Anda di halaman 1dari 14

PRESENTASI KASUS BANGSAL

EPILEPSI

Diajukan kepada :
dr. Hernawan, Sp.S

Disusun oleh :
Alfiana Choiriyani Udin
G4A015045

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS JENDERAL SODIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017

LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi Kasus Bangsal

Epilepsi

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh :
Alfiana Choiriyani U G4A015045

Telah disetujui dan dipersentasikan


Pada tanggal Februari 2017

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Hernawan, Sp.S


TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak
dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai
suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang
berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat
melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal)
atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan
umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang
disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi
ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat
dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi
(EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak
yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih
dari satu episode) (Perdossi, 2012).
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan
International Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi
didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya factor
predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik,perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi social yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang
epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan
sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien)
akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang
terjadi di otak. Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit
atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua
serangan kejang (Heilbroner, 2007).
B. Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari
kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti (kelainan idiopatik).
Kejang terjadi karena sejumlah saraf kortikal mencetuskan lepas muatan
listrik secara abnormal sehingga apapun yang mengganggu homeostasis
normal dan stabilitas saraf, dapat memicu hipereksibilitas dan kejang. Selain
itu, beberapa literatur menyebutkan bahwa epilepsi merupakan penyakit yang
diturunkan secara genetik. Jika salah satu orang tua memiliki riwayate pilepsi
(epilepsi idiopatik) maka dimungkinkan 4% anak akan memiliki riwayat
epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka dimungkinkan
pada keturunannya akan memiliki riwayat epilepsi menjadi 20%-30%.
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon
estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH,
kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya
serangan epilepsi. Pada kriptogenik epilepsi merupakan simptomatik namun
penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan
epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui.
Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi
mioklonik.Sementarapadasimptomatik terdapat lesi struktural di otak yang
mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi
susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak,
gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik
dan kelainan neurodegeneratif (Fisher, 2014).
C. Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi. Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara
maju ditemukan sekitar 50/100.000. sementara di Negara berkembang
mencapai 100/100.000 (WHO, 2005).
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia
dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi
pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi
setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular.
Pada 75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 tahun (Epilepsy
Foundation, 2014).

D. Klasifikasi
Berikut merupakan klasifikasi epilepsi menurut ILAE tahun 1989
(Commission on Classification and Terminology of International Leage
Against Epilepsi, 1989).
1. Berhubungan dengan lokasi
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1) Benign childhood epilepsy with centro-temporal spikes
2) Childhood epilepsy with occipital paroxysmal
3) Primary reading epilepsy
b. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau nonspesifik)
1) Chronic progressive epilepsia partialis continua of childhood
(Kojewnikow'ssyndrome)
2) Syndromes characterized by seizures with specific modes of
precipitation
3) Epilepsi lobus Temporal/ Frontal/ Parietal/ Ocipital
c. Kriptogenik
2. Umum
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1) Benign neonatal familial convulsions
2) Benign neonatal convulsions
3) Benign myoclonic epilepsy in infancy
4) Childhood absence epilepsy (pyknolepsy)
5) Juvenile absence epilepsy
6) Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
7) Epilepsies with grand mal (GTCS) seizures on awakening
8) Others generalized idiopathic epilepsies not defined above
9) Epilepsies with seizures precipitated by specific modes of
activation
b. Kriptogenik / Simptomatik
1) West syndrome (infantile spasms, blitz Nick-Salaamm Krampfe)
2) Lennox-Gastaut syndrome
3) Epilepsy with myoclonic-astatic seizures
4) Epilepsy with myoclonic absence
c. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau nonspesifik)
1) Dengan etiologi yang Nonspesifik
a) Early myoclonic encephalopathy
b) Early infantile epileptic encephalopathy with suppression
burst
c) Other symptomatic generalized epilepsies not defined
above
2) Sindroma spesifik
a) Bangkitan epilepsi yang disebabkan oleh penyakit lain
3. Tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum
1) Campuran bangkitan umum dan fokal
a) Neonatal seizures
b) Severe myoclonic epilepsy in infancy
c) Epilepsy with continuous spike wave during slow-wave sleep
d) Acquired epileptic aphasia (Landau-Kleffner syndrome)
e) Isolated seizures atau isolated status epilepticus
f) Kejang yang terjadi jika terdapat metabolic akut atau toksin,
seperti factor alkohol, obat-obatan, eklampsia, dan
hiperglikemik non ketotik.
Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut ILAE tahun 1981 (Commission on
Classification and Terminology of the International Leage Against
Epilepsi, 1981).
1. Bangkitan Parsial (fokal)
a. Parsial sederhana
1) Disertai gejala motorik
2) Disertai gejala somato-sensorik
3) Disertai gejala-psikis
4) Disertai gejata autonomic

