Walaupun bukan termasuk penyakit yang dapat mengancam jiwa, gejala yang
signifikan pada pasien dapat memengaruhi kualitas hidupnya.3 Gejala yang muncul pada
pasien dengan rinitis alergi dapat bersifat ringan hingga berat. Dikatakan ringan apabila
gejala yang muncul tidak memengaruhi kualitas hidup pasien. Pada gejala yang bersifat
sedang hingga berat, gejala rinitis alergi telah memengaruhi kualitas hidup pasien seperti
pada aspek sosial, gangguan tidur, kelelahan terutama pada anak-anak.2-3
Pada individu yang atopi, reaksi alergi dimulai daria adanya sensitisasi pada alergen
tertentu, pada kasus rinitis alergi biasanya melalui jalur inhalan. Alergen yang masuk
dalam udara pernapasan dapat berupa D. pteronyssinus, D. farinae, kecoa, serpihan epitel
kulit binatang, rumput, jamur. Pada kontak pertama dengan alergen, makrofag atau
monosit berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC) kemudian menangkap alergen
yang menempel pada mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida kemudian bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk
komplek peptida MHC kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper (Th 0).
Sel penyaji kemudian akan mengeluarkan mediator seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
merangsang proliferasi Th0 menjadi Th-1 dan Th-2. Th-2 kemudian akan menghasilkan
berbagai sitokin-sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 yang merangsang pengaktivan sel
limfosit B. IL-4 dan IL-13 kemudian berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel
limfosit B yang merangsang produksi IgE. IgE yang dihasilkan kemudian terlepas ke
sirkulasi menuju ke jaringan dan berikatan dengan mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses inilah yang kemudian disebut sebagai
sensitisasi. Bila mukosa yang telah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik yang menyebabkan pecahnya
dinding sel mastosit dan basofil yang mengakibatkan terlepasnya mediator yang telah
terbentuk seperti histamin. Serta mediator-mediator yang baru terbentuk seperti PGD-2,
LT-D4, LT-C4, bradikinin, PAF, GM-CSF, dan mediator-mediator seperti IL-3, IL-4, IL-
5, IL-6.2 Dimana lokasi mastosit yang prevalen adalah pada lapisan submukosa rongga
Histamin dapat merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga muncul
gejala gatal dan bersin-bersin pada pasien rinitis alergi. Histamin juga dapat
menyebabkan hipersekresi sel goblet dan kelenjar mukosa dan permeabilitas membran
kapiler meningkat sehingga dapat menjadi rinorea. Gejala seperti hidung tersumbat
disebabkan oleh vasodilatasi sinusoid. Selain itu histamin juga merangsang mukosa
hidung sehingga terjadi pengeluaran ICAM 1. Pada RAFC juga dilepaskan molekul
Klasifikasi
Rinitis alergi dapat diklasifikasikan menjadi dua macam berdasarkan sifat
berlangsungnya yaitu rinitis alergi musiman (seasonal allergic rhinitis) dan rinitis alergi
sepanjang tahun (parennial).
1. Rinitis alergi musiman (seasonal allergic rhinitis)
Terutama terjadi di negara dengan empat musim. Sesuai dengan namanya, rinitis
terjadi pada musim-musim tertentu biasanya berhubungan dengan serbuk sari
(pollination). Di Indonesia tidak mengenal adanya rinitis alergi musiman. Gejala yang
muncul biasanya adalah bersin-bersin, gatal pada hidung, mata, tenggorokan dan
telinga, kongesti pada pembuluh darah hidung. Biasanya gejala memberat pada
malam hari dan pada saat udara kering.2-4
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (parennial).
Gejala pada rinitis ini dapat terjadi secara intermiten maupun terus menerus, tanpa
variasi musim. Penyebab tersering adalah alergen inhalan pada orang dewasa (tungau)
dan alergen ingestan pada anak-anak. Dibandingkan dengan yang musiman, rinitis
tipe ini lebih sering menyebabkan komplikasi karena dapat bersifat persisten. Gejala
yang dapat dikeluhkan terutama adalah hidung tersumbat serta adanya post nasal
drip.2-3
Saat ini klasifikasi yang digunakan untuk rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) tahun 2001 yang
mengklasifikasikan berdasarkan sifat langsungnya yang terbagi atas rinitis alergi
intermiten dan rinitis alergi persisten atau tetap.2
1. Rinitis alergi intermiten: bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
2. Rinitis alergi persisten : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk derajat berat gejala rinitis alergi dapat diklasifikasikan menjadi rinitis
alergi ringan dan rinitis alergi sedang-berat.2-3
1. Derajat ringan: bila tidak ditemukan adanya gangguan tidur, gangguan aktivitas,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal yang mengganggu kualitas
hidup.
2. Derajat sedang-berat: bila terdapat satu atau lebih dari gangguan di atas.
Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan salah satu proses yang penting untuk mendiagnosis adanya
rinitis alergi karena serangan sering tidak terjadi pada waktu pemeriksaan. Sekitar
50% diagnosis dapat ditegakkan dari adanya anamnesis. 2 Diagnosis secara klinis
dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang konsisten dengan
penyebab alergi dan 1 atau lebih gejala berikut: hidung tersumbat, rinore, hidung
gatal, atau bersin.1 Gejala rinitis alergi yang khas adalah dengan adanya bersin
berulang. Pada dasarnya bersin merupakan gejala yang normal terutama pada pagi
hari apabila terdapat kontak terhadap sejumlah besar debu. Gejala lain yang dapat
ditemukan adalah adanya keluar ingus encer (rinore), jernih, yang banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, terkadangan disertai banyak air mata keluar
(lakrimasi).3
Penting untuk digali lebih jauh mengenai riyawat alergi pada pasien. Alergi dapat
berupa alergi makanan, obat-obatan, dan lain-lain. Dapat ditanyakan riwayat alergi
ketika masih kecil (ingestan: alergi susu sapi, dan lain-lain). Riwayat alergi dalam
keluarga juga penting untuk ditanyakan karena 50% kemungkinan alergi lebih besar
pada pasien yang memiliki riwayat keluarga atopi. Dapat juga ditanyakan onset,
durasi, progresivitas, keparahan gejala yang dikeluhkan sekarang apakah hilang-
timbul (pada musim tertentu) atau muncul hanya pada kontak pada hal-hal tertentu
(binatang peliharaan, dll). Berapa kali gejala yang muncul dalam satu minggu, berapa
lama gejala dapat muncul. Dapat ditanyakan penggunaan obat-obatan seperti
antihistamin (gejala membaik atau tidak). Gejala yang memburuk pada malam hari
terutama disebabkan oleh tungau atau binatang peliharaan. Digali keluhan lain yang
berhubungan misalnya terdapat asma, dermatitis atopi. Adanya gejala sistemik yang
lain seperti gejala gastrointestinal, ruam di kulit dan lain-lain. Tidak lupa ditanyakan
mengenai pengaruh gejala yang timbul terhadap kualitas hidup pasien untuk
menentukan derajat keparahan penyakit.3-4
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan harus secara menyeluruh dari telinga, hidung,
tenggorok. Pada pemeriksaan fisik rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa
edema, basah, dapat berwarna pucat maupun livid dengan sekret encer yang banyak.
Bila gejala yang dikeluhkan persisten, dapat ditemukan adanya hipertrofi pada konka
inferior. Gejala spesifik lain yang dapat ditemukan adalah allergic shinner yang
berupa bayangan gelap pada area di bawah mata terjadi akibat stasis vena sekunder
akibat adanya obstruksi hidung. Selain itu dapat ditemukan adanya allergic salute
yang merupakan gerakan menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung
tangan. Kemudian dapat timbul tanda yang berupa allergic crease yang merupakan
garis melintang pada sepertiga dorsum nasi bawah akibat dari gerakan menggosok
terlalu lama. Selain itu dapat ditemukan adanya fasies adenoid, bernapas melalui
mulut, cubblestone appearance pada dinding laring posterior, penebalan pada dinding
laring lateral, serta lidah yang seperti peta (geographic tongue). Melihat kelainan-
kelainan pada anatomi seperti adanya septum deviasi, polip, ataupun konka bulosa
(melihat apakah ada hubungannya dengan gejala yang dikeluhkan).2-3
Gambar 5. Allergic Shinner. Gambar 6. Allergic Crease.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada dasarnya diagnosis dari rinitis alergi cukup dilakukan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik tanpa konfirmasi dari pemeriksaan penunjang (pemeriksaan IgE).
Pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan pada beberapa kasus diantaranya apabila
pasien tidak membaik setelah diberikan terapi empiris, kasus dengan diagnosis yang
belum pasti, dibutuhkan untuk kepentingan pemilihan tatalaksana, atau untuk
menghindari titrasi terapi.1 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya
adalah skin testing yang terdiri dari tes cukil kulit dan uji intrakutan atau intradermal
yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/SET), blood testing, Keuntungan
dan kerugian pada masing-masing pemeriksaan dapat dilihat pada tabel 1.
1. Skin Testing ( In vivo)
Merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan menyuntikkan alergen
spesifik pada kulit pasien. Melaui pemeriksaan ini dapat dilakukan observasi
secara langsung reaksi tubuh terhadap antigen spesifik. Antigen akan mengaktifasi
sel mast pada lapisan intrakutan dengan berinteraksi dengan antibodi IgE yang
mengakibatkan pelepasan mediator histamin dapat terjadi indurasi pada
permukaan kulit dalam waktu 15 hingga 20 menit. Contoh dari pemeriksaan ini
adalah tes cukil kulit dan SET. Tes cukil kulit merupakan pemeriksaan yang
sering dilakukan karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi (lebih dari
80% untuk keduanya).1 SET biasanya dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya
sehingga penyebab serta dosis inisial desensitisasi dapat diketahui. Rentan untuk
mengalami hasil positif palsu.2,5
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan sitologi hidung atau
kerokan mukosa walaupun tidak dapat mengkonfirmasi diagnosis, berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukan adanya eosinofil dalam jumlah yang
banyak menunjukkan kemungkinan adanya alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap)
kemungkinan dapat disebabkan oleh alergi bakteri, bila PMN kemungkinan
infeksi bakteri.2