif jika melibatkan nyeri yang berdasarkan
aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan. Meskipun perubahan neuroplastik
(seperti hal-hal yang mempengaruhi sensistisasi jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri
nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus noksius,
sebuah proses yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan, pertama karena pembedahan
itu sendiri, menyebabkan rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya
respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh
jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara lain adalah
prostaglandin, histamine, serotonin, bradikinin, substansi P, leukotrien; dimana zat-zat tadi
akan ditransduksi oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke
neuroaksis. Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang mempengaruhi di
medula spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke anterior dan anterolateral dorsal horn untuk
memulai respon refleks segmental. Impuls lain ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi
melalui tract spinotalamik dan spinoretikular, dimana akan dihasilkan respon suprasegmental
dan kortikal. Respon refeks segmental diasosiasikan dengan operasi termasuk peningkatan
tonus otot lurik dan spasme yang diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan
produksi asam laktat. Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan curah
jantung sekuncup, kerja jantung, dan konsumsi oksigen miokard. Tonus otot menurun di
saluran cerna dan kemih. Respon refleks suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus

47
simpatis dan stimulasi hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen selanjutnya akan
meningkat.

B. Sensitisasi Perifer
Sensitivitas daripada terminal nosiseptor perifer tidaklah tetap, dan aktivasinya dapat
dilakukan baik melalui stimulasi perifer berulang atau melalui perubahan komposisi kimia
dari terminal dapat mensensitisasi neuron sensor primer. Fenomena ini dikatakan sebagai
sensitisasi perifer.

C. Sensitisasi Sentral dan Modulasi


Sebagai akibat perubahan pada sensitivitas terminal nosiseptor perifer, penambahan sinaps
transmisi nosiseptif di dorsal horn dari medulla spinalis terjadi. Dan ini berkontribusi untuk
meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, yang dikenal sebagai sensitisasi sentral. Input yang
intensif dari nosiseptor ke medula spinalis memicu sensasi segera dari nyeri yang berakhir
selama waktu stimulus noksius dan merefleksikan aktivasi langsung dari hasil potensial aksi
dari saraf yang diproyeksikan. Beberapa input, bagaimanapun juga menginduksi aktivitas
yang bergantung kepada modulasi proses sensori di dorsal horn yang menghasilkan
hipersensitivitas terhadap nyeri.

D. Nosiseptor
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral
dan vascular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noxious
yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan
normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup

48
untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal
acak (skrining fungsi) ke CNS untuk interpretasi nyeri.

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan
saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang
otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa
beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut
bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan.
Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya menimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena
iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada
saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemi kulit
20 sampai 30 menit.

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu
dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya
bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta
mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan
untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi
inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena
sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.

Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didisain hanya sebagai reseptor
nyeri karena organ internal jarang terpapar pada keadaan yang merusak. Banyak stimulus
yang merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada
struktur viseralis. Selain itu, inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme
viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses
patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.

E. Perjalanan Nyeri
Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi.
1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik
yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia,
ataupun panas. Dan dapat terjadi di seluruh jalur nyeri.
2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi
sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di celah sinaptik mentransmisi informasi
dari satu neuron ke neuron berikutnya
3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada
sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini
dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).
4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga

49
mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa
tanggapan terhadap nyeri tersebut.

F. Mekanisme Kerja Obat Analgetik


Obat analgetik pada dasarnya terbagi dua, yaitu yang bekerja di perifer dan yang bekerja
di sentral. Golongan obat AINS (anti inflamasi non steroid) berkerja di perifer dengan cara
menghambat pelepasan mediator sehingga aktivitas enzim siklooksigenase terhambat dan
sintesa prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan opioid, bekerja di sentral dengan cara
menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan
pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.