b. Parsial kompleks
1) Disertai dengan gangguan kesadaran sejak awitan dengan atau
tanpa automatism
2) Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran dengan atau
tanpa automatism
c. Parsial sederhana yang berkembang menjadi umum sekunder
1) Parsial sederhana menjadi umum tonik klonik
2) Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
3) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum
tonik klonik
2. Bangkitan Umum
a. Bangkitan Lena (absence) &atypical absence
b. Bangkitan Mioklonik
c. Bangkitan Klonik
d. Bangkitan Tonik
e. Bangkitan Tonik-klonik
f. Bangkitan Atonik
3. Bangkitan yang tidak terklasifikasikan
E. Patofisiologi
Serangan epilepsi disebabkan adanya proses eksitasi di dalam otak
lebih dominan daripada proses inhibisi, dalam arti lain terjadi gangguan
fungsineuron. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeserankonsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated-ion-channel opening
danmenguatnya sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi
danperambatan aktivitas serangan epileptik. Neurotransmiter eksitasi
yaituglutamat, aspartat dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi
yang paling dikenal adalah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin.
Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik
tertentu danberada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan
mencetuskandepolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas
muatan listrik (Mardjono, 2009).
Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion-ion dalam
ruangekstraseluler dan intraseluler, serta gerakan keluar masuk ion-ion
menembusmembran neuron (Harsono, 2001). Aktivitas dari ion-ion tersebut
yangmenimbulkan potensial membran sel. Potensial membran neuron
bergantungpada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran
mudah dilewatioleh ion K dari ekstraseluler ke intraseluler dan kurang untuk
ion Ca, Na danCl. Perbedaan konsentrasi yang dibuat ini yang akan
menimbulkan potensialmembran.Beberapa mekanisme yang dapat
mempengaruhi keseimbanganhipereksibilitas antara lain (Molshe, 2008).
1. Perubahan distribusi, jumlah, tipe dan kandungan kanal ion pada
membransaraf. Faktor-faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat
merubah ataumengganggu fungsi membran neuron sehingga membran
mudah dilaluioleh ion Ca dan Na dari ruang ekstrasel ke intrasel. Influks
dari Ca iniakan menimbulkan letupan depolarisasi membran dan melepas
muatanlistrik yang berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Cetusan
listrikabnormal ini yang kemudian menstimulasi neuron-neuron sekitarnya
yangterkait di dalam sel. Sifat khas dari epilepsi ialah terjadinya
penghentianserangan akibat proses inhibisi. Diduga sistem inhibisi ini
merupakanpengaruh neuron-neuron disekitarnya. Keadaan lain yang
menyebabkanhentinya serangan epilepsi ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnyazat-zat yang penting untuk fungsi otak.
2. Perubahan sistem biokimia reseptor
3. Modulasi dari second messaging systems dan ekspresi gen;
4. Perubahan konsentrasi ion ekstraseluler;
5. Perubahan pada uptake neurotransmitter dan metabolisme sel glial;
6. Modifikasi pada rasio dan fungsi dari sirkuit inhibitor.
F. Penegakan Diagnosis
Terdapat tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsy, yaitu
dengan memastikan adanya bangkitan epileptic sebagai langkah pertama,
menentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981 sebagai
langkah kedua, dan menentukan sindroma epilepsy berdasarkan klasifikasi
ILAE 1989 sebagai langkah ketiga. Dalam anamnesis perlu ditanyakan
pola/bentuk serangan, lama serangan, gejala sebelum, selama dan sesudah
serangan, frekuensi serangan, factor pencetus, ada tidaknya penyakit lain yang
diderita sekarang, usia saat terjadi serangan pertama, riwayat penyakit,
penyebab dan terapi sebelumnya (jenis obat anti epilepsi, dosis OAE, jadwal
minum OAE, kepatuhan minum OAE, kombinasi terapi OAE), riwayat saat
berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang, riwayat trauma
kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat dan riwayat penyakit epilepsi pada
keluarga (NICE, 2012).
Pada pemeriksaan fisik, perlu dicari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi seperti trauma kepala, tanda-tnda infeksi, kelainan
kongenital, kecanduan alcohol atau NAPZA, maupun tanda-tanda keganasan.
Pada pemeriksaan neurologis perlu mencari tanda-tanda defisit neurologis atau
difus dan dapat tampak paska bangkitan terutama tanda fokal yang tidak
jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti Paresis Todd, gangguan
kesadaran pascaiktal, afasia pascaiktal (Molshe, 2008).
Diagnosis epilepsi ditegakkan dengan adanya kejang berulang yang
tidakdisertai demam dan tidak membutuhkan provokasi, riwayat penyakit dan
pemeriksaan Electroenchepalography (EEG), pemeriksaan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) otak,Single-photon Emission Computed
Tomography (SPECT), Positron EmissionTomography (PET),
Magnetoencephalography (MEG). Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat
digunakanuntuk menentukan etiologi epilepsi, letak fokus dan
mengklasifikasikansindroma epilepsi, sementara EEG merupakan standar
baku pada penegakandiagnosis epilepsi. Meskipunbegitu gangguan fungsi
otak tidak selalu tercermin dalam rekamanEEG. Dapat ditemukan gambaran
EEG normal terjadi padaanak dengan kelainan otak yang jelas dan gambaran
EEGabnormal dapat dijumpai pada anak normal dan sehat. GambaranEEG
abnormal sering ditemukan pada kejang parsial kompleks danepilepsi
absence. Sebanyak 10 40% pasien epilepsi tidakmenunjukkan gambaran
EEG abnormal, sedangkan gambaran EEG abnormalringan dan tidak khas
dapat dijumpai pada 15% populasi normal. Pada rekaman EEG dikatakan
abnormal bila asimetris irama dan voltase gelombang pada daerahyang sama
di kedua hemisfer otak, irama gelombang tidak teratur, irama gelombanglebih
lambat dibanding seharusnya, adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat
padaanak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike),paku-ombak, paku
majemuk, dan gelombang lambatyang timbul secara paroksimal. Pemeriksaan
EEG bertujuan untuk membantumenentukan prognosis dan penentuan perlu
atau tidaknyapengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE) (NICE, 2012).
G. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut
antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa
efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta
menurunkan angka kesakitan dan kematian (Aminoff, 2009).
Terapi medikamentosa merupakan terapi lini pertama yang dipilih
dalammenangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obatanti
epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesiaadalah obat golongan
fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, danasam valproat. Obat-obat tersebut
harus diminum secara teraturagar dapat mencegah serangan epilepsi secara
efektif. Walaupunserangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus
tetapditeruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yangberat
maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obatdimulai dengan
obat tunggal dan menggunakan dosis terendahyang dapat mengatasi kejang.
Ada 4 mekanisme aksi utama OAE yaitu (Panayiotopoulos, 2010):
1. Mengikat kanal natrium menjadi inaktif, contoh obat: Fenitoin,
Karbamazepin, Oxcarbazepin, Zonisamid,Lamotrigin, Topiramat,
Gabapentin.
2. Memodulasi GABA, menginhibisi reuptake GABA, contoh obat: Agonis
GABAa (Benzodiazepin, Barbiturat, Topiramat);Inhibitor reuptake
(Tiagabin); GABA-transaminase(Vigabatrin); Modulasi GAD
(Felbamate).
3. Mengikat reseptor glutamat, contoh obat: Reseptor NMDA (Felbamate)
dan Reseptor AMPA/Kainat(Topiramat).
4. Mengikat kanal kalsium, contoh obat: Ethosuksimid, Fenitoin,
Karbamazepin, Oxcarbazepin,Zonisamid.
Berikut merupakan pemilihan OAE berdasarkan tipe bangkitan
epilepsi (Panayiotopoulos, 2010).

