Anda di halaman 1dari 11

Rinitis Alergi

Definisi Rinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan salah satu penyaki tersering yang ditemukan pada orang
dewasa dan merupakan penyakit kronis tersering yang menyerang anak-anak di Amerika
Serikat.1 Rinitis alergi dapat didefinisikan sebagai inflamasi yang disebabkan oleh adanya
reaksi alergi pada pasien dengan atopi yang telah mengalami sensitisasi terhadap alergen
yang sama serta dikeluarkannya mediator-mediator inflamasi apabila terkena alergen
spesifik tersebut. Menurut WHO Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
rinitis alergi merupakan kelainan pada hidung dengan gejala rinore, hidung tersumbat,
bersin-bersin dan hidung terasa gatal setelah hidung terpapar oleh antigen yang
diperantarai oleh IgE.1-2 Rinorea yang terjadi dapat bersifat anterior maupun posterior.
Alergen yang memicu terjadinya rinitis dapat satu atau beberapa alergen.3

Gambar 1. Prevalensi Rinitis Alergi.3

Walaupun bukan termasuk penyakit yang dapat mengancam jiwa, gejala yang
signifikan pada pasien dapat memengaruhi kualitas hidupnya.3 Gejala yang muncul pada
pasien dengan rinitis alergi dapat bersifat ringan hingga berat. Dikatakan ringan apabila
gejala yang muncul tidak memengaruhi kualitas hidup pasien. Pada gejala yang bersifat
sedang hingga berat, gejala rinitis alergi telah memengaruhi kualitas hidup pasien seperti
pada aspek sosial, gangguan tidur, kelelahan terutama pada anak-anak.2-3

Patofisiologi Rinitis Alergi


Respon alergi yang terjadi secara primer dimediasi oleh hipersensitivitas tipe I (IgE-
mediated hypersensitivity) melibatkan produksi yang berlebihan dari antibodi IgE (reaksi
atopik). Selain rinitis alergi, penyakit lain seperti dermatitis atopi dan asma juga
melibatkan reaksi atopi.3 Mekanisme yang mendasari terjadinya rinitis alergi terbagi
menjadi dua tahap yaitu adanya tahap sensitisasi yang diikuti oleh tahap provokasi atau
reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction
atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung selama 1 jam setelah berkontak
dengan alergen dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam pasca kontak dapat berlangsung 24-
48 jam.2

Gambar 2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

Pada individu yang atopi, reaksi alergi dimulai daria adanya sensitisasi pada alergen
tertentu, pada kasus rinitis alergi biasanya melalui jalur inhalan. Alergen yang masuk
dalam udara pernapasan dapat berupa D. pteronyssinus, D. farinae, kecoa, serpihan epitel
kulit binatang, rumput, jamur. Pada kontak pertama dengan alergen, makrofag atau
monosit berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC) kemudian menangkap alergen
yang menempel pada mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida kemudian bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk
komplek peptida MHC kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper (Th 0).
Sel penyaji kemudian akan mengeluarkan mediator seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
merangsang proliferasi Th0 menjadi Th-1 dan Th-2. Th-2 kemudian akan menghasilkan
berbagai sitokin-sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 yang merangsang pengaktivan sel
limfosit B. IL-4 dan IL-13 kemudian berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel
limfosit B yang merangsang produksi IgE. IgE yang dihasilkan kemudian terlepas ke
sirkulasi menuju ke jaringan dan berikatan dengan mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses inilah yang kemudian disebut sebagai
sensitisasi. Bila mukosa yang telah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik yang menyebabkan pecahnya
dinding sel mastosit dan basofil yang mengakibatkan terlepasnya mediator yang telah
terbentuk seperti histamin. Serta mediator-mediator yang baru terbentuk seperti PGD-2,
LT-D4, LT-C4, bradikinin, PAF, GM-CSF, dan mediator-mediator seperti IL-3, IL-4, IL-
5, IL-6.2 Dimana lokasi mastosit yang prevalen adalah pada lapisan submukosa rongga

hidung, traktus gastrointestinal, daerah subkonjungtiva, lapisan kulit subkutan.3

Histamin dapat merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga muncul
gejala gatal dan bersin-bersin pada pasien rinitis alergi. Histamin juga dapat
menyebabkan hipersekresi sel goblet dan kelenjar mukosa dan permeabilitas membran
kapiler meningkat sehingga dapat menjadi rinorea. Gejala seperti hidung tersumbat
disebabkan oleh vasodilatasi sinusoid. Selain itu histamin juga merangsang mukosa
hidung sehingga terjadi pengeluaran ICAM 1. Pada RAFC juga dilepaskan molekul

Gambar 3. Degranulasi Histamin. Gambar 4. Reseptor Histamin.

