Anda di halaman 1dari 2

Potensi Kriminalitas Remaja dan Konten Media

Usia remaja merupakan masa dimana manusia mulai mencari jati diri dan berusaha mengakses
informasi mengenai apa yang ingin mereka ketahui. Salah suguhan informasi yang mudah
diakses adalah sajian berita. Banyak berita yang mengangkat masalah kriminal dan kekerasan
hingga taraf yang sangat detail, hal ini dapat memicu keinginan remaja untuk menyelesaikan
masalah dengan tidak kekerasan atau kriminal.

Hurlock (1973) membatasi masa remaja berdasarkan usia kronologis. Yaitu antara 13 hingga 18
tahun. Sementara Thornburgh (1982) membatasinya secara tradisional. Sedangkan aliran
kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun. Thornburgh membagi usia
remaja menjadi tiga kelompok. Yaitu: remaja awal (antara 11 hingga 13 tahun), remaja
pertengahan (antara 14 hingga 16 tahun), dan remaja akhir (antara 17 hingga 19 tahun). Pada
usia tersebut, remaja mulai mencari jati diri dengan menggali informasi dari berbagai macam
sumber yang ada disekitar mereka. Pada masa sekarang ini, hal yang paling banyak dan paling
mudah diakses oleh remaja adalah media massa, terutama televisi. Konten-konten yang disajikan
oleh media televisi sekarang ini bisa dikatakan menjadi salah satu sumber informasi yang besar
dikalangan remaja.

Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum
memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak (Sri Rumini & Siti Sundari, 2004)

Menurut DeWitt C. Reddick, (1976) fungsi utama media massa adalah untuk
mengkomunikasikan kesemua manusia lainnya mengenai perilaku, perasaan, dan pemikiran
mereka; Dan dalam mewujudkan hal itu, pers tidak akan lepas dengan responsibilitas dari
kebenaran informasi (Responsibility), kebebasan insan pers dalam penyajian berita (Freedom of
the pers), kebebasan pers dari tekanan-tekanan pihak lainnya (Idependence), kelayakan berita
terkait dengan kebenaran dan keakuratannya (Sincerity, Truthfulness, Accuracy), aturan main
yang disepakati bersama (Fair Play), dan penuh pertimbangan (Decency). Jadi intinya kebebasan
pers sekarang ini dapat dilaksanakan dengan baik, jika kebebasan pers itu diimbangi dengan
tanggung jawab dan kode etik sebagai landasan profesi, untuk menghindari ada pemberitaan
yang menjurus anarkis.

Empat Belas tahun yang lalu Orde Baru tumbang. Hal ini menandai kehadiran era baru bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Berbagai harapan dipanggul oleh masa yang
baru ini. Satu hal yang paling mengemuka adalah soal kesetaraan dan kebebasan. Dua hal yang
selalu menjadi masalah di era sebelumnya. Tidak heran, masa ini mempunyai banyak masalah
yang harus dituntaskan. Salah satu usaha untuk mengapai angan tersebut adalah berusaha
menghadirkan kemerdekaan bermedia terutama pers. Untuk mencapai hal tersebut maka lahirlah
Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Ini menjadi tonggak kebebasan
berpendapat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi tersebut digambarkan Suranto,
Setiawan, dan Ginanjar (1999) dengan bebasnya media massa Indonesia dari kontrol negara.
Mereka mengatakan bahwa SIUP yang dulu hanya dimiliki oleh kalang terbatas dan dekat
kekuasaan, kini siapa pun mulai dari pelawak, pemusik, partai partai dapat memilikinya.

Seperti sebuah pesta, kebebasan ini dirayakan begitu meriah oleh kalangan pers dan media di
Indonesia Setelah kehadiran undang undang tersebut hadirlah banyak media massa baru.
Jumlah yang besar ini memberikan angin segar keberagaman informasi. Menurut (Putra, 2008 ;
Marijan, 2010) setidaknya sampai dengan 2008 sudah ada 380 majalah, 692 tabloid, 323 surat
kabar dan 3 buletin yang memperoleh izin. Sesuatu yang telah lama dirindukan. Dengan
kehadiran banyak pilihan tentunya akan membawa banyak sudut pandang yang berbeda. Ia juga
menghapuskan pandangan informasi yang selalu sentralistik. Dengan mudahnya mendirikan
media massa lokal, masyarakat akan mampu mendapatkan berita yang lebih dekat dengan.
Konten konten yang diperoleh bukan lagi berasal pandangan Jakarta. Munculnya harapan
penghapusan dominasi budaya jawa dari media. Ini menimbulkan peluang untuk hadirnya pesan
pesan yang dekat karena Indonesia bukan hanya jawa.

Media massa yang bebas, beragam, dan banyak jumlahnya menjadikan penyebarluasan informasi
tentang peristiwa politik menjadi semakin leluasa. Di sisi lain keadaan ini dapat menimbulkan
konflik yang dipicu atau dipertahankan oleh media massa. Luapan informasi ini dapat
menimbulkan konflik karena terjadinya ketidakpastian informasi, kemungkinan manipulasi yang
besar, atau ketidakmampuan mengendalikan kualitas, sehingga dapat memancing adanya
benturan benturan sosial di masyarakat.

Media massa merupakan representasi dari realitas masyarakat. Kondisi ini menyebabkan media
massa tidak lepas dari realitas dan leluasa menyampaikan fakta dalam perspektifnya.

Anda mungkin juga menyukai