1. Mekanisme kerja AINS


Enzim siklooksigenase (COX) adalah enzim yang mengkatalisa sintesa prostaglandin dari
asam arakhidonat. Prostaglandin memediasi sejumlah proses ditubuh termasuk proteksi
lambung dari sekresi yang dirangsang inflamasi dan nyeri, mempertahankan perfusi ginjal
dan agregasi trombosit. Obat AINS menghambat produksi dari enzim COX yang selanjutnya

50
menurunkan induksi prostaglandin. Hasilnya ada dua yaitu, positif (analgesia, antiinflamasi)
dan negative (ulkus lambung, penurunan perfusi ginjal dan perdarahan).

51
2. Mekanisme Kerja Opioid
Ada empat tempat yang telah diidentifikasi dimana opioid dapat bekerja untuk
menghilangkan nyeri. Ketika morfin atau jenis opioid lain diberikan kepada pasien maka
terjadi :
1. Aktivasi reseptor opioid di midbrain dan turning on sistem desending (melalui
disinhibisi).
2. Aktivasi reseptor opioid pada transmisi sel second-order untuk mencegah transmisi
ascending dari sinyal nyeri.
3. Aktivasi reseptor opioid di sentral terminal C-fiber di medula spinalis, mencegah
pelepasan neurotranmiter nyeri
4. Aktivasi reseptor opioid di perifer untuk menghambat aktivasi dari nosiseptor yang dapat
melepaskan mediator inflamasi.

Analgetik opiad merupakan golongan obat yang memiliki sifat seperti opium/morfin. Sifat
dari analgesik opiad yaitu menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan fisik. Oleh
karena itu, diperlukan usaha untuk mendapatkan analgesik ideal:

1. Potensi analgesik yg sama kuat dengan morfin

2. Tanpa bahaya adiksi


- Obat yang berasal dari opium-morfin
- Senyawa semisintetik morfin
- Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin

Analgetik opiad mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat kuat dengan titik kerja yang
terletak di susunan syaraf pusat (SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran
dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri
yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.

Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama
dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri.
Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada
kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian.
Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen.
Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin,
endorfin, dan dinorfin.
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi
hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan
pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur homeostatis,
mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuk ke otak, dan bertindak juga sebagai

52
neuromodulator dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal. Baik opioid endogen dan
analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan analgesik nonopioid yang
target aksinya pada enzim.

Ada beberapa jenis Reseptor opioid yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor opioid ,
, , , . (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioid-
receptor-like 1 (ORL-1) receptor or orphan opioid receptor dan e-receptor, namum belum
jelas fungsinya).

Reseptor memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik dari
opioid. Sedangkan reseptor 2 memediasi efek depresan pernafasan. Reseptor yang
sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik dan berhubungan
dengan toleransi terhadap opioid. reseptor telah diketahui dan berperan dalam efek
analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum
tulang belakang. Reseptor dan reseptor menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan
dinorfin, sedangkan reseptor selektif untuk opioid analgesic.

Mekanisme umumnya :
Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel,
selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ke
dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya
pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti
contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.
Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya:

Analgesik

medullary effect

Miosis

immune function and Histamine

Antitussive effect

Hypothalamic effect

GI effect

Efek samping yang dapat terjadi:

53
Toleransi dan ketergantungan

Depresi pernafasan

Hipotensi

dll

Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, analgetik opioid dibagi menjadi:

1. Agonis opioid menyerupai morfin (pd reseptor , ). Contoh: Morfin, fentanil

2. Antagonis opioid. Contoh: Nalokson

3. Menurunkan ambang nyeri pd pasien yg ambang nyerinya tinggi

4. Opioid dengan kerja campur. Contoh: Nalorfin, pentazosin, buprenorfin, malbufin,


butorfanol

Deskripsi Obat Analgesik opioid


1. Agonis Kuat
a. Fenantren
Morfin, Hidromorfin ,dan oksimorfon merupakan agonis kuat yang bermanfaat dalam
pengobatan nyeri hebat. Heroin adalah agonis yang kuat dan bekerja cepat .

b. Fenilheptilamin
Metadon mempunyai profil sama dengan morfin tetapi masa kerjanya sedikit lebih panjang.
Dalam keadaan nyeri akut,potensi analgesik dan efikasinya paling tidak sebanding dengan
morfin Levometadil asetat merupakan Turunan Metadon yang mempunyai waktu paruh lebih
panjang daripada metadon

c. Fenilpiperidin
Meperidin dan Fentanil adalah yang paling luas digunakan diantara opioid sintetik yang ada,
mempunyai efek antimuskarinik.subgrup fentanil yang sekarang terdiri dari sufentanil dan
alventanil.

d. Morfinan
Levorfanol adalah preparat analgesik opioid sintetik yang kerjanya mirip dengan morfin
namun manfaatnya tidak menguntungkan dari morfin.

54
2. Agonis Ringan sampai sedang
a. Fenantren
Kodein,Oksikodoa,dihidrokodein, dan hidrokodon,semuanya mem-
punyai efikasi yang kurang dibanding morfin,atau efek sampingnya membatasi dosis
maksimum yang dapat diberikan untuk memperoleh efek analgesik yang sebanding dengan
morfin,penggunaan dengan kombinasi dalam formulasi-formulasi yang mengandung aspirin
atau asetaminofen dan obat-obat lain.

b. Fenilheptilamin
Propoksifen aktivitas analgesiknya rendah,misalnya 120 mg propoksifen = 60 mg kodein

c. Fenilpiperidin
Difenoksilat dan metabolitnya,difenoksin digunakan sebagai obat diare dan tidak untuk
analgesik,digunakan sebagai kombinasi dengan atropin.
Loperamid adalah turunan fenilpiperidin yang digunakan untuk mengontrol diare.Potensi
disalahgunakan rendah karena kemampuannya rendah untuk masuk ke dalam otak.

3. Mixed Opioid AgonistAntagonists or Partial Agonists


a. Fenantren
Nalbufin adalah agonis kuat reseptor kapa dan antagonis reseptor mu.
pada dosis tinggi terjadi depresi pernafasan
Buprenorfin adalah turunan fenantren yang kuat dan bekerja lama dan
merupakan suatu agonis parsial reseptor mu.Penggunaan klinik lebih banyak
menyerupai nalbufin,mendetoksifikasi dan mempertahankan penderita
penyalahgunaan heroin.

b. Morfinan
Butorfanol efek analgesik ekivalen dengan nalbufin dan buprenorfin,
tetapi menghasilkan efek sedasi pada dosis ekivalen ,merupakan suatu agonis
reseptor kapa.

c. Benzomorfan
Pentazosin adalah agonis reseptor kapa dengan sifat-sifat antagonis
reseptor mu yang lemah.Obat ini merupakan preparat campuran agonis-antagonis
yang tertua.
Dezosin adalah senyawa yang struktur kimianya berhubungan dengan
pentazosin, mempunyai aktivitas yang kuat terhadap reseptor mu dan kurang
bereaksi dengan reseptor kappa,mempunyai efikasi yang ekivalen dengan morfin.

55
4. Antagonis Opioid
Nalokson dan Naltrekson merupakan turunan morfin dengan gugusan pengganti pada posisi
N,mempunyai afinitas tinggi untuk berikatan dengan reseptor mu,dan afinitasnya kurang
berikatan dengan reseptor lain. Penggunan utama nalokson adalah untuk pengubatan
keracunan akut opioid,masa kerja nalokson relatif singkat, Sedangkan naltrekson masa
kerjanya panjang, untuk program pengobatan penderita pecandu .individu yang mengalami
depresi akut akibat kelebihan dosis suatu opioid ,antagonis akan efektif menormalkan
pernapasan, tingkat kesadaran, ukuran pupil aktivitas usus,dan lain-lain.

5. Drugs Used Predominantly as Antitussives


Analgesic opioid adalah obat yang paling efektif dari semua analgesic yang ada untuk
menekan batuk.Efek ini dicapai pada dosis dibawah dari dosis yang diperlukan untuk
menghasilkan efek analgesik. Contoh obatnya adalah Dekstrometrofan,Kodein,
Levopropoksifen.

56

Anda mungkin juga menyukai