kemotaktik yang menyebabkan perangsangan


pada molekul eosinofil (terbanyak) dan neutrofil pada jaringan target. Respons akan
berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. RAFL ditandai dengan
peningkatan jenis jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, mastosit,
basofil pada mukosa hidung disertai peningkatan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF, dan
ICAM 1.2 Mekanisme ini yang terutama mendasari terjadinya hidung tersumbat dan post
nasal drip pada rinitis alergi.3
Timbulnya hiperresponsif hidung disebabkan oleh eosinofil dengan mediator inflamasi
dari granulnya seperti Eosinophilic Cation Protein (ECP), Esoinophilic Derived Protein
(EDP), dll yang mana pada fase ini, selain iritan spesifik yang berupa alergen, iritan non-
spesifik seperti asap rokok, kelembaban tinggi, bau yang merangsang, perubahan cuaca,
juga dapat memperberat gejala (priming effect ).2

Klasifikasi
Rinitis alergi dapat diklasifikasikan menjadi dua macam berdasarkan sifat
berlangsungnya yaitu rinitis alergi musiman (seasonal allergic rhinitis) dan rinitis alergi
sepanjang tahun (parennial).
1. Rinitis alergi musiman (seasonal allergic rhinitis)
Terutama terjadi di negara dengan empat musim. Sesuai dengan namanya, rinitis
terjadi pada musim-musim tertentu biasanya berhubungan dengan serbuk sari
(pollination). Di Indonesia tidak mengenal adanya rinitis alergi musiman. Gejala yang
muncul biasanya adalah bersin-bersin, gatal pada hidung, mata, tenggorokan dan
telinga, kongesti pada pembuluh darah hidung. Biasanya gejala memberat pada
malam hari dan pada saat udara kering.2-4
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (parennial).
Gejala pada rinitis ini dapat terjadi secara intermiten maupun terus menerus, tanpa
variasi musim. Penyebab tersering adalah alergen inhalan pada orang dewasa (tungau)
dan alergen ingestan pada anak-anak. Dibandingkan dengan yang musiman, rinitis
tipe ini lebih sering menyebabkan komplikasi karena dapat bersifat persisten. Gejala
yang dapat dikeluhkan terutama adalah hidung tersumbat serta adanya post nasal
drip.2-3

Saat ini klasifikasi yang digunakan untuk rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) tahun 2001 yang
mengklasifikasikan berdasarkan sifat langsungnya yang terbagi atas rinitis alergi
intermiten dan rinitis alergi persisten atau tetap.2
1. Rinitis alergi intermiten: bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
2. Rinitis alergi persisten : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk derajat berat gejala rinitis alergi dapat diklasifikasikan menjadi rinitis
alergi ringan dan rinitis alergi sedang-berat.2-3
1. Derajat ringan: bila tidak ditemukan adanya gangguan tidur, gangguan aktivitas,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal yang mengganggu kualitas
hidup.
2. Derajat sedang-berat: bila terdapat satu atau lebih dari gangguan di atas.

Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan salah satu proses yang penting untuk mendiagnosis adanya
rinitis alergi karena serangan sering tidak terjadi pada waktu pemeriksaan. Sekitar
50% diagnosis dapat ditegakkan dari adanya anamnesis. 2 Diagnosis secara klinis
dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang konsisten dengan
penyebab alergi dan 1 atau lebih gejala berikut: hidung tersumbat, rinore, hidung
gatal, atau bersin.1 Gejala rinitis alergi yang khas adalah dengan adanya bersin
berulang. Pada dasarnya bersin merupakan gejala yang normal terutama pada pagi
hari apabila terdapat kontak terhadap sejumlah besar debu. Gejala lain yang dapat
ditemukan adalah adanya keluar ingus encer (rinore), jernih, yang banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, terkadangan disertai banyak air mata keluar
(lakrimasi).3
Penting untuk digali lebih jauh mengenai riyawat alergi pada pasien. Alergi dapat
berupa alergi makanan, obat-obatan, dan lain-lain. Dapat ditanyakan riwayat alergi
ketika masih kecil (ingestan: alergi susu sapi, dan lain-lain). Riwayat alergi dalam
keluarga juga penting untuk ditanyakan karena 50% kemungkinan alergi lebih besar
pada pasien yang memiliki riwayat keluarga atopi. Dapat juga ditanyakan onset,
durasi, progresivitas, keparahan gejala yang dikeluhkan sekarang apakah hilang-
timbul (pada musim tertentu) atau muncul hanya pada kontak pada hal-hal tertentu
(binatang peliharaan, dll). Berapa kali gejala yang muncul dalam satu minggu, berapa
lama gejala dapat muncul. Dapat ditanyakan penggunaan obat-obatan seperti
antihistamin (gejala membaik atau tidak). Gejala yang memburuk pada malam hari
terutama disebabkan oleh tungau atau binatang peliharaan. Digali keluhan lain yang
berhubungan misalnya terdapat asma, dermatitis atopi. Adanya gejala sistemik yang
lain seperti gejala gastrointestinal, ruam di kulit dan lain-lain. Tidak lupa ditanyakan
mengenai pengaruh gejala yang timbul terhadap kualitas hidup pasien untuk
menentukan derajat keparahan penyakit.3-4