TipeBangkitan OAE LiniPertama OAE LiniKedua


Bangkitan parsial Fenitoin, karbamasepin Acetazolamide,
(sederhana atau (terutama untuk CPS), clobazam,
kompleks) asam clonazepam,
valproat ethosuximide,
felbamate, gabapentin,
lamotrigine,
levetiracetam,
oxcarbazepine, tiagabin,
topiramate, vigabatrin,
phenobarbital,
pirimidone
Bangkitan umum Karbamasepin, Acetazolamide,
sekunder phenitoin, clobazam,clonazepam,
asam valproat ethosuximide,felbamate,
gabapentin,
lamotrigine,
levetiracetam,
oxcarbazepine, tiagabin,
topiramate, vigabatrin,
phenobarbital,
pirimidone
Bangkitan lena Asam valproat, Acetazolamide,
ethosuximide clobazam,
(tidak tersedia di clonazepam,
Indonesia) lamotrigine,
phenobarbital,
pirimidone
Bangkitan mioklonik Asam valproat Clobazam, clonazepam,
ethosuximide,
lamotrigine,
phenobarbital,
pirimidone,
piracetam

Penghentian OAE dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun pasien bebas kejang.
Penghentian OAEdilakukan secara perlahan dalam beberapa bulan
(Panayiotopoulos, 2010).
Terapi pembedaha pada epilepsy diindikasikan untuk kasus epilepsi yang
resisten OAE. Tindakan ini merupakan tindakan dengan melakukan reseksi atau
diskoneksi secara lengkap terhadap zona epileptogenik, yaitu area di korteks yang
sangat berperan memunculkan bangkitan klinis epilepsi. Diketahui ada beberapa
jenis epilepsi yang akan megalami perbaikan luaran (outcome) berupa penurunan
frekuensi hingga berhentinya bangkitan dengan tindakan pembedahan yang
dikenal sebagai surgically remediable epilepsi syndrome (SRES), yaitu epilepsi
lobus temporal mesial, epilepsi neokortikal lesional, epilepsi neokortikal non
lesional, sindroma epilepsi hemisferik seperti ensefalitis Rasmussen, Sturge
Weber, hemimegalensefali, dan epilepsi umum sekunder seperti Lennox-Gastaut
Syndrome (LGS). Kontraindikasi absolute operasi adalah terdapatnya latar
belakang penyakit neurodegeneratif atau metabolik, kelainan neurologi yang
progresif, sindroma epilepsi benigna (Engel, 2008).

STATUS EPILEPTIKUS
A. Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang
lalu, status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua
atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara
kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten
atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus (Wilkinson, 2005; Mardjono,
2009).
B. Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:
1) Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran
penuh.
a. Tonik klonik
b. Tonik
c. Klonik
d. Mioklonik
2) Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3) Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. Simple motor status epilepticus
b. Sensory status epilepticus
c. Aphasic status epilepticus
4) Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
a. Petit mal status epilepticus
b. Complex partial status epilepticus
C. Penatalaksanaan (Perdossi, 2014)
DAFTAR PUSTAKA

Aminoff MJ, dkk. 2009. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
Commission on Classification and Terminology of the International Leage Against
Epilepsi. 1981. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic
Classification of Epileptic Seizure. Epilepsia; 22: 489-501.
Commission on Classification and Terminology of International Leage Against
Epilepsi. 1989. Proposal for Revised Classsification of Epilepsies and
Epileptic Syndrome. Epilepsia July-August; 30(4):389-99.
Engel J, Cascino GD, Shield WD. 2008. Surgically remediable syndromes, in
Engel J, Pedley TA: Epilepsi a comprehensive text book. 2nded. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia; 1761-1769.
Epilepsy Foundation. 2014. Epilepsy. Available at :
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm.
Fisher S.G., Acevedo, C., Arzimanoglou A. 2014. A Practical Clinical Definition
of Epilepsy. Epilepsy 2014: 1-8.
Heilbroner, Peter. 2007. Seizures, Epilepsy and Related Disorders. Pediatric
Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed.
Mardjono M, Sidharta P. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat.
Molshe SL, Pedley TA. 2008. Overview: Diagnostik Evaluation In Epilepsi, A
comprehensive Texbook/ editors Jerome Engel JR. Tomothy A. Pedley, 2nd
ed, Vol I, Lippincott Williams & Wilkins, pp: 783-784
NICE. 2012. The Epilepsies: The diagnosis and management of the Epilepsies in
adult and children in primary and secondary care. NICE Clinical Guideline.
pp 76-79.
Panayiotopoulos CP.General Aspects on the Diagnosis of Epileptic Seizures and
Epileptic Syndrome in Clinical Guide to Epileptic syndrome and their
Treatment. Based on the new ILAE diagnostic cheme. Ozfordshire: Blandon
Medical Publishing, pp: 172-199
Perdossi. 2012. Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Jakarta: Perdossi.
Perdossi, 2014. PedomanTatalaksanaEpilepsi. Surabaya: Airlangga University
Press
WHO. 2005. Atlas Epilepsy Care In the World. Geneva : WHO.
Wilkinson I. 2005. Essential Neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing
http://www.medscape.com/viewarticle/726809

Anda mungkin juga menyukai