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan harus secara menyeluruh dari telinga, hidung,
tenggorok. Pada pemeriksaan fisik rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa
edema, basah, dapat berwarna pucat maupun livid dengan sekret encer yang banyak.
Bila gejala yang dikeluhkan persisten, dapat ditemukan adanya hipertrofi pada konka
inferior. Gejala spesifik lain yang dapat ditemukan adalah allergic shinner yang
berupa bayangan gelap pada area di bawah mata terjadi akibat stasis vena sekunder
akibat adanya obstruksi hidung. Selain itu dapat ditemukan adanya allergic salute
yang merupakan gerakan menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung
tangan. Kemudian dapat timbul tanda yang berupa allergic crease yang merupakan
garis melintang pada sepertiga dorsum nasi bawah akibat dari gerakan menggosok
terlalu lama. Selain itu dapat ditemukan adanya fasies adenoid, bernapas melalui
mulut, cubblestone appearance pada dinding laring posterior, penebalan pada dinding
laring lateral, serta lidah yang seperti peta (geographic tongue). Melihat kelainan-
kelainan pada anatomi seperti adanya septum deviasi, polip, ataupun konka bulosa
(melihat apakah ada hubungannya dengan gejala yang dikeluhkan).2-3
Gambar 5. Allergic Shinner. Gambar 6. Allergic Crease.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pada dasarnya diagnosis dari rinitis alergi cukup dilakukan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik tanpa konfirmasi dari pemeriksaan penunjang (pemeriksaan IgE).
Pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan pada beberapa kasus diantaranya apabila
pasien tidak membaik setelah diberikan terapi empiris, kasus dengan diagnosis yang
belum pasti, dibutuhkan untuk kepentingan pemilihan tatalaksana, atau untuk
menghindari titrasi terapi.1 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya
adalah skin testing yang terdiri dari tes cukil kulit dan uji intrakutan atau intradermal
yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/SET), blood testing, Keuntungan
dan kerugian pada masing-masing pemeriksaan dapat dilihat pada tabel 1.
1. Skin Testing ( In vivo)
Merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan menyuntikkan alergen
spesifik pada kulit pasien. Melaui pemeriksaan ini dapat dilakukan observasi
secara langsung reaksi tubuh terhadap antigen spesifik. Antigen akan mengaktifasi
sel mast pada lapisan intrakutan dengan berinteraksi dengan antibodi IgE yang
mengakibatkan pelepasan mediator histamin dapat terjadi indurasi pada
permukaan kulit dalam waktu 15 hingga 20 menit. Contoh dari pemeriksaan ini
adalah tes cukil kulit dan SET. Tes cukil kulit merupakan pemeriksaan yang
sering dilakukan karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi (lebih dari
80% untuk keduanya).1 SET biasanya dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya
sehingga penyebab serta dosis inisial desensitisasi dapat diketahui. Rentan untuk
mengalami hasil positif palsu.2,5

2. Blood Testing (In vitro)


Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya adalah menghitung serum total
IgE. Penghitungan ini menggunakan radio atau enzyme-immuno assays. Pada
individu dewasa, level IgE di atas 100-105 KU/I dipikirkan berada di atas normal.
Namun terdapat kondisi lain yang dapat menyebabkan hasil positif palsu yaitu
adanya penyakit parasit, sehingga lebih baik tidak digunakan baik untuk skrining
maupun diagnosis.1,5 Pemeriksaan yang lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE
spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) yang memanfaatkan reaksi
alergen dengan IgE spesifik pada serum.1

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan sitologi hidung atau
kerokan mukosa walaupun tidak dapat mengkonfirmasi diagnosis, berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukan adanya eosinofil dalam jumlah yang
banyak menunjukkan kemungkinan adanya alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap)
kemungkinan dapat disebabkan oleh alergi bakteri, bila PMN kemungkinan
infeksi bakteri.2

Tabel 1. Pemeriksaan Penunjang pada Rinitis Alergi.


Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kasus rinitis alergi adalah rinitis yang diakibatkan oleh kondisi
non-alergi misalnya adalah rinitis akibat infeksi, rinitis vasomotor, adanya polutan atau
iritan, rinitsi hormonal (keadaan hamil, hipotiroidisme), rinitis medikamentosa,
deformitas anatomi (septum deviasi, konka bulosa, dan polip nasal), tumor atau benda
asing. Beberapa diagnosis banding dijabarkan pada tabel 2.
Tabel 2. Diagnosis Banding Rinitis Alergi.
Referensi:
1. Seidman MD, Gurgel RK, Lin SY, et al. Clinical practice guideline: allergic
rhinitis. 2015. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
2. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2012. p. 106-9.
3. Lalwani AK. Otolaryngology head and neck surgery. 3 rd ed. New York:
McGrawHill; 2012. p.285-8.
4. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology. German: Thieme; 2006.
p. 50-1.
5. Allergic Rhinitis and its Impact on Ashtma (ARIA) 2008 Update. 2008. World
Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai